FikaAku patut bersyukur mempunya suami sebaik Mas Ahmad. Dia suami yang bisa memahamiku sepenuh hati. Dengan sekuat tenaga ia selalu berjuang agar bisa membuatku tetap bahagia. Berkat usahanya, akhirnya Mbak Rina bersedia keluar dari rumah ini. Kalau dipikir-pikir, aku jadi menyesal telah marah-marah pada Mas Ahmad kemarin.Rasanya aku bersyukur sekali dengan keadaan ini.Kau sudah melihat bagaimana keadaannya sekarang Mbak Rina, selalu berada di pihakku.Tak peduli bagaimana besarnya perjuangan Rina untuk mengambil hatinya, ternyata cintanya tetaplah untukku. Sungguh alangkah menyedihkannya dirimu Mbak Rin. Menang, wanita itu benar-benar patut untuk dikasihani.Mulai dari awal pernikahannya, Mas Ahmad memang pernah mencintai Rina. Ia diselingkuhi lalu harus juga menerima takdir suaminya menikah lagi. Sangat menyakitkan bagi seorang wanita. Wanita yang malang.Sedangkan aku, bahkan sejak dulu sebelum Mas Ahmad menikahiku, aku sudah menggenggam separuh hati Mas Ahmad jauh melebihi
Aku menatap rumah yang sudah kosong melompong. Suasana lengang dan sepi menyelimuti. Ke arah dapur, meja makan cantik favoritku, speaker aktif yang biasa kuhidupkan selagi memasak, bahkan dispenser perak mewah pun sudah tidak ada lagi di tempatnya. Yang ada sekarang hanya sekumpulan piring, gelas, sendok biasa dan beberapa alat lainnya yang notabene bukanlah barang mewah. Mbak Rina memang benar-benar membawa semuanya. Pendek kata dia telah mengosongkan rumah ini dari segala perebotan berharga.Meskipun pada awalnya aku tak bisa terima, namun saat ini aku tak terlalu memikirkannya lagi. Sebab setelah ini Mas Ahmad akan membelikan perabotan yang baru. Dan sudah tentu aku akan meminta dibelikan barang yang lebih bagus daripada barang-barang yang dibawa oleh Mbak Rina. Aku yakin Mas Ahmad akan mengabulkan permintaanku.Aku segera mengakses platform jual beli yang biasa menjual barang-barang yang bagus. Aku mulai mencari berbagai perabotan di sana. Aku menandai beberapa produk pilihan yan
Bab 23"Assalamualaikum...!" Lamunan ini buyar tatkala kudengar suara mas Ahmad dari arah depan. Rupanya pria itu sudah pulang dari kantor.Tak lupa Sebelum membukakan pintu, aku poles sedikit muka ini dengan compact powder. Agar lebih terlihat segar dan cantik. Terlihat cantik di depan suami itu adalah sebuah kewajiban. Agar suami selalu sayang sama kita. Ah, aku harus menyambutnya dengan senyuman. Untuk sementara aku harus berpura-pura melupakan semua kesalahan yang ia buat sebelumnya bersama Rina. Aku memang istri yang selalu berusaha untuk bersabar. Mari kita sambut hari-hari baru yang akan kita lalui tanpa ada gangguan lagi. Oh Mas Ahmad... Mas Ahmad... Beruntung sekali kamu mendapatkan istri pengertian dan paham agama seperti aku."Waalaikumsalam, Mas. Udah pulang? Sini tasnya, biar aku yang bawain," ujarku sembari mengembangkan senyum manis. Aku pun segera meraih tas dari tangannya,""Apa sepatunya juga mau aku bukain, Mas?" Aku menawarkan."Nggak usah, Dek." Mas Ahmad menj
Bab 24 Rina sungguh telah membuatku pusing. Apa tujuannya coba sampai membawa-bawa surat-surat penting segala. Mana dia pergi sambil membawa seisi rumah lagi. Seandainya saja dia bisa melakukannya, mungkin rumah ini juga akan turut ia bawa serta pula. Tapi, jauh di dalam lubuk hati ini aku tidak bisa menyalahkan Rina seutuhnya. Karena aku sadar betul jika semua barang yang ia bawa emang ia beli dengan uangnya sendiri. Dan dia memang berhak atasnya.Tapi masalahnya kenapa harus dibawa semua? Apa dia nggak mikir kalau kami di rumah ini juga butuh alat elektronik? Lagi pula cuma benda-benda begitu doang kok. Pelit banget nggak mau berbagi.Tapi ya sudahlah, sekarang lebih baik dibicarakan secara baik-baik dengan Rina.Berulang kali aku mencoba menghubungi nomor perempuan tersebut namun tak kunjung diangkat. Bahkan nomor itu akhirnya benar-benar tak bisa dihubungi. Apa dia marah padaku? Tapi kan aku tidak mengusirnya dengan cara yang buruk. Aku kan cuma nyuruh dia keluar dari rumah in
"Mas, mas kenapa pekit banget sama aku? Sama Rina Mas bela-belain beli semuanya! Kenapa segitunya Mas nggak adil Antara Aku sama mbak Rina?" Pertanyaan demi pertanyaan selalu meluncur dari bibir Fika."Padahal Mas ngerti kan kalau syarat poligami itu harus adil di antara istri-istrinya!"Aduh aku benar-benar keblinger dengan pertanyaan Fika.Lama-lama bisa hancur repot reputasi harga diriku sebagai laki-laki di hadapan Fika."Nggak adil gimana, Sayang. Mas udah berjuang banyak untuk kamu!" Aku berusaha sabar."Berjuang apanya, Mas? Mas lihat, kemarin-kemarin ketika Mbak Rina masih ada di rumah ini, kita nggak pernah kekurangan apapun! Mas selalu membelikan semuanya! Tapi sekarang, ketika Mbak Rina udah pergi, Mas juga berhenti mencukupi kebutuhan kita! Ayolah Mas, aku nggak sanggup hidup kayak gini terus! Aku udah malu banyak kemarin di toko Cece Yuni, udah bela-belain milih barang ini itu, tapi kok akhirnya pada nggak jadi beli! Di mana mau taruh muka aku ini Mas?" Fika mulai protes.
[Ahmad! Tadi ibu ambil gamis tiga setel sama Bu Alfi. Ntar kamu bayarin ya. Ibu pinjem duit kamu dulu!]Pesan dari ibu ternyata. [Berapa, Bu?] Balasku.[Nggak mahal. Cuma sejuta dua ratus ribu] pesannya lagi.Sejutaan lebih? Ibu, ibu, ibu pikir anak ibu ini masih banyak uang apa?Aku meraba saku, mengambil dompet dan mengecek isinya. Tinggal 500 ribu ternyata. Dengan uang segitu, mustahil aku bisa membayar utang ibu yang bahkan sampai dua kali lipatnya.Sebelumnya aku memang tak pernah menolak apapun permintaan ibu maupun Fika. Sebab sebelumnya aku tak pernah memikirkan apapun selain dari ibu dan Fika saja.Aku tidak menyangka, ternyata uang gajiku yang dua juta itu sungguh sulit untuk memenuhi kebutuhan kami. Sebenarnya aku ingin menjelaskan kepada Fika berapa gajiku sebenarnya, tapi aku takut wanita itu tidak bisa menerima.Diam-diam aku jadi menyesal karena sejak dulu membohongi Fika dengan mengatakan jika aku mempunyai gaji yang besar.Sekarang aku tak punya apapun untuk menu
Fika"Mbak Rina, kamu nggak bisa sembarangan menjual rumah ini!" Aku mengecam tindakannya mentah-mentah."Alasannya?" Dia menatapku seperti tidak berdosa."Mbak harus konsultasi dulu sama Mas Ahmad dan juga sama aku tentunya! Barus bisa mengetahui gimana cara orang terhormat dalam mengambil keputusan.""Ya, orang yang terhormat bisa mengambil keputusan yang tepat dan setidaknya tidak mengakui milik orang lain sebagai miliknya sendiri." jawabnya.Aku dibuat semakin naik pitam olehnya."Aku akan bilang sama Mas Ahmad soal kelakuan Mbak Rina!" Tanpa menunggu lebih lama aku mengambil ponsel."Silakan hubungi Masmu itu sekarang! Bila perlu suruh dia pulang sekarang buat nemuin aku? Kita mau lihat gimana sih reaksi yang akan ditunjukin sama masmu!"Kurang ajar dengan berkata begitu dia nggak hanya merendahkan aku tapi dia juga merendahkan harga diri mas Ahmad selaku suamiku. Sudah berulang kali aku mencoba menghubungi Mas Ahmad, Tapi laki-laki itu tidak kunjung mengangkat. Kemana dia meman
AhmadDering hp sengaja aku diamkan. Aku malas meladeni Fika terus-menerus. Aku tahu jika akan menelponku dalam setiap menit. Ada-ada aja yang ingin ia bahas, mulai dari bertanya Aku baru saja jajan apa, habis dari mana aja,lagi ngerjain apa, udah makan atau belum, bal aku ini anak kecil saja. Pertanyaan receh seperti itu sepatunya tak perlu juga ditanyakan setiap saat. Kalau aku bilang pasti Fika ngeles kalau itu adalah salah satu bentuk dari kepedulian dia sama aku.Peduli sih peduli, tapi nggak gitu juga kali. Kalau udah kayak gitu Itu namanya ngerepotin. Bayangkan saja kita lagi fokus mengerjakan sesuatu eh ponsel berdering mulu. Kan konsentrasi jadi pada hilang. Rasanya sekarang aku lebih betah diam di kantor daripada diam di rumah. Di rumah perempuan itu terus-terusan ngambek tidak karuan. Minta dipeluk mulu, minta dicium mulu, minta dikelonin mulu. Huuuh, terkadang Aku geram dibuatnya.Padahal dia tidak tahu kalau aku lagi pusing mikirin buat bayar hutang bulanan. Eh dia mala
Melihat nama yang tertera pada papan bunga tersebut, membuat duniaku seakan-akan runtuh. Ini seperti mimpi. Aku mencoba mencubit tanganku."Awww!" Ini sakit. Artinya aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata.Aku tidak pernah membayangkan jika Rina bersanding dengan pria lain. Jelas-jelas aku tidak bisa terima itu. Rina milikku, aku tidak rela melihatnya jatuh ke pelukan laki-laki lain. Lagi pula ini baru beberapa bulan saja, Rina! Kita baru saja berpisah. Tapi meskipun kami sudah berpisah, tahukah kamu kalau sesungguhnya dalam hatiku masih sangat mencintaimu Rina!Tapi aku belum bisa percaya. Aku akan memastikan terlebih dahulu, apakah yang sedang melangsingkan acara pernikahan ini benar-benar dia, atau ada Rina yang lain. Setidaknya aku harus mengecek kebenarannya dengan mata kepalaku sendiri terlebih dahulu.,Dengan serta merta aku berjalan menyusuri jalanan yang sudah disediakan. Aku pedulikan lagi arahan para petugas yang sedang berjaga. Aku berjalan menerobos dengan ce
"Assalamualaikum"Aku menenggak ludah ketika laki-laki itu benar-benar datang. Bastian, dia benar-benar laki-laki yang nekat. Semula aku akan menyangka dia hanya akan datang seorang diri. Ternyata tidak.Sebab di belakangnya turut serta pula kedua orang tuanya dan. Laki-laki ini benar-benar nekat menemui kedua orang tua dan keluargaku. Semula Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Ini benar-benar di luar dugaanku.Dengan sedikit canggung aku mempersilahkan mereka untuk masuk. Sebenarnya aku tak enak dengan keluarganya yang jelas-jelas adalah orang-orang berada. Sedangkan aku adalah seorang perempuan biasa yang kukira tak punya kelebihan yang mencolok. Terlebih dengan statusku, jadi sedikit membuatku malu. Syukurlah kedua orang tuaku cukup baik dalam meladeni pembicaraan mereka. Kedua orang tuaku sama sekali tidak terlihat sanggup, jadi aku tak perlu bicara terlalu banyak. Hanya sesekali saja ketika itu memang diperlukan. Hingga tibalah saatnya mereka berbicara ke topik utama.
Fika"Mas, mas tahu enggak, tuh si Rina ternyata udah asik-asikan main belakang sama pria lain. Makanya ya, Mas nggak usah terlalu mengingat-ngingetin wanita itu lagi!" Aku memberi laporan. Ya iyalah wajar aku marah, sebab aku ingat betul Mas Ahmad terus saja menyebut nama Rina akhir-akhir ini. Harusnya tuh perhatian Mas Ahmad bukan sama Rina tapi sama aku yang lagi hamil anaknya. Harusnya dia manja-manjain aku. Ini buru-buru manjain, menyentuh aku aja semingguan ini kagak. Jadi aku akan membuat perhitungan padanya. Aku akan memberitahu apa yang sudah kulihat tadi biar dia tahu bagaimana perilaku buruk mantan istrinya.Mendengar perkataanku taKekecewaanku sama Mas Ahmad semakin bertambah saja.di spontan Mas Ahmad menoleh."Apa? Rina jalan sama pria? Yang bener aja?" Dia menatapku tajam."Ya iyalah, masa aku bohong! Aku melihat pakai mata kepala aku sendiri! Makanya aku kasih tahu Mas, wanita itu bener-bener nggak punya harga diri, Mas! Lihat belum lama kok kalian bercerai, dia udah
"Mmaksudnya? Kamu mau datang ke orang tuaku? Buat apa, Pak?" Aku terkejut sekali.Bastian tersenyum. Uuuh, aku baru sadar ternyata semanis itu senyum yang ia miliki. Tubuhku yang hanya setinggi 150 cm ini harus menengadah jika ingin melihat wajah lelaki yang lebih tinggi 30 cm dariku tersebut. "Aku berkata begitu untuk menunjukkan kalau aku memang benar-benar serius. Aku tidak ingin kamu menganggapku berbohong.?" Senyumnya kembali terukir. "Dan, aku akan benar-benar akan menenui orang tuamu disaat kau sudah merasa siap." Ucapnya lagi."Apa yang ingin harapkan dari aku, Pak? Sekali lagi aku katakan, aku ini janda. Status yang kadang dipandang negatif di sebagian orang. Kurasa Anda perlu berpikir untuk beberapa bulan ke depan untuk memastikan kalau pikiran Anda tidak benar. Akan terlalu naif jika Bapak menaruh perasaan seperti itu pada seseorang seperti aku," ucapku. Aku mengatakan begitu karena aku merasa jika aku tidak sempurna untuk menemani hidupnya. Di usiaku yang ke 28 tahunan
RinaAku terdiam mendengar kata-kata yang baru saja kudengar. Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bastian. Sama sekali aku tidak pernah membayangkan ucapan seperti itu akan meluncur dari bibirnya. Karena memang tidak pernah terpikirkan olehku. Tidak. Dia pasti bercanda. Tapi candaan macam apa yang dia katakan? "Rin, bagaimana? Jangan bilang kalau kamu menganggapku main-main!" Aku kembali berdegup, baru saja Aku ingin bertanya, tapi jawaban telah mendarat di telinga mendahului pertanyaan yang akan aku utarakan."Pak, aku... Aku...," Tentu saja aku kebingungan dengan apa yang akan aku katakan.Menanggapi perkataannya sungguh sebuah masalah yang sulit untuk dipecahkan."Apa kamu akan menolakku?" Meskipun aku tidak sedang melihat ke arahnya. Tapi aku tahu tatapannya sedang menatapku lekat. Jujur saja aku takut untuk balik membalas tatapan netranya. Rasanya ini berat. "Rin, aku tahu kamu bingung, karena aku mengungkapkan hal seperti itu ini dalam keadaan mendadak b
"Assalamualaikum"Aku menenggak ludah ketika laki-laki itu benar-benar datang. Bastian, dia benar-benar laki-laki yang nekat. Semula aku akan menyangka dia hanya akan datang seorang diri. Ternyata tidak.Sebab di belakangnya turut serta pula kedua orang tuanya dan. Laki-laki ini benar-benar nekat menemui kedua orang tua dan keluargaku. Semula Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Ini benar-benar di luar dugaanku.Dengan sedikit canggung aku mempersilahkan mereka untuk masuk. Sebenarnya aku tak enak dengan keluarganya yang jelas-jelas adalah orang-orang berada. Sedangkan aku adalah seorang perempuan biasa yang kukira tak punya kelebihan yang mencolok. Terlebih dengan statusku, jadi sedikit membuatku malu. Syukurlah kedua orang tuaku cukup baik dalam meladeni pembicaraan mereka. Kedua orang tuaku sama sekali tidak terlihat sanggup, jadi aku tak perlu bicara terlalu banyak. Hanya sesekali saja ketika itu memang diperlukan. Hingga tibalah saatnya mereka berbicara ke topik utama.
FikaAku mengambil beberapa baju lalu memasukkannya ke dalam koper. Sengaja aku melakukan itu di depan Mas Ahmad. Semoga saja dengan melihatku begini dia benar-benar berpikir kalau aku memang akan pergi meninggalkannya, bukan hanya sekedar ancaman semata. Tapi melihatku melakukan semua ini dia malah diam saja sambil masih sibuk memainkan ponsel. Tidakkah terpikir olehnya untuk mencegahku pergi? Mengapa dia membiarkan saja? Padahal Aku mengharapkan dia memeluk dan menghiburku. Tapi apa yang kulihat sekarang sungguh tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Dia justru semakin cuek dan tak peduli.Bahkan ketika aku membawa koperku keluar, dia masih diam tanpa melakukan apa-apa. Seolah memang benar-benar membiarkanku keluar dari rumah ini begitu saja. Aku terus melangkah meninggalkan Mas Ahmad di kamar, terus melaju hingga pintu depan. Di pintu aku berhenti beberapa saat, tapi apa yang aku tunggu tidak kunjung tiba. Mas Ahmad ternyata tidak mengikutiku. Dia benar-benar membiarkanku per
Bab 48 (KBM 44)"Tega kamu, Mas!" Hardikku pada Mas Ahmad."Tega kenapa lagi sih?"Lihat dia! Berlagak seperti tak sadar saja terhadap apa yang udah dia lakuin."Pokoknya aku nggak mau lagi kamu berhubungan sama Rina, Mas! Istri kamu sekarang itu aku! Dia hanya mantan! Jadi seharusnya menghargai aku!" Sambil terisak aku terus memohon padanya. "Dari kemarin-kemarin kamu melarang aku untuk kontak sama Rina, memang masalah kamu apa?""Jelas-jelas aku sakit hati, Mas!" hardikku cepat."Sakit hati mulu yang kamu bicarain! Bisa nggak sedikit aja kamu kesampingkan sakit hati kamu! Oke aku sama Rina emang mantan! Tapi aku juga punya anak sama dia! Apa aku salah jika terus menjalin komunikasi sama anak-anak aku?" Sedikitpun dia tidak menunjukkan empati untukku. Bahkan dalam pandanganku dia tetap lebih condong kepada mantan istrinya tersebut. "Tapi kamu nggak bicara sama anak-anak kamu, Mas! Kamu bicara sama Rina! Nggak usah ngeles lagi kamu! Kamu kayak ngejar-ngejar dia terus! Aku nggak suka
Bab 47 (KBM 43)(Tolong Rin, balas pesan aku! Aku cuma merindukan anak-anak. Demi anak-anak, ayo kita perbaiki hubungan, atau aku akan ambil hak asuh anak-anak? Bagaimana?)Aku sedikit mengembangkan senyum. Saya rasa kalau menyebut masalah anak, Rina pasti tidak bisa berbuat banyak. Soalnya dari dulu Rina mempunyai kedekatan yang sangat akrab dengan amat anak. Dia pasti tidak ingin dipisahkan.Ting!Apa yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Pesan dari Rina.(Kamu mau ambil hak asuh anak? Kalau kamu mampu ambil saja! Apa kamu yakin bisa mengurusnya dengan baik? Kalau yakin ya udah, nanti aku anterin!)Whatt? Dia tak keberatan jika aku mengambil hak asuh anak-anaknya? Mengapa dia tidak merasa takut dengan ancamanku? Malah membalas dengan seenak jidat saja, seperti tidak terbebani dengan isi pesanku.Tapi nanti dulu, Aku akan mencoba untuk mengikuti alur permainannya. Sebab aku yakin ini hanya sikap kepura-puraannya saja. Aku tak yakin dia semudah itu memberi hak asuh anak-anak pada