[Ahmad! Tadi ibu ambil gamis tiga setel sama Bu Alfi. Ntar kamu bayarin ya. Ibu pinjem duit kamu dulu!]Pesan dari ibu ternyata. [Berapa, Bu?] Balasku.[Nggak mahal. Cuma sejuta dua ratus ribu] pesannya lagi.Sejutaan lebih? Ibu, ibu, ibu pikir anak ibu ini masih banyak uang apa?Aku meraba saku, mengambil dompet dan mengecek isinya. Tinggal 500 ribu ternyata. Dengan uang segitu, mustahil aku bisa membayar utang ibu yang bahkan sampai dua kali lipatnya.Sebelumnya aku memang tak pernah menolak apapun permintaan ibu maupun Fika. Sebab sebelumnya aku tak pernah memikirkan apapun selain dari ibu dan Fika saja.Aku tidak menyangka, ternyata uang gajiku yang dua juta itu sungguh sulit untuk memenuhi kebutuhan kami. Sebenarnya aku ingin menjelaskan kepada Fika berapa gajiku sebenarnya, tapi aku takut wanita itu tidak bisa menerima.Diam-diam aku jadi menyesal karena sejak dulu membohongi Fika dengan mengatakan jika aku mempunyai gaji yang besar.Sekarang aku tak punya apapun untuk menu
Fika"Mbak Rina, kamu nggak bisa sembarangan menjual rumah ini!" Aku mengecam tindakannya mentah-mentah."Alasannya?" Dia menatapku seperti tidak berdosa."Mbak harus konsultasi dulu sama Mas Ahmad dan juga sama aku tentunya! Barus bisa mengetahui gimana cara orang terhormat dalam mengambil keputusan.""Ya, orang yang terhormat bisa mengambil keputusan yang tepat dan setidaknya tidak mengakui milik orang lain sebagai miliknya sendiri." jawabnya.Aku dibuat semakin naik pitam olehnya."Aku akan bilang sama Mas Ahmad soal kelakuan Mbak Rina!" Tanpa menunggu lebih lama aku mengambil ponsel."Silakan hubungi Masmu itu sekarang! Bila perlu suruh dia pulang sekarang buat nemuin aku? Kita mau lihat gimana sih reaksi yang akan ditunjukin sama masmu!"Kurang ajar dengan berkata begitu dia nggak hanya merendahkan aku tapi dia juga merendahkan harga diri mas Ahmad selaku suamiku. Sudah berulang kali aku mencoba menghubungi Mas Ahmad, Tapi laki-laki itu tidak kunjung mengangkat. Kemana dia meman
AhmadDering hp sengaja aku diamkan. Aku malas meladeni Fika terus-menerus. Aku tahu jika akan menelponku dalam setiap menit. Ada-ada aja yang ingin ia bahas, mulai dari bertanya Aku baru saja jajan apa, habis dari mana aja,lagi ngerjain apa, udah makan atau belum, bal aku ini anak kecil saja. Pertanyaan receh seperti itu sepatunya tak perlu juga ditanyakan setiap saat. Kalau aku bilang pasti Fika ngeles kalau itu adalah salah satu bentuk dari kepedulian dia sama aku.Peduli sih peduli, tapi nggak gitu juga kali. Kalau udah kayak gitu Itu namanya ngerepotin. Bayangkan saja kita lagi fokus mengerjakan sesuatu eh ponsel berdering mulu. Kan konsentrasi jadi pada hilang. Rasanya sekarang aku lebih betah diam di kantor daripada diam di rumah. Di rumah perempuan itu terus-terusan ngambek tidak karuan. Minta dipeluk mulu, minta dicium mulu, minta dikelonin mulu. Huuuh, terkadang Aku geram dibuatnya.Padahal dia tidak tahu kalau aku lagi pusing mikirin buat bayar hutang bulanan. Eh dia mala
AhmadDering hp sengaja aku diamkan. Aku malas meladeni Fika terus-menerus. Aku tahu jika akan menelponku dalam setiap menit. Ada-ada aja yang ingin ia bahas, mulai dari bertanya Aku baru saja jajan apa, habis dari mana aja,lagi ngerjain apa, udah makan atau belum, bal aku ini anak kecil saja. Pertanyaan receh seperti itu sepatunya tak perlu juga ditanyakan setiap saat. Kalau aku bilang pasti Fika ngeles kalau itu adalah salah satu bentuk dari kepedulian dia sama aku.Peduli sih peduli, tapi nggak gitu juga kali. Kalau udah kayak gitu, itu namanya ngerepotin. Bayangkan saja kita lagi fokus mengerjakan sesuatu eh ponsel berdering mulu. Kan konsentrasi jadi pada hilang. Rasanya sekarang aku lebih betah diam di kantor daripada diam di rumah. Di rumah perempuan itu terus-terusan ngambek tidak karuan. Minta dipeluk mulu, minta dicium mulu, minta dikelonin mulu. Huuuh, terkadang Aku geram dibuatnya.Padahal dia tidak tahu kalau aku lagi pusing mikirin buat bayar hutang bulanan. Eh dia mala
"Pak Bastian, ini nggak kayak yang bapak dengar ini cuma salah paham sedikit," aku berusaha menjelaskan kepada pak bastian dengan siapa dia meyakini ucapan fika.Fika sih, kenapa pula tiba-tiba datang ketika saat-saat seperti ini? Benar-benar membuat suasana tak bersahabat saja. "Apanya yang salah paham Mas? Mas mau mengelak atau apa? Mulai berani bohong sekarang ya? Haa? Kamu nggak bisa ngerti perasaan aku Mas! Kamu nggak mikir!" Fika menunjuk mukaku."Pak, Pak Bastian, saya minta maaf atas semua yang terjadi. Tapi..,""Ahmad, ada baiknya baiknya Anda urus dulu ini perempuan yang mengaku sebagai istrimu! Kita kita juga nggak enak dilihat sama orang-orang. Kalau bapak sama istri bapak ini sedang ada masalah silakan diselesaikan terlebih dahulu,"Aku sungguh tidak enak mendengar kata-kata Pak Bastian. "Tapi, Pak. Rina ini istriku juga!" Sahutku cepat."Iya, yang ada di otakmu cuma Rina, Mas! Rina, Rina dan Rina!" Potong Fika."Lalu aku, mas anggap aku ini siapa Mas? Aku ini istri kam
Aku hampir tak percaya mendengarnya. Kalau Rina bekerja sebagai sekretarisnya Pak Bastian, sudah pasti mereka berdua akan bertemu setiap hari. Mendengar ini hatiku langsung berkata lain. Ada sesuatu yang tak beres di antara mereka berdua. "Rina kerja di sini sebagai sekretaris Bapak? Haha... Itu nggak bisa Pak Bastian! Rina ini cuma lulusan SMA biasa, nggak punya keahlian khusus. Jadi, kurasa sangat tidak layak bagi perusahaan untuk menerima pekerja yang berpendidikan rendah. Ini akan memperburuk citra perusahaan itu sendiri, Pak!"Serta merta Aku mengeluarkan pendapat. Sebenarnya aku tak masalah bila Rina bekerja di sini, karena dengan begitu Aku punya kesempatan setiap hari untuk menemuinya. Akan tetapi kalau dia bekerja sebagai sekretarisnya Pak Bastian, tentu saja aku tidak bisa terima. Ini bukan pertanda baik. "Aku harap bapak akan berpikir dua kali untuk keputusan yang baru saja bapak. Pekerjaan sekretaris membutuhkan keahlian khusus! Kalau Rina aku tak yakin bisa melakukan tu
FikaAku terkejut ketika mendengar suara seseorang dari arah luar.Aku kaget ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan sana."Siapa itu, Mas?" Aku lekas bertanya pada Mas Ahmad.Mas Ahmad membuka tirai jendela namun keningnya juga ikut berkerut."Kok kayaknya Mas juga nggak kenal,"Hingga akhirnya tiga orang keluar dari dalam mobil. Tatapan mataku terpaku pada seorang laki-laki paruh baya yang berjalan belakangan.Dia kan....Ceklek, tiba-tiba saja pintu rumah terbuka.Aku tentu saja kaget ketika mengetahui ternyata wanita tersebut membuka pintu rumah begitu saja tanpa izin terlebih dahulu."Oh.. Astaga... Maaf," Ibu paruh baya tersebut nampak terkejut ketika bertatapan muka denganku."Maaf, saya kira rumah ini sudah dikosongkan," ibu-ibu itu berkata."Mmmaksudnya!" Aku dan Mas Ahmad sama-sama."Kami sekeluarga akan pindah ke sini minggu depan. Rencananya hari ini kami akan membersihkan setiap ruangan sebelum ditinggali nanti," ucapnya.Aku tentu kaget dong. Begitu juga dengan m
FikaAku menjemur 2 keranjang pakaian sendirian. Aku harus cepat-cepat menyelesaikannya, sebab di kompor sana sepanci lauk harus segera di aduk agar tidak gosong. Aku memang harus cepat-cepat mengerjakan semua pekerjaan yang membosankan ini. Sebab aku juga ingin membersihkan diriku. Aku sudah tidak tahan rasanya. Tubuh ini terasa lengket dan kotor. Sudah seminggu yang lalu body washku sudah habis. Lulur andalan juga sudah lama tinggal kotaknya saja. Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi berlarut-larut. Tubuhku juga butuh nutrisi internal maupun eksternal. Aku berdecak kesal ketika mendapati kulit tangan dan kakiku kering bersisik akibat kekurangan nutrisi perawatan. Rambut juga terasa kusam, karena sejak hampir sebulan ini aku terpaksa harus memakai shampo biasa tanpa conditioner tambahan. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memakai shampo untuk kalangan rakyat jelata seperti ini. Tapi apa daya, isi kantong tidak lagi mendukung. Mas Ahmad mulai pelit dan ibunya juga cerewet Masya
Melihat nama yang tertera pada papan bunga tersebut, membuat duniaku seakan-akan runtuh. Ini seperti mimpi. Aku mencoba mencubit tanganku."Awww!" Ini sakit. Artinya aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata.Aku tidak pernah membayangkan jika Rina bersanding dengan pria lain. Jelas-jelas aku tidak bisa terima itu. Rina milikku, aku tidak rela melihatnya jatuh ke pelukan laki-laki lain. Lagi pula ini baru beberapa bulan saja, Rina! Kita baru saja berpisah. Tapi meskipun kami sudah berpisah, tahukah kamu kalau sesungguhnya dalam hatiku masih sangat mencintaimu Rina!Tapi aku belum bisa percaya. Aku akan memastikan terlebih dahulu, apakah yang sedang melangsingkan acara pernikahan ini benar-benar dia, atau ada Rina yang lain. Setidaknya aku harus mengecek kebenarannya dengan mata kepalaku sendiri terlebih dahulu.,Dengan serta merta aku berjalan menyusuri jalanan yang sudah disediakan. Aku pedulikan lagi arahan para petugas yang sedang berjaga. Aku berjalan menerobos dengan ce
"Assalamualaikum"Aku menenggak ludah ketika laki-laki itu benar-benar datang. Bastian, dia benar-benar laki-laki yang nekat. Semula aku akan menyangka dia hanya akan datang seorang diri. Ternyata tidak.Sebab di belakangnya turut serta pula kedua orang tuanya dan. Laki-laki ini benar-benar nekat menemui kedua orang tua dan keluargaku. Semula Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Ini benar-benar di luar dugaanku.Dengan sedikit canggung aku mempersilahkan mereka untuk masuk. Sebenarnya aku tak enak dengan keluarganya yang jelas-jelas adalah orang-orang berada. Sedangkan aku adalah seorang perempuan biasa yang kukira tak punya kelebihan yang mencolok. Terlebih dengan statusku, jadi sedikit membuatku malu. Syukurlah kedua orang tuaku cukup baik dalam meladeni pembicaraan mereka. Kedua orang tuaku sama sekali tidak terlihat sanggup, jadi aku tak perlu bicara terlalu banyak. Hanya sesekali saja ketika itu memang diperlukan. Hingga tibalah saatnya mereka berbicara ke topik utama.
Fika"Mas, mas tahu enggak, tuh si Rina ternyata udah asik-asikan main belakang sama pria lain. Makanya ya, Mas nggak usah terlalu mengingat-ngingetin wanita itu lagi!" Aku memberi laporan. Ya iyalah wajar aku marah, sebab aku ingat betul Mas Ahmad terus saja menyebut nama Rina akhir-akhir ini. Harusnya tuh perhatian Mas Ahmad bukan sama Rina tapi sama aku yang lagi hamil anaknya. Harusnya dia manja-manjain aku. Ini buru-buru manjain, menyentuh aku aja semingguan ini kagak. Jadi aku akan membuat perhitungan padanya. Aku akan memberitahu apa yang sudah kulihat tadi biar dia tahu bagaimana perilaku buruk mantan istrinya.Mendengar perkataanku taKekecewaanku sama Mas Ahmad semakin bertambah saja.di spontan Mas Ahmad menoleh."Apa? Rina jalan sama pria? Yang bener aja?" Dia menatapku tajam."Ya iyalah, masa aku bohong! Aku melihat pakai mata kepala aku sendiri! Makanya aku kasih tahu Mas, wanita itu bener-bener nggak punya harga diri, Mas! Lihat belum lama kok kalian bercerai, dia udah
"Mmaksudnya? Kamu mau datang ke orang tuaku? Buat apa, Pak?" Aku terkejut sekali.Bastian tersenyum. Uuuh, aku baru sadar ternyata semanis itu senyum yang ia miliki. Tubuhku yang hanya setinggi 150 cm ini harus menengadah jika ingin melihat wajah lelaki yang lebih tinggi 30 cm dariku tersebut. "Aku berkata begitu untuk menunjukkan kalau aku memang benar-benar serius. Aku tidak ingin kamu menganggapku berbohong.?" Senyumnya kembali terukir. "Dan, aku akan benar-benar akan menenui orang tuamu disaat kau sudah merasa siap." Ucapnya lagi."Apa yang ingin harapkan dari aku, Pak? Sekali lagi aku katakan, aku ini janda. Status yang kadang dipandang negatif di sebagian orang. Kurasa Anda perlu berpikir untuk beberapa bulan ke depan untuk memastikan kalau pikiran Anda tidak benar. Akan terlalu naif jika Bapak menaruh perasaan seperti itu pada seseorang seperti aku," ucapku. Aku mengatakan begitu karena aku merasa jika aku tidak sempurna untuk menemani hidupnya. Di usiaku yang ke 28 tahunan
RinaAku terdiam mendengar kata-kata yang baru saja kudengar. Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bastian. Sama sekali aku tidak pernah membayangkan ucapan seperti itu akan meluncur dari bibirnya. Karena memang tidak pernah terpikirkan olehku. Tidak. Dia pasti bercanda. Tapi candaan macam apa yang dia katakan? "Rin, bagaimana? Jangan bilang kalau kamu menganggapku main-main!" Aku kembali berdegup, baru saja Aku ingin bertanya, tapi jawaban telah mendarat di telinga mendahului pertanyaan yang akan aku utarakan."Pak, aku... Aku...," Tentu saja aku kebingungan dengan apa yang akan aku katakan.Menanggapi perkataannya sungguh sebuah masalah yang sulit untuk dipecahkan."Apa kamu akan menolakku?" Meskipun aku tidak sedang melihat ke arahnya. Tapi aku tahu tatapannya sedang menatapku lekat. Jujur saja aku takut untuk balik membalas tatapan netranya. Rasanya ini berat. "Rin, aku tahu kamu bingung, karena aku mengungkapkan hal seperti itu ini dalam keadaan mendadak b
"Assalamualaikum"Aku menenggak ludah ketika laki-laki itu benar-benar datang. Bastian, dia benar-benar laki-laki yang nekat. Semula aku akan menyangka dia hanya akan datang seorang diri. Ternyata tidak.Sebab di belakangnya turut serta pula kedua orang tuanya dan. Laki-laki ini benar-benar nekat menemui kedua orang tua dan keluargaku. Semula Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Ini benar-benar di luar dugaanku.Dengan sedikit canggung aku mempersilahkan mereka untuk masuk. Sebenarnya aku tak enak dengan keluarganya yang jelas-jelas adalah orang-orang berada. Sedangkan aku adalah seorang perempuan biasa yang kukira tak punya kelebihan yang mencolok. Terlebih dengan statusku, jadi sedikit membuatku malu. Syukurlah kedua orang tuaku cukup baik dalam meladeni pembicaraan mereka. Kedua orang tuaku sama sekali tidak terlihat sanggup, jadi aku tak perlu bicara terlalu banyak. Hanya sesekali saja ketika itu memang diperlukan. Hingga tibalah saatnya mereka berbicara ke topik utama.
FikaAku mengambil beberapa baju lalu memasukkannya ke dalam koper. Sengaja aku melakukan itu di depan Mas Ahmad. Semoga saja dengan melihatku begini dia benar-benar berpikir kalau aku memang akan pergi meninggalkannya, bukan hanya sekedar ancaman semata. Tapi melihatku melakukan semua ini dia malah diam saja sambil masih sibuk memainkan ponsel. Tidakkah terpikir olehnya untuk mencegahku pergi? Mengapa dia membiarkan saja? Padahal Aku mengharapkan dia memeluk dan menghiburku. Tapi apa yang kulihat sekarang sungguh tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Dia justru semakin cuek dan tak peduli.Bahkan ketika aku membawa koperku keluar, dia masih diam tanpa melakukan apa-apa. Seolah memang benar-benar membiarkanku keluar dari rumah ini begitu saja. Aku terus melangkah meninggalkan Mas Ahmad di kamar, terus melaju hingga pintu depan. Di pintu aku berhenti beberapa saat, tapi apa yang aku tunggu tidak kunjung tiba. Mas Ahmad ternyata tidak mengikutiku. Dia benar-benar membiarkanku per
Bab 48 (KBM 44)"Tega kamu, Mas!" Hardikku pada Mas Ahmad."Tega kenapa lagi sih?"Lihat dia! Berlagak seperti tak sadar saja terhadap apa yang udah dia lakuin."Pokoknya aku nggak mau lagi kamu berhubungan sama Rina, Mas! Istri kamu sekarang itu aku! Dia hanya mantan! Jadi seharusnya menghargai aku!" Sambil terisak aku terus memohon padanya. "Dari kemarin-kemarin kamu melarang aku untuk kontak sama Rina, memang masalah kamu apa?""Jelas-jelas aku sakit hati, Mas!" hardikku cepat."Sakit hati mulu yang kamu bicarain! Bisa nggak sedikit aja kamu kesampingkan sakit hati kamu! Oke aku sama Rina emang mantan! Tapi aku juga punya anak sama dia! Apa aku salah jika terus menjalin komunikasi sama anak-anak aku?" Sedikitpun dia tidak menunjukkan empati untukku. Bahkan dalam pandanganku dia tetap lebih condong kepada mantan istrinya tersebut. "Tapi kamu nggak bicara sama anak-anak kamu, Mas! Kamu bicara sama Rina! Nggak usah ngeles lagi kamu! Kamu kayak ngejar-ngejar dia terus! Aku nggak suka
Bab 47 (KBM 43)(Tolong Rin, balas pesan aku! Aku cuma merindukan anak-anak. Demi anak-anak, ayo kita perbaiki hubungan, atau aku akan ambil hak asuh anak-anak? Bagaimana?)Aku sedikit mengembangkan senyum. Saya rasa kalau menyebut masalah anak, Rina pasti tidak bisa berbuat banyak. Soalnya dari dulu Rina mempunyai kedekatan yang sangat akrab dengan amat anak. Dia pasti tidak ingin dipisahkan.Ting!Apa yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Pesan dari Rina.(Kamu mau ambil hak asuh anak? Kalau kamu mampu ambil saja! Apa kamu yakin bisa mengurusnya dengan baik? Kalau yakin ya udah, nanti aku anterin!)Whatt? Dia tak keberatan jika aku mengambil hak asuh anak-anaknya? Mengapa dia tidak merasa takut dengan ancamanku? Malah membalas dengan seenak jidat saja, seperti tidak terbebani dengan isi pesanku.Tapi nanti dulu, Aku akan mencoba untuk mengikuti alur permainannya. Sebab aku yakin ini hanya sikap kepura-puraannya saja. Aku tak yakin dia semudah itu memberi hak asuh anak-anak pada