Bu Sri yang tengah duduk di teras langsung berdiri, melihat kedatangan menantu dan anaknya. Tak sabar rasanya ingin mendengar kabar baik dari mereka. Bu Sri memandang Sari dan Heru dengan tatapan bahagia. Bila ia ingat kejahatan yang dilakukannya pada Sari, membuat ia menyesal. Kemana pikirannya dulu, begitu jahat memperlakukan Sari. Sekarang ia berjanji akan memberikan perhatian dan kasih sayang tulus untuk Sari. Sari layak bahagia. Apa lagi nanti setelah cucunya lahir. Betapa bahagia hati bu Sri, tak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. “Kalian sudah pulang? Apa kata Dokter?” tanya bu Sri penasaran. “Benar tidak dugaan mama?” lanjut bu Sri mendekat ke Sari, karena ia sudah tak sabar mendengar penjelasan dari menantu dan anaknya. “Ma! aku hamil!” Jawab Sari spontan lalu segera menghambur kepelukan bu Sri. “Benarkah...!” uc
Spontan Sari berlari keluar kamar, sambil menangis sesengukan. Kata cerai yang baru diucapkan suaminya melukai hatinya. Ia tidak menyangka, pengorbanannya selama ini tiada artinya. Apa lagi perceraian itu, akibat dari salah paham saja. Ia berlari ke kamar bu Sri mengadukan nasibnya. “Ma ...!” teriak Sari seraya menggedor-gedor pintu kamar bu Sri. Tangannya gemetar menghapus air mata yang terjun bebas dari pipinya. Tak lama pintu segera terbuka, dari balik pintu muncul bu Sri dengan raut muka kaget melihat Sari menangis sesengukan. “Heey Sari... Ada apa? Kenapa menangis?” “Bang Heru menceraikan aku Ma,” jawab Sari spontan dan singkat. Sementara air mata tak kunjung berhenti mengalir. Bu Sri terbelalak kaget. “A
Bantu subscribe, rate, like, favorite, komen dan bintang 5 ya. Terima kasih atas kemurahan hatinya. Selamat membaca🌷🌷🌷 Sari segera bangun dari tempat tidur, kemudian melangkah sempoyongan keluar kamar menuju kamarnya sendiri. Eh... ! Maksudnya mantan kamarnya bersama Heru. Tanpa menggubris pertanyaan Heru. Sakit hatinya masih terasa, tiada obat yang bisa menyembuhkan lukanya. “Heyy... Bunda mau kemana?” tanya Heru gusar melihat Sari yang pergi begitu saja, tanpa menjawab pertanyaannya, dengan langkah sempoyongan, bahkan hampir saja jatuh ke lantai. Untung Heru sigap, ia segera mengulurkan tangannya bermaksud menolong Sari. Tapi sayang, Sari menampik tangan Heru dan terus melangkah pergi. Tangan Heru melayang di udara. Heru sangat terpukul menghadapi kenyataan, bahwa Sari
Sari segera menyeret kopernya perlahan-lahan. Ia tinggalkan motornya dan mobil pemberian Maya untuk mantan suaminya. Percuma ia bawa, mengendarai mobil itu saja ia tak bisa. Bagaimana Heru memenuhi kebutuhan keluarganya, jika mobil pemberian Maya ia bawa paksa. Sekarang hidup dan matinya ia pasrahkan pada Allah pemilik alam semesta. Kemana langkah ini akan membawanya, ia pasrah saja atas kehendak yang maha kuasa. Tak lama berselang Sari sampai di sebuah halte. Ia berteduh dan berhenti untuk istirahat. Sari memandang kendaraan yang hilir mudik berseliweran sepanjang jalan Akasia daerah Jakarta. Setelah puas memandang nun jauh ke sana, ia pun berpikir akan tinggal di mana. Harusnya tadi motor ia bawa, agar langkahnya tidak terhambat. Setelah memikirkan mateng-mateng, Sari berniat untuk mengambil motornya kembali sebelum pergi. Tanpa motor, bagaimana ia m
Bantu subscribe ya “Saya ayah dari bayi itu!” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengaku sebagai ayah dari bayi yang dikandung Sari. Seorang pria gagah yang sangat berwibawa. Pria itu mendekati kerumunan, lalu berdiri di tengah-tengah keramaian dengan gagah berani tanpa takut akan diamuk massa. Seluruh warga yang berada di tempat kejadian, menoleh ke asal suara. Kasak kusuk terjadi seketika, semua warga memandang dokter Wisnu penuh tanya. Kaum emak-emak terpesona dengan kegantengan dokter Wisnu. Bu Ramlan menyikut tangan bu Santi dan berbisik ke telinga perempuan pemilik warung tempat Sari menitipkan dagangan. “Ganteng pisan tu cowok, mau tak jadiin mantu,” ucap bu Ramlan tersenyum manis. “Untuk si Mila...! Ketuaan dah tu l
"Begitulah ceritanya Mas Wisnu, Bang Heru menceraikan aku karena menyangka anak yang tengah ku kandung ini anaknya Mas Wisnu." Dokter Wisnu yang mendengar penjelasan ku, jelas kaget dan tidak menyangka aku mendapat tuduhan sekeji itu. "Heru itu benar-benar lelaki yang tidak punya hati dan perasaan. Tega sekali dia menuduhmu sekejam itu. Apakah ia tidak berfikir, betapa hancurnya hati seorang istri, bila anak yang dikandungnya dengan susah payah, bahkan sampai taruhan nyawa, tidak diakui keberadaannya. Sungguh terlalu." Setelah mengucapkan perkataan itu, Dokter Wisnu menggeleng-geleng heran. "Astagfirullahal adziim, tega benar suamimu itu,” sambung dokter Wisnu melanjutkan. “Mantan suami,” ralat Sari cepat. “Eh... iya! mantan suami
Sari makin merah padam rupanya. Tak terima semua penghinaan dan tuduhan yang dilontarkan Heru. Dokter Wisnu mengusap tangan Sari lembut, “Jangan masukin ke hati, ingat bayimu. Jangan sampai stres.” “Sakit hatiku Mas, aku gak mau lagi melihat mukanya,” ujar Sari geram. Sari menundukkan kepala, bertumpu pada tangannya. Perih terasa bagaikan luka ditetesin air jeruk nipis. Itulah yang Sari rasakan atas penghinaan Heru padanya. “Anda salah paham, pak Heru. Semua yang anda lihat hari ini tak semuanya tampak benar seperti yang anda bayangkan. Cobalah berfikir realistis. Hanya gara-gara kedekatan kami, anda meragukan anak sendiri. Sungguh miris, nanti setelah anak ini lahir, takkan ku izin anda menemuinya. Bila perlu anak itu hanya memanggil aku sebagai papanya. “Kalian masih mengingkari, kenapa kalian tidak mau mengakui hubungan kalian. Cek .
"Oh iya Sari, kapan kamu terakhir periksa kandungan?" tanya Wisnu menatap penuh cinta pada Sari. Perempuan yang kian hari semakin membuatnya betah berada di Apatemen. Bila boleh memilih, ia ingin berlama-lama berada di sisi Sari, istrinya itu. "Hhhhmmm... kayaknya tidak pernah Mas," ucap Sari cuek bebek, meneruskan kegiatannya melipat pakaian yang baru saja diangkatnya. “Apa...? Kamu tidak pernah periksa kandungan? Kok bisa,” tanya Dokter Wisnu tak percaya. Selama ini belum pernah ia dengar perempuan hamil secuek ini. Rata-rata ibu hamil itu periksa kandungan satu kali dalam satu bulan. Apa lagi kayak Sari, setelah menunggu 8 tahun, kenapa ia tidak cek ke dokter. Apa masalahnya. Apakah ia tidak bahagia dengan kehadiran jabang bayinya. Berbagai dugaan bermain dipikiran dokter Wisnu. “Kenapa...?" Tanya dokter Wisnu penasaran.
Dua jam kemudian keluarga Wisnu berpamitan pulang. Pak Santoso dan istrinya sedih karena harus berpisah lagi dengan cucu-cucu kesayangannya. Padahal belum lama mereka bercengkerama, sekarang cucunya harus pulang. Andai mereka mau tinggal di sini betapa bahagianya pasangan kakek nenek itu.“Kalian kenapa sih buru-buru amat perginya. Padahal mama masih kangen kumpul dengan kalian, apalagi sama cucu kesayangan nenek yang ganteng dan cantik ini.” Keluh sang mama sedih dan kecewa seraya merangkul dan memeluk sang cucu. Seakan enggan untuk berpisah. "Kalian nginap aja malam ini di sini, besok pagi kakek yang antar pulang ke rumah kalian," sambung sang nenek berusaha membujuk sang cucu. "Iya-kan besok pagi bisa antar mereka?Belum juga mendapat jawaban dari sang suami, pertanyaan itu terputus oleh permintaan maaf Sari. “Maaf Ma, kami meninggalkan seseorang di rumah, tadi dia tidak mau ikut. Sementara Fando gelisah terus pingin cepat pulang.”Ya, selama berada di rumah neneknya, perasaan Fand
Bismillahirrahmanirrahim.“Fando, akhirnya kamu pulang juga, Nak. Kemana aja sih! lama banget pulangnya,” ceracau Sari kesal sekaligus tampak senang.Perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda itu, langsung memburu anaknya dan memeluknya erat. Fando yang mendapat serangan mendadak jadi terperanjat kaget. Tidak biasanya sang mama bertindak berlebihan seperti hari ini. Bukan kali ini saja dia pulang terlambat. Dulu ia juga pernah pulang terlambat, karena keasyikan main bola, respon mamanya biasanya. Fando menepuk jidatnya saat menyadari sesuatu. Situasi dulu dan sekarang berbeda. Kalau dulu dia pulang terlambat karena sang mama tahu dia sedang berada di mana dan sedang melakukan apa. Kali ini tidak, apalagi pagi tadi mamanya sudah mengingatkan untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Salahnya juga sih tadi! tidak memberitahukan kepergiannya. Bisa kirim pesan atau telpon.Ibu mana yang tidak senang, melihat anak yang ditunggu-tunggu, pulang dalam keadaan baik-
Bismillahirrahmanirrahim.“Saya teman dari gadis pemilik rumah ini. Terus Bapak sendiri,kenapa mau mendobrak pintu? Mau ngerampok ya,” tuding Fando datar, tiadagentar.Sebenarnya Fando cemas dan takut kedua pria itu melukainya. Apalagimelihat tubuh dua pria di depannya itu bertubuh besar dan dipenuhi tato. Tapisetelah ia melapor polisi, ia merasa lebih tenang. Berharap, di saat yang tepatpolisi datang menolongnya.Shanum yang berada dibalik pintu, kaget mendengar suara seorangpria yang mengaku sebagai temannya. Tak ayal, Shanum mengintip dari lubangkunci. Hanya itu tempat yang bisa mengetahui siapa orang yang mengaku sebagaitemannya. Tidak ada jendela di sisi pintu. Mengintip dari tempat lain pun tidakbisa karena pintu ini lebih condong menjorok ke dalam.Setelah mengintip, Shanum tidak bisa melihat jelas, pandangannyahanya mengarah ke bagian dada. Pria itu memakai seragam putih.Siapa pemuda berpakaian seragam sekolah itu, desis Shanum dalamhati.“Jangan asal bicara kamu ya, menuduh
Sementara di tempat lain. Tepatnya di ruang kerja Wisnu, Sarisedang menunggu suaminya yang sedang memeriksa pasien.Tak lama menunggu, terdengar suara pintu dibuka. Sari segera menoleh ke arah pintu. Benar saja, suaminya muncul seraya tersenyum senang.“Tumben Mama datang ke sini, pasti ada sesuatu yang mau dibicarakan.”“Iya Pa, ini masalah sangat penting.” Sahut Sari membetulkan posisi duduknya.“Masalah apa lagi, apa ada kaitan dengan Fando atau Luna?”“Bukan? Tapi masalah lain.”Wisnu mengenyit bingung, menunggu istrinya bercerita.Tanpa menunda lagi Sari mulai menceritakan info yang baru iadapatkan kemaren malam. Sebenarnya malam itu ia ingin langsung cerita pada Wisnu, tapi karena suaminya baru pulang tengah malam, urung ia cerita.Makanya pagi ini ia datang ke rumah sakit. Tidak ingin menunda lagi, secepatnya ia harus tahu kebenaran tentang gadis yang bernama Shanum itu.
Fando tidak akan bertingkah seperti cewek yang keganjenan padaumumnya, karena ia tahu bagaimana rasanya ditolak.Baginya memperhatikan Shanum diam-diam, adalah cara terbaik yang ia punya. Bak sebuah magnet, ia akan buat Shanum meliriknya. Tidak akan sulit baginya, menarik perhatian Shanum. Bukan dengan cara seperti gaya cewek menarik perhatiannya pada umumnya. Justru dengan sikap dingin Shanum itu membuatnya terpacu untuk menaklukkan hati gadis berwajah datar itu.Tak lama kemudian Fando sampai di kelasnya. Setelah meletakkan tas, Fando mendekati Kamil dan Aksan sahabat karibnya di bangku belakang. Sementara ia sendiri lebih seneng duduk dibarisan depan. Tidak ada yang menghalangi pandangan, alasan yang selalu ia berikan jika kedua temannya meminta penjelasan, kenapa ia tidak mau duduk di belakang.“Heh Fan, tumben kamu datang pagi, aneh tidak biasanya.” Tanya Kamil mulai mencium gelagat yang tidak baik.Bukan tidak ada alasan Fando data
Jam istirahat baru saja berdentang. Siswa siswi SMA Harapan Bangsa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali Fando. “Yuk Aksan, Fando, kita ke kantin.” Ajak Kamil antusias seraya mengelus pelan perutnya. “Kalian duluan aja, nanti aku nyusul.” Sahut Fando tetap diam bergeming dibangkunya. “Ok, tak tunggu di sana, tempat biasa.” Sahut Aksan dan Kamil berbarengan seraya meninggalkan kelas dengan riang dan gembira. Fando pun menyusul tak lama kemudian. Sebelum keluar kelas, Fando masih sempat melirik bangku Shanum. Shanum tengah mengeluarkan bekal dari tasnya. Cewek itu asyik sendiri, tidak perduli dengan orang di sekit
“Sekarang Fania pasti sudah besar ya Pa. Kapan ya kita bisa bertemu dengannya. Mama merindukan dia Pa."Papa mengerti, jangan putus berdoa, keajaiban itu pasti ada. Semoga suatu hari nanti kita menemukan Fania.”“Aamiin.”“Oh Mama dan Papa ada di kamar, dicariin dari tadi.” Tiba-tiba Fando muncul dengan tas masih berada di punggungnya.“Kamu baru pulang Nak, kok sore sekali. Ini udah menjelang magrib lho.” Tanya sang Mama khawatir.“Maaf Ma, Pa, tadi ada latihan, besokkan mau tanding sama sekolah lain. Jadi harus persiapkan dengan serius.”“Besok mau tanding? Terus sekarang latihan tanpa istirahat juga tidak bisa dibenarkan Fan, kalian bisa kecape’an. Latihan harus dilakukan jauh-jauh hari.”
Bismillahirrahmanirrahim.Satu jam kemudian, terdengar sirene mobil ambulance memasuki halaman rumah keluarga Bang Heru. Sepertinya jenazah pria korban kebakaran itu sudah sampai.Kami segera menyusul keluar. Tampak beberapa pria berpakaian putih membuka pintu mobil ambulance, lalu mengeluarkan peti jenazah. Mayat Bang Heru sudah tidak bisa dikenali lagi. Tubuhnya hangus terbakar, kata salah seorang yang mewakili pihak rumah sakit dan juga pihak kepolisian.Tidak ada yang bisa menduga, kecelakaan tragis itu menelan korban yang tidak sedikit. Termasuk Bang Heru. Semua korban hangus terbakar.Peti jenazah telah diletakkan di tengah rumah. Mama dan Dela tampak histeris dan terpukul menerima kenyataan itu. Kehilangan salah satu anggota keluarga, tentu saja membuat mereka berduka. Apa lagi Bang Heru sebagai tulang
Sari mulai menaburkan bawang merah dan bawang putih ke wajan dan mulai mengaduknya. Keringat dingin mulai bercucuran, rasa mual kembali menyerang, tapi lebih kuat dari tadi. Hoek... Hoek.. Tiba-tiba Sari berasa hendak muntah. Langsung saja Sari berlari ke kamar mandi, dan tak lama kemudian, ia memuntahkan cairan bening. Bau gosong mulai tercium oleh Wisnu, segera saja Wisnu menyusul Sari ke dapur. Tak lupa mengendong Fando di sebelah tangan kiri. Sesampainya di dapur, Wisnu tidak melihat keberadaan Sari. Ia segera mematikan kompor dan menyusul Sari yang tak berhenti muntah di kamar mandi. “Ma, kamu kenapa? Kok muntah-muntah. Mukamu pucat sekali.” Ucap Wisnu cemas. Tangan kanannya mengusap-ngusap punggung Sari dengan lembut. Hoek... Hoek... “Kayaknya masuk angin Pa, aneh sekali, tidak biasanya mama muntah karena mencium aroma bawang putih, apa lagi yang sedang di goreng.” Keluhnya lesu dengan sisa kepenatan mengeluarkan cairan b