Tania mengerjap berkali-kali, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah ruangan yang tampak temaram juga berdebu. Ada banyak barang-barang rusak yang dipenuhi jaring laba-laba memenuhi setiap pojok. Tania mengingat-ingat kejadian sesaat sebelum dia tak sadarkan diri.
Saat Tania hendak menjauh dari pria tua bercambang putih itu, seketika dia berucap dan memanggil nama Tania dengan nama panggilan. Yang di mana panggilan tersebut hanya di berikan Fadli padanya.Seketika mata Tania membelalak lebar ketika mengingat pria tua bercambang putih itu membuka cambang dan rambut putihnya. Tania hendak kabur, tetapi dia dihadang oleh Pak Jarot. Lantas, sebuah kain yang sudah ditaburkan obat bius, membekap mulut Tania dari belakang."Di mana aku?" Tatapan mendelik Tania layangkan ke sekeliling. Dia hendak bangkit, tetapi baru tersadar jika tangannya terikat oleh pegangan kursi kayu, begitu pun juga dengan kakinya yang terikat. Tania terjebak."Tolong!" JeSebelum moncong senjata api itu di arahkan padanya, Joshi segera menggenggam debu di lantai dan melemparkannya pada Pak Jarot. Alhasil pria tua itu mengerang kesakitan kala debu masuk di matanya. Dia mundur beberapa langkah dan asal menembak di depan. Joshi menghindar dan menjegal kaki pria tua itu, membuat dia tumbang dengan siku sebagai daratan. Lagi-lagi dia mengerang tatkala tulang sikunya menghantam lantai. Patah seketika. "Tidak berguna!" Fadli emosi melihat Pak Jarot yang meringis kesakitan. Dia beralih menatap pistol yang ada di tangan pria tua tersebut. Joshi yang menyadari tatapan Fadli, memilih menendang pistol itu menjauh, karena untuk mengambilnya pakai tangan pasti akan lebih dulu Fadli yang menjangkaunya. Sekarang, pistol itu terlempar ke pojok yang gelap. "Kurang ajar!" Fadli menghampiri Joshi, bersiap untuk menghajarnya. Joshi bangkit dan mundur beberapa langkah, dia melemas-lemaskan badan yang teramat sakit akibat t
Sirine ambulans memecah keheningan malam, dua brankar diturunkan untuk mengangkat sepasang sejoli itu. Tangan Tania berusaha untuk tetap bertaut pada tangan Joshi yang diangkat terlebih dahulu masuk ke dalam ambulans. "Kamu pasti akan selamat, Polisi Joshi," lirih Tania. "Kamu yang sabar, ya. Joshi pasti selamat," sahut seorang pria dengan kemeja biru langit. Di tengah kekalutan Tania setelah Joshi hilang kesadaran tadi, dia merogoh saku suaminya itu. Segera mencari kontak yang bisa dimintai tolong. Kontak Bagaskara yang menjadi tujuannya untuk meminta tolong atas keadaan yang sedang memimpa mereka. "Terima kasih, Pak Bagas." Setelah mengucapkan hal itu, perlahan-lahan pandangan Tania mulai menggelap. "Apa pun, Tania."Sepasang sejoli itu segera dilarikan ke rumah sakit. Begitu pun juga dengan Pak Jarot, pria tua itu butuh perawatan, tentunya dengan diawasi para polisi. Sementara mayat Fadli segera diurusi kepolisian. Pria i
Tania langsung mengayunkan kaki cepat dengan perasaan kalut. Meninggalkan Joshi di ruangannya dengan berbagai tanda tanya, tentang apa yang terjadi pada mertuanya itu. Apakah ...? Sesampainya di ambang ruang rawat inap ibunya, Tania mematung di tempat. Matanya sontak berkaca-kaca seiring debaran yang perlahan melambat. Dia sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. "Ma-Mamah ...." Air mata Tania luruh seketika."Ibu Anda sud---""Mamah!" Tania langsung menghambur di pelukan malaikat tak bersayapnya itu, menumpahkan segala kerinduan selama ini. Memberi kecupan di pipi berkali-kali. "Ibu Anda sudah siuman. Selamat, yah." Sang perawat melanjutkan kalimatnya seraya menitikan air mata. Merasa terbawa perasaan dengan kasih cinta Tania pada ibunya. Bu Rania--ibunya sendiri ikutan tersenyum tipis dengan lelehan air mata, melihat putrinya yang menangis tersedu-sedu di pelukannya. Dia hanya bisa mengusap pucuk kepala Tania dengan
Tania tiba-tiba merasakan punggungnya terhimpit oleh sesuatu, lantas sebuah lengan kekar melingkar di atasnya. Jantung wanita itu pun makin berdebar kencang, berlarian seperti sedang lomba lari. Tania berusaha tidak menghiraukan perilaku Joshi, dia memilih menutup mata dan berusaha tidur. "Dingin." Ucapan Joshi membuat Tania membuka mata. Dia berbalik menghadap suaminya. Joshi menatap Tania lekat, memerhatikan wajah natural istrinya yang tanpa sepoles make-up pun. Mata bulat bening Tania menjadi titik fokus petugas kepolisian itu. "Cantik," komentarnya. "Kamu belum tidur?" Tania bertanya seraya bangun. Melihat suaminya tidak membungkus tubuhnya pakai selimut. Pantas saja dingin. Joshi tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia hanya menatap Tania yang sedang menarik selimut untuk membungkus tubuhnya sampai ke batas pinggang. "Masih dingin." Ucapan Joshi membuat Tania menarik lagi selimut itu hingga ke batas dada. "Masih dingin juga." Tania kembali menarik selimut hingga ke batas le
Kebakaran terjadi di kantor polisi yang di mana tempat ibunya Alina ditahan. Masih belum diketahui apa penyebab kebakaran tersebut. Dugaan sementara ialah, kemungkinan diakibatkan oleh puntung rokok yang dibuang sembarangan tanpa mematikan baranya terlebih dahulu. Di kegelapan malam, para polisi berlalu lalang dengan cepat, menelepon ambulans dan pemadam kebakaran untuk segera datang. Kantor kepolisian dipenuhi asap yang membumbung tinggi. Si raja merah melahap apa saja yang dia dapat. Para tahanan segera dimasukan ke mobil, hendak dipindahkan ke kantor polisi lain. Sayang, panasnya keadaan membuat polisi sedikit lengah. Hal itu langsung dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Bu Sarti. Ketika polisi sedang membawanya ke mobil, melihat polisi itu mengucek matanya akibat paparan asap, Bu Sarti langsung menggigit lengan si polisi dan langsung kabur dari tempat tersebut. "Berhenti!" teriak si polisi seraya mengejar Bu Sarti.Wanita itu tidak mende
Tania melirik Joshi sekilas. Petugas kepolisian itu melihat jelas pipi sang istri kemerah-merahan. Membuat dia mengulum senyum. Lelahnya seharian bekerja seketika hilang melihat senyum manis yang melelehkan jiwa itu. Joshi menyandarkan punggungnya ke dinding seraya melihat Tania menuju ke meja makan. "Kamu mau makan? Aku panaskan dulu makanannya, yah?"Joshi hanya mengedikan kedua alisnya sambil melipat tangan di dada. Matanya fokus mengejar Tania yang sedang sibuk menyiapkan piring, makanan, juga minuman untuk dirinya. Sesekali Tania menyibak rambut panjang bergelombangnya ke belakang, lalu melemparkan senyum manis pada Joshi. "Emm, Mamah mana?" Joshi memecah keheningan. "Sudah tidur dari tadi. Ini sudah larut malam." Tania menjawab sambil meletakan ayam goreng di meja makan. "Kamu beberapa hari ini sibuk sekali di kantor sampai lupa pulang. Apa ada masalah serius?" Mata bulat indah itu menatap Joshi lekat. Joshi tersenyum tipis, lalu mengayunkan kaki mendekat ke Tania, tanpa mel
Setelah memutuskan panggilan dengan Irul, Joshi langsung menyelesaikan makan malamnya. Lantas, bersiap-siap untuk ke lokasi yang diberitahukan sang bawahan di mana tempat ditemukannya Bu Sarti. "Apa benar, Bu Sarti telah meninggal dunia?" Mata Tania berkaca-kaca mengantar Joshi sampai ke depan pintu. "Saya pastikan dulu mayat tersebut." Joshi mengecup kening Tania. Wanita itu langsung menahan dengan mencekal jaket kulit Joshi. Menahannya agar tidak pergi. "Aku takut," lirih Tania sambil memeluk suaminya. Pikiran Tania melayang dengan semua perilaku Bu Sarti kemarin, di mana Bu Sarti menjadikan mayat putrinya sendiri untuk bahan balas dendam. Membangkitkan, lalu mengisi kebencian pada arwah Alina untuk meneror dirinya. Masih jelas di pikiran Tania di mana dia harus melewati hari-hari berat dengan adanya teror menyeramkan yang selalu mengincar nyawanya. Hal tersebut membuat dia terpikir, bagaimana jika Bu Sarti meninggal, lalu arwahnya gentayang
Joshi pikir setelah selesai dengan pemakaman Bu Sarti, dia bisa pulang ke rumah. Beristirahat dan memeluk istrinya dengan nyaman. Namun sayang, tiba-tiba saja ada panggilan dari kepolisian untuk meringkus beberapa pengedar narkoba yang sedang berpesta dengan barang haram tersebut di sebuah hotel. Tanpa pikir panjang, Joshi dan Irul segera meluncur ke hotel yang dilaporkan terdapat pesta narkoba tersebut. Sementara polisi lainnya akan ikut menyusul, katanya. "Apa kita akan menyamar seperti sebelumnya juga, Pak?" Irul bertanya seraya fokus mengendarai. Sudah seringkali pemuda itu mengikuti Joshi saat beroperasi. Setiap kali meringkus para penjahat, maka mereka akan menyamar, berbaur dengan orang biasa. Kadang menjadi OB, pengunjung, atau bahkan berandalan. "Apa penampilan kita belum cukup menyamarkan identitas asli kita?" Joshi menyahut lesu. Baik baju, rambut, ataupun wajah polisi itu, semuanya sama. Kusut. Irul terkekeh. "Pak Joshi kenapa tida