Sirine ambulans memecah keheningan malam, dua brankar diturunkan untuk mengangkat sepasang sejoli itu. Tangan Tania berusaha untuk tetap bertaut pada tangan Joshi yang diangkat terlebih dahulu masuk ke dalam ambulans.
"Kamu pasti akan selamat, Polisi Joshi," lirih Tania."Kamu yang sabar, ya. Joshi pasti selamat," sahut seorang pria dengan kemeja biru langit.Di tengah kekalutan Tania setelah Joshi hilang kesadaran tadi, dia merogoh saku suaminya itu. Segera mencari kontak yang bisa dimintai tolong. Kontak Bagaskara yang menjadi tujuannya untuk meminta tolong atas keadaan yang sedang memimpa mereka."Terima kasih, Pak Bagas." Setelah mengucapkan hal itu, perlahan-lahan pandangan Tania mulai menggelap."Apa pun, Tania."Sepasang sejoli itu segera dilarikan ke rumah sakit. Begitu pun juga dengan Pak Jarot, pria tua itu butuh perawatan, tentunya dengan diawasi para polisi. Sementara mayat Fadli segera diurusi kepolisian. Pria iTania langsung mengayunkan kaki cepat dengan perasaan kalut. Meninggalkan Joshi di ruangannya dengan berbagai tanda tanya, tentang apa yang terjadi pada mertuanya itu. Apakah ...? Sesampainya di ambang ruang rawat inap ibunya, Tania mematung di tempat. Matanya sontak berkaca-kaca seiring debaran yang perlahan melambat. Dia sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. "Ma-Mamah ...." Air mata Tania luruh seketika."Ibu Anda sud---""Mamah!" Tania langsung menghambur di pelukan malaikat tak bersayapnya itu, menumpahkan segala kerinduan selama ini. Memberi kecupan di pipi berkali-kali. "Ibu Anda sudah siuman. Selamat, yah." Sang perawat melanjutkan kalimatnya seraya menitikan air mata. Merasa terbawa perasaan dengan kasih cinta Tania pada ibunya. Bu Rania--ibunya sendiri ikutan tersenyum tipis dengan lelehan air mata, melihat putrinya yang menangis tersedu-sedu di pelukannya. Dia hanya bisa mengusap pucuk kepala Tania dengan
Tania tiba-tiba merasakan punggungnya terhimpit oleh sesuatu, lantas sebuah lengan kekar melingkar di atasnya. Jantung wanita itu pun makin berdebar kencang, berlarian seperti sedang lomba lari. Tania berusaha tidak menghiraukan perilaku Joshi, dia memilih menutup mata dan berusaha tidur. "Dingin." Ucapan Joshi membuat Tania membuka mata. Dia berbalik menghadap suaminya. Joshi menatap Tania lekat, memerhatikan wajah natural istrinya yang tanpa sepoles make-up pun. Mata bulat bening Tania menjadi titik fokus petugas kepolisian itu. "Cantik," komentarnya. "Kamu belum tidur?" Tania bertanya seraya bangun. Melihat suaminya tidak membungkus tubuhnya pakai selimut. Pantas saja dingin. Joshi tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia hanya menatap Tania yang sedang menarik selimut untuk membungkus tubuhnya sampai ke batas pinggang. "Masih dingin." Ucapan Joshi membuat Tania menarik lagi selimut itu hingga ke batas dada. "Masih dingin juga." Tania kembali menarik selimut hingga ke batas le
Kebakaran terjadi di kantor polisi yang di mana tempat ibunya Alina ditahan. Masih belum diketahui apa penyebab kebakaran tersebut. Dugaan sementara ialah, kemungkinan diakibatkan oleh puntung rokok yang dibuang sembarangan tanpa mematikan baranya terlebih dahulu. Di kegelapan malam, para polisi berlalu lalang dengan cepat, menelepon ambulans dan pemadam kebakaran untuk segera datang. Kantor kepolisian dipenuhi asap yang membumbung tinggi. Si raja merah melahap apa saja yang dia dapat. Para tahanan segera dimasukan ke mobil, hendak dipindahkan ke kantor polisi lain. Sayang, panasnya keadaan membuat polisi sedikit lengah. Hal itu langsung dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Bu Sarti. Ketika polisi sedang membawanya ke mobil, melihat polisi itu mengucek matanya akibat paparan asap, Bu Sarti langsung menggigit lengan si polisi dan langsung kabur dari tempat tersebut. "Berhenti!" teriak si polisi seraya mengejar Bu Sarti.Wanita itu tidak mende
Tania melirik Joshi sekilas. Petugas kepolisian itu melihat jelas pipi sang istri kemerah-merahan. Membuat dia mengulum senyum. Lelahnya seharian bekerja seketika hilang melihat senyum manis yang melelehkan jiwa itu. Joshi menyandarkan punggungnya ke dinding seraya melihat Tania menuju ke meja makan. "Kamu mau makan? Aku panaskan dulu makanannya, yah?"Joshi hanya mengedikan kedua alisnya sambil melipat tangan di dada. Matanya fokus mengejar Tania yang sedang sibuk menyiapkan piring, makanan, juga minuman untuk dirinya. Sesekali Tania menyibak rambut panjang bergelombangnya ke belakang, lalu melemparkan senyum manis pada Joshi. "Emm, Mamah mana?" Joshi memecah keheningan. "Sudah tidur dari tadi. Ini sudah larut malam." Tania menjawab sambil meletakan ayam goreng di meja makan. "Kamu beberapa hari ini sibuk sekali di kantor sampai lupa pulang. Apa ada masalah serius?" Mata bulat indah itu menatap Joshi lekat. Joshi tersenyum tipis, lalu mengayunkan kaki mendekat ke Tania, tanpa mel
Setelah memutuskan panggilan dengan Irul, Joshi langsung menyelesaikan makan malamnya. Lantas, bersiap-siap untuk ke lokasi yang diberitahukan sang bawahan di mana tempat ditemukannya Bu Sarti. "Apa benar, Bu Sarti telah meninggal dunia?" Mata Tania berkaca-kaca mengantar Joshi sampai ke depan pintu. "Saya pastikan dulu mayat tersebut." Joshi mengecup kening Tania. Wanita itu langsung menahan dengan mencekal jaket kulit Joshi. Menahannya agar tidak pergi. "Aku takut," lirih Tania sambil memeluk suaminya. Pikiran Tania melayang dengan semua perilaku Bu Sarti kemarin, di mana Bu Sarti menjadikan mayat putrinya sendiri untuk bahan balas dendam. Membangkitkan, lalu mengisi kebencian pada arwah Alina untuk meneror dirinya. Masih jelas di pikiran Tania di mana dia harus melewati hari-hari berat dengan adanya teror menyeramkan yang selalu mengincar nyawanya. Hal tersebut membuat dia terpikir, bagaimana jika Bu Sarti meninggal, lalu arwahnya gentayang
Joshi pikir setelah selesai dengan pemakaman Bu Sarti, dia bisa pulang ke rumah. Beristirahat dan memeluk istrinya dengan nyaman. Namun sayang, tiba-tiba saja ada panggilan dari kepolisian untuk meringkus beberapa pengedar narkoba yang sedang berpesta dengan barang haram tersebut di sebuah hotel. Tanpa pikir panjang, Joshi dan Irul segera meluncur ke hotel yang dilaporkan terdapat pesta narkoba tersebut. Sementara polisi lainnya akan ikut menyusul, katanya. "Apa kita akan menyamar seperti sebelumnya juga, Pak?" Irul bertanya seraya fokus mengendarai. Sudah seringkali pemuda itu mengikuti Joshi saat beroperasi. Setiap kali meringkus para penjahat, maka mereka akan menyamar, berbaur dengan orang biasa. Kadang menjadi OB, pengunjung, atau bahkan berandalan. "Apa penampilan kita belum cukup menyamarkan identitas asli kita?" Joshi menyahut lesu. Baik baju, rambut, ataupun wajah polisi itu, semuanya sama. Kusut. Irul terkekeh. "Pak Joshi kenapa tida
Wanita yang berambut panjang lurus sepunggung itu terlihat sangat ketakutan di sudut ruangan kamar, meringkuk dengan mata basah. Kebetulan kamar hotel tersebut terbuka pintunya setengah. Membuat Joshi melihat penampakan di dalam. Joshi yang penasaran dan ingin memastikan penglihatannya, mendekat ke pintu kamar itu. Mendorongnya. "Hey, kamu siapa?!" Seorang pria bertelanjang dada dengan perut buncit berseru. Tidak suka Joshi membuka pintu kamarnya secara lancang. Sementara wanita ber-dress silver bling-bling di pojok ruangan itu, mendongak dan langsung memandang ke arah Joshi. Baik petugas kepolisian maupun wanita bernama Dinda itu, sama-sama mematung. Pikiran keduanya seketika melayang saat-saat masih menghabiskan waktu di taman, di pasar malam, berlibur, menonton bioskop, juga di teras atas apartemen sang perempuan. Menikmati malam sambil memandang taburan bintang dan cahaya bulan purnama. "Kamu mau menikah di gedung atau di taman nantinya."
Joshi larut dalam pelukan erat sang mantan. Jantungnya berdegup kencang, berusaha keras dia agar menahan desiran aneh di dadanya tersebut. Sementara isakkan kencang di dadanya itu belum juga reda. Tangan Joshi terangkat pelan, mengelus kepala Dinda. Membuat wanita itu mendongak dengan mata memerah juga penuh air. Mereka berdua saling bersitatap lama. Membangkitkan perasaan dan memori yang pernah lewat. Jemari lentik Dinda perlahan memanjat naik, menangkup wajah Joshi. Tatapan elang pria itu, masih sama saja di mata Dinda. Penuh gairah. Perlahan Dinda mendekatkan wajahnya, mendaratkan bibir ke bibir Joshi. Sontak Joshi menutup mata, menikmati sentuhan benda kenyal tersebut di bibirnya. Namun, dia tidak membalas. Dia hanya mematung dengan pikiran tumpul. Merasakan tidak adanya pergerakan dari Joshi. Membuat Dinda bertindak nekat. Dia mengulum bibir Joshi, menyesapnya. Joshi masih tetap diam dengan debar yang mulai bertalu-talu. Tangannya mengepal erat, berusaha menahan gairah yang mula