Mata Tania mengerjap beberapa kali pasca mendengar pertanyaan Joshi. Dia sontak membalikan badan sembari berpikir saat Joshi mengedikan alis pada dirinya tadi. Di rumah Tania hanya ada dua kamar, milik ibunya dan Tania sendiri. Tidak mungkin Tania mengizinkan Joshi untuk tidur di kamar ibunya, itu sangat tidak beradab. Namun, untuk tidur di kamarnya, Tania takut. Bagaimana jika Joshi berubah buas dan menerkamnya.
Tania kembali menoleh, memandang Joshi terbaring miring sambil menutup mata. Kasihan, dia pasti kedinginan tidur di lantai hanya beralaskan sajadah, sedangkan tubuhnya hanya terbungkus kemeja tipis yang tidak terkancing."Kenapa kamu tidak pakai selimut?" tanya Tania memecah keheningan. Dia belum bisa meninggalkan Joshi dalam keadaan seperti itu."Saya tidak punya." Joshi mengulum senyum mengetahui fakta bahwa Tania mulai peduli padanya."Apa kamu tidak dingin?" Tania bertanya lirih. Dia juga merasa gengsi sebab mulai perhatian pada pMata Tania mendelik menatap Joshi yang ada di atasnya. Dia pikir Joshi akan menatapnya dengan buas, tetapi ternyata mata itu terlihat sendu. Dada bidang polos sang pria naik turun dengan berat. Berusaha Joshi untuk mengendalikan hawa nafsu yang hampir menyelimuti akal sehatnya. Dia menatap sendu Tania yang berada di bawahnya. "Kenapa? Kenapa kamu selalu menguji saya? Hmm." Joshi berucap yang langsung membuat Tania membuang muka dengan debar kencang di dada. "Aku tidak sengaja. Aku tidak tau. Turun!" Tania menjawab cepat dengan ketakutan, dia masih tetap memalingkan wajah. "Pandang saya, Tania. Lihat saya! Hapuslah monster di malam itu. Tidak bisakah kamu memafkan saya?" Suara Joshi berubah serak melihat dada Tania yang naik turun. Akal sehatnya mulai hilang. "Tania ... tolong saya," lirih Joshi mendaratkan wajahnya pada kepala Tania. Embusan napas sang pria begitu kencang menyapa telinga Tania, membuat wanita itu bergidik ngeri. Bayangan monst
Tangan Tania mengepal erat, dadanya memanas melihat Joshi yang memasukan kunci rumah di dalam saku celana jinsnya. Ingin merebut kunci itu, tetapi dia takut salah pegang. "Kenapa? Mau ambil kuncinya? Ambil saja kalau bisa." Joshi menantang wanita yang mulai tersulut amarah itu. Menggoda Tania menjadi hobi barunya sekarang. "Berikan kuncinya, Polisi Joshi!" Tania menengadahkan tangannya ke udara dengan mata melotot. "Ini, ambil saja! Saya ikhlas kok." Senyum simpul terpatri indah di wajah Joshi. Dia mendekat pada istrinya. Tania malah impulsif mundur melihat Joshi yang mendekatkan paha pada dirinya. Andai dia mempunyai keberanian, maka kunci yang berada di kedalaman saku celana Joshi pasti sudah berada di tangannya sekarang. Namun apa daya, Tania terlalu pemalu jadi wanita, bahkan pada suaminya sendiri yang sudah sah dan menjadi mahramnya. "Berikan kuncinya, Polisi Joshi! Aku kangen sama Mamah." Wajah Tania berubah memelas.
Mendengar suara tegas di balik punggungnya, Tania langsung berbalik menghadap orang tersebut. Sang pria dengan kemeja yang dikancing setengah itu, menaikturunkan alisnya pada Tania. Namun, dengan raut datar. "Mau ke mana?" Lagi, Joshi mengulang pertanyaannya. Membuat alis Tania bertaut. Namun detik berikutnya, Tania langsung mengayunkan kaki cepat, pergi bersembunyi di balik punggung lebar Joshi. Sang pria hanya menatap Pak Jarot dengan raut yang sama, sedangkan Pak Jarot masih tetap diam di tempatnya sambil melayangkan tatapan tajam pada Joshi. Pria tua itu masih menyimpan dendam pada polisi muda tersebut, sebab memasukannya ke dalam penjara. "Kenapa kamu sembunyi di belakang saya? Bukankah di rumah tadi kamu begitu galak ketika ada cowok yang berani mendekatimu." Joshi bergerak, pergi di balik punggung Tania. Membuat Tania menatapnya sedikit malu. "Ayo, sana. Tunjukkan pesonamu pada pria bangkotan itu! Buat dia takut dengan sifat galakmu tad
Joshi mengelus-elus dadanya seraya beristighfar tatkala Tania melontarkan cerai. Begitu mudahnya wanita itu melayangkan kata sakral tersebut. Joshi menatap lekat Tania yang sedang bersedekap sambil menatapnya tajam. Sesekali pandangan wanita itu teralih pada buah kersen yang sudah memerah di atas sana. "Kamu mau kersen?" tanya Joshi menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana cara mengambil buah itu, sedangkan Tania langsung mengangguk antusias kala dirinya bertanya. "Ayo, cepat panjat!" Tania mendorong punggung Joshi. "Arh!" Joshi langsung mengerang saat Tania tepat mendorong di bagian lukanya. Melihat Joshi yang kesakitan, Tania langsung menghentikan aksinya. Sesaat dia sadar bahwa sudah memaksa pria itu. Joshi sedang terluka, tidak seharusnya dia memaksanya untuk mengambilkan buah kersen yang tingginya sekitar tiga meter itu. "Ya udah, deh, nggak apa-apa. Aku nggak jadi makan kersennya." Tania menunduk, ngiler. Joshi me
Joshi segera mundur menjauh dari Tania sebelum dia kehilangan kendali lebih parah lagi. Tania tidak mendapatkan dada Joshi lagi untuk membentur keningnya. Perlahan dia mendongak dengan mata berkaca-kaca, menatap pria yang sedang memasang ekspresi sedih dan lelah di hadapannya. "Terima kasih sudah membantuku. Silahkan keluar, saya mau mandi dulu." Joshi berucap sendu. Tania segera mengayunkan kaki keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berusaha dia membuang semua memori pemaksaan di malam itu. "Tunggu!"Langkah Tania terhenti di ambang pintu tatkala suara sang pria menghentikan. Tania tidak menoleh pada sumber suara, dia hanya menanti si empu suara mengatakan keinginannya. "Jika kamu menemukan cara bagaimana untuk menghilangkan traumamu padaku, bilanglah. Saya akan melakukan semuanya, memberi apa pun yang kamu pinta, asal hubungan ini tidak pernah putus." Terdengar penuh penegasan di dalam setiap kalimat yang Joshi ucapkan.
Buku-buku jari Joshi tidak henti-hentinya mengetuk daun pintu, sedangkan wanita yang modus dan merayu pria malang itu sudah sedari tadi pergi dari tempatnya. Meninggalkan Joshi di luar rumah dengan perasaan nelangsa. Sudah tidak diizinkan masuk rumah, badan hanya mengenakan handuk sebatas pinggang pula. Membuat tubuh Joshi merinding kedinginan tatkala angin datang membelai. "Tania, buka pintunya. Saya kedinginan!" Joshi berteriak lagi. Namun, tidak ada sahutan apa pun dari dalam. Di luar Joshi kedinginan, sedangkan di dalam Tania kepanasan. Hatinya memanas mengingat betapa intimnya kedekatan Joshi dengan wanita berambut pirang tadi. Ditambah lagi dengan Joshi yang mau-maunya saja dibelai oleh wanita tadi. Mana seperti menikmati. Pikiran Tania berkecamuk, perasaannya diaduk-aduk. Dia sampai berpikir, apakah Joshi selama ini haus akan belaian. Biar bagaimanapun, Joshi adalah pria normal yang membutuhkan sentuhan biologis. "Tania, saya kedinginan." Suara J
Di pagi hari yang tampak mendung itu, Mbah Aji sedang mengobati luka di punggung bahu Joshi menggunakan obat-obatan herbal yang dia punya. Luka di bahu Joshi memang sudah mengering, tetapi sakitnya masih sering muncul jika pengaruh obat perada rasa sakit hilang. "Terima kasih buat semuanya, Mbah. Saya permisi dulu. Semoga Tania sudah membukakan pintu buat saya." Joshi terkekeh dengan ucapannya sendiri. Joshi pun keluar rumah, begitu pula Mbah Aji. Pria senja itu akan ke kebun mengurus tanamannya. Sesampainya di teras, Joshi melihat pintu rumah yang terbuka setengah. Dia berpikir itu kode dari Tania untuk dirinya sebagai tanda sudah bisa masuk ke rumah. Joshi langsung melangkah masuk sambil bersiul. Membenarkan perkataan Mbah Aji, jika wanita cemburunya sudah menghilang, pasti dia sendiri akan membukakan pintu tanpa diminta. "Tania!" Joshi berseru memanggil istrinya di kamar mandi, sebab di seluruh rumah tidak mendapati wanita tercintanya itu.
Melihat Bagas yang turun dari mobil, tanpa banyak bicara Joshi langsung mencengkeram kerah baju pria itu. Hampir saja dia melayangkan bogem mentah ke hidungnya. Namun, seorang wanita berjilbab merah yang ikutan turun dari mobil Bagas, menghentikan aksi Joshi. Tangan polisi itu terhenti di udara dengan pandangan kebingungan pada wanita berjilbab merah tersebut. "Kamu? Bukannya ...." Joshi menggantung kalimatnya. Dia memandang Bagas dan wanita itu secara bergantian. "Iya, ini saya? Emang kenapa?" Sang wanita menyolot. Wanita yang tak lain adalah Karin itu merasa gemas melihat Joshi yang datang-datangnya hendak ingin langsung memukul kakaknya Bagas. "Kamu makai ....""Diam! Ini paksaan." Karin membuang muka. Ada pengajian yang dilakukan di panti asuhan, maka dari itulah Karin mau tidak mau memakai jilbab. Wanita tomboi itu masih sungkan jika harus memakai jilbab. Sebab hal itu menjadikan gaya geraknya terbatas dengan gamis panjang hingga