Aku mundur beberapa langkah dari Fadli seraya melepas paksa tangannya yang masih menggenggam bahu ini.
Pria berkulit hitam manis itu menyorotiku dengan tatapan sangat intens. Aku seperti tidak mengenal Fadli yang ini, dia seperti orang lain."Fa-Fadli, kau kenapa? Aku tidak mengerti dengan apa yang semua kau katakan." Pelipis ini kupijit, guna menghilangkan rasa pusing."Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Menikahlah denganku. Aku akan membuat kamu dan Alisa bahagia. Selamanya," tutur Fadli dengan pandangan berharap. Dia kembali mendekat, tetapi aku impulsif mundur lagi."Tidak! Aku tidak bisa. Aku hanya menganggapmu sebagai suami dari sahabat karibku, Alina. Aku juga tidak mungkin menghianati persahabatan kami dengan merebut suami dan anaknya!" tandasku menggebu-gebu. Mataku terasa memanas, lalu mulai dialiri cairan bening."Kau tidak merebut apa pun, Nia. Justru kau membantu menjalankan tugas sahabat karibmu jika menikah denganku. Kau akTanganku dipegang erat-erat oleh seseorang. Aku meronta-ronta dengan kondisi menutup mata. Seseorang itu menyentakku dan meminta untuk bangun. Seketika aku membulatkan mata dengan degup jantung yang menggila. Wajah Polisi Joshi memenuhi indra penglihatan. Dia tampak mengenyitkan alis, memandangku serius. Ketika dia bergerak, cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi udara langsung membuat mataku silau. "Uhm." Mata ini menyipit, kembali Polisi Joshi menghalangi cahaya matahari itu dengan kepalanya. "Kau? Di sini?" Sekarang gantian alisku yang mengernyit. Perlahan-lahan aku menarik tangan yang masih dia cekal. Aku bangkit dari tempat tidur sembari memegang kepala yang teramat sakit. Aku merasakan ada sesuatu membalut kening ini. "Kamu pingsan semalaman." Polisi Joshi menjelaskan. Dia bangkit dari ranjang tempat tidurku, menuju ke kursi belajar. "Semalam saat kamu menelepon, saya merasakan bahwa kamu dalam keadaan y
Dengan penuh kehati-hatian, malam ini aku mencoba memeriksa halaman belakang rumah Fadli. Aku mulai mencurigai pria beranak satu itu, walaupun dia tidak ada di kampung saat malam kejadian. Bisa sajakan dia pulang sementara di malam itu hanya untuk melenyapkan istrinya. Seperi biasa, malam hari Fadli akan melaut. Aku sudah melihat dia pergi dengan motor bisingnya itu. Sekitar jam delapan malam, aku mengendap-endap menuju ke halaman belakang rumah Fadli. Di sini terdapat banyak tumbuhan. Ada beberapa bunga, sayur, dan pohon-pohon pisang. Tidak lupa aku membawa cangkul untuk menggali tanah di sekitar pohon pisang guna mencari barang bukti tersebut. Aku sangat yakin, golok yang digunakan untuk membunuh Alina pasti dikubur di sekitar pohon-pohon pisang ini. Pasti akan kutemukan. "Ugh!" Aku mulai mencangkul tanah becek itu. Ternyata mencangkul sebuah tanah itu adalah suatu pekerjaan yang berat. Lenguhan keras keluar begitu saja dari mulutku, mewakil
Langkah kaki makin aku percepat, melewati pasir putih. Sesekali aku menoleh dengan pandangan yang memburam akibat bulir air mata yang menggenang, terlihat Polisi Joshi makin mempercepat langkahnya mengejarku. Tentu saja langkah lebar dan larinya itu jauh lebih cepat dariku. Dalam sekejap, dia sudah berhasil mencekal pergelangan tanganku. "Lepasin aku! Dasar penjahat!" Aku meronta, memukul-mukul lengan Polisi Joshi yang dibalut jaket kulit hitam. "Harusnya kau itu jadi kriminal saja, tidak pantas kau jadi seorang polisi!" teriakku geram yang hanya ditanggapi raut datar Polisi Joshi."Jangan menghina pekerjaanku!" sentaknya sembari mengeratkan cekalannya pada pergelangan tanganku. Aku tertawa singkat. "Kau sudah menghina pekerjaanmu sendiri dengan menerima suap itu!"Polisi Joshi terdiam dan hanya menatapku tajam. Tanganku masih tetap dia cekal dengan erat. "Aku bilang lepaskan! Lepasin aku, Polisi Joshi!" Aku menenda
Bulan purnama menggantung indah di langit malam. Bintang berkelap-kelip menemani malam yang sunyi. Walaupun malam ini tiada hujan dan angin kencang, tetapi di waktu yang baru saja menginjak pukul 21. 00 ini, suasana kampung sudah begitu sangat sepi. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah membeli beberapa makanan instan dari kios. Pandangan ini tak henti-hentinya menoleh ke sana kemari dengan tatapan waspada. Suasana sekitar yang sepi membuatku teringat akan sosok di kamar Sardin tadi. "Apa Alina juga menghantui keluarganya sendiri? Apa Alina yang menyerang Sardin malam itu?" Tanpa sadar pikiranku malah sibuk menerka-nerka hal yang paling aku takutkan tersebut. "Ah, nggak mungkin. Mana mungkin Alina meneror keluarganya sendiri."Skeptis. Itulah yang menggambarkan pikiranku saat ini. Semuanya tidak ada yang pasti. Tidak ada yang bisa dimintai tolong. Semuanya terasa seperti ancaman. "Assallamuallaikum." Aku membuka pintu rumah. Kebias
Aku makin mempercepat langkah, menembus jalanan yang gelap juga sepi ini. Hanya ada tiang lampu jalanan di depan sana dengan cahayanya yang remang. Angin berembus menampar wajah, dan lagi-lagi bau anyir darah itu datang menusuk indra penciuman. Aku membekap mulut dan hidung, guna menghalau bau busuk itu agar tidak terhirup. "Hihihihihihi ...!"Langkahku terhenti dengan lutut gemetaran ketika mendengar lengkingan itu di sekeliling. Pandangan ini mendelik ke sana kemari, menyapu pohon-pohon rindang yang ada di pinggir jalan. "Jangan ganggu aku. Kumohon! Kau tau benar, Alina, bukan aku pelakunya!" Tanpa sadar aku berteriak pada kegelapan. Lelah dihajar habis-habisan oleh keadaan. Suaraku hanya disahuti bisikan lirih oleh para angin yang berlalu lalang. Sosok dengan suara melengking itu belum juga menampilkan wujudnya. Aku sangat yakin, dia pasti sedang mengintaiku sekarang. Menanti waktu yang tepat untuk menyerang. Kembali aku
Aku segera mendongak, menatap Mamah dengan mata berbinar. Namun, pandangan ini meredup kala melihat malaikat tak bersayapku itu masih terlelap dengan tidur panjangnya. Bukan dia yang mengusap punggungku tadi. Lantas, siapa? Sontak aku membalikan badan, dan sedikit terkejut saat melihat Polisi Joshi berada di hadapan. Dia menatapku tanpa ekspresi, lalu beralih memandang Mamah yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Kamu hanya akan memperburuk kondisinya dengan tangisanmu itu." Polisi Joshi berujar tanpa melepaskan pandangannya pada Mamah. "Pasien koma memang tidak bisa berinteraksi dengan kita, tapi kemungkinan mereka bisa mendengar semua yang terjadi di sekitarnya. Jika kamu mengadu semua penderitaanmu yang menyedihkan itu, otomatis juga ibumu pasti akan sangat sedih. Dan itu akan memperburuk kondisinya ....""Buat apa kamu kemari?" tanyaku ketus menyela ucapan Polisi Joshi. Polisi suap itu terdiam sesaat, lalu mengedarkan pandangan k
Melihat raut Polisi Joshi yang sengaja memasang tampang sok polos itu, membuatku ingin sekali mencakar wajahnya. Sudah haus jabatan, kekuasaan, kekayaan, terus sombong lagi. "Memangnya apanya yang mendekat?" Aku bertanya penuh penekanan. Kesal karena merasa dipermainkan. Dia tidak pernah tahu separah apa ketakutanku dengan sosok hantu Alina yang suka menyerang kapan saja. "Ya, kamu." Dia menatapku lurus. Menjawab dengan santai. Bahkan, sekilas aku melihat terbit senyum di bibir merah muda itu. "Kau sengaja menakutiku agar aku mendekat denganmu. Dasar, polisi modus!" Aku berujar sambil mendengkus kasar. "Kamu yang dengan sendirinya mendekat, memepet, dan memeluk saya. Bisa kamu lihat sendiri siapa yang modus di antara kita," tutur Polisi Joshi membela diri.Aku terdiam sambil menatap dia dengan kesal. Memang tidak bisa dimungkiri, aku yang terkesan agresif. Main asal peluk. Namun, hal itu tidak sengaja aku lakukan. Hantu Alin
Di permukaan dinding rumah yang di-cat kuning gading itu, terpampang jelas sebuah tulisan merah berdarah. "Ayo, tangkap aku atau aku yang akan menangkapmu!" Fadli membaca tulisan merah berdarah itu. Tulisannya benar-benar ditulis oleh darah. Sangat kentara aroma anyir darah menyeruak menusuk indra penciuman. Aku mundur dengan langkah gamang, pandangan melirik ke sana kemari. Takut sosok ber-hoodie semalam masih bersembunyi di rumah ini. "Aneh. Apa maksud dari tulisan ini? Siapa yang menulisnya? Semalam, saat aku masuk kemari, tulisan ini belum ada." Fadli menatapku penuh kebingungan. Begitu pun juga sebaliknya, aku kebingungan dan ketakutan. Campur aduk menjadi satu. "Ini darah apa?" ucap Fadli sembari mengusap cairan merah itu dan mengendusnya. "Apa kau punya musuh, Nia?" lanjutnya bertanya. Pikiranku melayang ke sosok ber-hoodie yang hendak melayangkan golok itu. Matanya yang memerah, seolah-olah ingin menelanku