Langkah kaki makin aku percepat, melewati pasir putih. Sesekali aku menoleh dengan pandangan yang memburam akibat bulir air mata yang menggenang, terlihat Polisi Joshi makin mempercepat langkahnya mengejarku.
Tentu saja langkah lebar dan larinya itu jauh lebih cepat dariku. Dalam sekejap, dia sudah berhasil mencekal pergelangan tanganku."Lepasin aku! Dasar penjahat!" Aku meronta, memukul-mukul lengan Polisi Joshi yang dibalut jaket kulit hitam."Harusnya kau itu jadi kriminal saja, tidak pantas kau jadi seorang polisi!" teriakku geram yang hanya ditanggapi raut datar Polisi Joshi."Jangan menghina pekerjaanku!" sentaknya sembari mengeratkan cekalannya pada pergelangan tanganku.Aku tertawa singkat. "Kau sudah menghina pekerjaanmu sendiri dengan menerima suap itu!"Polisi Joshi terdiam dan hanya menatapku tajam. Tanganku masih tetap dia cekal dengan erat."Aku bilang lepaskan! Lepasin aku, Polisi Joshi!" Aku menendaBulan purnama menggantung indah di langit malam. Bintang berkelap-kelip menemani malam yang sunyi. Walaupun malam ini tiada hujan dan angin kencang, tetapi di waktu yang baru saja menginjak pukul 21. 00 ini, suasana kampung sudah begitu sangat sepi. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah membeli beberapa makanan instan dari kios. Pandangan ini tak henti-hentinya menoleh ke sana kemari dengan tatapan waspada. Suasana sekitar yang sepi membuatku teringat akan sosok di kamar Sardin tadi. "Apa Alina juga menghantui keluarganya sendiri? Apa Alina yang menyerang Sardin malam itu?" Tanpa sadar pikiranku malah sibuk menerka-nerka hal yang paling aku takutkan tersebut. "Ah, nggak mungkin. Mana mungkin Alina meneror keluarganya sendiri."Skeptis. Itulah yang menggambarkan pikiranku saat ini. Semuanya tidak ada yang pasti. Tidak ada yang bisa dimintai tolong. Semuanya terasa seperti ancaman. "Assallamuallaikum." Aku membuka pintu rumah. Kebias
Aku makin mempercepat langkah, menembus jalanan yang gelap juga sepi ini. Hanya ada tiang lampu jalanan di depan sana dengan cahayanya yang remang. Angin berembus menampar wajah, dan lagi-lagi bau anyir darah itu datang menusuk indra penciuman. Aku membekap mulut dan hidung, guna menghalau bau busuk itu agar tidak terhirup. "Hihihihihihi ...!"Langkahku terhenti dengan lutut gemetaran ketika mendengar lengkingan itu di sekeliling. Pandangan ini mendelik ke sana kemari, menyapu pohon-pohon rindang yang ada di pinggir jalan. "Jangan ganggu aku. Kumohon! Kau tau benar, Alina, bukan aku pelakunya!" Tanpa sadar aku berteriak pada kegelapan. Lelah dihajar habis-habisan oleh keadaan. Suaraku hanya disahuti bisikan lirih oleh para angin yang berlalu lalang. Sosok dengan suara melengking itu belum juga menampilkan wujudnya. Aku sangat yakin, dia pasti sedang mengintaiku sekarang. Menanti waktu yang tepat untuk menyerang. Kembali aku
Aku segera mendongak, menatap Mamah dengan mata berbinar. Namun, pandangan ini meredup kala melihat malaikat tak bersayapku itu masih terlelap dengan tidur panjangnya. Bukan dia yang mengusap punggungku tadi. Lantas, siapa? Sontak aku membalikan badan, dan sedikit terkejut saat melihat Polisi Joshi berada di hadapan. Dia menatapku tanpa ekspresi, lalu beralih memandang Mamah yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Kamu hanya akan memperburuk kondisinya dengan tangisanmu itu." Polisi Joshi berujar tanpa melepaskan pandangannya pada Mamah. "Pasien koma memang tidak bisa berinteraksi dengan kita, tapi kemungkinan mereka bisa mendengar semua yang terjadi di sekitarnya. Jika kamu mengadu semua penderitaanmu yang menyedihkan itu, otomatis juga ibumu pasti akan sangat sedih. Dan itu akan memperburuk kondisinya ....""Buat apa kamu kemari?" tanyaku ketus menyela ucapan Polisi Joshi. Polisi suap itu terdiam sesaat, lalu mengedarkan pandangan k
Melihat raut Polisi Joshi yang sengaja memasang tampang sok polos itu, membuatku ingin sekali mencakar wajahnya. Sudah haus jabatan, kekuasaan, kekayaan, terus sombong lagi. "Memangnya apanya yang mendekat?" Aku bertanya penuh penekanan. Kesal karena merasa dipermainkan. Dia tidak pernah tahu separah apa ketakutanku dengan sosok hantu Alina yang suka menyerang kapan saja. "Ya, kamu." Dia menatapku lurus. Menjawab dengan santai. Bahkan, sekilas aku melihat terbit senyum di bibir merah muda itu. "Kau sengaja menakutiku agar aku mendekat denganmu. Dasar, polisi modus!" Aku berujar sambil mendengkus kasar. "Kamu yang dengan sendirinya mendekat, memepet, dan memeluk saya. Bisa kamu lihat sendiri siapa yang modus di antara kita," tutur Polisi Joshi membela diri.Aku terdiam sambil menatap dia dengan kesal. Memang tidak bisa dimungkiri, aku yang terkesan agresif. Main asal peluk. Namun, hal itu tidak sengaja aku lakukan. Hantu Alin
Di permukaan dinding rumah yang di-cat kuning gading itu, terpampang jelas sebuah tulisan merah berdarah. "Ayo, tangkap aku atau aku yang akan menangkapmu!" Fadli membaca tulisan merah berdarah itu. Tulisannya benar-benar ditulis oleh darah. Sangat kentara aroma anyir darah menyeruak menusuk indra penciuman. Aku mundur dengan langkah gamang, pandangan melirik ke sana kemari. Takut sosok ber-hoodie semalam masih bersembunyi di rumah ini. "Aneh. Apa maksud dari tulisan ini? Siapa yang menulisnya? Semalam, saat aku masuk kemari, tulisan ini belum ada." Fadli menatapku penuh kebingungan. Begitu pun juga sebaliknya, aku kebingungan dan ketakutan. Campur aduk menjadi satu. "Ini darah apa?" ucap Fadli sembari mengusap cairan merah itu dan mengendusnya. "Apa kau punya musuh, Nia?" lanjutnya bertanya. Pikiranku melayang ke sosok ber-hoodie yang hendak melayangkan golok itu. Matanya yang memerah, seolah-olah ingin menelanku
Aku tertegun memandang Fadli di luaran sana. Bulir-bulir keringat meluncur membasahi dada bidangnya. Kalung giok berwarna biru yang pernah aku dengar dari Mbah Aji. Tentang si pelaku yang melenyapkan Alina itu memakai kalung giok berwarna biru. "Apakah kalung itu yang dimaksud Mbah Aji?" gumamku berpikir, "tapi mana mungkin Fadli pelaku pelenyapan sadis itu? Mana mungkin Fadli melenyapkan istrinya sendiri." Aku menggeleng cepat, menepis pikiran buruk yang melintas. Ketika hendak memandang ke arah Fadli lagi, tiba-tiba saja pria itu menghentikan aksi membelah kayunya. Dia memandang ke arahku dengan tatapan dingin. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku yang biasanya selalu melihat Fadli menampilkan raut hangat ketika memandangku, merasa sangat horor ketika ditatap dingin seperti itu. Aku seperti melihat Fadli yang lain, bukan Fadli seperti biasanya. Segera aku memutuskan untuk menutup tirai jendela, juga memastikan pintu jendela dan rumah tertutup den
Kami sampai di sebuah tepi pantai yang rame sekali pengunjung. Kebanyakan pengunjung duduk santai di sebuah cafe kecil dengan desain khas anak muda. Lampu berkelap-kelip, menjalar di dinding kaca kafe juga lampu laser yang temaram. Menambah kesan anak muda sekali. Tamu-tamu di kafe ini kebanyakan para anak muda yang keluar di waktu malam, menikmati suasana pantai sambil mengobrol ringan di kafe. Bangunan dinding kafe yang terbuat dari kaca transparan, membuat para pengunjung bisa menikmati pemandangan air laut yang ditimpa cahaya rembulan. Mereka bisa langsung melihat menikmati pemandangan itu dikarenakan dinding kafe yang terbuat dari dinding kaca transparan. "Ayo, Tania. Itu bosku." Reva langsung menarik tanganku menuju ke pria bertampang klimis. Diperkirakan umurnya sekitar 35 tahun. "Bos, ini orang yang saya maksud. Pasti Bos bakalan suka, deh, sama suaranya," ucap Reva yang membuatku mengernyitkan alis. Namun, aku belum berani untuk membu
Aku mundur beberapa langkah, melihat mata Mamah yang tiba-tiba terbuka. Dia melirik ke arahku serta terbit seringai di bibirnya. Wajah Mamah terlihat sangat pucat, bahkan hampir kehijau-hijauan dengan urat di sekitar rahang. "Ma-mah ...." Napasku tercekat di tenggorokan. Aku menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa membantu. Mamah cekikikan nyaring, sedangkan tubuhnya perlahan melayang. Segera aku menghampirinya, melawan rasa takut dan menahan tubuhnya agar tidak terlalu tinggi melayang. "Hihihihihi ...!" Suara Mamah makin melengking. "Keluar dari tubuh mamahku, Alina! Keluar! Jangan janggu dia!" teriakku memohon. "Kalau kamu ingin menyiksa, targetkan saja aku. Jangan Mamah!" ucapku kesulitan menahan tubuh Mamah yang terus melayang ke udara. Bahkan, aku harus berjinjit sekarang sambil terus menahan tubuh Mamah. Dalam kekalutan, aku melepas tubuh Mamah dan memilih memencet tombol nurse call yang ada di dekat ranjang