Aku mundur beberapa langkah, melihat mata Mamah yang tiba-tiba terbuka. Dia melirik ke arahku serta terbit seringai di bibirnya. Wajah Mamah terlihat sangat pucat, bahkan hampir kehijau-hijauan dengan urat di sekitar rahang.
"Ma-mah ...." Napasku tercekat di tenggorokan. Aku menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa membantu.Mamah cekikikan nyaring, sedangkan tubuhnya perlahan melayang. Segera aku menghampirinya, melawan rasa takut dan menahan tubuhnya agar tidak terlalu tinggi melayang."Hihihihihi ...!" Suara Mamah makin melengking."Keluar dari tubuh mamahku, Alina! Keluar! Jangan janggu dia!" teriakku memohon."Kalau kamu ingin menyiksa, targetkan saja aku. Jangan Mamah!" ucapku kesulitan menahan tubuh Mamah yang terus melayang ke udara. Bahkan, aku harus berjinjit sekarang sambil terus menahan tubuh Mamah.Dalam kekalutan, aku melepas tubuh Mamah dan memilih memencet tombol nurse call yang ada di dekat ranjangAku merasakan seseorang datang mendekat dengan diri ini. Memepet tubuhku dari belakang. Aku membeku ketika dia mendengkus kasar tepat di tengkukku. "Tania ... ke mana saja kamu beberapa hari ini? Aku merindukan dirimu," ucapnya berat tepat di telinga. Sontak saja sekujur tubuhku meremang. "Menjauh!" Aku berbalik dan mengibaskan tangan ke arahnya. Dia menjauh beberapa langkah dengan kekehan yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, aku berusaha cepat menyalakan senter ponsel. Lantas, menyoroti sosok ber-hoodie hitam itu. Kupluk hitam besar masih menutupi wajah si pelaku. Namun, mataku melebar sempurna kala melihat kalung giok berwarna biru menyembul keluar dari hoodie hitam itu. Lututku gemetar, napas ini sesak, air mataku luruh begitu saja mendapati kenyataan di depan mata. "Fa-Fadli?" ucapku terbata. "Ya ... ini aku, Sayang." Sosok ber-hoodie hitam itu mendekat seraya membuka kupluk hitam yang menutupi ke
Baik aku maupun Polisi Joshi sama-sama terhenyak ketika mendengar suara dari arah jam tiga. Polisi Joshi melepas dekapannya padaku dan menoleh ke sumber suara, begitu pun juga denganku. Berdiri seseorang di ambang pintu kamar sana dengan tatapan tajam juga jijik terhadap kami. Di belakang orang tersebut, terdapat beberapa warga lainnya. Mereka sontak menghakimi kami sedang berbuat hal yang tidak-tidak. "Ternyata apa yang orang-orang bilang tentang kamu itu benar, yah, Tania!" ucap Pak Kasim marah. "Nah, 'kan, apa yang saya bilang kalau Tania itu bukan cewek baik-baik. Dia itu kegatelan, tampangnya aja yang sok polos, sok suci, tapi kelakukan murahan!" timpal Bu Astuti yang menerobos masuk. Menatap kami dengan jijik. Entah kenapa mereka tiba-tiba masuk ke dalam rumah? Ke mana mereka di saat aku berteriak meminta tolong tadi? Kenapa mereka menerobos masuk setelah Fadli keluar dan meninggalkanku dengan Polisi Joshi dalam ketakutan. "Ibumu lagi berjuang di antara hidup dan mati di rum
Mobil jeep Polisi Joshi melaju kencang menuju ke perumahannya dekat pantai. Baik aku maupun dirinya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun pasca akad tadi. Walaupun kami sudah dinikahkan, tetapi para warga masih mengusik dan tidak mau membiarkan diri ini tinggal di rumahku lagi. Di samping itu, aku juga punya trauma sendiri dengan rumah itu sekarang. Takut hantu Alina atau sosok ber-hoodie Fadli tiba-tiba datang mengincar nyawaku. Apa yang terjadi pada malam ini, benar-benar mengguncang jiwaku. Aku masih tetap dengan tatapan kosong. Air mata belum berhenti meluncur satu per satu, juga sesenggukan lirih masih aku keluarkan. Sekeras apa pun aku mencoba menghentikan tangis, namun air mata ini tetap menerobos keluar. Berharap bisa membasuh luka, membasuh fitnah, membasuh memori ketakutan. "Ayo, turun! Mau sampai kapan kamu duduk di sana terus?"Suara Polisi Joshi membuyarkan lamunanku. Pandangan ini menoleh ke arahnya. Kami sudah sampai di de
Baik aku maupun Polisi Joshi, sontak sama-sama membalikan badan. Jantungku langsung berdegup kencang, sedangkan pipi ini menghangat. Bukan, bukan hanya saja menghangat, tetapi panas. Dadaku juga terasa panas. "Kurang ajar! Apa kau tidak malu masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu?!" ucapku kesal sambil melirik sekilas ke belakang. Terlihat Polisi Joshi hendak menoleh juga ke arahku. "Jangan mengintip!" bentakku tegas memperingati. "Harusnya kamu bilang terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar seseorang!" Aku mulai mengoceh kesal. "Maaf, maaf, saya belum terbiasa. Lupa kalau kamar ini sekarang ditempati sama kamu." Polisi Joshi menjelaskan secara cepat. "Saya kemari hanya ingin mengambil file---""Keluar! Harusnya kamu malu masuk sembarangan ke kamar seorang cewek!" lontarku mengusir polisi itu. "Heh!" Polisi Joshi terdengar membentak. Aku menoleh sekilas, terlihat Polisi Joshi sedang membalika
Aku berdiri mematung di ruang tengah ketika mendengar suara seorang pria menjawab salam yang kuucapkan tadi. Bayangan sosok ber-hoodie hitam langsung melintas di pikiran, membuat aku seketika menahan napas di tenggorokan, ketakutan. Detik berikutnya, lampu di ruang tengah dinyalakan oleh seseorang. Membuat aku bisa sedikit bernapas lega, mengetahui Polisi Joshi yang menjawab salamku, bukannya sosok ber-hoodie hitam, Fadli. Polisi Joshi bersandar di samping saklar lampu sambil memandang ke arahku dengan raut dingin. Perlahan, dia mengayunkan kaki mendekat sambil menenggelamkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai kepala. Lantas, mengeliling diri ini masih dengan rautnya yang datar. Entah apa yang polisi itu cari. Membuat aku salah tingkah diselidiki seolah-olah seorang pencuri. "Dari mana?" tanya Polisi Joshi sambil mengempaskan bokongnya ke sofa. Namun, tatapan elang dia hujamkam kepadaku. "K
Mataku membulat sempurna, jantung ini berdegup kencang menerima serangan mendadak dari Polisi Joshi, belum lagi tatapan tajamnya yang memerah menghujam diri ini. Sang polisi yang menyadari di bawahnya adalah aku, lantas mengurangi tekanan lengannya pada leherku. Akan tetapi, dia belum juga beranjak dari atasku. Mata kami terus beradu dengan deru napas sang polisi yang begitu cepat. Perlahan, Polisi Joshi malah mendekatkan bibirnya. Aku sontak menutup mata erat sembari membuang muka dengan debaran jantung yang menggila. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan lima detik sudah terlewati. Akan tetapi, aku tidak merasakan ada pergerakan lagi dari Polisi Joshi. Bibirnya pun tak sampai-sampai pada diri ini. Eh, apa, sih, yang aku pikirkan?Dengan perlahan, aku membuka mata. Terlihat Polisi Joshi masih di atasku sambil menatap wajah ini dengan saksama. "Menjauh!" Sontak aku mendorong tubuhnya secara kasar, lalu bangkit untuk duduk.
"Pak Bagas, kok, mau ketemu sama Pak Arto pake minta diantarin segala?" Aku bertanya sambil menikmati embusan angin yang membelai wajah. Rasanya wajahku begitu lembut dan terasa kenyal setelah melakukan perawatan di salon tadi. Kuku-kukuku juga terlihat tampak cantik dengan olesan cat kuning keemasan dan bertabur sedikit glitter. Rambut yang tertutupi oleh jilbab toska ini juga terasa ringan dan sangat wangi setelah melakukan perawatan tadi. Reva benar-benar sahabat yang baik. Dia memaksaku untuk melakukan semua perawatan yang seperti dia lakukan. Katanya, yang namanya wanita wajib memanjakan diri mereka sendiri dengan perawatan ke salon. Aku memang tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa melakukan hal tersebut hari ini. "Ya wajarlah, 'kan, dia nggak tau arah." Reva menjawab setelah menyeruput es bobanya. "Aku juga lupa-lupa ingat rumahnya ada di mana. Jadi, daripada ngambil resiko salah jalan, mending aku ajak kamu j
Saat ini waktu telah pukul 18.00, aku baru saja selesai menidurkan Alisa. Balita menggemaskan itu terlihat begitu lelap setelah menghabiskan sepiring nasi goreng. Aku keluar dari kamar Alisa, menuju ke ruang tamu. Namun, tidak ada seorang pun di sini. "Nyari siapa, Neng?" tanya perawat Alisa tadi. "Emm, mereka semua pada ke mana, Bi?""Owh, mereka. Kalau bosnya Neng diajak Pak Arto ke kebun sawit tadi. Terus, kalau teman Neng yang rambutnya pirang itu, diajak sama Nyonya ke kamar," jelas wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Bibi kira-kira tau nggak, mereka ngapain?" tanyaku lagi. "Tadi saat saya ke kamar Nyonya buat nganterin minuman, saya dengar mereka lagi bahas-bahas kosmetik gitu. Penghilang kerutan sama anti penuaan gimana, yah? Lupa saya. Hehe!" Sang Bibi menjelaskan ragu-ragu. "Baiklah, Bi. Makasih infonya."Wanita itu kembali ke dapur setelahh mengangguk-angguk menanggapi perkataanku. Seka
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.