"Kyaaa ... lepaskan aku! Menjauh! Dasar pembunuh!"
Aku tersentak sambil berteriak kencang. Napasku memburu disertai degup jantung yang berdentam-dentum, sedangkan kening dan pelipisku meluncur keringat dingin. Mataku mendelik ketakutan menyapu seisi ruangan."Aku di mana?" gumamku kembali kebingungan dengan tempat sekarang berada.Aku sedang duduk di ranjang berukuran king dengan seprei bermotif loreng. Ruangan ini didominasi dengan warna kuning gading di dindingnya juga beberapa aksesoris di dalam kamar. Di samping kanan terdapat meja rias. Pandangan ini terpaku pada beberapa minyak rambut pria di atas meja itu.Kamar ini terasa familer, tetapi kamar siapa? Pikiranku menerawang. Namun, kepalaku malah berdenyut kesakitan. Adegan pembunuhan yang dialami oleh Alina terlintas di pikiran, seolah-olah slide film yang ditayangkan di depan mata.Aku memijit pelipis seraya menunduk dalam, berharap bisa mengatasi rasa sakit. Namun, mataku malaKetukan serta suara yang memanggil dari luar rumah, mengalihkan pandangan Polisi Joshi. Dia yang tadinya hendak mengatakan syarat biaya operasi Mamah, diurungkannya dan memilih keluar kamar. Selang beberapa menit, wanita berhijab putih tulang itu masuk ke kamar dengan membawa peralatan medisnya. "Saya periksa dulu lukamu, yah?" ucapnya ramah. Aku mengangguk dan duduk di sofa. Dokter yang bernama Wina itu juga ikutan mendudukan dirinya di sofa. "Apa yang terjadi kepadamu? Saya lihat lukamu seperti cakaran hewan buas? Kamu dari mana semalam?" Sembari menurunkan setengah kemeja dan memeriksa lukaku, Dokter Wina memberondongku dengan banyak pertanyaan. Ketika hendak menjawab pertanyaan Dokter Wina, pandanganku teralihkan oleh seseorang yang baru saja datang dari pintu masuk. Sontak saja mataku membulat dengan tangan yang menyilang di depan dada. Pipi ini juga tiba-tiba memanas melihat tatapannya yang tajam. "Em, maaf." Polisi J
Balita menggemaskan itu sedang terlelap dengan wajah yang pucat di atas brankar. Seteleh mendengar perkataan Fadli kalau Alisa demam tinggi dan sedang dirawat di rumah sakit, aku langsung memutuskan untuk menjenguk sekaligus juga ingin melihat kondisi Mamah. Aku melupakan bahwa harus ke tempat kerja. "Sejak kapan Alisa demamnya?" tanyaku sembari mengusap kepalanya sayang. "Sejak siang kemarin, dia menangis terus dan semalam puncaknya. Tubuh dia demam tinggi dan selalu menangis. Dia memanggil-manggil ibunya juga denganmu."Aku mengembuskan napas berat. Bagaimana sekarang? Tanpa sadar aku sudah mengikat tali kasih sayang dengan balita malang itu. Ingin merawatnya, tetapi orang-orang akan berpikiran buruk lagi, menganggapku sebagai wanita yang tidak baik. Namun, jika mengacuhkannya dan memilih tutup mata dan telinga tentang semua yang terjadi kepadanya, aku juga tidak sanggup. Aku sudah menyayangi Alisa seperti anakku sendiri. "Tantan."
"Ayolah, seteleh ini aku akan berikan apa pun yang kamu mau, Tania." Pak Jarot meraih pergelangan kakiku. "Lepas!" Satu tendangan membuat pria tua itu terjungkal. "Kurang ajar kamu!" geram Pak Jarot menatapku marah. Aku berusaha bangkit dan berlari dengan kondisi yang masih terpincang-pincang. Suasana di sekitar terbilang cukup sepi, peternakan Pak Jarot berada jauh dari pemukiman warga. Aku terus berlari dengan Pak Jarot yang mengejar dengan cepat. Kondisi kakiku yang kesakitan mempersulit dalam berlari. "Mau lari ke mana kamu, Tania?" Suara Pak Jarot menggelegar. Aku mengutuk diri sendiri karena dengan bodohnya ke tempat ini tadi. Dalam pelarian, aku terus berseru meminta tolong. Berharap ada seseorang yang mendengarkan. Celaka, terdengar deru motor bising Pak Jarot di belakang sana. Itu berarti dia mengejarku dengan motornya. Aku terus berlari tanpa mememdulikan kaki yang kesakitan. Keringat mulai menbanjiri wa
"Bisakah kau membatalkan syaratmu tadi?" Sembari menahan dadanya yang terus maju mendekat, aku memberanikan diri mengucapkan hal itu. Polisi Joshi berhenti mendekat, dia menatapku dalam beberapa saat, lalu menarik tubuhnya menjauh. "Tidak." Dia berucap tegas. Lantas, kembali melajukan mobilnya. Aku hanya mengembuskan napas kasar serta menahan tangis. Mengenggam tangan erat, dengan pikiran yang menerawang jauh. Tidak pernah menyangka, kematian sahabat karib yang sangat kusayangi akan membuat hidupku sengsara seperti ini.Entah dosa apa yang pernah kulakukan kepada Alina semasa dia hidup, sampai pada saat dia mati tega menghantui hidupku setiap waktu. Menerorku, menyerang, bahkan dia juga menargetkan Mamah sebagai korbannya. Sekarang, karena kematiannya aku harus siap-siap dipenjara. Menerima tuduhan yang sama sekali tidak pernah kulakukan, demi keberlangsungan nyawa seseorang yang kusayang di rumah sakit sana. "Bagaimana bisa
Suara azan subuh berkumandang, membangunkan tidurku yang rasanya baru saja terlelap. Sepanjang malam aku tidak henti-hentinya melafalkan ayat kursi. Menenangkan hati juga pikiran. Aku bahkan lupa terlelap di jam berapa. Rasanya tubuhku sangat malas sekali untuk bangkit melaksanakan salat subuh. Lelah dan mengantuk menjadi satu. Membuatku berlama-lama hanya memutar badan ke kiri, lalu ke kanan lagi. Suara azan kini telah usai, dikarenakan tidak bisa memejakan mata lagi, aku memutuskan untuk bangkit dari tidur. Menuju ke kamar mandi dan membasuh muka. Air dingin yang sejuk langsung menyegarkan mata. Namun, lama-kelamaan air sebening embun itu perlahan mengeruh dan berwarna kemerah-merahan. Aroma anyir pun meyeruak. "Huek! Huek!"Aku segera mundur dan mengusap wajah kasar. Aromanya yang anyir dan bercampur bangkai seketika membuat perutku bergejolak dan meminta di keluarkan isinya. Pandanganku mengedar ke sekeliling dengan tatapan waspad
Sekuat tenaga aku terus berusaha melawan makhluk yang menguasai tubuh. Namun, makin aku berusaha melawan, makin terasa lemah tubuh ini. Kekuatan yang mengungkung tubuhku ini benar-benar kuat. Aku tidak mampu untuk melawannya. Aku tetap tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri. Di saat sedang berusaha melawan kekuatan mistis yang menguasai tubuh, tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang menekan ubun-ubun ini. Sontak saja aku merasakan kesakitan yang teramat dalam. Panas dan menusuk dari ubun-ubun, lalu menjalar ke seluruh tubuh. "Arrrggghhh, sakiitt!" jeritku melengking. "Alisa!" Fadli datang dan menarik Alisa dari dekapanku. Tanganku hendak merebutnya kembali. Namun, seseorang yang masih menekan ubun-ubunku itu membuat aku kembali menjerit kesakitan, merasakan sensasi panas yang luar biasa dari sana. Entah bagaimana caranya, kurasakan kepalaku ini berputar seratus delapan puluh derajat, hendak melihat seseorang yang sedang menekan kepala
Mbah Aji menatap langit-langit rumahnya yang telah usang, kembali terlihat seperti sedang menerawang sesuatu. Mungkin dia sedang mengingat-ingat siapa seseorang yang dia maksud. "Siapa, Mbah?" Aku mendesak, tidak sabar ingin tahu siapa orangnya. Kemungkinan besar orang yang dilihat Mbah Aji adalah orang yang sudah melenyapkan Alina dengan sadis. Mendengar desakanku, Mbah Aji memijit keningnya yang telah berkerut. Dia mengembuskan napas panjang. "Saya tidak ingat siapa," jawabnya terdengar penuh sesal.Mbah Aji terkenal sebagai tetua yang pandai mengobati orang lain dari gangguan hal-hal mistis. Dia hidup sebatang kara di rumah kecilnya dekat dengan rumah Alina. Jika Mbah Aji kebetulan keluar pada malam itu, pasti dia akan melihat siapa si pelaku yang sudah melenyapkan Alina dengan sadis di malam penuh badai tersebut. Namun, orang tua itu terkadang suka pikun. Maklumlah, dia sudah tua. "Apa seseorang yang Mbah liat itu memakai hoodie hitam?" Tid
"Tania! Tania!"Baru saja aku menyelesaikan makan, terdengar suara seseorang yang menyerukan namaku dari luar rumah. Aku yang sedang mencuci piring menghentikan aktivitas dan tergopoh menghampiri dan membukakan pintu untuk orang tersebut. Begitu pintunya terbuka, tangan kurus itu langsung menjambak rambutku yang tertutupi jilbab dengan kasar. "Gara-gara kamu, cucu saya hampir saja meninggal!" ujar Bu Sarti berteriak geram seraya menambah erat jambakannya. "Ahk, sakit, Bu!" Aku mencoba menahan jambakannya. Namun, dia malah mendaratkan tamparan di wajah ini. Sontak saja pipi sebelah kiriku memerih juga memanas saat mendapat tepisan keras itu. "Tidak puas kamu sudah membuat anak saya tiada? Sekarang, kamu mau membunuh cucu saya lagi? Hah!" Lagi-lagi dia mendaratkan tamparan secara berulang-ulang. Bu Sarti seperti kerasukan setan. Aku hanya mampu berusaha menghalau tamparan Bu Sarti tanpa berani melawan. Biar bagaimanapun juga,
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.