Home / Horor / Tabir Kematian Sahabatku / Bab 2: Interogasi

Share

Bab 2: Interogasi

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2023-10-06 05:15:21

Baik aku atau warga lainnya, semua saling pandang. Lantas, menatap Fadli yang masih setia dengan raut kebingungannya. Dia menatap kami semua satu per satu dengan alis mengernyit.

"Kalian ada apa rame-rame di rumahku?" Lagi, Fadli bertanya.

"Kamu dari mana Fadli?" Salah satu warga yang bernama Pak Kasmin menanyainya.

"Aku seperti biasa, habis pulang dari melaut." Fadli menjawab sopan. "Ini ada apa?" lanjutnya bertanya.

"Sejak kapan kamu ke lautnya?" Pak Kasmin kembali melemparkan pertanyaan. Tatapannya sangat serius.

"Aku selalu turun ke laut dari magrib dan pulang pagi. Sudah menjadi rutinitas harianku begitu. Kenapa Pak Kasmin bertanya seperti itu? Kenapa kalian memandangku aneh? Apa yang terjadi?" Fadli terlihat mulai tidak nyaman dan melontarkan pertanyaan beruntun.

Tatapan Fadli menoleh kepadaku, lalu memerhatikan putrinya Alisa yang ada di gendongan ini. Matanya membulat saat melihat darah pada tangan putrinya. Dia langsung mendekat.

"Astaga ... apa ini?" Fadli gegas mengusap cairan kental kemerahan itu. Mengendusnya. "Darah?" Alisnya mengernyit. "Darah siapa ini?"

"Fadli, istrimu, dia ...."

"Apa yang terjadi dengan Alina?"

Belum sempat Pak Kasmin menyelesaikan kalimatnya, Fadli terlebih dahulu memotong. Detik berikutnya, dia langsung berlari masuk ke rumahnya bagian dapur. Di mana orang-orang sedang mengelilingi bagian itu.

"Tantan, Mamah ...," ucap Alisa mengalihkan perhatianku pada Fadli.

"Iya, Sayang. Kamu sama Tantan dulu, yah."

Aku mengusap wajah mungil Alisa. Kasian, matanya sembab. Sepertinya dia sudah sedari tadi sekali menangis. Aku membawa Alisa ke rumah. Hendak membersihkan tubuhnya dari bercak darah.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa pelakunya? Alinaa ...."

Samar-samar aku mendengar suara Fadli yang bergetar. Dia pasti terpukul atas kepergian istrinya. Bukan hanya Fadli saja, aku juga merasa terpukul atas kepergian Alina. Terlebih lagi, Alina pergi dalam keadaan tragis seperti ini. Entah siapa pelaku yang sudah melenyapkan Alina dengan sesadis itu.

"Tania, pak polisinya sudah datang." Mamah datang tergopoh. "Katanya, dia ingin ketemu sama orang yang pertama kalinya melihat mayat Alina," terang Mamah.

"Baik, Mah. Aku akan pergi." Kuberikan Alisa yang sudah bersih ke Mamah. Namun, gadis kecil itu malah menangis.

"Tantan, Tantan, mau Tantan!" Dia merengek hendak digendongku. Terpaksa, aku kembali menggendongnya dan keluar rumah.

Di luar, di atas jok mobil jeep tanpa atap, terduduk di sana petugas kepolisian muda yang mengenakan kacamata hitam. Terlihat gayanya begitu pongah, bahkan sesekali dia bersiul kala seorang gadis lewat di sampingnya. Aku taksir umur petugas polisi itu mungkin 5 tahun lebih tua dariku. Mungkin.

Aku mengayunkan kaki mendekat ke polisi muda itu. Tatapan kami bertemu. Aku menatap tajam matanya yang berada di balik kacamata hitam. Detik berikutnya, dia melepaskan kacamata itu dan menyimpanya di saku jaket kulit hitamnya. Dia balik menatapku tajam. Tatapan kami beradu beberapa detik, sampai akhirnya aku memilih membuang muka. Merasa muak melihat wajahnya yang sok cakep.

"Ceritakan bagaimana kronologi kamu mengetahui tentang mayat ini?" Dia bertanya to the point. Tatapannya lurus ke Alisa yang ada di gendonganku.

"Tadi pagi, aku mendengar suara Alisa menangis. Aku langsung pergi ke rumahnya untuk menenangkan dia. Dan pada saat itulah aku melihat mayat Alina," jelasku singkat.

Alis tebal polisi itu beraut. Dia menyeringai tipis. "Apa kamu selalu menghampiri anak kecil yang menangis di rumahnya dan mendiamkannya?" tanya polisi itu terlihat mencurigaku.

Aku menggeleng. "Tentu saja tidak ...."

"Lalu kenapa kamu langsung menghampiri anak ini? Apakah dia anakmu juga?" Wajahnya terlihat sangat menjengkelkan.

Tatapan tajam kulemparkan. Sedari awal melihat polisi itu, aku sudah tidak menyukai gayanya. Dia terlihat tidak cocok seperti polisi, dia terlihat seperti anak kaya raya yang sombong.

"Hehh, turunkan pandanganmu!" Dia terlihat kesal saat aku menatapnya tajam.

Aku membuang muka. "Alina dan aku sahabatan sejak kecil. Apalagi setelah menikah, mereka membangun rumah di samping rumah kami. Hal itu membuat persahabatan kami makin erat. Aku memang sudah menganggap Alisa sebagai anakku sendiri. Maka dari itu, saat aku mendengar tangisannya, aku langsung pergi menghampirinya."

Polisi itu terlihat mengangguk-angguk. Namun, anggukannya terlihat skeptis mendengar pernyataanku. Entah apa yang dia pikirkan. Tatapannya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Membuat diri ini tidak nyaman dengan tatapannya yang setajam elang.

"Kamu tidak menangis, sahabat karibmu meninggal? Apa kamu tidak sedih dia meninggalkanmu untuk selamanya?" tanya polisi itu lagi. Dia menatapku dengan mata yang memicing. Sesekali dia mengusap-ngusap rahang tegasnya.

Pertanyaan yang dilontarkan polisi muda itu membuatku terpojok. "Aku bukannya tidak sedih Alina pergi untuk selamanya. Tapi, jika aku sekarang menangis meraung-raung karena kehilangan Alina, apa yang akan terjadi dengan anak ini? Dia pasti akan ikutan bersedih karena melihatku menangis. Maka dari itu, sekuat mungkin aku mencoba kuat di hadapannya."

Aku mengusap puncak kepala Alisa dengan dada yang sesak. Wajahnya mirip sekali dengan Alina. Wajah dan tubuh Alina yang berdarah melintas di depan mata. Aku bersumpah akan mencari tahu siapa pembunuh itu.

"Apa Anda mencurigaiku sebagai pelenyap Alina?" Terus terang kutanyakan hal itu. Namun, dia hanya menyeringai.

Polisi itu berlalu dari hadapan dan bertanya kepada warga lainnya. Dia selalu melemparkan tatapan tajam kepadaku. Membuat diri merasa risi dengan tatapannya yang sangat aneh.

Rumah Alina sekarang dihalangi oleh garis polisi. Jasadnya sudah dibawa ke rumah orang tuanya. Sekitar 50 meter dari sini. Harus melewati turunan terlebih dahulu agar sampai ke rumah orang tuanya Alina. Aku mengayunkan kaki hendak ke rumah orang tua Alina juga.

"Tunggu!" Tiba-tiba lenganku dicekal oleh polisi muda itu.

Aku gegas menarik tanganku kasar darinya. Menatap dia tajam. "Lancang!" seruku.

Dia memasang tampang datar. "Urusan kita belum selesai!" tandasnya menatapku sangat tajam, setajam elang mengintai anak ayam.

Aku tidak menghiraukan ucapan polisi itu. Kembali melanjutkan langkah menuju ke rumah orang tua Alina. Mamah yang sedari tadi hanya menonton percakapanku dengan polisi muda itu menjadi cemas. Takut anaknya ini sampai dipenjara.

"Mamah tenang aja. Tania, 'kan, enggak salah. Jadi enggak mungkin dipenjara." Aku mencoba menetralkan perasaannya.

Sesampainya di rumah orang tua Alina, di ruang keluarga yang cukup luas itu, Bu Sarti---ibunya Alina langsung menatapku tajam dengan matanya yang memerah. Terlihat tangan wanita paruh baya itu mengepal erat. Dia bangkit berdiri tanpa melepaskan tatapan sengit kepadaku.

'Plak!'

Tamparan kasar darinya mendarat di pipiku. "Ini semua gara-gara kamu! Anak saya mati gara-gara kamu!" teriakknya keras.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
loh.. kok malah nyalahin tania
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 3: Tuduhan Pembunuhan

    Rasa panas dan kebas menjalar di pipi kiriku. Bahkan, tubuh ini sedikit terhuyung ke samping pasca mendapat tamparan dari ibunya Alina. Ada apa dengan beliau? Apa yang membuat dia semarah ini, bahkan sampai menamparku. "Apa-apaan kamu Sarti? Kenapa nampar anak saya?" tanya Mamah dengan nada tinggi. Bu Sarti tidak menjawab pertanyaan Mamah, dia tetap menatapku sengit. Pandanganku memburam menatapnya, menandakan air mata telah menggenggang di pelupuk ini. "Kemarikan cucu saya!" Bu Sarti langsung menyambar Alisa di gendonganku. "Huwaa ...." Anak itu langsung menangis ketika digendong oleh neneknya sendiri. "Tantan, Tantan, Tantan." Tangan Alisa berusaha meraihku. Bahkan, dia kelihatan takut dengan neneknya sendiri. Walaupun takut, tetapi aku mencoba merebut paksa Alisa dari gendongan neneknya. Bu Sarti geram dengan ulahku. Matanya memelotot marah. "Setelah membuat saya kehilangan anak, kamu juga ingin membuatku kehilangan cucu!" Mata wanita itu penuh kilat kemarahan. "Maksud Bu S

    Last Updated : 2023-10-06
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 4: Ia Kembali!

    Kilatan cahaya petir menyinari sebuah sosok di luar jendela. Dengan jelas menampilkan wajahnya yang penuh darah dengan luka bacok di kening. Sorot mata yang tajam itu seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. "A-Alina ...." Aku mundur perlahan dengan lutut yang gemetar. Angin berembus kencang dan kembali kilatan petir menyambar. Aku bisa melihat jelas penampakan di luar jendela itu, rambutnya berkibar-kibar akibat tiupan angin kencang. "Mati! Kamu harus mati! Hihihihihi ...." Sosok itu berucap keras seraya maju mendekat dengan kepala teleng dan seringai yang menakutkan. "Pergi! Jangan ganggu aku! Kamu bukan Alina!" teriakku ketakutan. Air mata luruh begitu saja. "Tol---""Kamu harus ikutan mati sepertiku, Taniaaa ...!" ucap sosok yang mirip dengan Alina itu. Lantas, dia berteriak kencang hingga membuatku menununduk dan menutup kuping. Suaranya begitu menusuk ke indra pendengaran, sampai membuat telingaku berdenging. Beberapa menit berlalu dalam posisi itu, perlahan aku mencoba mel

    Last Updated : 2023-10-06
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 5: Kuburan yang Terbongkar

    Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam. "Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina. Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya. Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu. Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman. "Astaghfirullah ...." Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan

    Last Updated : 2023-10-06
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 6: Menginginkan Kematianku

    Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu. Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku. "Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku. "Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku. Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung. "Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku. "Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis. Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga

    Last Updated : 2023-10-27
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 7: Diseret ke Kantor Polisi

    Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup. "Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku. Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku. "Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah. "Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan. "Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi. "Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku d

    Last Updated : 2023-10-28
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 8: Interogasi Polisi Joshi

    Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.

    Last Updated : 2023-10-29
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 9: Kedekatan ini

    Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.

    Last Updated : 2023-10-30
  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 10: Menargetkan Mamah

    Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi. "Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku. "Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking. Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku. "Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas. "Maa ... sa-

    Last Updated : 2023-10-31

Latest chapter

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 120: Menjemput Istri di Alam Gaib

    Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 119: Aksi Penyelamatan

    Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 118: Tania atau Alisa

    Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 117: Perasaan Bersalah

    Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 116: Jebakan Mantan

    Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 115: Mimpi Beruntun

    Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 114: Memelihara Setan?

    Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 113: Kerasukan

    Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P

  • Tabir Kematian Sahabatku   Bab 112: Acara yang Kacau

    Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.

DMCA.com Protection Status