Beranda / Horor / Tabir Kematian Sahabatku / Bab 4: Ia Kembali!

Share

Bab 4: Ia Kembali!

Penulis: Ngolo_Lol
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-06 05:18:40

Kilatan cahaya petir menyinari sebuah sosok di luar jendela. Dengan jelas menampilkan wajahnya yang penuh darah dengan luka bacok di kening. Sorot mata yang tajam itu seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup.

"A-Alina ...." Aku mundur perlahan dengan lutut yang gemetar.

Angin berembus kencang dan kembali kilatan petir menyambar. Aku bisa melihat jelas penampakan di luar jendela itu, rambutnya berkibar-kibar akibat tiupan angin kencang.

"Mati! Kamu harus mati! Hihihihihi ...." Sosok itu berucap keras seraya maju mendekat dengan kepala teleng dan seringai yang menakutkan.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Kamu bukan Alina!" teriakku ketakutan. Air mata luruh begitu saja. "Tol---"

"Kamu harus ikutan mati sepertiku, Taniaaa ...!" ucap sosok yang mirip dengan Alina itu. Lantas, dia berteriak kencang hingga membuatku menununduk dan menutup kuping. Suaranya begitu menusuk ke indra pendengaran, sampai membuat telingaku berdenging.

Beberapa menit berlalu dalam posisi itu, perlahan aku mencoba meluruskan badan dan melihat ke depan. Berharap dia sudah pergi. Hilang. Tidak ada siapa pun lagi di luar jendela. Hanya ada kegelapan di sana.

Aku mengembuskan napas lega, walau tubuh masih menggigil ketakutan. Dengan lutut yang masih terasa sedikit bergetar, perlahan aku mengayunkan kaki, hendak menutup jendela yang terbuka itu. Selesai menutupnya, saat aku berbalik, sosok menyeramkan tadi tiba-tiba berada di belakangku dengan tatapan membunuh.

"Matiiii ...!" teriaknya keras. Suaranya yang begitu besar seperti angin kencang yang mampu membuat tubuhku terempas jauh.

Aku terempas dan kepala ini langsung terbentur ke dinding tembok yang keras. Kepalaku sakit. Aku lunglai ke lantai dengan pandangan memburam. Samar-samar kulihat sosok yang mengenakan gaun panjang berdarah itu menghampiri Alisa yang terlelap di ranjang.

Tidak lama kemudian, nyanyian lagu nina bobo yang terdengar menyeramkan memenuhi ruangan. Detik berikutnya, aku kehilangan kesadaran.

****

"Tania, Tania, kenapa kamu tidur di lantai?"

Lamat-lamat aku mendengar suara Mamah bertanya. Kurasakan juga pipi ini ditepuk-tepuk.

"Uh ...." Aku melenguh, lalu membuka kelopak mata yang terasa berat. Terlihat Mamah di hadapan menatapku dengan alis bertaut.

"Kamu kenapa tidur di lantai? Mana tidur di pojokkan lagi," ujarnya.

Perkataan Mamah sontak mengingatkanku dengan kejadian semalam. Aku menelan ludah kasar kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip Alina datang menyerangku, lalu menina bobokan Alisa.

Segera aku memandang ke ranjang, di mana Alisa sedang terbaring. Dia masih di sana. Tertidur dengan lelap. Apa mungkin aku hanya bermimpi?

"Mamah semalam dengar suara-suara aneh, enggak?" tanyaku. Namun, dia hanya menggeleng makin kebingungan akan pertanyaanku.

"Enggak apa-apa, Mah. Mungkin aku jalan sambil berdiri kali semalam, makanya tidur di sini." Aku berbohong agar Mamah tidak khawatir kepadaku.

"Kamu benar enggak apa-apa?" Wanita yang sudah berusia 40 tahun dan selalu tampil dengan menggulung asal rambutnya itu menyentuh kepalaku. "Keningmu kenapa memar begini?" tanya Mamah. Alisnya mengernyit.

Aku menyentuh kening. "Aww!"

Ternyata keningku sampai meninggalkan bekas luka akibat serangan dari sosok menyeramkan semalam. Itu berarti semalam bukan mimpi, tetapi kenyataan.

"Enggak sengaja kejedot pintu semalam, Mah." Lagi-lagi aku berbohong.

"Ada-ada saja kamu. Makanya, hati-hati!" Mamah malah iseng memencet luka di keningku.

"Sakit, Mah!" pekikku kesal.

Beliau malah terkekeh. "Sudah sana, kamu bangunin Alisa trus kamu mandiin," perintahnya.

Aku pun bangkit berdiri. Mendekati Alisa yang ada di ranjang dan membangunkannya. "Selamat pagi, Alisa Sayang ...." Aku menggelitiki anak kecil itu.

Dengan berat, dia membuka kelopak mata seraya menggeliat.

"Tantan." Alisa menyambutku dengan senyumannya yang menggemaskan.

Aku tersenyum getir kala bayangan Alina melintas di kepala. Siapa yang membunuh Alina dengan begitu sadis? Kenapa ibunya Alina menuduhku sebagai pelenyap anaknya? Kenapa arwah Alina menggentayangi dan ingin membunuhku? Apa aku ada salah selama ini dengan dirinya? Seingatku, kami selalu berteman baik sejak kecil sampai dia menikah dan punya anak. Hubungan itu tetap baik-baik saja tanpa ada sedikit pun pertikaian.

"Tania, Tania, Tania ... keluar kamu! Kemarikan cucu saya!"

Baru saja aku selesai memandikan Alisa dan mendandaninya, di luar terdengar seseorang berteriak keras.

"Kamu lagi Sarti. Kamu ngapain ke sini pagi-pagi? Pakai teriak-teriak segala lagi." Itu suara Mamah.

Gawat, jangan sampai mereka bertengkar.

"Masih tanya saya mau ngapain? Saya mau ambil cucuku kembali. Tidak sudi cucu saya berlama-lama dengan wanita munafik seperti anakmu itu!" sembur Bu Sarti.

"Jangan bicara sembarangan kamu, Sarti! Anak saya itu, anak baik-baik."

Aku segera memakai jilbab berwarna kuning, lalu menggendong Alina yang sudah wangi dan cantik. Dengan sedikit berlari, aku keluar kamar dan menuju ke teras.

Terlihat Bu Sarti melemparkan tatapan berkilat penuh kemarahan kepada Mamah, sedangkan Mamah menatap tajam Bu Sarti. Walaupun aku dan Alina sahabat karib sejak kecil, tetapi hubungan di antara kedua ibu kami memang tidak pernah akur. Mereka tidak pernah saling sapa, apalagi mengobrol.

"Kemarikan cucu saya!"

Melihatku yang datang sembari menggendong Alisa, Bu Sarti langsung merebutnya dariku. Terpaksa, aku pun melepaskan Alisa walau anak itu menangis.

"Tantan, Tantan, Tantan, huwaa ...!" Alisa menangis keras, tetapi Bu Sarti malah membawanya pergi menjauh. Menuju ke arah rumahnya.

"Sabar." Mamah mengusap punggungku, setelah melihatku yang mengembuskan napas berat.

"Iya, Mah." Senyum manis kupasang di wajah ini. "Ya udah, Mah, Tania pergi kerja dulu, yah."

"Semangat!" Mamah mengepalkan tanganya di udara.

Aku bekerja sebagai pelayan di warung makan Pak Jarot. Warung makan paling enak di Desa Mekar. Walaupun warungnya tidak terlalu besar, tetapi lumayan ramai pengunjung. Warungnya buka dari pukul 07.00 sampai 18.00, dan akan buka sampai 23.00 saat malam minggu. Punya dua karyawan, aku dan Mesya---seorang ibu muda.

Di saat perjalanan ke warung makan Pak Jarot, di tengah jalan tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dan disusul sebuah mobil yang memalang langkahku.

"Jalan kaki aja? Naik, yuk!" tawar pria itu, terlihat sok akrab.

Sudah jadi kebiasaanku untuk pergi ke warung makan yang jaraknya sekitar 200 meter dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya kendaraan yang bisa kugunakan.

"Terima kasih. Enggak perlu." Aku menolak tawarannya. Lantas, membuang muka.

Pria itu petugas kepolisian yang menyelidiki kasus kematian Alina kemarin.

"Naiklah! Ada yang ingin saya tanyakan tentang kematian sahabatmu." Terdengar nada memaksa dari bibir tipis sang pria.

Aku menatapnya lekat, begitu pun juga dengan sang polisi yang melemparkan tatapan elangnya kepadaku. Pandangan kami saling beradu beberapa saat, sampai aku memilih membuang pandangan sambil mengembuskan napas panjang.

Dengan ragu-ragu, akhirnya aku menuruti ajakannya untuk naik ke mobil jeepnya yang tanpa atap itu. Duduk di sampingnya dengan sungkan. Jujur saja, aku ingin tahu perkembangan kasus kematian Alina. Siapa si pelaku sadis itu?

Sang polisi memakai kacamata hitamnya, membuat benda itu bertengger di hidungnya yang bangir. Lantas, dia mulai melajukan mobil jeepnya.

Baru saja kami keluar dari kampung dan melewati area makam, aku melihat ada beberapa bapak-bapak berlarian dengan wajah pucat dan panik.

"Ada apa, Pak?" Polisi itu langsung bertanya kala seorang bapak melewati samping mobilnya.

"I-itu ...." Napas si bapak tersenggal-senggal. "Ku-kuburan si Alina terbongkar dan jasadnya menghilang."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
kok bisa sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 5: Kuburan yang Terbongkar

    Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam. "Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina. Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya. Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu. Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman. "Astaghfirullah ...." Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-06
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 6: Menginginkan Kematianku

    Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu. Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku. "Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku. "Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku. Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung. "Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku. "Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis. Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-27
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 7: Diseret ke Kantor Polisi

    Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup. "Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku. Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku. "Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah. "Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan. "Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi. "Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku d

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-28
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 8: Interogasi Polisi Joshi

    Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-29
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 9: Kedekatan ini

    Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-30
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 10: Menargetkan Mamah

    Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi. "Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku. "Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking. Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku. "Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas. "Maa ... sa-

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-31
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 11: Penawaran untuk Biaya Operasi

    Aku memekik seraya menutup mata dan telinga. Beruntung sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya hingga terdengar bunyi decitan nyaring di aspal. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan debar jantung yang menggila. Aku menatap kosong ke depan dengan napas yang masih syok. "Kamu nyari mati?" Suara seseorang mengalihkan pandanganku. Ternyata itu mobil Polisi Joshi. Aku menatapnya dengan mata berair, sedangkan sang polisi yang mengenakan pakaian dinasnya serta dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku kesal. "Itu pencurinya! Cepat tangkap!"Suara dari samping kanan, sontak membuatku kembali panik. Di sana ada beberapa warga juga si pemilik tas yang menatapku marah, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Dengan lutut yang masih bergetar, aku gegas berdiri. Lantas, bersembunyi di balik punggung Polisi Joshi. "Tolong aku." Kusembunyikan wajah di balik punggung tegap sang polisi. Terdengar derap langkah me

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-01
  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 12: Terlambat Menolong Mamah

    Suasana hening beberapa menit setelah ucapan spontanku tadi. Tidak terdengar sahutan apa pun dari Polisi Joshi mengenai tawaran memalukan dariku tadi. Aku benar-benar kalut, tidak tahu harus berbuat apa demi mendapatkan uang. Polisi Joshi terus bergeming di tempatnya berdiri, tidak terdengar apa pun darinya. Baik suara, gerak badan, ataupun helaan napas darinya. Suasana di sekitar sangat hening. Hanya terdengar isakkan tangis dan sesenggukan tertahan dariku. Aku masih sama, bersimpuh dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah. Aku tidak berani mendongak, memandang Polisi Joshi. Merasa sangat malu dengan apa yang barusan kulontarkan. Bagaimana bisa aku secara spontan mengeluarkan perkataan menjijikkan seperti itu. Aku baru saja berusaha menjual diri sendiri. Sangat memalukan! "Kalau kamu sudah selesai menangisnya. Ayo, kita ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Polisi Joshi, perlahan aku mendongak. Aku memandang punggung Polisi Joshi yang sudah

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02

Bab terbaru

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 120: Menjemput Istri di Alam Gaib

    Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 119: Aksi Penyelamatan

    Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 118: Tania atau Alisa

    Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 117: Perasaan Bersalah

    Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 116: Jebakan Mantan

    Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 115: Mimpi Beruntun

    Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 114: Memelihara Setan?

    Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 113: Kerasukan

    Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P

  • Tabir Kematian SahabatkuΒ Β Β Bab 112: Acara yang Kacau

    Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.

DMCA.com Protection Status