"Ibu kamu sudah dipindahkan ke rawat inap. Semoga saja beliau cepat sadar."
Fadli berucap dengan penuh harap. Namun, pandanganku malah fokus mengejar punggung Polisi Joshi yang sedang keluar dari ruang perawatanku. Setelah memperingatiku tentang kesepakatan biaya operasi Mamah, dia pergi begitu saja.Aku sedang berada disituasi apa? Hantu sahabatku meneror dan sampai membuat Mamah kritis di rumah sakit. Aku bahkan sampai menjual tubuh ke pria asing demi menyelamatkan nyawa Mamah. Namun, itu semua belum mampu menyelamatkannya. Kondisi Mamah masih berada di antara hidup dan mati."Nia?" Fadli mengguncang pelan bahuku, membuat diri ini tersadar dari lamunan. "Kamu baik-baik saja?" lanjutnya bertanya. Wajahnya terlihat mengkhawatirkanku.Aku tersenyum getir. "Bagaimana bisa aku baik-baik saja, sedangkan Mamah dalam kondisi seperti itu.""Ibumu pasti akan segera siuman, Nia. Kamu banyak berdoa saja. Bantuan Allah pasti ada," saran Fadli leSegera aku melompat dari brankar, menuju ke pintu keluar. Celaka! Pintunya macet, tidak bisa terbuka. Tiba-tiba saja embusan angin berhawa panas memukul punggungku. Pandangan ini langsung menoleh ke belakang. Terlihat di gorden sana, kaki yang menjuntai tadi perlahan melayang mendekat dengan ditutupi gorden di bagian atasnya. Darah yang merembes di kakinya yang pucat menodai lantai keramik putih. Aku makin panik dan terus memutar-mutar kenop pintu dengan cepat. Berharap pintu ini bisa terbuka. Tidak hilang akal, aku mencoba memukul-mukul daun pintu dengan keras. "Tolong! Ada orang di luar? Tolong aku!" Suaraku meninggi juga panik. Terlebih lagi gorden dengan kaki yang menjuntai itu makin mendekat. "Tolong ak---!"Napasku tercekat diiringi dengan dengan tubuh yang membeku saat kurasakan sebuah tangan yang sedingin es mendarat di pundakku. "Jangan ganggu aku. Kumohon pergilah!" Aku langsung berjongkok sembari menutup wajah ketakutan.
Tanganku yang tadinya mengelus-elus puncak kepala Alisa dengan sayang, sekarang menjadi gemetar pasca mendengar suara menyeramkan itu. Terlihat Alisa sudah terlelap tenang, berbeda denganku yang tengah gemetar ketakutan. Kemungkinan besar suara yang menyambung nyanyianku tadi, ialah Alina. Dia pasti akan menerorku lagi. Aku menunduk dalam, mencoba menarik napas yang terasa tercekat. Berusaha untuk mengendalikan perasaan yang gemetar ketakutan. Perasaan ini bisa menelanku sewaktu-waktu. "Jangan takut, Tania. Ingat, derajat manusia lebih tinggi dibanding setan!" bisikku tegas. Aku berusaha mensugesti diri agar berani. "Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamawati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih ....""Kyaaaakkk ... akan aku bunuh kamu, Tania!"Seiring dengan lantunan Ayat Kursi yang kulafalkan, jeritan amarah menggema di ruangan 5×5 meter ini. A
Atmosfer di sekitar serasa menipis. Membuatku merasa sesak napas. Mata ini terus memelotot memerhatikan darah yang terus merembes dari kedua paha perawat di sebelah brankar Mamah, serta daging segar di bawahnya yang seperti bergerak-gerak. 'Siapa perawat itu? Apakah dia manusia atau ...?' batinku gemetaran. Aku perlahan mendongak, hendak melihat bagian atas perawat itu yang sedang terhalang oleh brankar Mamah. Kosong. Tidak ada siapa pun di hadapanku. Hanya ada layar elektrokardiogram. Perawat yang bernama Yulia tadi tiba-tiba saja menghilang. Aneh, padahal jelas-jelas ada seorang perawat tadi yang datang. Merasa penasaran, aku kembali berjongkok, hendak mengecek kembali ke bawah brankar. Tidak ada juga. Hanya ada lantai keramik putih yang menyambut pandangan ini. Namun, tiba-tiba saja ada sepasang kaki penuh darah jatuh menjuntai dari brankar Mamah. Terayun-ayun pelan sambil sesekali terdengar nyanyian lirih dari atas. Aku menelan ludah denga
Pagi kembali tiba lagi. Seperti biasa, sepulang dari melaut Fadli akan langsung mengambil Alisa di rumah. Aku memberikan balita menggemaskan itu ke ayahnya. "Kenapa wajahmu murung seperti itu, Nia?" Fadli menatapku lekat. Aku mengembuskan napas kasar. "Sebaiknya ... kamu jangan lagi menitipkan Alisa kepadaku," ucapku berat. Teringat dengan ucapan para warga semalam yang seakan-akan melabeliku sebagai wanita murahan. Mereka memang tidak mengatakannya langsung, tetapi arah pembicaraan mereka sangat jelas mengarah ke hal tersebut. "Kenapa, Nia? Apa Alisa terlalu merepotkanmu?" Wajah Fadli terlihat sendu. Aku menggeleng lemah. "Alisa sama sekali tidak merepotkanku. Hanya saja ...." Ucapanku menggantung. Pandangan ini menoleh ke kiri-kanan. Benar saja, para tetangga sedang mengintai kami dari kejauhan. Mereka pasti berpikiran yang macam-macam lagi tentang aku dan Fadli. "Kenapa, Nia? Kenapa kamu terlihat tidak nyaman seperti itu
Langkah ini melewati taman yang lumayan sepi. Untuk sampai dengan cepat ke rumah Polisi Joshi, jalan yang paling cepat ialah, melewati taman ini. Polisi itu tinggal di rumah sewa yang berada di dekat pantai. Angin berlalu-lalang dengan agak kencang. Membuat diriku yang hanya mengenakan kaus panjang berkain tipis sedikit kedinginan. Akhir-akhir ini memang cuaca sering hujan disertai angin kencang. Aku berhenti melangkah saat melewati salah satu lampu taman. Pandangan ini melirik ke arah lampu yang berkedap-kedip itu. Entah kenapa, aku tertarik untuk memerhatikan lampu di dalam kaca tersebut. Bayangan diriku terpampang di kaca penutup lampu taman itu. Sekonyong-konyongnya aku juga melihat satu bayangan lagi di belakangku. Berpakaian putih dengan wajah berlumuran darah. Dia menatapku dengan mata memelotot merah. "Astagf---"Sontak saja hal itu membuat tubuhku membeku. Jantung berdebar kencang, sedangkan tanganku gemetar kedinginan. Bukannya memali
"Kyaaa ... lepaskan aku! Menjauh! Dasar pembunuh!"Aku tersentak sambil berteriak kencang. Napasku memburu disertai degup jantung yang berdentam-dentum, sedangkan kening dan pelipisku meluncur keringat dingin. Mataku mendelik ketakutan menyapu seisi ruangan. "Aku di mana?" gumamku kembali kebingungan dengan tempat sekarang berada. Aku sedang duduk di ranjang berukuran king dengan seprei bermotif loreng. Ruangan ini didominasi dengan warna kuning gading di dindingnya juga beberapa aksesoris di dalam kamar. Di samping kanan terdapat meja rias. Pandangan ini terpaku pada beberapa minyak rambut pria di atas meja itu. Kamar ini terasa familer, tetapi kamar siapa? Pikiranku menerawang. Namun, kepalaku malah berdenyut kesakitan. Adegan pembunuhan yang dialami oleh Alina terlintas di pikiran, seolah-olah slide film yang ditayangkan di depan mata. Aku memijit pelipis seraya menunduk dalam, berharap bisa mengatasi rasa sakit. Namun, mataku mala
Ketukan serta suara yang memanggil dari luar rumah, mengalihkan pandangan Polisi Joshi. Dia yang tadinya hendak mengatakan syarat biaya operasi Mamah, diurungkannya dan memilih keluar kamar. Selang beberapa menit, wanita berhijab putih tulang itu masuk ke kamar dengan membawa peralatan medisnya. "Saya periksa dulu lukamu, yah?" ucapnya ramah. Aku mengangguk dan duduk di sofa. Dokter yang bernama Wina itu juga ikutan mendudukan dirinya di sofa. "Apa yang terjadi kepadamu? Saya lihat lukamu seperti cakaran hewan buas? Kamu dari mana semalam?" Sembari menurunkan setengah kemeja dan memeriksa lukaku, Dokter Wina memberondongku dengan banyak pertanyaan. Ketika hendak menjawab pertanyaan Dokter Wina, pandanganku teralihkan oleh seseorang yang baru saja datang dari pintu masuk. Sontak saja mataku membulat dengan tangan yang menyilang di depan dada. Pipi ini juga tiba-tiba memanas melihat tatapannya yang tajam. "Em, maaf." Polisi J
Balita menggemaskan itu sedang terlelap dengan wajah yang pucat di atas brankar. Seteleh mendengar perkataan Fadli kalau Alisa demam tinggi dan sedang dirawat di rumah sakit, aku langsung memutuskan untuk menjenguk sekaligus juga ingin melihat kondisi Mamah. Aku melupakan bahwa harus ke tempat kerja. "Sejak kapan Alisa demamnya?" tanyaku sembari mengusap kepalanya sayang. "Sejak siang kemarin, dia menangis terus dan semalam puncaknya. Tubuh dia demam tinggi dan selalu menangis. Dia memanggil-manggil ibunya juga denganmu."Aku mengembuskan napas berat. Bagaimana sekarang? Tanpa sadar aku sudah mengikat tali kasih sayang dengan balita malang itu. Ingin merawatnya, tetapi orang-orang akan berpikiran buruk lagi, menganggapku sebagai wanita yang tidak baik. Namun, jika mengacuhkannya dan memilih tutup mata dan telinga tentang semua yang terjadi kepadanya, aku juga tidak sanggup. Aku sudah menyayangi Alisa seperti anakku sendiri. "Tantan."
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.