Winda bersikukuh ingin menyusul lelaki yang menjadi dalang penculikan Selina ke Singapura. Namun Hanum dan Ruri tidak sependapat. Terlalu beresiko. “Baiklah, aku sudah dapat alamat lokasi di mana si William tinggal di Singapura. Kita bisa pesan tiket sekarang buat penerbangan besok pagi, jam 05.15. Biar waktunya lama kalau dari pagi. Lagipula bandara Soekarno-Changi paling butuh waktu satu jam-an lebih. Untung aku pernah ke Universal Studios Singapore, lumayan lah tahu dikit daerah sana,” papar Winda pragmatis. “Ongkos ada lah, dua jutaan PP,”Winda merogoh dompetnya dan mengintip isinya. Hanya tinggal uang beberapa lembar berwarna merah dan beberapa kartu. “Win, maaf aku gak setuju. It’s risky!” seru Hanum setelah menimang-nimang. “Dengan uang pas-pasan sama aja nekad, Win. Sudah cukup kita lakukan penyelidikan sampe sini aja. Biar tugas Pak Pol saja yang lanjutin. Apalagi berurusan dengan orang kaya dan berkuasa. Mereka akan sulit tersentuh. Biasanya orang-orang kayak gitu punya b
Sayup-sayup terdengar denting tetesan hujan yang masih menetes di atas genting menciptakan sebuah nada yang berirama indah seindah senandung lagu klasik Beethoven yang diputar gramofon di ruang tamu. Siapa yang menyalakan gramofon dini hari? Terdengar menyeramkan dan misterius.Perlahan Selina membuka kelopak matanya, mengamati sekelilingnya. Sejak semalam ia mengigau, bangun lalu tak sadarkan diri. Ia mengalami trauma berat akibat penculikan itu.Hujan masih menyisakan rintik yang menyatu dengan keheningan. Sudah menjelang pagi tetapi listrik masih mati sehingga pemandangan pertama yang Selina tangkap hanyalah temaram lampu berasal dari beberapa lilin aroma terapi dan lantunan musik klasik, Sepertinya lampu emergency mati. Namun harum aroma terapi mampu membuatnya setidaknya merasa lebih tenang.Selina mulai mengatur nafasnya dengan perlahan. Ia mengingat-ingat peristiwa yang ia lewati secara acak. Tak mudah baginya melewati peristiwa mengerikan yang terjadi semalam kendati ia berus
Zahrana menghambur, memeluk ibunya. Ibunya kaget mengapa sang anak menangis. Setelah beberapa hari ia baru bisa bertemu dengan sang ibu yang sibuk bepergian keluar kota mengikuti fashion show untuk gamis terbaru yang ia produksi.“Ma, Selina hilang. Sampe sekarang belum ditemukan,”Zahrana terisak di dada sang ibu. Ratna langsung merenggangkan pelukannya dan menarik dagu Zahrana lalu berujar, “Ap-pa? Seharusnya kamu bahagia. Rivalmu tak ada,” ucapnya dengan tanpa beban. Seolah nurani itu telah terkubur dalam hatinya. “Kenapa Mama bahagia? Seharusnya Mama sedih, temanku hilang dan kemungkinan diculik,”Zahrana tak percaya dengan respon ibunya yang di luar dugaan. Ratna seperti sudah kehilangan sisi kemanusiaannya.“Kamu bodoh, dia bukan temanmu,”Ratna mencengkram bahu putrinya dengan ke dua tangannya. “Bukankah kehadirannya membuat cintamu tak terbalas? Aqsa masih mencintai Selina. Dan selama Aqsa masih mencintai Selina kamu tidak akan memperoleh cintanya. Selamanya kamu tidak akan b
Sebagai seorang psikiater Dave berhasil membujuk Selina agar tetap tenang. Ia berjanji akan membantu Selina untuk segera pulang ke rumahnya. Dave tidak ingin menanyakan lebih jauh apa yang dialami Selina. Ia biarkan Selina dengan sendirinya yang akan bercerita ihwal peristiwa buruk yang ia lewati sehingga menyebabkan dirinya bersembunyi di bagasi mobilnya.Setelah sarapan atau mungkin bukan sarapan sebab terlalu dini hari, Selina baru ingat jika ia belum shalat isya dan entah berapa waktu shalat yang ia tinggalkan dikarenakan kondisi pelik yang ia lewati. Namun ia bingung, kerudung yang dipakainya saja sudah kotor dan mungkin terkena najis.Perlahan ia beringsut dari ranjangnya. Ia melirik pada weker yang menyala di jam lima pagi. Ia pun akan shalat subuh sekalian mengqadha shalat.Ia memegangi lilin dengan tangan kanannya sedangkan labu infus di tangan kirinya yang juga berusaha menggapai apa saja agar bisa berpegangan sebab kakinya masih terasa sakit. Jahitannya belum kering. Paling
Hawa nyaris rubuh andaikata Fadel tak buru-buru menangkap tubuhnya.“Hawa Sayang! Tenanglah!” ucap Fadel langsung membopong sang istri kembali ke tempat tidur.“Benarkah itu Bang? Selina?” tanya Hawa dengan mata yang berkaca-kaca.“Sayang, dengarkan Abang, itu baru dugaan. Menurut saksi mata yang melihat. Mudah-mudahan Selina tidak ikut menyeberang dengan feri itu. Seperti yang kamu ketahui, Selina gadis yang tangguh, pasti dia sudah lebih dulu menyelamatkan diri. Kamu tahu? Rekaman CCTV sebelum Selina diculik? Dia mengira jika Arif itu penguntit lantas Selina melakukan semacam martial art defense. Bukankah seperti apa yang kamu ceritakan bahwa Selina sengaja belajar beladiri itu bahkan saat kamu berada di Cianjur?” papar Fadel dengan percaya diri.Hawa pun mengangguk dan berusaha untuk tidak meratap sebelum semua bukti terungkap.“Iya, Bang. Sekarang aku baru tahu jika tujuan Selina belajar teknik beladiri seperti itu rupanya memang dia sudah siapkan terlebih dahulu menghadapi situas
Pertanyaan Dave membuat Selina bergeming.“Maaf, aku menanyakan hal …” ucapan Dave menggantung, khawatir jika memang telah terjadi sesuatu pada gadis cantik di depannya maka ia pasti mengalami syok dan trauma. Dan, jika memang telah terjadi pelecehan pada gadis itu atau kemungkinan terjauh sampai rudapaksa, maka Dave takkan mengampuni mereka.“Alhamdulillah, orang itu tak sampai berbuat senonoh padaku. Hanya saja, ke dua lelaki itu telah melakukan hal biadab pada yang lain,” ucap Selina dengan memejamkam matanya dan bibir gemetar.‘Syukurlah, kamu gadis baik, mungkin terbaik yang pernah aku temui. Kamu dijaga oleh Allah. Entahlah, apa yang ada di pikiranku saat ini. Mengapa ada desir aneh yang menjalar di dadaku saat bersamamu? Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya,’ batin Dave berisik.“Syukurlah,”Dave menghela nafas lega.“Apa ponselmu menyala? Aku ingin menelepon orang rumah,” tukas Selina berusaha kembali menormalkan perasaannya.“Andai ponselku menyala, sudah kupastikan mengab
Ke dua motor sport yang ditunggangi oleh dua orang pria berpakaian serba hitam dan helm full face menghadang jalan Dave. Ia mencoba menyerang Dave dan Selina. Dave terpaksa mengerem mendadak hingga membuat Selina tercekat dan menarik kerah jaket yang dipakai Dave, membuat Dave tercekik.“Sel! Tanganmu!” gumamnya dalam situasi seperti itu.“Maaf,” sahut Selina langsung bersembunyi di balik punggung kokoh Dave.“Kalau berani! Lawan satu-satu! Pengecut!” pekik Dave dengan suara keras dan lantang tatkala ia terpaksa turun dari motor dan menarik Selina untuk ikut turun juga.Ke tiga pemotor itu ikut turun pula dari motor mereka dan bersiap-siap mengeroyok Dave. Kini Dave harus berhadap-hadapan dengan tiga orang sekaligus di jalan yang begitu sepi itu. Selina semakin ketakutan. Ia mencengkeram jaket Dave dengan erat.“Lari Sel!” ucap Dave menatap Selina sekilat atau kemungkinan Selina akan ikut terpukul di sana. Selina pun memilih mundur dan berlari lalu sembunyi tak jauh dari semak belukar
“Dave!” pekik Selina sudah berpikir negatif duluan. “Ulat,” gumam Dave dengan tersenyum tipis. Ia mencomot ulat itu dari syal yang dijadikan hijab oleh Selina. Selina yang melihat itu langsung bergidik. “Ap-pa? Ulat!” Selina panik dan menjerit. “Ulat! Ulat! Jauhin itu Dave!” Selina ketakutan dan geli di saat yang sama. Dave mendapat tontonan gratis melihat reaksi Selina yang rupanya phobia ulat. Akhirnya lelaki yang cukup jarang tertawa ataupun tersenyum itu ikut tertawa melihat kelakuan Selina. “Um, tenang Sel, aku bukan pria mesum kok,” gumamnya meninggalkan Selina yang mematung. Mereka kembali ke jalan yang hanya dilapisi lapisan LPB atau agregat bebatuan terjal yang belum diaspal. Beruntung, tiba-tiba ada seorang pemuda yang tengah mengayuh sepedanya. Ide mencuat di kepala Dave. Dave langsung menghampiri pemuda itu, yang sepertinya warga yang bermukim tak jauh dari sana. Ia menukar sepeda ontel tua itu dengan arloji mahalnya setelah bernegosiasi. Ya, seorang psikiater panda