“Kamu serius soal yang kemarin?”
“Yang mana? Kan banyak yang semalam kita bicarakan,” jawab Ardhi.
“Soal kamu sepenuhnya ... milik saya?” Muka Sera memerah saat mengatakannya. “Saya nggak cuma mimpi, kan?"
Ardhi memiringkan kepala, menatap Sera dengan senyum tertahan.
"Saya cerita sedikit, boleh?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sera, Ardhi justru melontarkan pertanyaan yang tak nyambung, membuat Sera mengernyit bingung, tetapi tetap mengangguk.
“Jadi, saya punya teman yang cukup dekat, namanya Dru. Dia yang selama belasan tahun ini menjadi satu-satunya teman saya, selain Adi tentu saja,” koreksi Ardhi diikuti kekehan. “Dia sempat bilang ke saya begini 'mencari pengganti sosok yang sudah nggak ada di dunia, itu bukan dosa. Karena jika terus-terusan merindukan sosok yang telah tiada, hatimu akan semakin kebas dan kosong'.”
Ardhi menatap Sera dengan senyum tipis terpatri. Lalu melanjutkan, "Dulu, saya selalu mengabaikan perkataan, Dru. Kar
Sera banyak tersenyum dan tertawa karena Dru orangnya sangat menyenangkan. Berbanding 180 derajat dari Ardhi yang cuek dan cenderung dingin. Sera merasa sangat cocok dan ‘nyambung’ saat berbicara dengan Dru meski jarak umur mereka cukup jauh. Mereka bisa membicarakan banyak hal tanpa canggung. Pertemuan pertama yang sungguh berkesan. “Seandainya kamu ketemu saya lebih dulu, pasti sekarang bukan Ardhi yang duduk di samping kamu, Ra. Dilihat dari sisi mana pun, saya jelas terlihat lebih menonjol daripada Ardhi. Kamu pasti juga setuju, kan?” Sudah yang ke sekian kalinya Dru juga menyelipkan godaan-godaan sampah yang biasanya membuat hati para wanita berdesir dan tersipu malu. Dan Sera tak terkecuali. Pipinya memerah dengan mudah. Senyumnya merekah cerah. Tawanya tumpah ruah. Padahal, jika saja didengarkan dengan telinga terbuka lebar, siapa saja akan tahu bahwa godaan yang dilontarkan Dru terdengar sangat kuno dan menjijikkan. Ya, setidaknya begitulah yang tertangkap ol
“Coba kamu ulangi sekali lagi,” bisik Selia dengan suara terbata-bata. Ia memandangi Ardhi dengan raut syok dan tak percaya. Tubuhnya yang tadi terduduk tegak kini tersandar lemas di punggung sofa. Satu tangannya berada di atas dada tepat di mana jantung berada. Gestur yang menunjukkan betapa mengagetkannya pernyataan dari anak laki-lakinya.Sosok yang dipandangi Selia berada di sofa seberang. Ia balas memandangi Selia dengan serius. Ada penyesalan yang menggantung di mata karena telah membuat ibunya kaget dengan kabar yang dibawanya. Kabar yang seharusnya baik−soal pernikahannya−tetapi ditangkap berbeda oleh Selia. Tentu saja. Tentu saja tidak akan mudah. Sama seperti saat pertama kali ia membawa Sarah pulang−hampir lima belas tahun yang lalu itu−ke rumah dan menyampaikan kabar tak menyenangkan. Bedanya, kali ini Ardhi hanya menghadapi ibunya−sementara Randy, ayahnya, sedang tidur siang di kamar−dengan lebih mantap dan percaya
Ardhi tak menyangka kalau sebaris kalimat yang ia ucapkan itu membuat ibunya menangis tergugu. Betapa perih hatinya saat sepenuhnya tahu bahwa selama ini ibunya pun menderita karena memikirkan dirinya yang tak kunjung sembuh dari luka masa lalu. "Maaf, Bu, karena butuh waktu yang selama ini untuk saya bisa benar-benar melepaskan Sarah. Maaf karena membuat Ibu menanggung semuanya." Selia membelai pipi anak semata wayangnya. "Ibu lega sekali, Nak. Ibu benar-benar takut kalau kamu terus terjebak masa lalu dan nggak mau lagi mencari kebahagiaan untuk dirimu sendiri." Diam-diam, Ardhi juga merasa lega. Ia benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Beban yang beberapa hari belakangan masih terpikul di pundaknya pun meluruh. Hidupnya terasa jauh lebih ringan sekarang. Rasanya seperti ia mulai bisa menyatukan puing-puing kebahagiaan yang selama beberapa tahun belakangan ini tercecer hingga tak ada gairah dalam menjalani hidup. Sekali lagi, Ardhi mendapatkan set
Pertanyaan yang Sera ajukan itu membuat Ardhi terdiam selama beberapa detik. Senyum tipis pun terukir di bibir Ardhi. Entah kenapa, kekhawatiran Sera justru membuat hatinya berdesir. Dari cara Sera mengungkapkan kekhawatirannya itu, Ardhi tahu kalau wanita itu benar-benar peduli dengan nasib hubungannya dengan mertuanya, yang akan Sera temui minggu depan. "Then we'll make her likes you," ujar Ardhi. Mencoba meyakinkan Sera. "How?" Sera terdengar tidak yakin. "Kalau nggak bisa gimana?" "Pasti bisa. Ibu suka ngobrol, kamu juga. Ibu suka masak, kamu juga. Ibu kadang nonton drama korea, kamu juga. Intinya, kalian berdua punya banyak kesamaan. Kalian akan cocok. Aku udah bisa bayangin, kamu akan jadi menantu yang disayang mertua. Dan aku bisa pastikan kalau kamu juga akan suka sama ibu dan ayah." "Kamu jangan kasih harapan palsu," gerutu Sera. Terdengar tak begitu percaya dengan ucapan Ardhi. Ardhi tak bisa menahan d
Satu minggu berlalu dengan cepat. Pagi ini, saat matahari masih malu-malu menunjukkan diri, Sera sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa waktu lalu, saat ia dan Ardhi mengobrol soal rencana bertemu kedua orang tua Ardhi, laki-laki itu memintanya untuk bersikap apa adanya dan menjadi dirinya sendiri. Maka, di sinilah Sera sekarang. Berada di dapur, berkutat dengan alat dan bahan untuk membuat cheesecake—sesuai dengan cerita Ardhi, Selia sangat menyukai jenis makanan yang mengandung keju—yang akan ia bawa sebagai buah tangan untuk diberikan kepada mertuanya itu. Sera sempat khawatir memang, karena ia tidak semahir Thalia—yang sempat dijodohkan dengan Ardhi—dalam hal memasak. Tentu saja! Ia hanya belajar masak dari ibunya dan dari kursus yang ia ikuti seminggu sekali selama beberapa bukan terakhir. Tentu tak bisa dibandingkan dengan Thalia yang berkutat lebih lama dan lebih profesional dalam bidang kuliner yang memang ditekuninya. Namun, Ardhi den
Normalnya, dalam sebuah hubungan ada urutan tahapan yang biasa dilewati tiap pasangan. Perkenalan, pendekatan, pacaran, bertemu masing-masing keluarga, dan puncak tertinggi saat mereka akhirnya menikah dan menjajaki kehidupan rumah tangga. Namun, dalam hubungan Ardhi dan Sera tentu tak berlaku. Tanpa ada perkenalan, pendekatan, apalagi pacaran, mereka langsung terikat dalam pernikahan. Baru kemudian mereka mulai melewati tahap perkenalan dan pendekatan, yang amat sangat kacau dan tidak mulus. Pun baru-baru ini saja mereka tak lagi menatap satu sama lain seperti musuh dan benar-benar berperan layaknya pasangan.Ardhi dan Sera disambut oleh asisten rumah tangga yang paling lama mengabdi dengan keluarga Prasetyo. Mereka berdua digiring masuk ke ruang keluarga. Di sana, Randy dan Selia sedang menonton TV, yang tengah menayangkan sebuah video. Atau bisa dibilang film dokumenter tentang perjalanan hidup Ardhi dari kecil hingga dewasa."Ayah sama Ibu kenapa nonton itu lagi?"
"Jadi, kapan kalian akan menggelar pesta pernikahan?" tembak Selia begitu saja setelah mereka menyelesaikan sarapan—yang dirangkap dengan makan siang. Ardhi tersedak air mineral yang baru saja diteguknya. "Maksud Ibu?" Selia menatap Ardhi dan Sera bergantian. "Ibu merestui kalian berdua bukan berarti lantas semuanya selesai, ya. Ibu mau semua orang tahu, kalau anak Ibu benar-benar normal, menyukai perempuan, dan nggak melajang sampai kakek-kakek." Selia berkata seperti itu karena rumor yang santer beredar, mengatakan Ardhi menyukai sesama jenis dan rumor tak mengenakkan lainnya selama beberapa tahun terakhir. Mungkin, kemarin-kemarin ia tutup telinga karena memang tak ada yang bisa dilakukannya selain diam. Dan sekarang, saat ada kesempatan untuk menepis rumor itu, Selia tak ingin menyia-nyiakannya. "Bu—" "Ibu pengen lihat anak Ibu di pelaminan," sela Selia saat Ardhi baru mau menimpali ucapannya. Alih-alih menatap Ardhi, Selia justru memakuka
Tentu bukan ini yang Ardhi harapkan di kencan pertamanya dengan Sera. Bayangan akan melewati hari yang tenang seharian, bergandengan tangan tanpa malu dilihat orang-orang, bercerita banyak hal tanpa beban, dan tentunya melakukan banyak hal—seperti layaknya pasangan normal di luar sana saat berkencan—sampai petang hari menjemput. Namun, semesta tidak mengizinkan itu terjadi rupanya. Langkah kakinya terhenti dan Ardhi pun mendengus malas. Membuat Sera mengernyit dan ikut menghentikan langkah. "Kenapa?" Tanpa perlu ditanya dua kali, Ardhi langsung menjawab, "Dua orang yang pakai kaus putih, itu sepupuku, David dan istrinya, Arunika. Yang pernah aku ceritain waktu itu." "Mantan pacar kamu yang itu?" Ardhi mengangguk malas. Ya, Di depan sana, dari arah berlawanan yang berjarak beberapa meter, sepasang suami istri itu berjalan mendekat ke arah mereka. Siapa sangka mereka akan berjumpa dengan David dan Arunika di antara banyaknya mall
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me