Ardhi menatap layar ponselnya yang menampilkan eajah Sera. Sudah lebih dari sepuluh menit ia pandangi foto Sera itu, yang tengah berada di sebuah kafe, difoto saat sedang tidak sadar kamera. Itu adalah foto profil yang Sera pasang sejak lama. Tak pernah diganti dengan foto yang lain.
Ada rasa yang berdesir di dada, kala mengingat sudah lewat dua minggu ia tak bertatap muka dengan Sera, tidak mendengar suaranya, tidak tidur di ranjang yang sama, tidak lagi bisa menikmati sarapan dan kopi buatan Sera, tidak ada lagi yang menyiapkan baju kerjanya. Rutinitas sederhana yang ketika hilang menimbulkan kekosongan yang tidak mengenakkan hati. Entah sampai kapan Ardhi harus melewati itu seorang diri. Dan yang Ardhi harapkan, tentu saja hanya sementara. Karena baru dua minggu saja rasanya ia sudah tidak tahan lagi berjauhan dengan Sera.
Sesuatu yang sempat membuat Ardhi agak kaget. Karena ternyata setidak nyaman ini rasanya saat harus terpisah dari Sera. Sejak kapan tepatnya pera
Sekembali Sera dari makam, ia bebersih diri, mandi dengan air hangat yang disiapkan oleh Bi Surti, lanjut makan malam dalam diam, lalu berbaring di atas tempat tidur.Bukannya terlelap dengan tenang, kepalanya berkenala ke beberapa pekan lalu di mana ia dan Ardhi bisa begitu dekat dan akrab saat keduanya pertama kali singgah ke rumah itu sekama beberapa hari atas permintaan Sera.Tiba-tiba, Sera tersengat rindu. Perasaan yang lancang datang di kala perasaannya sedang tak baik-baik saja. Menjadi semakin tak karuan rasanya. Sepi membelenggu, hingga yang lagi-lagi Sera lakukan adalah menangis tergugu. Padahal, bukan ini yang seharusnya ia rasakan. Hanya saja ia tak kuasa menahan perasaannya, sehingga ia lepaskan saja rasa sakit yang menyengat dadanya bersama air mata yang tak habis-habis.Lelah menangis, Sera pun tertidur pulas.***Sudah tiga minggu Sera hidup terpisah dari Ardhi, dan rasanya sangat menyesakkan. Entah seja
Untuk ke sekian kalinya, mereka berdua duduk berhadapan, dengan posisi berseberangan. Terpisahkan oleh meja yang membentang memisahkan sofa-sofa berwarna cokelat di ruang tamu rumah Sera. Atmosfer di antara Ardhi dan Sera masih tak jauh berbeda dengan satu bulan yang lalu, di hari terakhir mereka bertemu. Tegang dan suram. Padahal, saat makan malam bersama tadi, suasana cukup hangat. Setidaknya, itu yang Sera rasakan saat Ardhi masuk ke dalam rumah. Menyajikan senyum tipis, menepuk puncak kepalanya−Sera tak sempat mengelak karena terlalu terpana akan kehadirang Ardhi−dengan lembut, lalu menyerahkan paper bag berisi buah tangan yang dibelinya dari Makassar saat mengunjungi proyek. Sera hampir menangis dan merangsek memeluk Ardhi saat itu juga. Meninggalkan masalah-masalah di antara mereka di belakang. Mengungkapkan betapa tidak enaknya merindu. Namun, kejujuran itu tertelan oleh logika yang memaksa Sera menebalkan banteng pertahanan sedikit lebih lama, setidaknya hing
Ardhi mendekat, bersimpuh di depan Sera yang terduduk di ujung sofa. “Saya nggak bisa menjanjikan kalau hidup kita berdua ke depannya akan selalu dipenuhi kebahagiaan. Tapi saya janji kalau saya akan selalu bisa kamu andalkan. Seperti yang tadi saya bilang, saya sudah sepenuhnya menjadi milik kamu. Maaf karena baru bisa mengatakannya sekarang.”Sera semakin tergugu saat tangan Ardhi dengan lembut membelai pipinya. Kepalanya tertunduk karena tak kuasa dihujani tatapan sayang oleh Ardhi.Ah, sejak kapan Ardhi memandangnya dengan cara itu? Apakah selama ini Sera luput? Atau memang Ardhi baru benar-benar menunjukkannya hari ini?“Sera, maaf.” Ardhi merengkuh Sera dalam pelukan erat. Membuat tangis Sera semakin keras.“Saya capek, Ardhi. Kamu tahu seberapa sering saya menangisi kamu? Seberapa sering saya membayangkan kehidupan normal bersama kamu? Seberapa sering saya berharap untuk bisa bahagia dengan kamu? Seberapa sering saya m
Ardhi melahap bibir Sera dengan rakus. Mereguk dahaga dan rasa lapar yang menguasai dirinya akan sentuhan wanita. Sera merespons dengan mencoba mengimbangi ciuman Ardhi. Keduanya seperti tengah berpacu dalam lintasan, saling menunjukkan dominasi, yang tentu saja dimenangkan oleh Ardhi. “God, this is crazy,” erang Ardhi Laki-laki itu memperdalam ciuman. Memberikan lumatan yang membuat Sera merasa terbang hingga ke awang-awang. Dengan sekali hentakan, Ardhi mengangkat Sera menggunakan lengannya yang terlingkar di pinggang Sera. Refleks, Sera mempererat rangkulan lengannya di leher Ardhi. Dan melingkarkan kedua kaki di pinggang laki-laki itu agar tidak jatuh. “Berat badan kamu turun,” ucap Ardhi di sela-sela ciuman. Sera mencebik dan memukul dada Ardhi. “Seseorang perlu bertanggung jawab karena membuat saya kehilangan lemak karena stress sampe nggak doyan makan,” cibirnya membuat Ardhi terkekeh. Wanita itu balik mencium bibir Ardhi terle
“Kamu serius soal yang kemarin?” “Yang mana? Kan banyak yang semalam kita bicarakan,” jawab Ardhi. “Soal kamu sepenuhnya ... milik saya?” Muka Sera memerah saat mengatakannya. “Saya nggak cuma mimpi, kan?" Ardhi memiringkan kepala, menatap Sera dengan senyum tertahan. "Saya cerita sedikit, boleh?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sera, Ardhi justru melontarkan pertanyaan yang tak nyambung, membuat Sera mengernyit bingung, tetapi tetap mengangguk. “Jadi, saya punya teman yang cukup dekat, namanya Dru. Dia yang selama belasan tahun ini menjadi satu-satunya teman saya, selain Adi tentu saja,” koreksi Ardhi diikuti kekehan. “Dia sempat bilang ke saya begini 'mencari pengganti sosok yang sudah nggak ada di dunia, itu bukan dosa. Karena jika terus-terusan merindukan sosok yang telah tiada, hatimu akan semakin kebas dan kosong'.” Ardhi menatap Sera dengan senyum tipis terpatri. Lalu melanjutkan, "Dulu, saya selalu mengabaikan perkataan, Dru. Kar
Sera banyak tersenyum dan tertawa karena Dru orangnya sangat menyenangkan. Berbanding 180 derajat dari Ardhi yang cuek dan cenderung dingin. Sera merasa sangat cocok dan ‘nyambung’ saat berbicara dengan Dru meski jarak umur mereka cukup jauh. Mereka bisa membicarakan banyak hal tanpa canggung. Pertemuan pertama yang sungguh berkesan. “Seandainya kamu ketemu saya lebih dulu, pasti sekarang bukan Ardhi yang duduk di samping kamu, Ra. Dilihat dari sisi mana pun, saya jelas terlihat lebih menonjol daripada Ardhi. Kamu pasti juga setuju, kan?” Sudah yang ke sekian kalinya Dru juga menyelipkan godaan-godaan sampah yang biasanya membuat hati para wanita berdesir dan tersipu malu. Dan Sera tak terkecuali. Pipinya memerah dengan mudah. Senyumnya merekah cerah. Tawanya tumpah ruah. Padahal, jika saja didengarkan dengan telinga terbuka lebar, siapa saja akan tahu bahwa godaan yang dilontarkan Dru terdengar sangat kuno dan menjijikkan. Ya, setidaknya begitulah yang tertangkap ol
“Coba kamu ulangi sekali lagi,” bisik Selia dengan suara terbata-bata. Ia memandangi Ardhi dengan raut syok dan tak percaya. Tubuhnya yang tadi terduduk tegak kini tersandar lemas di punggung sofa. Satu tangannya berada di atas dada tepat di mana jantung berada. Gestur yang menunjukkan betapa mengagetkannya pernyataan dari anak laki-lakinya.Sosok yang dipandangi Selia berada di sofa seberang. Ia balas memandangi Selia dengan serius. Ada penyesalan yang menggantung di mata karena telah membuat ibunya kaget dengan kabar yang dibawanya. Kabar yang seharusnya baik−soal pernikahannya−tetapi ditangkap berbeda oleh Selia. Tentu saja. Tentu saja tidak akan mudah. Sama seperti saat pertama kali ia membawa Sarah pulang−hampir lima belas tahun yang lalu itu−ke rumah dan menyampaikan kabar tak menyenangkan. Bedanya, kali ini Ardhi hanya menghadapi ibunya−sementara Randy, ayahnya, sedang tidur siang di kamar−dengan lebih mantap dan percaya
Ardhi tak menyangka kalau sebaris kalimat yang ia ucapkan itu membuat ibunya menangis tergugu. Betapa perih hatinya saat sepenuhnya tahu bahwa selama ini ibunya pun menderita karena memikirkan dirinya yang tak kunjung sembuh dari luka masa lalu. "Maaf, Bu, karena butuh waktu yang selama ini untuk saya bisa benar-benar melepaskan Sarah. Maaf karena membuat Ibu menanggung semuanya." Selia membelai pipi anak semata wayangnya. "Ibu lega sekali, Nak. Ibu benar-benar takut kalau kamu terus terjebak masa lalu dan nggak mau lagi mencari kebahagiaan untuk dirimu sendiri." Diam-diam, Ardhi juga merasa lega. Ia benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Beban yang beberapa hari belakangan masih terpikul di pundaknya pun meluruh. Hidupnya terasa jauh lebih ringan sekarang. Rasanya seperti ia mulai bisa menyatukan puing-puing kebahagiaan yang selama beberapa tahun belakangan ini tercecer hingga tak ada gairah dalam menjalani hidup. Sekali lagi, Ardhi mendapatkan set
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me