“Three of a kind.”
“Aish!” Jenna merengut sembari membuka sisa kancing terakhir di bajunya, permainan mereka sudah berjalan sebanyak empat sesi dan Jenna selalu kalah.
“Well, kesempatan terakhir.” Rama mulai sedikit kehilangan fokus, kancing-kancing Jenna yang terbuka benar-benar menyuguhkan pemandangan yang sangat luar biasa indah di matanya.
“Kali ini aku harus menang.”
“Let’s see.” Rama membiarkan Jenna mengocok kartu, gerakannya membuat sesuatu yang menggantung indah di dada perempuan selebor itu berayun kencang mengacaukan sisa-sisa kewarasan di dalam pikiran Rama.
“Kalau aku menang, kamu harus ngizinin aku nonton besok.”
“Oke.” Kartu di bagikan, Rama tidak perlu repot berfikir karena sudah pasti ia akan kembali memenangkan permainan ini.
“Royal flush.” Ucap Rama sembari membuka kartu-kartunya.
“Apa?! enggak mungkin. Kamu pasti curang.”
“Oh ayolah Jenna, cuma pengecut yang ngomong kayak begitu di akhir permainan.”
“Enggak ada, kamu pasti curang. Enggak mungkin banget hoki terus, dari tadi kartu kamu bagus-bagus semua dan apa-apan ini! Royal flush, yang bener aja?!” Jenna mulai naik pitam, di tariknya tubuh Rama untuk berdiri dan di periksanya setiap kantung yang ada di pakaian laki-laki itu.
“Udah?” Rama bertanya, wajahnya sekarang benar-benar berhadapan dengan wajah Jenna yang masam.
“Kamu, curang.” Desis perempuan itu masih tidak terima.
“Apa buktinya?” Rama menyeringai, Jenna mungkin pintar. Tapi, ia jelas jauh lebih cerdas dari gadis itu.
“Ck, yaudah lah. Kamu mau aku ngelakuin apa?” Jenna menyerah, melawan tuan muda satu itu tidak akan pernah ada habisnya, pada akhirnya perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu memilih mengancingan kembali piyamanya sembari menunggu Rama mengutarakan keinginan yang harus ia turuti.
“Jangan di kancing dulu.” Jenna menaikan alis bingung, terlebih lagi Rama begitu saja mendekat dan tangannya terulur menyentuh pinggangnya yang tidak di lindungi apapun.
“Lo tau Jenna, hitam jauh lebih bagus buat lo ke timbang putih”
“Apa..an sih.”
“Lo udah janji nurutin mau gue kan? Nah, ini mau gue.” Rama menunduk, menyesap bibir Jenna yang tebal dengan cepat. di hisapnya bibir kemerahan perempuan itu bergantian atas dan bawah kemudian di gigit kencang.
“Ram! Astaga, luka ini.”
“Ck, lebai.” Rama mengabaikan gerutuan perempuan itu dan lebih memilih mendudukan Jenna di meja kerjanya. Tubuh laki-laki itu menyelip di sela paha perempuan itu.
“Ram, jangan di buka. Eh, jangan di lempar sembarangan!” Rama masih tidak peduli, di tahannya tubuh Jenna yang sudah akan bergerak mengambil dalaman berwarna putih yang sebelumnya menutupi dada perempuan itu.
“Ram..” Jenna menggigit bibir resah, Rama di mode keras kepala seperti ini memang benar-benar menyebalkan. Pada akhirnya Jenna hanya sibuk mendesah sedangkan Rama sibuk menjelajahi setiap sudut tubuh Jenna yang membuatnya penasaran.
“Ah, lo punya tanda lahir.”
“Engh, iya.” Jenna manarik rambut Rama kencang ketika mulut laki-laki itu bermain di dadanya.
“Kok kemaren-kemaren gue enggak sadar ya?”
“Ramh! Jangan di tarik gitu.”
“Gemes.” Jenna lagi-lagi sibuk mendesah karena mulut Rama yang terus bergerak di tubuhnya.
“Besok-besok gue bakal minta ajarin Bima main kartu, biar enggak kalah terus.” Perempuan itu menggerutu, karena setiap menang Rama memang selalu meminta hal-hal aneh kepadanya.
“Coba aja.”
“Ramh!” Rama sengaja membuat Jenna tidak bisa melihat senyum liciknya dengan menggerakan tangannya lebih cepat.
“Jenna ada di Kelapa Dua mall.” Rama membaca pesan yang di kirimkan Bima kepadanya dengan dahi berkerut, laki-laki itu memang meminta Bima mencari tau di mana Jenna akan menonton bersama teman-teman kantornya hari ini.“Mall yang nyaris bangkrut dan kumuh itu? ngapain dia nonton di sana?”“Harga tiket bioskop di sana lebih murah.” Lagi-lagi kening Rama berkerut, laki-laki itu sama sekali tidak mengerti kenapa ada orang-orang yang mengorbankan kenyamanan hanya untuk mendapat potongan harga yang tidak seberapa.“Permisi pak, bapak sudah di tunggu pak Pandu untuk makan siang bersama.”“Batalin aja, bilang ayah kalau saya mau makan di Kelapa Dua Mall hari ini.”“Ta..tapi pak.” Sekretaris Rama jelas kebingungan, karena atasannya yang sangat pemilih itu tidak akan bisa menemukan makanan apapun yang sesuai dengan seleranya di mall kumuh tersebut.“Enggak usah banyak tapi,
“Udah cukup seneng-senengnya Jenna?”“Ra.. rama.” Jenna tanpa sadar menjatuhkan ice cream yang baru saja di belinya begitu melihat Rama berdiri menjulang di belakangnya.“Cih, makanan sampah apa yang lo makan ini?” tanya Rama sembari menginjang cone ice cream di lantai.“Kalau lo mau Ice cream, harusnya bilang. Gue bisa beliin lo ice cream premium yang biasa kita makan di rumah.”“Oh, lo belum ngenalin gue sama temen baru lo ini. Apa harus gue sendiri yang nyari tau dia siapa?” Jenna langsung gelagapan, urusannya pasti akan panjang nanti.“Dia… temen Ram. Kenalannya Leni.” Rama tidak akan begitu saja percaya.“Lo udah pinter bohong ya sekarang.”“Ram..”“Pulang!” Rama langsung menarik tangan Jenna dengan kasar, Rudi yang tidak terima kekasihnya di perlakukan sekasar itu jelas protes.“Jangan main kasar
“Di sini?” Rama mengecup singat tulang panggul Jenna, sedangkan perempuan itu hanya menggeleng pelan. Rama benar-benar membuatnya kelelahan hari ini.“Ah, kalau begitu di sini?” Kali ini Rama mengecup bagian di bawah panggul, sembari sesekali memberikan gigitan pelan.“Ram, udah ya. aku cape.”“Sttt, masih banyak tempat yang belum gue tandain Jenna.”“Ram..” Jenna melengkungkan tubuh, sama sekali tidak siap dengan serangan yang di berikan Rama dengan tiba-tiba. Tanggan Jenna terulur ke atas, mencari pegangan saat Rama lagi-lagi membuat tubuhnya tersentak kuat.“Sttt, Ram. Emh..”“Kalian juga melakukan ini?” Jenna menggeleng, mulutnya tidak lagi bisa di gunakan selain untuk mendesah dan merengek agar lama memperhalus gerakannya.“Jangan coba-coba Jenna, atau lo bakal tau gimana rasanya neraka di dunia.”“Eng! Ramh.. Rama!”
Jenna terbangun dan langsung terkesiap, seluruh tubuhnya benar-benar terasa nyeri sekarang. Wajah oriental Jenna juga langsung menegang begitu mendapati jam di atas nakas menunjukan pukul setengah satu siang, ia sudah sangat terlambat untuk bekerja.“Arh! Ck, pasti potong gaji lagi.” Gerutu perempuan itu dengan sebal sembari meremas-remas bed cover yang menutupi tubuh telanjangnya dengan gemas.“Kenapa enggak ada yang banguni aku sih.”“Kami bisa kena masalah kalau tuan Rama sampai tau.”“Astaga!” Jenna spontan memegangi dadanya, ia terkejut karena tidak mengira ada orang lain di kamar itu.“Ck, bu Asih! Kasih tanda dong kalau ada di kamar ini juga, aku kan kaget. Untung eggak jantungan.” Perempuan paruh baya yang di panggil bu Asih hanya tersenyum kemudian bergerak membuka tirai, cahaya yang masuk langsung membuat mata Jenna sakit.“Kamu mau tirainya di tutup lagi?”
Rama langsung menaikan alis, begitu melihat Bima sudah duduk dengan tidak sopan di atas sofa kamarnya. Di hadapan kembarannya itu juga ada Jenna, yang masih merengut sama sekali tidak mau nenatapnya.“Ck..ck.. kayaknya wakil presiden direktur kita ini punya banyak waktu luang ya sampai bisa pulang di waktu istirahat yang mepet banget ini.” Ucap Bima sebelum memindahkan lima tusuk sate bebek ke piringnya sendiri.“Berisik.”“Bim! Jangan di abisin, kamu udah makan banyak tadi.”“Duh, lo minta lagi aja nanti sama Hubert.”“Bima.” Satu terguran dari Rama membuat Bima meletakan kembali tusuk sate yang sudah di genggamnya, laki-laki itu menyerahkan piringnya kepada Jenna dengan wajah merengut.“Pelit.” Desisnya sebal.“Kamu udah makan dua puluh tusuk tadi, aku baru sepuluh tusuk sama yang ini.”“Argh! Telefon Hubert dong, suruh beli sate bebek i
Rama mengunci pintu kamarnya dengan cepat, di belakangnya Hubert hanya diam dan menyerahkan troli berisi piring sisa makanan Jenna kepada pelayan perempuan yang menunduk di sampingnya. Mereka semua menutup mata pada jeritan dan tangisan permintaan tolong Jenna yang tidak ingin di kunci di dalam kamar.“Awasin Jenna dari kamera pengawas dan jangan biarin sembarangan orang masuk ke kamar ini.” ucap Rama dengan dingin, laki-laki itu juga sudah mengamankan beberapa benda pecah belah dan juga benda-benda tajam di dalam kamarnya, ia khawatir Jenna akan mencoba melukai dirinya sendiri untuk mewujudkan ucapannya mengembalikan ‘kehidupan’ yang sudah keluarga Sore berikan untuk perempuan itu.Jenna adalah anak perempuan yang tidak sengaja di temukan Maira di jalanan, anak perempuan dengan wajah oriental itu sedang berusaha melarikan diri darikejaran beberapa preman ketika akhirnya nyaris tertabrak mobil yang di tumpangi oleh nyonya keluarga Sore. Maira da
Rudi mengumpat, sudah satu bulan ini Jenna tiba-tiba saja menghilang. Ia sudah mendatangi minimarket tempat perempuan itu bekerja, bukannya menemukan Jenna laki-laki itu justru mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah tidak lagi bekerja di sana.“Brengsek.” Rudi menggenggam polsel bututnya gemas.“Rud.”“Eh, bang.” Laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya begitu Karyo, ketua preman di tempat tinggalnya mendekat.“Gue harus nunggu sampe kapan ini?! Lo kebanyakan nanti tau enggak.”“Eng, sabar sebentar ya bang. Jenna lagi enggak bisa di hubungin.”“Cewe lo tau akal-akalan lo kali, di tinggal lo sekarang.”“Enggak bang, enggak mungkin itu. Jenna enggak sepinter itu soalnya.” Ucap Rudi dengan yakin, ia sudah enam bulan mengenal Jenna. Perempuan polos dan baik hati itu sangat mudah percaya pada orang lain termasuk mempercayai akal-akalan yang ia buat
Jenna sama sekali tidak menoleh ketika mendengar suara pintu kamar di buka dan kemudian di tutup, perempuan itu juga sama sekali tidak mengubah posisinya yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap jendela besar di samping ranjang ketika seseorang bergabung bersamanya di atas ranjang.“Hey, udah makan?” Jenna memilih tidak menjawab, ia masih terus diam hingga seseorang di sampingnya beralih menelefon bu Asih dan menanyakan semua pertanyaan yang tidak mau Jenna jawab.“Hubert bakal bawain makanan, makan ya. Gue suapin.” Rama mengatakan itu sembari menggulung lengan kemejanya, laki-laki itu juga berpindah posisi ke sisi dekat jendela agar bisa lebih leluasa memandangi Jenna.“Lo tau Jenna, laki-laki yang sama lo di mall waktu itu dateng ke sini kemaren.” Rama tersenyum dingin begitu melihat Jenna mulai memberikan reaksi.“Gue penasaran, kok lo bisa pacaran sama laki-laki bar-bar kaya gitu? Sama sekali enggak pu
Maira dan pandu nyaris menjatuhkan cangkir tehnya begitu menerima laporan dari pos penjaga yang memang ditugaskan untuk menjaga gerbang utama, di dalam laporannya petugas tersebut melaporkan bahwa beberapa saat lalu ada seorang perempuan bersama dua orang anaknya sedang berdiri memandangi pos penjaga. Sebenarnya itu adalah laporan biasa, jika saja mereka tidak menambahkan nama Jenna di dalam laporannya. Mereka bilang, perempuan yang membawa anaknya itu sangat mirip dengan Jenna. “Aku akan periksa cctv.” Pandu bergegas memastikan. Wulan menggenggam tangan Maira, mencoba menguatkan ibu mertuanya sebisanya. Kabar ini jelas kabar yang membahagiakan jika perempuan yang terekam di dalam kamera keamanan itu benar-benar Jenna. “Ma.” Wulan meremas tangan Maira yang dingin. “Enggak apa-apa, semua pasti baik-baik saja.” Maira mengangguk. “Iya, kita tunggu papa sama-sama ya.” Pandu kembali ke meja makan, wajahnya memerah. Melihat itu Maira spontan ikut menangis, sudah jelas bahwa perempuan
Beti gelisah, ia tahu ada yang salah. Ponsel Rama sama sekali tidak bisa di hubungi, sedangkan Bima tidak mau menganggat panggilannya, sejak tadi Beti terus saja berhadapan dengan mesin operator. Wulan juga sama, perempuan itu justru sibuk menonton tayangan komedi di kamarnya.“Oh mas kamu udah pulang?”Beti terkejut mendengar suara Maira, rupanya ia melamun sampai tidak menyadari Maira menuruni tangga.“Aku mau makan siang di rumah.”Kening Beti berkerut karena Pandu tiba-tiba saja meliriknya, kecurigaannya semakin besar.“Ah, ayo. Aku temani.”“Wulan sudah pulang dari belanja?”Maira menggeleng, “Belum, perutnya tiba-tiba saja kram katanya. Jadi dia mau istirahat dulu sebentar.”“Astaga, bilang Wulan, Mai. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau memang enggak sempat sekarang ya di undur besok saja belanjanya.”“Iya, nanti aku bilang Wulan.&rdqu
Jenna merasakan seluruh tubuhnya gemetar, Kara masih sesegukan dalam pelukannya. Tapi alih-alih menenangkan putri semata wayangnya, Jenna memilih memasuki kamarnya dan meninggalkan Kara di ruang tengah bersama Sam.“Enggak, ini enggak mungkin.” Bisik Jenna dengan kalut, “Takdir enggak mungkin sebercanda ini.”Tok..tok..“Ibuk..”Jenna mendengar suara Samudra, perempuan itu merapikan diri sebelum mempersilahkan bocah laki-laki itu memasuki kamarnya. Samudra mengulurkan tangan, menyerahkan selembar foto yang di dapatnya dari kamar Jenna beberapa waktu lalu.“Maaf ibuk..”Jenna merampas foto di tangan Samudra dengan cepat, “Dari mana kamu dapet ini?!”“Da.. dari kamar ibuk.” Bocah laki-laki itu berbisik, “Maaf buk, Sam cuma..”Jenna memotong penjelasan samudra dengan tidak sabaran, “Kara enggak tau kan Sam, Kara belum tau kan kalau om beruang
“Bukan papa yang nemenin Yumi periksa?” bocah perempuan itu cemberut.“Yumi sama om Bima dulu ya, papa ada kerjaan mendadak siang ini. Nanti papa nyusul ke rumah sakit kalau kerjaan papa selesai.”Yumi menggelengkan kepala, “Yumi mau sama papa!”“Yumi..”“Enggak! Yumi mau sama papa, Yumi enggak mau periksa kalau enggak sama papa!”Rama menghela napas, kepalanya benar-benar di buat pusing dengan kekeras kepalaan Yumi. Laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghadapi bocah penipu di hadapannya itu, beruntungnya Bima bersedia membantu membujuk Yumi.“Yumi sama om Bima dulu, nanti setelah selesai kerja papanya Yumi pasti yusul.”Yumi mengekerut, bocah perempuan itu bersembunyi di balik tubuh tambun Beti yang sejak tadi hanya diam melihat kekeras kepalaan keponakannya.“Ncang Beti juga boleh ikut tapi.”Beti sudah akan mengiy
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”
“Untungnya enggak ada luka serius.”Rama dan juga ke dua orang tuanya mendesah lega mendengar penuturan dokter yang menangani Yumi, bocah perempuan itu sudah sadar dan sejak tadi tidak bisa berhenti meringis.“Tapi kepala Yumi sakit banget om dokter, Yumi enggak akan lupa ingatan kan? Kayak sinetron yang biasa ncang Beti tonton di rumah bu RT?”Dokter tua yang menangani Yumi tersenyum, “Coba dokter tanya, Yumi tau enggak yang lagi duduk di sofa itu siapa?”“Papa.” Yumi menjawab tanpa ragu.“Itu tandanya Yumi baik-baik aja, jadi enggak usah khawatir ya.”Yumi mengangguk.“Biar bunda yang antar dokter Hadi keluar, kamu temani Yumi ya Ram.”“Iya, makasih bund.”Maira mengangguk, mengelus lengan putranya sebentar sebelum mengantar dokter yang memeriksa keadaan Yumi bersama Pandu.***Rama duduk di pinggir ranjang, memperhatikan
Jenna panik bukan main, anak-anaknya pulang dengan penampilan acak-acakan. Terlebih lagi Kara, mata anak perempuannya itu sembab. Kara bahkan kembali sesegukan ketika Jenna memeluknya.“Astaga, ada apa ini Sam?!”Samudra menunduk, lidahnya kelu. Anak laki-laki itu sama sekali tidak bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Kara di rumah Rama tadi.“Samudra, kalian ini kenapa?” Jenna memperhatikan tubuh anak laki-laki itu dengan lekat, “Alat semir kamu juga mana? Kalian di palak orang iya?”Jenna mengurai pelukan anaknya, memperhatikan wajah Kara yang berantakan. Tangannya terulur, menarik Samudra dan memeriksa tubuh anak laki-laki itu juga.“Ini kok bisa lebam?” Jerit Jenna histeris, “Kasih tau ibuk siapa yang berani bikin kalian kayak begini!”Samudra memilih diam.Kara berusaha mengatur tangisannya, bocah perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang masih berjatuh
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,