Rudi mengumpat, sudah satu bulan ini Jenna tiba-tiba saja menghilang. Ia sudah mendatangi minimarket tempat perempuan itu bekerja, bukannya menemukan Jenna laki-laki itu justru mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah tidak lagi bekerja di sana.
“Brengsek.” Rudi menggenggam polsel bututnya gemas.
“Rud.”
“Eh, bang.” Laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya begitu Karyo, ketua preman di tempat tinggalnya mendekat.
“Gue harus nunggu sampe kapan ini?! Lo kebanyakan nanti tau enggak.”
“Eng, sabar sebentar ya bang. Jenna lagi enggak bisa di hubungin.”
“Cewe lo tau akal-akalan lo kali, di tinggal lo sekarang.”
“Enggak bang, enggak mungkin itu. Jenna enggak sepinter itu soalnya.” Ucap Rudi dengan yakin, ia sudah enam bulan mengenal Jenna. Perempuan polos dan baik hati itu sangat mudah percaya pada orang lain termasuk mempercayai akal-akalan yang ia buat
Jenna sama sekali tidak menoleh ketika mendengar suara pintu kamar di buka dan kemudian di tutup, perempuan itu juga sama sekali tidak mengubah posisinya yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap jendela besar di samping ranjang ketika seseorang bergabung bersamanya di atas ranjang.“Hey, udah makan?” Jenna memilih tidak menjawab, ia masih terus diam hingga seseorang di sampingnya beralih menelefon bu Asih dan menanyakan semua pertanyaan yang tidak mau Jenna jawab.“Hubert bakal bawain makanan, makan ya. Gue suapin.” Rama mengatakan itu sembari menggulung lengan kemejanya, laki-laki itu juga berpindah posisi ke sisi dekat jendela agar bisa lebih leluasa memandangi Jenna.“Lo tau Jenna, laki-laki yang sama lo di mall waktu itu dateng ke sini kemaren.” Rama tersenyum dingin begitu melihat Jenna mulai memberikan reaksi.“Gue penasaran, kok lo bisa pacaran sama laki-laki bar-bar kaya gitu? Sama sekali enggak pu
Jenna mengulurkan segelas air putih dingin yang langsung di minum oleh Maira, setelah meletakan gelas kosong di samping nakas Jenna baru melangkah menaiki sisi ranjang yang kosong dan bersiap untuk tidur.“Bunda kenapa?” Tanya Jenna karena sejak tadi ia merasa Maira terus memandang ke arahnya.“Bunda kangen, peluk bunda sini.” Jenna tertawa, perempuan itu kemudian sedikit bergeser agar bisa bergelung dengan nyaman di dalam dekapan malaikat penolongnya.“Kamu baik-baik aja kan?”“Jenna baik bunda.” Jenna merasakan Maira tersenyum sebelum membelai rambut hitamnya dengan penuh sayang.“Gaul sama ibu-ibu sosialita bermuka dua itu bikin bunda jadi lebih perasa loh Jen, bunda juga jadi bisa bedain kapan seseorang berbohong atau enggak.”Jenna begitu saja mengeratkan pelukannya setelah mendengar kalimat Maira.“Sekarang bunda juga tau kalau kamu bohong.”“Bunda..”“Stt, enggak apa-apa sayang. Enggak apa-apa..” Jenna mulai terisak.“Engga
Jenna mengikuti Bima yang baru saja memasuki sebuah studio foto, laki-laki itu sepertinya cukup terkenal di sana karena beberapa orang yang berpapasan dengan Bima berhenti untuk memberikan salam.“Wah siapa nih?”“Ck, jangan macem-macem. Punya Rama nih.” Samar-samar Jenna mendengar Bima berbisik kepada salah seorang kru studio yang menyambutnya.“Duh ini si princess yang jadi bahan gosip di tempat tongkrongan ya?”“Iya.”“Ya kalau bentukannya begini sih, gue juga enggak akan noleh kanan-kiri.”“Bacot.” Ke dua laki-laki itu terkekeh, sedangkan Jenna kebingungan.“Bim.” Jenna menarik ujung jaket Bima pelan.“Eh, Nik mana?”“Di dalem, masuk aja.” Bima menganggukan kepala, kemudian menggandeng Jenna memasuki satu ruangan dengan bertuliskan ‘staff only’.“Ini studio punya kenalan gue Jen, dulu h
Rama menunggu dengan gelisah, matanya terus saja mengamati kamera keamanan yang secara khusus tersambung dengan televisi di dalam kamarnya. Laki-laki itu sedang menunggu Jenna yang seharian ini pergi bersama Bima.“Brengsek! Mereka ngapain aja sih sampai hampir jam makan malem begini belum juga pulang.” Rama sudah mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi saudaranya itu, namun niatnya ia urungkan begitu melihat mobil Bima baru saja terpakir di basement.“Bunda!” Rama bisa mendengar jerit kebahagian Jenna ketika menuruni anak tangga, benar saja begitu sampai di ruang keluarga laki-laki itu menemukan Jenna sedang memeluk bundanya dengan erat. Perempuan itu juga membawa Maira melompat-lompat saking kesenangannya.“Jenna dapet pekerjaan bund, gajinya besar. Bima bilang, Jenna udah bisa mulai mikirin dari sekarang mau kuliah apa mau kursus.”“Wah, selamet ya sayang. Bunda ikut seneng dengernya.”“M
Rudi mengendap-endap, di pundaknya sudah tersampir ransel besar. Laki-laki itu hendak melarikan diri kerena hingga saat ini Jenna belum juga bisa di hubungi sedangkan hutangnya kepada Karyo semakin menumpuk selama dua bulan ini.“Brengsek, gara-gara perempuan sialan itu hidup gue jadi enggak tenang begini.” Maki Rudi setelah berhasil keluar dari gang tempat tinggalnya, laki-laki itu sedang berusaha mencari tumpangan dari kendaraan yang melaju di jalan besar sekarang.“Liat aja, kalau ketemu nanti. Gue bakal bikin Jenna ngebayar semuanya.”“Sebelum itu, gimana kalau lo urus utang lo sama gue dulu Rud.”“Eh, bang..bang Karyo.”“Mau ke mana Rudi?” tanya si ketua preman sembari menunjuk ransel yang tersampir di pundak laki-laki tersebut.“Itu.. anu bang, gue..”“Ck..ck..ck.. kalau mau pergi, lo harus lunasin dulu semua utang lo ke gue kan?” Rudi langsung melarikan diri begitu Karyo memberikan tanda kepada anak buahnya, laki-laki itu berlari seku
“Tunda aja meetingnya sampai jam dua nanti.”“Baik pak. Oh, data orang yang bapak minta waktu itu sudah saya taro di meja bapak.”“Oke.”Rama menyimpan kembali ponselnya, sebenarnya hari ini pekerjaannya cukup padat. Tapi Jenna adalah prioritasnya sekarang, pertengkaran mereka beberapa waktu lalu benar-benar membuat Jenna menjadi lebih waspada. Karena itu Rama berusaha keras memanjakan Jenna agar perempuan itu kembali mempercayainya.“Kenapa?”Tanya Rama begitu mendapati Jenna menekuk wajahnya.“Perasaan yang ngelola perusahaan keluarga itu kamu, tapi kok Bima yang sibuk banget ya?” tanya Jenna sembari menyimpan ponselnya di atas meja.“Maksudnya?”“Aku ngajak Bima ikut kita ke Setiabudi pulang kerja nanti, tapi dia enggak bisa katanya. Sibuk.”“Dia lagi banyak project mungkin, maklumin aja ya.” ucap Rama se
Sejak pagi Jenna sudah merasa ada yang tidak beres dengan rekan-rekan di tempat kerjanya, Jenna melihat mereka saling berbisik seolah sedang membicarakan sesuatu dan begitu Jenna mendekat teman-temannya akan berpura-pura melakukan sesuatu.“Jenna.”“Hah, iya pak?”“Bantu saya sebentar.” Nik menggedikan dagu, memberi tanda kepada Jenna untuk masuk ke ruangannya.“Duduk dulu Jen, saya periksa laporan dari Santi sebentar.” Ucap laki-laki itu sebelum sibuk di depan laptopnya, Jenna kebingungan tapi terlalu segan untuk bertanya karena atasanya itu justru kelihatan semakin sibuk setelah tiga puluh menit berlalu.“Eng pak, saya bisa bantu apa ya?” tanya Jenna setelah merasa jengah karena selama satu jam hanya duduk diam memperhatikan Nik bekerja.“Duduk aja dulu di situ, nanti kamu saya panggil kalau memang butuh.” Nik sama sekali tidak mengalihkan matanya dari layar laptop, ha
Rama baru selesai menghadiri rapat penting, ketika melihat banyak notifikasi panggilan tidak terjawab di ponselnya, dari Jenna. Dengan panik Rama langsung menghubungi perempuan itu, sayangnya tidak satupun panggilannya yang terjawab.“Jenna lagi sama lo?” Rama memutuskan bertanya kepada Bima melalui pesan, sialnya kembarannya itu juga sama sekali tidak menjawab meski Rama mencoba menelefon laki-laki itu berkali-kali.“Sialan, pada kemana sih mereka!” Kali ini Rama memutuskan untuk menghubungi Nik, atasan Jenna sekaligus kenalannya dan Bima.“Jenna di mana?” todong Rama langsung begitu Nik mengangkat panggilannya.“Enggak tau, mungkin makan siang bareng temen-temennya. Ini kan memang jamnya istirahat.”“Bima di sana?”“Enggak.” Jawab Nik dengan cepat.“Kabarin gue kalau Jenna udah balik.”“Hmm.”Rama menyugar rambutnya kasar, tiba-tiba
Maira dan pandu nyaris menjatuhkan cangkir tehnya begitu menerima laporan dari pos penjaga yang memang ditugaskan untuk menjaga gerbang utama, di dalam laporannya petugas tersebut melaporkan bahwa beberapa saat lalu ada seorang perempuan bersama dua orang anaknya sedang berdiri memandangi pos penjaga. Sebenarnya itu adalah laporan biasa, jika saja mereka tidak menambahkan nama Jenna di dalam laporannya. Mereka bilang, perempuan yang membawa anaknya itu sangat mirip dengan Jenna. “Aku akan periksa cctv.” Pandu bergegas memastikan. Wulan menggenggam tangan Maira, mencoba menguatkan ibu mertuanya sebisanya. Kabar ini jelas kabar yang membahagiakan jika perempuan yang terekam di dalam kamera keamanan itu benar-benar Jenna. “Ma.” Wulan meremas tangan Maira yang dingin. “Enggak apa-apa, semua pasti baik-baik saja.” Maira mengangguk. “Iya, kita tunggu papa sama-sama ya.” Pandu kembali ke meja makan, wajahnya memerah. Melihat itu Maira spontan ikut menangis, sudah jelas bahwa perempuan
Beti gelisah, ia tahu ada yang salah. Ponsel Rama sama sekali tidak bisa di hubungi, sedangkan Bima tidak mau menganggat panggilannya, sejak tadi Beti terus saja berhadapan dengan mesin operator. Wulan juga sama, perempuan itu justru sibuk menonton tayangan komedi di kamarnya.“Oh mas kamu udah pulang?”Beti terkejut mendengar suara Maira, rupanya ia melamun sampai tidak menyadari Maira menuruni tangga.“Aku mau makan siang di rumah.”Kening Beti berkerut karena Pandu tiba-tiba saja meliriknya, kecurigaannya semakin besar.“Ah, ayo. Aku temani.”“Wulan sudah pulang dari belanja?”Maira menggeleng, “Belum, perutnya tiba-tiba saja kram katanya. Jadi dia mau istirahat dulu sebentar.”“Astaga, bilang Wulan, Mai. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau memang enggak sempat sekarang ya di undur besok saja belanjanya.”“Iya, nanti aku bilang Wulan.&rdqu
Jenna merasakan seluruh tubuhnya gemetar, Kara masih sesegukan dalam pelukannya. Tapi alih-alih menenangkan putri semata wayangnya, Jenna memilih memasuki kamarnya dan meninggalkan Kara di ruang tengah bersama Sam.“Enggak, ini enggak mungkin.” Bisik Jenna dengan kalut, “Takdir enggak mungkin sebercanda ini.”Tok..tok..“Ibuk..”Jenna mendengar suara Samudra, perempuan itu merapikan diri sebelum mempersilahkan bocah laki-laki itu memasuki kamarnya. Samudra mengulurkan tangan, menyerahkan selembar foto yang di dapatnya dari kamar Jenna beberapa waktu lalu.“Maaf ibuk..”Jenna merampas foto di tangan Samudra dengan cepat, “Dari mana kamu dapet ini?!”“Da.. dari kamar ibuk.” Bocah laki-laki itu berbisik, “Maaf buk, Sam cuma..”Jenna memotong penjelasan samudra dengan tidak sabaran, “Kara enggak tau kan Sam, Kara belum tau kan kalau om beruang
“Bukan papa yang nemenin Yumi periksa?” bocah perempuan itu cemberut.“Yumi sama om Bima dulu ya, papa ada kerjaan mendadak siang ini. Nanti papa nyusul ke rumah sakit kalau kerjaan papa selesai.”Yumi menggelengkan kepala, “Yumi mau sama papa!”“Yumi..”“Enggak! Yumi mau sama papa, Yumi enggak mau periksa kalau enggak sama papa!”Rama menghela napas, kepalanya benar-benar di buat pusing dengan kekeras kepalaan Yumi. Laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghadapi bocah penipu di hadapannya itu, beruntungnya Bima bersedia membantu membujuk Yumi.“Yumi sama om Bima dulu, nanti setelah selesai kerja papanya Yumi pasti yusul.”Yumi mengekerut, bocah perempuan itu bersembunyi di balik tubuh tambun Beti yang sejak tadi hanya diam melihat kekeras kepalaan keponakannya.“Ncang Beti juga boleh ikut tapi.”Beti sudah akan mengiy
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”
“Untungnya enggak ada luka serius.”Rama dan juga ke dua orang tuanya mendesah lega mendengar penuturan dokter yang menangani Yumi, bocah perempuan itu sudah sadar dan sejak tadi tidak bisa berhenti meringis.“Tapi kepala Yumi sakit banget om dokter, Yumi enggak akan lupa ingatan kan? Kayak sinetron yang biasa ncang Beti tonton di rumah bu RT?”Dokter tua yang menangani Yumi tersenyum, “Coba dokter tanya, Yumi tau enggak yang lagi duduk di sofa itu siapa?”“Papa.” Yumi menjawab tanpa ragu.“Itu tandanya Yumi baik-baik aja, jadi enggak usah khawatir ya.”Yumi mengangguk.“Biar bunda yang antar dokter Hadi keluar, kamu temani Yumi ya Ram.”“Iya, makasih bund.”Maira mengangguk, mengelus lengan putranya sebentar sebelum mengantar dokter yang memeriksa keadaan Yumi bersama Pandu.***Rama duduk di pinggir ranjang, memperhatikan
Jenna panik bukan main, anak-anaknya pulang dengan penampilan acak-acakan. Terlebih lagi Kara, mata anak perempuannya itu sembab. Kara bahkan kembali sesegukan ketika Jenna memeluknya.“Astaga, ada apa ini Sam?!”Samudra menunduk, lidahnya kelu. Anak laki-laki itu sama sekali tidak bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Kara di rumah Rama tadi.“Samudra, kalian ini kenapa?” Jenna memperhatikan tubuh anak laki-laki itu dengan lekat, “Alat semir kamu juga mana? Kalian di palak orang iya?”Jenna mengurai pelukan anaknya, memperhatikan wajah Kara yang berantakan. Tangannya terulur, menarik Samudra dan memeriksa tubuh anak laki-laki itu juga.“Ini kok bisa lebam?” Jerit Jenna histeris, “Kasih tau ibuk siapa yang berani bikin kalian kayak begini!”Samudra memilih diam.Kara berusaha mengatur tangisannya, bocah perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang masih berjatuh
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,