Untuk pertama kalinya keluarga Sore sarapan dengan suasana suram, sejak tadi Maira sudah melirik suaminya yang nampak tak acuh dengan suasana senyap yang mengelilingi meja makan.
“Duh.” Pandu melirik Maira yang baru saja menendang kakinya, istrinya itu melotot sembari melirik anak-anaknya yang makan dengan diam.
“Ekhm..” Pandu berdehem, mencoba menarik perhatian.
“Mumpung ayah lagi di sini, gimana kalau kita rencanain liburan keluarga? Udah lama kan kita enggak liburan.”
“Di mana Jenna?” serang Rama langsung setelah menaruh alat makannya dengan kesal, laki-laki itu bahkan mengabaikan usaha ayahnya yang mencoba mencairkan suasana.
“Di mana Jenna?!”
“Gue enggak tau.”
“Abang.. mas..” Maira mencoba menyadarkan anak-anaknya yang sepertinya siap kembali bertengkar.
“Lo pikir dengan bersikap sok pahlawan kayak gini, Jenna bakal tertarik sama lo?&
“Iya, Nik dateng lagi tadi siang.” Jenna menjepit ponsel di antara telinga dan dagu sedangkan tangannya ia gunakan untuk menutup pintu pagar. Di seberang sana Bima terus mengoceh menanyakan tingkah apa lagi yang di buat Nik saat mengunjunginya hari ini.“Hahahaha dih curigaan banget sama Nik.”“Harus, itu laki-laki enggak bisa di percaya.” Bima menggerutu.“Justru Nik itu satu-satunya yang bisa di percaya.”“Duh jangan kemakan tampang sama mulut manisnya Jen, dia itu jauh lebih berbahaya dari keliatannya. Jadi, lo harus hati-hati.”“Hahahaha, oke.. oke..” Jenna menata beberapa belanjaannya di pantry, sembari sesekali mencocokan barang dengan struk.“Tapi lo baik-baik aja kan satu bulan ini? enggak ada aneh-aneh di sana?” gerakan tangan Jenna terhenti, perempuan itu membasahi bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Bima dengan riang.“Enggak ada, sem
“Kamu harus makan Jenna.” Perempuan itu memilih untuk tetap bergeming, Jenna terus memandang ke luar jendela dan mengabaikan bu Asih yang sudah tiga kali memasuki kamarnya untuk mengantar makanan“Jenna, Rama bisa marah nanti. Tolong, kamu makan ya?” bu Asih kembali membujuk, perempuan yang di urusnya itu sudah sejak kemarin melakukan aksi mogok makan. Rama sudah memberikan peringatan kepada semua orang untuk membujuk Jenna agar mau memakan makanannya, bagaimanapun caranya.“Jenna..”“Dia masih belum mau makan?” Bu Asih menunduk ketika Rama begitu saja memasuki kamar Jenna, sedangkan Rama melirik berbagai troli makanan di dekat ranjang Jenna dengan dingin.“Dia sama sekali enggak mau makan makanannya dari tadi pagi?”“I.. iya tuan.”Rama membuka kancing lengan kemejanya dengan santai, laki-laki itu menganggukan kepala berkali-kali sebelum kemudian berteriak meminta
Rama menggeram, hentakan pinggulnya kian kuat. Napas hangatnya beberapa kali menerpa wajah Jenna yang bersimbah air mata di bawah tubuhnya yang berkeringat, laki-laki itu tidak bercanda ketika mengatakan Jenna harus memuaskannya.“Haah..haah..” Laki-laki itu berusaha mengatur napas setelah pelepasannya datang beberapa saat lalu, biasanya Rama akan langsung memeluk tubuh Jenna tapi kali ini laki-laki itu langsung menggeser tubuhnya dan berpakaian. Rama bahkan sama sekali tidak melirik ke arah Jenna yang masih terisak dengan tangan terikat di atas kepala ranjang.“Bantu Jenna membersihkan tubuh.” Ucap laki-laki itu dingin begitu berpapasan dengan bu Asih di depan pintu kamar. Rama sama sekali tidak peduli apa pelayan paruh baya tersebut mendengar perintahnya atau tidak karena laki-laki itu langsung bergegas memasuki salah satu ruangan di depan pintu kamar yang di tempati Jenna.“Brengsek!” Makinya sembari menunju kaca lemari paj
Jenna mengerjapkan mata, lagi-lagi perempuan itu terbangun di ruangan asing hanya saja kali ini ruangan yang di temuinya memiliki satu warna, putih. Perempuan itu meringis begitu merasakan satu sengatan samar di punggung tangan sebelah kanannya yang ternyata di tempeli selang infus.“Rumah sakit.” Gumamnya kepada diri sendiri, matanya berkeliling memperhatikan ruang perawatanya yang sepi.“Kesempatan.” Desis Jenna dengan semangat begitu melihat sebuah jendela besar di samping ranjangnya, perempuan itu tidak tahu sekarang sudah pukul berapa tapi gelapnya langit malam membuat dada Jenna bergemuruh dengan semangat.“Aw!” Desisnya ketika menarik paksa jarum yang tertanam di punggung tangannya, Jenna tidak ingin membuang waktu. Karena itu, meski kepalanya masih terasa berputar perempuan itu tetap melangkah membuka jendela dan memperhatikan garis-garis tepi di dinding rumah sakit yang bisa ia pijak.***“Ha
“Hai, udah bangun?” Jenna tersenyum, setelah menggulung rambut panjangnya perempuan itu mendekati meja makan dan membantu Leni menyiapkan sarapan.“Rudi mana?”“Lagi keluar sebentar, ada yang minta tolong benerin pipa.” Jenna mengangguk. Perempuan itu sama sekali tidak menyangka kalau pelariannya akan kembali membuatnya bertemu dengan Rudi dan juga Leni.“Jadi, hari ini si bayi punya permintaan khusus apa enggak nih?” Jenna tertawa mendengar pertanyaan Leni barusan, tangannya begitu saja mengelusi kandungannya yang sekarang berusia dua belas minggu.Jenna baru mengetahui kehamilannya satu minggu setelah pelariannya, tiba-tiba saja perempuan itu pingsan saat sedang mencuci pakaian dan di larikan ke klinik terdekat oleh Leni.“Enggak tante, si bayi hari ini mau makan apa aja yang di masakin sama tante Leni.” Jawab Jenna dengan suara khas anak-anak, beberapa waktu lalu ia memang tiba-tiba saj
Jenna merunduk, bersembunyi di dalam terpal salah satu mobil bak terbuka. Perempuan itu menahan isakan ketika mendengar langkah kaki seseorang di sekitarnya.“Jenna… lo kira bisa begoin gitu gitu aja.” Desis Rudi sembari memperhatikan sekitar, berkali-kali kakinya menendangi drum-drum kosong yang ia pikir di jadikan Jenna sebagai tempat bersembunyi.“Keluar lo!” Jenna menutup mulutnya semakin kencang agar tidak berteriak ketika mendengar suara banyak barang beradu.“Jangan sok jadi korban Jenna, karena kenyataannya di sini gue yang jadi korban. Inget waktu kita nonton terakhir kali?” tanya Rudi sembari mengangkat salah satu terpal yang menumpuk di sudut jalan.“Gue beliin lo banyak barang kan? Lo tau gimana cara gue dapetin duitnya?” Rudi mengangkat gagang besi dan mengayunkannya pada setumpuk kardus, laki-laki itu menggeleng karena Jenna tidak juga ada di sana.“Ngutang! Gue harus ngutan
Rama membuka satu kamar, menyimpan satu kotak kado di sana kemudian termenung. Laki-laki itu memandangi empat kotak kado lagi yang memenuhi rak, perasaan laki-laki itu linu menyadari bahwa kotak-kotak kado yang di letakannya sejak empat tahun lalu belum juga di buka oleh pemiliknya.“Masih belum ada kabar?”“Belum, kita benar-benar kekurangan petunjuk karena mobil bak terbuka yang di tumpangi oleh Jenna hancur karena kecelakaan.”“Tapi masih ada kemungkinan Jenna masih hidupkan?”“Seharusnya, karena tim SAR memang cuma nemuin satu mayat waktu itu.”“Ini udah enam tahun, kalau Jenna dan bayinya selamat itu artinya cucu kita sudah besar mas.” Maira mulai terisak.“Sabar ya, kita pasti bisa menemukan Jenna.”Rama yang semula ingin bergabung bersama keluarganya di meja makan memutuskan untuk mengurungkan niatnya, hari ini perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Rama
Rama gelisah, laki-laki itu sudah berganti posisi beberapa kali tapi tidak juga bisa terlelap. Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya pikiran laki-laki itu di penuhi oleh sesuatu yang lain selain Jenna dan juga anaknya yang entah hidup atau tidak.“Makasih ya om!” Rama tersenyum mebayangkan seyum lebar anak perempuan yang menyebut dirinya sebagai Kara, mungkin karena ia juga seorang ayah. Rama jadi penasaran bagaimana rupa dari anaknya dan Jenna yang sampai detik ini keberadaannya sama sekali belum di temukan.Rama tidak bisa menahan decakannya, sudah satu minggu ini laki-laki itu melewati area pertokoan tempatnya bertemu anak-anak yang menyemir dan menyewakan majalah untuknya. Tapi sialnya, keberadaan anak-anak itu tidak ia temukan.“Kita mau muter sekali lagi pak?” si supir bertanya.“Enggak usah, langsung pulang aja.” putus laki-laki itu dengan sendu, baru setengah jalan supirnya tiba-tiba saja me
Maira dan pandu nyaris menjatuhkan cangkir tehnya begitu menerima laporan dari pos penjaga yang memang ditugaskan untuk menjaga gerbang utama, di dalam laporannya petugas tersebut melaporkan bahwa beberapa saat lalu ada seorang perempuan bersama dua orang anaknya sedang berdiri memandangi pos penjaga. Sebenarnya itu adalah laporan biasa, jika saja mereka tidak menambahkan nama Jenna di dalam laporannya. Mereka bilang, perempuan yang membawa anaknya itu sangat mirip dengan Jenna. “Aku akan periksa cctv.” Pandu bergegas memastikan. Wulan menggenggam tangan Maira, mencoba menguatkan ibu mertuanya sebisanya. Kabar ini jelas kabar yang membahagiakan jika perempuan yang terekam di dalam kamera keamanan itu benar-benar Jenna. “Ma.” Wulan meremas tangan Maira yang dingin. “Enggak apa-apa, semua pasti baik-baik saja.” Maira mengangguk. “Iya, kita tunggu papa sama-sama ya.” Pandu kembali ke meja makan, wajahnya memerah. Melihat itu Maira spontan ikut menangis, sudah jelas bahwa perempuan
Beti gelisah, ia tahu ada yang salah. Ponsel Rama sama sekali tidak bisa di hubungi, sedangkan Bima tidak mau menganggat panggilannya, sejak tadi Beti terus saja berhadapan dengan mesin operator. Wulan juga sama, perempuan itu justru sibuk menonton tayangan komedi di kamarnya.“Oh mas kamu udah pulang?”Beti terkejut mendengar suara Maira, rupanya ia melamun sampai tidak menyadari Maira menuruni tangga.“Aku mau makan siang di rumah.”Kening Beti berkerut karena Pandu tiba-tiba saja meliriknya, kecurigaannya semakin besar.“Ah, ayo. Aku temani.”“Wulan sudah pulang dari belanja?”Maira menggeleng, “Belum, perutnya tiba-tiba saja kram katanya. Jadi dia mau istirahat dulu sebentar.”“Astaga, bilang Wulan, Mai. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau memang enggak sempat sekarang ya di undur besok saja belanjanya.”“Iya, nanti aku bilang Wulan.&rdqu
Jenna merasakan seluruh tubuhnya gemetar, Kara masih sesegukan dalam pelukannya. Tapi alih-alih menenangkan putri semata wayangnya, Jenna memilih memasuki kamarnya dan meninggalkan Kara di ruang tengah bersama Sam.“Enggak, ini enggak mungkin.” Bisik Jenna dengan kalut, “Takdir enggak mungkin sebercanda ini.”Tok..tok..“Ibuk..”Jenna mendengar suara Samudra, perempuan itu merapikan diri sebelum mempersilahkan bocah laki-laki itu memasuki kamarnya. Samudra mengulurkan tangan, menyerahkan selembar foto yang di dapatnya dari kamar Jenna beberapa waktu lalu.“Maaf ibuk..”Jenna merampas foto di tangan Samudra dengan cepat, “Dari mana kamu dapet ini?!”“Da.. dari kamar ibuk.” Bocah laki-laki itu berbisik, “Maaf buk, Sam cuma..”Jenna memotong penjelasan samudra dengan tidak sabaran, “Kara enggak tau kan Sam, Kara belum tau kan kalau om beruang
“Bukan papa yang nemenin Yumi periksa?” bocah perempuan itu cemberut.“Yumi sama om Bima dulu ya, papa ada kerjaan mendadak siang ini. Nanti papa nyusul ke rumah sakit kalau kerjaan papa selesai.”Yumi menggelengkan kepala, “Yumi mau sama papa!”“Yumi..”“Enggak! Yumi mau sama papa, Yumi enggak mau periksa kalau enggak sama papa!”Rama menghela napas, kepalanya benar-benar di buat pusing dengan kekeras kepalaan Yumi. Laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghadapi bocah penipu di hadapannya itu, beruntungnya Bima bersedia membantu membujuk Yumi.“Yumi sama om Bima dulu, nanti setelah selesai kerja papanya Yumi pasti yusul.”Yumi mengekerut, bocah perempuan itu bersembunyi di balik tubuh tambun Beti yang sejak tadi hanya diam melihat kekeras kepalaan keponakannya.“Ncang Beti juga boleh ikut tapi.”Beti sudah akan mengiy
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”
“Untungnya enggak ada luka serius.”Rama dan juga ke dua orang tuanya mendesah lega mendengar penuturan dokter yang menangani Yumi, bocah perempuan itu sudah sadar dan sejak tadi tidak bisa berhenti meringis.“Tapi kepala Yumi sakit banget om dokter, Yumi enggak akan lupa ingatan kan? Kayak sinetron yang biasa ncang Beti tonton di rumah bu RT?”Dokter tua yang menangani Yumi tersenyum, “Coba dokter tanya, Yumi tau enggak yang lagi duduk di sofa itu siapa?”“Papa.” Yumi menjawab tanpa ragu.“Itu tandanya Yumi baik-baik aja, jadi enggak usah khawatir ya.”Yumi mengangguk.“Biar bunda yang antar dokter Hadi keluar, kamu temani Yumi ya Ram.”“Iya, makasih bund.”Maira mengangguk, mengelus lengan putranya sebentar sebelum mengantar dokter yang memeriksa keadaan Yumi bersama Pandu.***Rama duduk di pinggir ranjang, memperhatikan
Jenna panik bukan main, anak-anaknya pulang dengan penampilan acak-acakan. Terlebih lagi Kara, mata anak perempuannya itu sembab. Kara bahkan kembali sesegukan ketika Jenna memeluknya.“Astaga, ada apa ini Sam?!”Samudra menunduk, lidahnya kelu. Anak laki-laki itu sama sekali tidak bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Kara di rumah Rama tadi.“Samudra, kalian ini kenapa?” Jenna memperhatikan tubuh anak laki-laki itu dengan lekat, “Alat semir kamu juga mana? Kalian di palak orang iya?”Jenna mengurai pelukan anaknya, memperhatikan wajah Kara yang berantakan. Tangannya terulur, menarik Samudra dan memeriksa tubuh anak laki-laki itu juga.“Ini kok bisa lebam?” Jerit Jenna histeris, “Kasih tau ibuk siapa yang berani bikin kalian kayak begini!”Samudra memilih diam.Kara berusaha mengatur tangisannya, bocah perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang masih berjatuh
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,