Mobil Arjuna masih ada di depan rumah Jane. Mukanya merah dan emosi melandanya saat melihat sang gadis menggenggam erat tangan pria itu. Dia pun mengumpat beberapa kali melampiaskan kekesalannya.“Sial! Sial! Sial!” umpatnya.Arjuna masih duduk di dalam mobilnya, terparkir di seberang jalan dari rumah Jane. Jantungnya berdebar kencang, tangannya gemetar di atas setir saat dia melihat Diki dan Jane berjalan beriringan, tertawa bersama, bahkan berbagi payung di bawah guyuran hujan gerimis.“Hei! Ada apa denganku? Kenapa aku menjadi terganggu dengan gadis itu?” kesalnya sendiri dari dalam hatinya.Namun Arjuna tidak dapat menemukan jawabannya. Entah apa yang merasukinya saat ini. Rasa sakit yang mendalam menggema di dadanya, seperti belati yang menusuk hatinya. Arjuna merasa seolah-olah merasakan udara di paru-parunya telah diperas, membuatnya sulit bernapas. Sang pria meremas setir mobilnya dengan begitu kuat, mencoba meredakan emosi yang membara di dalam dirinya.Wajah Arjuna tampak te
Saat hampir tengah malam tiba, suasana di bar mulai mereda. Deral dan Arjuna, dua sahabat baik yang sedang sama-sama galau. Memutuskan untuk meninggalkan bar setelah menghabiskan malam yang seru bersama. Keduanya mulai berjalan keluar dengan langkah yang sedikit terhuyung-huyung, menunjukkan efek dari beberapa gelas minuman keras yang mereka telah habiskan.Deral, dengan senyum lebar di wajahnya, menggenggam kunci apartemennya dan berjalan menuju mobilnya. Dia merasa cukup puas dengan malam yang telah mereka habiskan bersama. Deral adalah tipe orang yang lebih suka menikmati waktu sendiri di rumah setelah berpesta, jadi dia memutuskan untuk pulang ke apartemennya yang nyaman.Bro … gue cabut duluan, ya!” pamitnya kepada Arjuna.“Hah? Mau ke mana Lo, Bro?” tanya Arjuna kepadanya.“Gue mau pulang ke apartemen gue, Bro. Entah kenapa kepala gue mulai berat sekarang,” tutur Darel lagi.“Yaelah, Bro! Hari masih sore begini! Ayolah … kita bersenang-senang dulu! Bencong saja pulang pagi, Bro!
Arjuna seperti sedang membalaskan dendamnya karena kegundahan hatinya gara-gara Jane. Bahkan pria itu membayangkan wajah Jane saat dirinya bermain panas dengan wanita sewaannya tadi.Arjuna terbaring di atas tempat tidur yang nyaman di sebuah hotel mewah, setelah melewati malam yang panjang bersama Cindy dan Nola. Wajahnya terlihat tenang, menunjukkan bahwa dia sedang tidur pulas. Akan tetapi tanpa dirinya sadari di dunia mimpi, Arjuna terbawa ke dalam sebuah taman yang begitu indah. Di tengah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga berwarna-warni, dia dapat melihat Jane, wanita yang selalu mengisi pikirannya belakangan ini.Jane mengenakan gaun putih yang begitu indah, seolah-olah dia adalah sosok malaikat yang turun dari surga. Gaun itu melambangkan keanggunan dan kemurnian dirinya. Arjuna tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kecantikan Jane yang sungguh benar-benar memesona. Mata Jane berbinar-binar, seakan memancarkan cahaya kebahagiaan dan kedamaian.Dalam mimpi itu, Arjuna d
Arjuna melangkah ke luar hotel dengan penuh harapan, untuk segera bertemu dengan Jane dan menanyakan kepadanya tentang perihal tadi malam.Pria itu sengaja tidak mengangkat telepon Boris yang dari tadi terus menghubunginya.“Boris! Lo kenapa terus menghubungi gue? Memangnya ada hal penting apa yang terjadi sekarang?” kesalnya sendiri.Saat Arjuna sampai di tempat parkiran, dia pun membuka pintu mobilnya dan membantingnya dengan keras pertanda kekesalannya. Pria itu pun mulai melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta.Akan tetapi ketika Arjuna melihat jalanan yang dipenuhi dengan mobil-mobil yang saling berdesakan, ekspresinya berubah menjadi semakin kesal. Dia melihat kendaraan-kendaraan yang tidak bergerak, terjebak dalam kemacetan yang tak berujung. Suara klakson yang berulang-ulang menggema di telinganya, menciptakan kebisingan yang tidak menyenangkan.“Damn! Apalagi ini! Macet?” umpatnya.Ternyata pagi itu jalanan Jakarta sedang macet-macetnya. “Kenapa bisa macet, sih?” seruny
Jane, gadis muda yang bersemangat dan penuh energi, telah berada di apartemen Arjuna sejak fajar menyingsing. Apartemen itu sendiri adalah sebuah mahakarya modern, dengan dinding kaca besar yang membiarkan cahaya matahari pagi membanjiri ruangan dengan kehangatan dan kecerahan.Sang gadis beberapa kali menekan bel pintu apartemen Arjuna. Namun tidak ada sahutan sama sekali dari dalam apartemen.“Apakah Tuan Arjuna belum bangun? Atau aku yang kepagian datang ke sini?” tanya Jane dalam hatinya.Gadis itu pun menunggu beberapa menit di depan pintu apartemen namun tetap tidak ada jawaban dari dalam apartemen. “Wah, waktu sungguh cepat berlalu. Tapi Tuan Arjuna tidak muncul juga. Apakah aku langsung masuk saja ke dalam?” ujarnya lagi dalam hati.Jane pun memutuskan menekan beberapa angka di tombol apartemen tersebut. Yang sebelumnya Arjuna telah memberi kode apartemennya kepada Jane. Gadis itu mulai masuk ke dalam apartemen dan memanggil nama Arjuna beberapa kali.“Selamat pagi, Tuan Arju
Setelah pertemuannya dengan Tuan Takeshi, akhirnya Arjuna sampai juga di area parkiran apartemen. Diapun keluar dari dalam mobilnya dengan langkah cepat dan hati yang berdebar. Pria itu merasa gugup dan tidak sabar untuk bertemu dengan Jane. Setiap detik terasa seperti waktu yang berlalu terlalu lambat baginya.Arjuna melangkah menuju pintu masuk apartemen dengan langkah mantap. Dia bisa merasakan kegembiraan yang memenuhi dadanya. Setiap langkah yang akan mendekatkannya dengan Jane, membuat hatinya semakin berbunga-bunga. Dia tidak sabar untuk melihat senyumnya, mendengar suara lembutnya, dan merasakan kehangatan sikapnya.Arjuna mulai mengabaikan suara hatinya yang selalu bertanya-tanya dan bingung sendiri dengan sikap hatinya kepada gadis itu. Sepertinya sang pria telah terpikat hatinya oleh pesona Jane.Saat Arjuna memasuki unit apartemennya, dia merasa terkesima. Apartemennya terasa berbeda. Semuanya terlihat lebih teratur dan bersih. Arjuna tersenyum lebar, mengagumi kerja kera
Setelah sarapan pagi yang lezat, Arjuna mengajak Jane masuk ke dalam ruang kerja pribadinya yang terletak di dalam apartemen mewahnya. “Nona Jane, tolong buatkan dua cangkir coklat panas dan bawa ke dalam ruang kerja saya,” tuturnya sambil melangkah menuju ke sana.“Baik, Tuan.” jawab Jane lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan dua cangkir coklat panas seperti yang diminta oleh Arjuna.Keduanya lalu menghabiskan beberapa menit menikmati secangkir coklat panas sambil menikmati pemandangan kota yang memukau dari lantai atas apartemen. Arjuna, dengan senyum misterius nya, mengajak Jane untuk duduk dan hendak memulai percakapan mereka.“Silahkan duduk Nona Jane, kita minum coklat panas ini dulu. Baru kita akan mengobrol serius setelahnya.“Iya, Tuan.” sahut Jane. Gadis itu pun mulai menyeruput coklat panas sedikit demi sedikit. Arjuna juga melakukan hal yang sama namun matanya tidak pernah lepas dari bibir Jane yang begitu sangat menarik di hatinya. Dia ingin sekali mencicipi manisnya
Jane masih duduk di ruang kerja milik Arjuna. Gadis itu masih menatap tumpukan kertas yang berisi perjanjian kerja dari Arjuna. Cahaya matahari yang menembus jendela kaca menciptakan bayangan yang seolah-olah menari di atas permukaan kertas tersebut. Jane meraih perjanjian itu, menghela napas panjang sebelum kembali membacanya.Sang gadis masih belum habis pikir dengan isi perjanjian dari Arjuna yang telah menjeratnya. Ekspresi wajahnya berubah seiring berjalannya waktu. Mulanya, Jane tampak tenang, namun saat detik berubah menjadi menit, wajahnya mulai berubah. Keningnya berkerut, alisnya mengerut dan mulutnya terbuka lebar dalam keterkejutan. Jane merasa seolah-olah dia sedang membaca sebuah novel thriller, bukan perjanjian kerja.Perjanjian itu penuh dengan aturan dan ketentuan yang berat dan mengekang. Jane merasa seolah-olah dia telah menjual jiwanya kepada Arjuna. Dia merasa terjebak, seperti dirinya telah terperangkap dalam jaring laba-laba yang rumit dan tak bisa dilepaskan.