“Iya ... besok, kita akan menikah hehe,” kata Rentenir sambil menunjukkan senyuman khasnya.
“Tapi yang berhak mengambil keputusan hari ini kan saya, Rentenir. Sesuai kesepakatan kita, dua hari yang lalu. Koq tiba-tiba Rentenir mengajak menikah, saya belum bilang apa-apa lo,” bela Mira.“Tidak ada lagi kesepakatan, setelah kamu berusaha lari dari pengawasanku. Lagi pula, solusi apalagi yang bisa kamu berikan? Memangnya kamu punya uang untuk membayar hutang bapakmu? Enggak ada kan. Jadi, solusinya cuma satu ... yaitu, menikah denganku hahaha,” jawab Rentenir, wajahnya sangat bahagia, seperti baru saja memenangkan lomba yang berhadiah ratusan juta rupiah. Mira terpaku, tidak bisa menjawab apa-apa. Di satu sisi, dia merasa apa yang dikatakan Rentenir itu benar, namun di sisi lain dia tidak mau menikah dengannya dengan alasan apa pun.Saat Mira larut dalam pikirannya, Rentenir segera memanggil ke empat istrinya dengan suara suitan yang ke“Apa-apaan ini? Seenaknya saja datang ke sini tanpa di undang. Keluar kalian! Ini tidak ada hubungannya dengan hidupmu!” teriak Rentenir marah, kepada tiga orang yang baru saja mengacaukan pernikahannya dengan Mira. Air mata Mira langsung berhenti, matanya tiba-tiba saja merasakan energi, sehingga terasa terang benderang. Dia sangat bersemangat, hingga berdiri mengangkat tubuhnya, sambil menatap mantan pacarnya itu. “Leo,” ucapnya lirih, perasaannya hampir saja meledak saat itu. Leo mendengar panggilan itu, walaupun disuarakan sangat lirih oleh Mira. Mata mereka saling berpandangan, lalu terbentuk senyuman di bibir Leo. Namun tidak lama, lelaki gagah itu kemudian membuang pandangan dinginnya kepada Rentenir. “Hei, lelaki tua, sadar diri dong! Sudah waktunya insaf, dengan segala tingkah laku burukmu,” kata Leo dengan berapi-api. “Brengsek! sapa yang kamu anggap lelaki tua? Coba buka matamu lebar-lebar, aku masih seumuran denganmu,” jawab Rent
“Baiklah ... aku akan kembali ke sana, menggantikan Leo. Tapi tolong ... jangan sakiti dia,” jawab Mira memantapkan hatinya. Kedua orang tua Mira seketika terduduk lemas ke lantai, mereka tidak bisa berkata apa-apa, air mata mereka mengalir, mewakili isi hati mereka yang penuh dengan kesedihan. Mira kemudian menutup telepon itu, dan mengembalikannya ke Papa Leo. Kedua orang tua Leo hanya memandanginya dengan rasa iba. “Mira minta tolong, anterin ke rumah Rentenir, ya Om?” tanya Mira kepada Papa Leo, yang segera dijawabnya dengan anggukan cepat. Papa Leo akhirnya mengantarkan Mira bersama kedua orang tuanya, kembali ke rumah Rentenir, dengan menggunakan mobilnya. Di rumahnya, Rentenir dengan bangganya menunjukkan deretan giginya yang berjendela itu di depan wajah Leo dengan tawanya yang keras, seolah-olah menunjukkan bahwa kemenangan berada di pihaknya. “Haha ... sebentar lagi, Mira akan kembali kepadaku, menggantikan kamu. Percum
Leo sangat berat hati, jika harus bertemu lagi dengan Nenek Mira. Memang masalah dengannya telah berakhir bahagia, namun kalau dia mengingat pernah diminta operasi plastik olehnya, juga pernah dipaksa masuk ke klinik kecantikan untuk menghilangkan tompel dengan cara seperti penculikan, membuat tubuhnya begidik setiap mengingat Nenek Mira. “Ya Tuhan, apa ini satu-satunya cara agar Mira terbebas dari Rentenir?” batin Leo merasa tersiksa. Leo tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyiapkan mental yang matang sebelum bertemu Nenek Mira. Dia berpikir, mentalnya harus dipaksa kuat. Segera dia mencari nomer kontak Nenek Mira, walaupun saat menyalakan kontak itu, dia masih memejamkan matanya, mencoba untuk kuat. Setelah nada dering yang ke sekian kali, akhirnya teleponnya diangkat juga. “Hallow,” sapa Nenek Mira sedikit manja. “Nenek, ini aku, Leo.” “Oh, ada apa Leo? Tumben sekali kamu menelepon Nenek, apa
Leo selalu saja digoda setiap akan pulang padahal hari semakin malam. Mereka kemudian menunggu satu persatu teman Nenek pulang agar bisa segera kembali ke rumah. Akhirnya sampai juga di rumah Nenek Mira, Leo merasa lega sekali, seperti baru keluar dari kandang singa betina. Leo kemudian tertidur, setelah membersihkan riasan di wajahnya. Di dalam kamarnya, Nenek menceritakan pengalamannya arisan bersama Leo tadi, hingga membuat Kakek tertawa mendengarnya. Keduanya kemudian membicarakan Leo. Mereka tersentuh dengan segala perilakunya selama ini. Mereka sebenarnya sadar, kalau Leo bukanlah orang sembarangan, dia berasal dari keluarga terkaya di desanya. Bukan hal yang mudah bagi seorang penguasa muda seperti Leo, mau menuruti keinginan mereka berdua. Mereka menganggap itu dilakukannya karena besarnya cinta Leo terhadap Mira, jadi dia rela berkorban apa saja. Hati keduanya mulai luluh. Keesokan paginya, saat sarapan bersama, Kakek berbicara kepada Leo
Rentenir menyadari kalau pertemuannya dengan Nenek Mira akan membuat dirinya menjadi bukan Rentenir biasanya. Daripada dia malu di hadapan istri-istri dan anak-anaknya, dia kemudian meminta mereka masuk ke dalam kamar masing-masing dan tidak diizinkan keluar, sampai Rentenir membolehkannya. Istri-istri dan anak-anaknya segera masuk ke kamar sesuai komando Rentenir, tanpa bertanya apapun. Sekarang, yang berada di ruang tamu, hanya tersisa Leo, Nenek Mira, dan Rentenir yang dikelilingi kelima anak buahnya. Setelah merasa aman, Rentenir melanjutkan bicaranya kembali. “Mi-Mira itu benar-benar cucumu, Maya?” ucapnya dengan penuh kelembutan kepada Nenek Mira, dia sedikit gugup. “Iya, Mira adalah cucuku. Bapak Mira adalah anakku, yang katanya telah berhutang padamu. Benarkah Mas Cokro?” tanya Nenek berusaha berkata seluwes mungkin untuk mulai merayu Rentenir. Tubuh Rentenir tiba-tiba merasa tidak bertulang, kakinya ber
Leo mengendarai mobilnya dengan berpikir tentang hal yang akan dibicarakan oleh Mira. Kalau mengenai hutang sejumlah sepuluh juta itu, Leo tidak akan mempermasalahkannya, karena nominalnya sangat kecil sehingga tidak dianggap beban sama sekali. Yang terpenting buat dia adalah Mira bisa bebas dari jeratan rentenir dan dapat memulai hari-harinya seperti biasa.Leo kemudian berpikir lagi, mungkin dia akan membahas tentang hubungan kita. Sebenarnya, lelaki tompel ini berharap bisa bersatu kembali. Kalau itu yang akan diminta Mira, Leo sangat bahagia. Tiba-tiba perasaannya seperti merasakan sensasi setelah minum soda, rasa yang menggelegar kecil dan menyegarkan.Akhirnya sampai juga mereka di rumah Mira. Leo kemudian keluar dari mobil, dan berdiri di dekat pintu mobil sambil melihat para anggota keluarga Mira masuk ke rumah mereka satu persatu, namun pikirannya sedang berkelana memikirkan apa yang akan dibicarakan Mira. Saat itu, nenek dan kedua ora
Lusi kemudian berpikir akan mencari tahu mengenai Mira melalui tantenya. Dia mendekatinya, sembari mengambil apel yang terpampang menggiurkan di meja makan. “Mira itu ... orangnya seperti apa, Tan? Apa dia cantik? Lulusan dari negara mana?” tanya Lusi sambil menggigit apel yang telah di ambilnya tadi, kemudian mengunyahnya. “Hmm ... anaknya baik, sangat manis, dia lulusan S1 kota sini saja koq. Kamu kepo ya?” tanya Mama Leo menggoda. “Ih Tante ... boleh khan nanya-nanya,” jawab Lusi acuh tak acuh. Setelah pembicaraan singkat itu, Lusi tidak tinggal diam. Dia sangat penasaran dengan Mira. Penjelasan dari tantenya, dirasa masih kurang lengkap. Dia kemudian meninggalkan tantenya, dan menuju ke ruang tamu untuk berpikir. Tiba-tiba Bibi Jum lewat di depannya. “Bi, Bi, Bi?” panggil Lusi menghentikan langkah Bibi Jum. “Ada apa, Non?” tanya Bibi Jum.Lusi melihat ke kiri dan ke kanan dahulu sebelum bertanya, setelah merasa aman tidak ada om
Mira tidak menghiraukan panggilan Leo, dia terus saja berjalan dengan perasaan kesal dan cemburu. “Mira ... please, jangan marah sayang!” Leo berusaha menenangkan Mira, dia menghadangnya agar tidak segera pulang. Lusi memandang mereka senang, “Itu resikonya kalau berani mengambil Leo-ku. Akan kubuat kamu cemburu, sampek kau meninggalkannya,” batinnya sambil tersenyum sinis. Nafas Mira tersengal-sengal merasakan dadanya yang penuh dengan amarah. “Biarkan aku pulang Leo, aku sudah tidak tahan,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya karena kesal. Entah kenapa bukannya marah, perasaan Leo seperti kembang api, meledak-ledak senang karena merasa sangat dicintai. Kebahagiaannya tidak bisa ditutupi, dia berupaya bersikap biasa saja, namun senyuman itu terbentuk begitu saja di wajahnya, tanpa disuruh. “Kamu cemburu ya? Lusi cuma bercanda,” ucapnya tenang. Mira semakin geregetan melihat senyuman Leo. Begitu kesalnya hingga kakiny
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa