Di dalam kamar miliknya, Zia menangis. Menumpahkan rasa sakit akibat perkataan kedua sahabatnya.
Sebenarnya ... tidak ada yang salah dari perkataan Naya dan Gwen. Zia hanya tidak bisa terima bahwa semua yang dikatakan mereka adalah kebenaran.
Zia masih ingin terus percaya kepada pemikiran idealisnya bahwa Eza pasti bisa berubah. Dia masih ingin percaya bahwa Eza pasti akan berubah suatu hari nanti.
Tidak mudah memang, tapi pasti bisa.
Mata Zia terbuka, menatap langit-langit kamar yang menyilaukan akibat cahaya lampu. Ia menyapu pelan jejak-jejak air mata yang masih tersisa di pipinya dengan jemarinya.
Perlahan, memori awal pertemuannya dengan Eza kembali memoar. Awal hubungan mereka, masih membekas kuat dalam ingatan ...
... -toxic- ...
“Bunga bangkai! Hei, fokus!” teriakan itu menyadarkan Zia dari lamunannya. Mata elang milik para senior kini beralih ke Zia, membuat Zia mendadak ketakutan. Zia buru-buru menurunkan pandangannya saat beberapa senior berjalan mendekat ke arahnya.
“Hei, bunga bangkai. Cukup nama aja yang jelek, tapi kelakuan jangan sampai jelek. Bisa-bisanya ga memperhatikan saat seniornya lagi menjelaskan. Mau jadi apa kalian, udah dewasa tapi susah banget buat diatur?!” teriak senior perempuan berbibir merah tersebut.
“Udahlah, May. Cuma ngabisin waktu kamu aja negur anak kayak gitu. Hukum push up aja seratus kali!”
“Pu-push up?” Zia mencicit.
“Kenapa? Ga bisa push up?” Senior bernama Maya itu menaikkan wajah Zia dengan jarinya agar perempuan itu membalas tatapannya. “Masa push up seratus kali aja ga bisa?! Cemen banget!” ejeknya merendahkan Zia.
Zia tak berkutik. Sebenarnya dia baru saja mengalami kecelakaan dan tangannya bahkan masih diperban karena keseleo, tapi senior-seniornya seolah menutup mata dengan kenyataan itu.
“Ayo dong push up! Jangan diam aja!” Senior yang lain berteriak dari belakang.
"Tau tuh! Zaman kalian enak, push up cuma seratus doang! Zaman kami sampe dua ratus satu angkatan yang push up mana ada protes! Manja banget!" Yang lainnya lantas menimpali.
Zia tidak ada pilihan. Baru saja Zia mau menurunkan tubuhnya, tangan hangat milik salah seorang anak laki-laki itu segera menahannya. “Biar saya aja yang gantiin.”
“Wow! Ada pertunjukan pangeran berkuda putih ya sekarang?” Laki-laki yang tadi mengusulkan hukuman push up mengejek.
“Tangan dia keseleo. Kalau sampai dia melakukan push up dan cidera, apa kalian berani mempertanggungjawabkannya?” Laki-laki bername tag Tapai Busuk itu membela membuat para senior terkejut mendengarnya.
“Apa-apaan ini, maba* sekarang pada ga punya akhlak! Beraninya protes aja! Ga sopan banget sama senior!” Maya, perempuan berbibir merah itu masih terus membela diri.
“Senior?” Si Tapai Busuk tertawa. “Ya, benar. Kalian mungkin senior saya, tapi ... siapa yang tahu kalau mungkin usia kamu lebih muda dari saya? Memberi hukuman tanpa logika, apakah ini menggambarkan seorang mahasiswa?”
Mendengar kata ‘usia’, para senior buru-buru mengecek buku wajib milik Tapai Busuk, terperangah dengan tahun kelahiran yang tercantum di sana.
“Dia dua tahun lebih tua dari anak-anak di angkatannya,” bisik senior berkacamata yang bertugas mengambil buku wajib milik para maba.
“Ah, dia tetap maba di bawah kita, kok!” bisik yang lainnya.
Tidak ada senior yang berani kembali mengangkat suara tinggi kepada si Tapai Busuk. Di balik tubuh tinggi lelaki itu, Zia masih terpaku. “Perhatikan verba kalian. Ga semua maba itu lebih muda dari kalian. Kalau kalian merasa masih ingin dihormati, hormati juga kamu. “
“Dan, sekali saja kalian berani memberi hukuman ga masuk akal ke kami semua yang ada di sini, jangan panggil saya Tapai Busuk kalau saya ga berani melaporkan perbuatan busuk kalian ke pihak berwajib.”
Lelaki itu segera berlalu pergi, melemparkan name tagnya ke sembarang arah sementara Zia menatap kepergiannya dengan wajah bersemu merah.
Seorang laki-laki baru saja datang dan menghampirinya, membelanya bahkan dengan berani melawan para senior. Apakah ini sosok pahlawan di film-film romansa?
Sepertinya Zia mulai jatuh hati.
“Kamu ngeces lho, Zi.” Senggol Naya yang membuatnya segera memeriksa sudut bibirnya.
“Ih, Nay!” gerutu Zia setelah tahu dia dibohongi oleh Naya.
Bukannya meminta maaf, Naya malah tertawa. “Kayaknya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, nih!”
... -toxic- ...
“Gweeen! Gweeen! Di mana dirimu?!” teriak Naya saat dia dan Zia sampai di rumah.
Ya, mereka bertiga—Zia, Naya, dan Gwen—memang tinggal serumah di rumah kontrakan yang tak jauh dari kampusnya. Mereka memang berteman sejak kecil, jadi tidak heran sampai dewasa pun masih sama-sama.
“Ada apa sih ribut-ribut?” tegur Gwen dengan celemak biru langit kebanggaannya dan tangan kanan yang masih memegang spatula. “Aku lagi goreng ayam, nih!”
“Ayam goreeeng? Ada bagian pahanya kan, Gwen?!” Mata Zia mendadak berbinar sembari memastikan bahwa bagian favorit miliknya digoreng oleh Gwen.
“Eh, eh, jangan OOT dong Zi! Kan aku belum selesai cerita ke Gwen!” protes Naya. “Tau gak Gwen, kayaknya si Zia lagi jat—hmmph!”
Belum selesai Naya berbicara, Zia buru-buru menutup mulut Naya dengan telapak tangannya.
“Kalian ngapain sih, gaje banget.” Gwen mengernyitkan wajahnya.
“Mpph ... mpph!” Naya masih berusaha untuk bicara, namun Zia segera memotongnya.
“Udah, Gwen! Kamu balik aja ke dapur goreng ayam, jangan sampai gosong yaa! Ga usah denger omongan si Naya, ngalor-ngidul semua!” usir Zia yang masih terus menahan Naya agar tidak berbicara sekenanya.
Gwen menatap kedua sahabatnya bingung. “Oke.” Ia lantas membalikkan tubuhnya dan kembali ke dapur.
Setelah Gwen pergi, Zia akhirnya melepaskan Naya. “Naaay! Ga usah ngomong yang aneh-aneh, dong!” peringat Naya.
“Apaan, sih? Tersipu malu yaaa? Gweeen, Zia lagi jatuh cinta!” teriak Naya tanpa mempedulikan Zia.
Zia melotot seketika ke arah Naya. “Bohong, bohooong! Jangan percaya sama Naya, Gwen!” teriaknya refleks.
“Kalian berdua gila!” Terdengar sahutan dari dapur, Gwen enggan mendengarkan ucapan kedua sahabatnya itu. “Baru ospek aja udah gila, parah emang kalian berdua! Buruan mandi aja deh kalian, abis itu makan!”
“Ah, Mami Gwenku sayaaaang!” Naya segera berlari dan memeluk Gwen di dapur.
“Paha ayam untuk Zizi yang cantik, kaan!” Zia ikut menyusul Naya memeluk Gwen.
Pelukan mereka membuat Gwen sesak. Ditambah dengan aroma tidak sedap dari keduanya, Gwen sekuat tenaga mengeluarkan tubuhnya dari pelukan Naya dan Zia. “Eww, lepasin ga! Kalian bau bangeeet ya ampun! Aku ga kuat!”
“Kan kamu ga kena ospek, Gwen! Jadi kami bagiin kamu aroma ospek aja, siapa tau kamu flashback!” celetuk Naya, enggan melepaskan pelukannya.
“Hooh! Sayaaang Mami Gwen!” Zia menyetujui celetukan Naya.
“Ya Tuhaaan! Kenapa teman-teman aku ga ada yang waras, sih?!”
(note: maba* itu singkatan dari mahasiswa baru)
-To be Continue-
“Jadi ... Zia diselametin sama itu cowok, gitu?” tanya Gwen usai Naya bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi hari ini di ospek.Naya mengangguk-anggukkan kepalanya keras. “Bener! Bener banget! Gwen, pernah ga sih kamu nemuin cowok pemberani yang membelamu di hadapan para senior? Aaaaa! Pokoknya gila deh, heroik paraah!” puji Naya tak habis-habis.“Jadi
“Zia masih waras, kan?” tanya Gwen kepada Naya.Naya mengendikkan kedua bahunya bersamaan. “Entahlah. Kurasa tidak,” jawabnya sekenanya.“Sejak kapan dia jadi seperti itu?”
“Zi? Kok bisa bareng sama si Tapai Busuk?” Naya memincingkan matanya, berusaha untuk mencari tahu.Bukannya menjawab, Zia malah menarik sebelah alisnya. “Kamu ninggalin aku tadi pagi, kenapa?” tanyanya.“Ya maaf, Zi. Tadi kan aku kebelet pipis.” Naya berkilah.
“Zi, hape kamu ada notifnya, tuh!” Gwen yang sedang menonton televisi merasa terusik dengan notifikasi ponsel Zia.“Bentar, lagi sakit perut, nih!” Zia mengerang dari kamar mandi. Hari ini perutnya mules sekali, padahal rasanya Zia tidak ada makan makanan yang aneh selain bekal dari rumah dan es kopyor dari kantin. Saat akan membersihkan, Zia melihat jejak darah di closet.
“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.” Dengan malas, Zia menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Zia.Eza berjalan ke arah Zia, kemudian bernegosiasi dengan perempuan yang duduk di sebelah kanan Zia. Setelah perempuan itu pergi, Eza langsung mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. “Semalam aku chat lagi lho, kok ga dibales?” tanya Zia.
Gara-gara botol mineral, malam ini Zia jadi tidak fokus mengerjakan laporan awal fisika dasar, padahal besok jadwal kelasnya praktikum untuk pertama kali.Zia pikir kalau masuk Matematika dia tidak perlu repot-repot bertemu fisika, kimia, dan biologi. Ini malah dia bertemu ketiga makul tersebut di awal perkuliahan sebagai ‘makul kemipaan’ katanya.
“Ini dia tempatnya.”Motor Eza berhenti tepat di parkiran yang telah dipadati oleh kendaraan roda dua.Zia turun dari jok motor Eza dan melihat tenda di hadapannya, benar-benar ramai dan aroma kuah baksonya terendus hingga tempat dia berdiri.
Zia berhenti mengerjakan kalkulus di hadapannya, menggantinya dengan layar ponsel yang sedang digunakan olehnya.Satu pesan baru dari Eza.E Z A : Zi, lagi sibuk?Zia Anastasya : Ngga, kenapa?
Ponsel Zia terus berdering sepanjang dia mengerjakan tugas Aljabar Linear Elementar.“Angkat dulu ponselmu Zi, kayaknya bordering terus itu. Siapa tau penting?” ujar Elang kepada Zia.Merasa apa yang diusulkan oleh Elang benar, Zia menganggukkan kepalanya dan menarik ponsel dari atas mejanya. “Aku angkat dulu y
Lima bulan kemudian ...“Iya, iya. Ini aku lagi makan, kok! Kamu juga jangan lupa makan, ya!”Zia sibuk menuangkan bubuk oat ke dalam mangkuk, kemudian menyeduhnya dengan segelas air susu hangat. Ia mengaduk perlahan isi dalam mangkuk tersebut, sementara ia mengapitkan ponselnya di antara bahu kanan dan telinganya.
“Dia sudah banyak terluka sejak kecil.” Bayu menyelesaikan kalimatnya. “Mamanya pergi meninggalkan dia dan Papanya untuk laki-laki lain, sementara Papanya harus terpuruk selama bertahun-tahun dan tak jarang melampiaskan amarah kepadanya.”“Baik verbal maupun fisik, dia menerima semuanya. Dia menerima amukan yang Papanya layangkan untuk Mamanya, dia menerima pukulan yang tak seharusnya dia terima. Dia sudah menderita sejak kecil. Tapi ... akhir-akhir ini sepertinya dia bahagia.”
Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE
Keduanya terkekeh mendengar ucapan Eza.“Abis ini ada kelas, ga?” tanya Eza.Zia menggelengkan kepalanya. “Ga ada, kan hari ini cuma dua makul aja.”“Oh, ya udah.
Zia berhenti mengerjakan kalkulus di hadapannya, menggantinya dengan layar ponsel yang sedang digunakan olehnya.Satu pesan baru dari Eza.E Z A : Zi, lagi sibuk?Zia Anastasya : Ngga, kenapa?
“Ini dia tempatnya.”Motor Eza berhenti tepat di parkiran yang telah dipadati oleh kendaraan roda dua.Zia turun dari jok motor Eza dan melihat tenda di hadapannya, benar-benar ramai dan aroma kuah baksonya terendus hingga tempat dia berdiri.
Gara-gara botol mineral, malam ini Zia jadi tidak fokus mengerjakan laporan awal fisika dasar, padahal besok jadwal kelasnya praktikum untuk pertama kali.Zia pikir kalau masuk Matematika dia tidak perlu repot-repot bertemu fisika, kimia, dan biologi. Ini malah dia bertemu ketiga makul tersebut di awal perkuliahan sebagai ‘makul kemipaan’ katanya.
“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.” Dengan malas, Zia menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Zia.Eza berjalan ke arah Zia, kemudian bernegosiasi dengan perempuan yang duduk di sebelah kanan Zia. Setelah perempuan itu pergi, Eza langsung mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. “Semalam aku chat lagi lho, kok ga dibales?” tanya Zia.