“Zi ... maaf, Zi. A-aku khilaf, Zi. Maaf, Zi ....”
Jejak air mata masih belum kering, kini kembali ditimpa oleh air mata yang terus mengalir di kedua kelopak mata perempuan itu. Di hadapannya—yang enggan untuk dilihatnya, bersimpuh seorang pria yang juga sedang menangis sembari menggenggam jemarinya.
Perempuan itu, Zia, masih berdiam dengan sudut bibir mengeluarkan darah. “I-ini bukan kali pertama kamu kayak gini, Za ....” ucap Zia sembari menahan perih dari sudut bibirnya yang koyak.
“Zi ... aku minta maaf, Zi. Aku salah, aku bodoh, aku ... jangan tinggalin aku, Zi. A-aku ga bisa sendiri ....” Eza masih terus bersimpuh, tidak peduli dengan gengsi atau apa pun, ia menangis.
Eza mungkin satu-satunya laki-laki yang pernah menangis di hadapan Zia. Dia juga satu-satunya laki-laki yang berani belutut tanpa mempedulikan harga dirinya. Dia ... membuang segalanya untuk memperoleh maaf Zia.
“A-aku takut,” cicit Zia pelan, namun berhasil ditangkap oleh Eza.
“Zi-Zia! Kali ini aja, tolong maafin aku. Aku pasti akan berubah, Zia. Aku ga akan mengulangi kesalahanku lagi, Zia. Aku janji!” Eza menatap lekat manik mata Zia yang berusaha menghindar darinya, berdiri dan langsung memegang pipi yang terasa lembab karena air mata itu.
“Ka-kamu pasti sakit, kan? Yang mana yang sakit? Biar aku obatin.”
Tangan Eza sibuk memeriksa kulit tangan Zia, namun buru-buru Zia menepisnya. “Ga perlu.”
“Aku ... minta maaf, Zia. Kali ini aja, aku mohon maafin aku. Aku benar-benar khilaf, Zia. Aku ... biar aku aja yang hukum diri aku!”
Sejurus kemudian Eza segera memukul-mukul bagian tubuhnya. Mulai dari kepalanya, kedua lengannya sendiri, kemudian perutnya. “A-aku bodoh, Zia. Aku tahu, aku salah. Kamu boleh balas pukul aku, lebih sakit dari ini juga gapapa, tapi ....”
“Tolong jangan tinggalin aku, Zia.”
Eza menempelkan keningnya ke kening Zia, meresapi getaran yang menyelimuti tubuh Zia dan berusaha untuk meyakinkan perempuan itu sekali lagi. Tangannya memandu tangan perempuan itu untuk memukuli dadanya.
“Za, jangan kayak gini, Za.” Zia menarik tangannya yang digenggam paksa oleh Eza untuk memukuli dada pia itu, namun pria itu masih belum berhenti.
“Ngga, aku ga bakal berhenti sebelum kamu maafin aku.”
Air mata Zia terus turun, bersamaan dengan Eza yang masih belum berhenti menangis.
“Aku sayang sama kamu, Zia. A-aku ... aku cinta sama kamu. Jangan tinggalin aku, Zia ....”
“Aku ....”
... -toxic- ...
“Terus apa?!” tanya Naya tak sabaran, menanti kelanjutan dan cerita Zia. “Jangan bilang kamu terima dia lagi!” ancam Naya sambil memeras kasar handuk yang digunakannya untuk mengompres luka Zia ke air hangat.
Zia diam, tidak menjawab. Membiarkan Naya tetap merawat luka-luka dan lebam di sekujur tubuhnya sementara bibir perempuan itu tidak berhenti mengomel.
“Aku ga habis pikir ya kalau kamu masih nerima dia lagi, kamu benar-benar perempuan terbodoh yang pernah aku kenal!” gerutu Naya.
“Nay, please. Apa salahnya kalau aku ngasih dia kesempatan satu kali lagi?” tanya Zia yang akhirnya buka suara.
Naya menghentikan gerakannya dan lantas menatap Zia dengan serius. “Zi ... kamu udah berapa kali ngasih dia kesempatan? Tapi apa yang dia lakukan, dia selalu aja mengulangi kesalahan yang sama dan kemudian minta maaf lagi! Gitu aja terus siklusnya sampai aku dan Al nikah dan beranak cucu!”
Zia tidak mengelak hal tersebut. Memang, ini bukan siklus pertama bagi Zia. Tapi ia juga tidak bisa pungkiri bahwa perasaannya masih terus memihak pada lelaki itu. “Aku masih sayang sama dia.” Zia tampak menerawang.
“Emang ya, kalo udah cinta itu susah banget bedainnya sama orang bego!” Naya menyeletuk kesal.
“Ada apa, sih?” Gwen yang baru datang segera nimbrung ke percakapan. Ia berjalan mendekat dan mengambil potongan apel di atas meja. Saat Gwen melihat Zia, ia tidak bisa menyembunyikan tatapan horornya. “Lagi?” tanyanya tak percaya.
“Aku masih sayang sama dia,” ejek Naya tanpa menghentikan aktivitasnya, membuat Gwen lantas menepuk dahinya yang tak bersalah.
“Sayang? Zi ... udah berapa kali aku bilang, hubungan kalian itu udah ga sehat! Ngapain masih dilanjutin sih?” Gwen kini angkat bicara. “Eza yang sekarang itu udah bukan Eza yang kamu kenal dulu.”
Mendengar ucapan Gwen, Zia menggeleng. “Ngga, ngga. Eza yang sekarang masih sama dengan yang dulu, kok. Perasaan aku sama dia juga masih sama,” elaknya.
Naya memutar kedua bola matanya malas saat Zia menjawab perkataan Gwen. “Ya elah, Gwen. Sia-sia kamu ngomong sampai berbuih kalau si bucin ga mau denger!” celetuknya, membuat Zia terdiam.
Gwen menggelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan jalan pikiran Zia. “Zi ... dengerin aku baik-baik. Yang namanya berbuat kesalahan, kalau dia terus ngulangin, itu artinya dia ga akan pernah bisa berubah.”
“Dia udah janji kok mau berubah kali ini.” Zia masih tidak bisa terima nasihat yang diberikan Naya kepadanya.
“Ga akan bertahan lama. Bukannya sebelum-sebelumnya dia juga janji ke kamu kalau dia mau berubah?” Gwen masih merespon Zia tanpa menaikkan sedikit pun nada suaranya.
“Ya, dan abis dia janjiin ke kamu dia pasti khilaf lagi dan lagi.” Naya menambahkan. “Dia ga akan bisa berubah, Zi.”
“Kenapa sih kalian sedikit pun ga bisa nguatin aku atau ngedukung aku?” Kini Zia malah dirundung amarah. Air matanya kembali mengalir, ia menepis tangan Naya yang masih ingin mengompres lebam di wajahnya.
“Bukan kayak gitu, Zi ....”
“Kalian temen aku bukan, sih? Kalian sahabat aku bukan, sih? Aku cuma mau percaya kalau dia bisa berubah, apa kalian benar-benar ga bisa ngedukung hubungan aku sama dia?”
Zia benar-benar tersulut emosi. “Aku capek Nay, Gwen. Aku juga tertekan di hubungan ini. Tapi masalahnya ... aku cinta sama dia, aku ga bisa lepasin dia.”
“Kayak Naya cinta sama Al, memangnya kamu bersedia ngelepasin Al kalo aku bilang kalian ga cocok padahal kamu ngerasa nyaman sama dia? Ngga kan?”
“Ngg—Zi ... maksud aku ga kayak gitu, aku sama Gwen cuma—”
“Kalau kalian benaran sahabat aku, tolong dukung hubungan aku. Tolong percaya kalau dia bisa berubah kali ini, aku butuh support dari kalian, bukan omelan sepanjang waktu!”
BUUUK!
“Zi ....”
“Biarin, biarin dia tenang dulu. Kita jangan ikut campur dulu.” Gwen menahan langkah Naya yang ingin mengetuk pintu kamar Zia, pintu yang baru saja dibanting keras oleh perempuan itu. “Dia butuh ruang untuk berpikir. Tinggalin dia sendiri dulu aja.”
Naya kembali menatap pintu itu dengan tatapan bersalah. “Zi benar, Gwen. Ga seharusnya aku terus-terusan ngatain dia,” ucapnya sedih.
-To be Continue-
Di dalam kamar miliknya, Zia menangis. Menumpahkan rasa sakit akibat perkataan kedua sahabatnya.Sebenarnya ... tidak ada yang salah dari perkataan Naya dan Gwen. Zia hanya tidak bisa terima bahwa semua yang dikatakan mereka adalah kebenaran.Zia masih ingin terus percaya kepada pemikiran idealisnya bahwa Eza pasti bisa berubah. Dia masih ingin percaya bahwa Eza pasti akan berubah suatu hari
“Jadi ... Zia diselametin sama itu cowok, gitu?” tanya Gwen usai Naya bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi hari ini di ospek.Naya mengangguk-anggukkan kepalanya keras. “Bener! Bener banget! Gwen, pernah ga sih kamu nemuin cowok pemberani yang membelamu di hadapan para senior? Aaaaa! Pokoknya gila deh, heroik paraah!” puji Naya tak habis-habis.“Jadi
“Zia masih waras, kan?” tanya Gwen kepada Naya.Naya mengendikkan kedua bahunya bersamaan. “Entahlah. Kurasa tidak,” jawabnya sekenanya.“Sejak kapan dia jadi seperti itu?”
“Zi? Kok bisa bareng sama si Tapai Busuk?” Naya memincingkan matanya, berusaha untuk mencari tahu.Bukannya menjawab, Zia malah menarik sebelah alisnya. “Kamu ninggalin aku tadi pagi, kenapa?” tanyanya.“Ya maaf, Zi. Tadi kan aku kebelet pipis.” Naya berkilah.
“Zi, hape kamu ada notifnya, tuh!” Gwen yang sedang menonton televisi merasa terusik dengan notifikasi ponsel Zia.“Bentar, lagi sakit perut, nih!” Zia mengerang dari kamar mandi. Hari ini perutnya mules sekali, padahal rasanya Zia tidak ada makan makanan yang aneh selain bekal dari rumah dan es kopyor dari kantin. Saat akan membersihkan, Zia melihat jejak darah di closet.
“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.” Dengan malas, Zia menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Zia.Eza berjalan ke arah Zia, kemudian bernegosiasi dengan perempuan yang duduk di sebelah kanan Zia. Setelah perempuan itu pergi, Eza langsung mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. “Semalam aku chat lagi lho, kok ga dibales?” tanya Zia.
Gara-gara botol mineral, malam ini Zia jadi tidak fokus mengerjakan laporan awal fisika dasar, padahal besok jadwal kelasnya praktikum untuk pertama kali.Zia pikir kalau masuk Matematika dia tidak perlu repot-repot bertemu fisika, kimia, dan biologi. Ini malah dia bertemu ketiga makul tersebut di awal perkuliahan sebagai ‘makul kemipaan’ katanya.
“Ini dia tempatnya.”Motor Eza berhenti tepat di parkiran yang telah dipadati oleh kendaraan roda dua.Zia turun dari jok motor Eza dan melihat tenda di hadapannya, benar-benar ramai dan aroma kuah baksonya terendus hingga tempat dia berdiri.
Ponsel Zia terus berdering sepanjang dia mengerjakan tugas Aljabar Linear Elementar.“Angkat dulu ponselmu Zi, kayaknya bordering terus itu. Siapa tau penting?” ujar Elang kepada Zia.Merasa apa yang diusulkan oleh Elang benar, Zia menganggukkan kepalanya dan menarik ponsel dari atas mejanya. “Aku angkat dulu y
Lima bulan kemudian ...“Iya, iya. Ini aku lagi makan, kok! Kamu juga jangan lupa makan, ya!”Zia sibuk menuangkan bubuk oat ke dalam mangkuk, kemudian menyeduhnya dengan segelas air susu hangat. Ia mengaduk perlahan isi dalam mangkuk tersebut, sementara ia mengapitkan ponselnya di antara bahu kanan dan telinganya.
“Dia sudah banyak terluka sejak kecil.” Bayu menyelesaikan kalimatnya. “Mamanya pergi meninggalkan dia dan Papanya untuk laki-laki lain, sementara Papanya harus terpuruk selama bertahun-tahun dan tak jarang melampiaskan amarah kepadanya.”“Baik verbal maupun fisik, dia menerima semuanya. Dia menerima amukan yang Papanya layangkan untuk Mamanya, dia menerima pukulan yang tak seharusnya dia terima. Dia sudah menderita sejak kecil. Tapi ... akhir-akhir ini sepertinya dia bahagia.”
Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE
Keduanya terkekeh mendengar ucapan Eza.“Abis ini ada kelas, ga?” tanya Eza.Zia menggelengkan kepalanya. “Ga ada, kan hari ini cuma dua makul aja.”“Oh, ya udah.
Zia berhenti mengerjakan kalkulus di hadapannya, menggantinya dengan layar ponsel yang sedang digunakan olehnya.Satu pesan baru dari Eza.E Z A : Zi, lagi sibuk?Zia Anastasya : Ngga, kenapa?
“Ini dia tempatnya.”Motor Eza berhenti tepat di parkiran yang telah dipadati oleh kendaraan roda dua.Zia turun dari jok motor Eza dan melihat tenda di hadapannya, benar-benar ramai dan aroma kuah baksonya terendus hingga tempat dia berdiri.
Gara-gara botol mineral, malam ini Zia jadi tidak fokus mengerjakan laporan awal fisika dasar, padahal besok jadwal kelasnya praktikum untuk pertama kali.Zia pikir kalau masuk Matematika dia tidak perlu repot-repot bertemu fisika, kimia, dan biologi. Ini malah dia bertemu ketiga makul tersebut di awal perkuliahan sebagai ‘makul kemipaan’ katanya.
“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.” Dengan malas, Zia menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Zia.Eza berjalan ke arah Zia, kemudian bernegosiasi dengan perempuan yang duduk di sebelah kanan Zia. Setelah perempuan itu pergi, Eza langsung mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. “Semalam aku chat lagi lho, kok ga dibales?” tanya Zia.