Pov : Dinda "Pa, aku mau tinggal di sini karena mama akan ikut suaminya ke luar negeri. Aku malas ikut mama yang selalu sibuk dengan urusannya sendiri setiap hari," ucap anak laki-laki itu lagi dengan suara meninggi. Tak ada sopan santunnya sama sekali. "Ikut saja sama mamamu. Dia yang dulu maksa papa untuk melepasmu, kan? Kenapa sekarang dia membiarkanmu kembali ke rumah ini?" Mas Hamzah balik bertanya."Kok papa bilang begitu? Dulu papa yang minta aku tinggal di sini, kan? Ooohhh ... apa karena sekarang sudah ada perempuan itu jadi papa menolakku?" tanya anak laki-laki itu ketus. Dia memelototkan matanya ke arahku. Aku sampai istighfar berkali-kali melihat sikapnya yang brutal itu. Tak seperti anak seusianya, anak laki-laki di hadapanku itu benar-benar berbeda. Mungkinkah efek orang tuanya yang broken home hingga membuatnya seperti sekarang? Entah. Hatiku mulai berdebar tak karuan. Bagaimana jika anak itu benar-benar tinggal di sini bersamaku? Impian menjadi nyonya besar akan bu
Pov : AmeliaSejak pertemuanku dengan tante Rosita dua minggu lalu, tiap hari wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu selalu mengirimkan pesan padaku. Sekadar menanyakan kabar atau kegiatan yang kulakukan sehari-hari. Tante Rosita juga tak pernah lupa menanyakan tentang si kembarku, Yuki dan Yuka.Dua kali tante Rosita video call dengan dua gadis cantikku itu. Aku bisa melihat bagaimana ekspresi cinta dan sayang yang ditunjukkan wanita itu pada si kembar. Sepertinya Tante Rosita memang mendambakan celoteh-celoteh riang mereka untuk mengisi masa tuanya.Tante Rosita sering mengirimkan hadiah untuk kedua anakku. Bahkan saat kuhitung, sudah empat kali Tante Ros mengirimkan dress dan boneka untuk si kembar. Meski berulang kali kularang, tapi wanita baik hati itu tetap mengirimkannya juga. Aku tahu, mungkin tante Ros memang benar-benar merindukan kehadiran cucu. Jika dilihat dari usianya memang sudah waktunya menimang cucu. Namun, entah mengapa sampai saat ini Mas Denis belum jug
Mataku terus tertuju pada beberapa foto Mas Denis yang terpajang di dinding kamarnya. Ada foto teman-teman kuliahnya, termasuk aku dan Mas Bima. Setelah kuperhatikan lagi dan lagi, ternyata foto yang menghiasi dinding kamar Mas Denis semua teman lelakinya, kecuali aku.Hanya aku satu-satunya perempuan yang fotonya terpajang di kamar ini. Tak hanya satu atau dua, tapi ada banyak sekali fotoku di sana, yang aku sendiri tak ingat kapan dia memotretnya. Sepertinya dia memotret dengan sembunyi-sembunyi.*Amelia ... meski kini dia tak menjadi milikku, namun aku akan tetap menyimpan cinta ini di dalam hatiku. Jikalau kelak memang dia tercipta untukku, aku yakin DIA akan menyatukanku dengannya kembali. Bukan hanya dengan status sahabat namun sepasang suami istri yang saling mengisi dan menemani hingga akhir hayat nanti.*Kubaca coretan kecil yang tertulis di salah satu fotoku yang terpajang di sana. Entah mengapa perasaanku menghangat kembali. Deretan kata itu mengingatkanku kembali akan tuli
"Amel ...." Suaranya kembali terdengar. Gegas kualihkan pandangan. Aku tak tahu kenapa laki-laki itu sudah ada di sini. Padahal Tante Rosita bilang jika dia berada di luar kota, makanya aku berani masuk ke sini.Aku kembali menoleh ke belakang, buru-buru menyeka air mata yang deras mengalir di pipi. Laki-laki yang dulu cukup dekat denganku itu sudah berdiri di ambang pintu. Sedari tadi kurasa dia terus menatapku lekat.Kutunjuk saja foto-foto yang menempel di dinding lalu selembar kertas yang menyatakan kemandulannya dan terakhir isi laptopnya. Tanpa suara, hanya air mata yang terus deras menetes. Mas Denis terus menatapku dengan berkaca-kaca. Aku dan dia hanya diam saling tatap lalu menunduk tanpa bicara beberapa menit lamanya. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga kudengar lirih suaranya ingin bercerita."Maafkan aku, Amel. Aku tak ingin melihat kekecewaan di wajah dan hatimu karena selembar kertas itu. Sebab itulah aku pergi meninggalkanmu perlahan. Berharap Bima bisa menggan
[Amel, aku benar-benar minta maaf jika dulu tak jujur padamu tentang kondisiku. Aku tak bermaksud melukai hatimu, hanya saja aku nggak sanggup jika mematahkan mimpi-mimpimu. Jika saat itu kamu sakit, tentu aku jauh lebih sakit. Aku harus menerima takdirku yang mandul dan harus menerima takdirku yang lain dengan melihatmu bersanding bersama sahabatku sendiri. Sekali lagi maafkan aku, Mel] [Aku tak memaksamu membalas semua pesan yang kukirimkan. Aku juga tak memaksamu untuk memaafkan kesalahan-kesalahan yang kulakukan, tapi aku hanya ingin kamu tahu. Rasa itu tak pernah pudar sampai sekarang. Namun, lagi dan lagi aku cukup tahu diri jika tak bisa menjadi sosok sempurna untuk hidupmu. Aku pergi bukan karena tak mencintaimu lagi, tapi justru karena cintaku terlalu besar hingga membiarkanmu bersamanya. Sekarang, terbukti kamu memiliki dua gadis kecil yang cantik. Bayangkan jika kamu bersamaku, tak akan mungkin bisa seperti sekarang. Kebahagiaanmu tentu akan berkurang] Banyak sekali pesan
"Jangan dibuka dulu ya, Sayang. Kita kan belum tahu kado ini dari siapa," ujarku pelan sembari mengusap punggung kedua gadis kecilku itu. Mereka menghela napas seketika. Tampak kecewa di wajah polos mereka berdua. "Tapi, Ma ... itu sudah ada nama Yuka sama Yuki kan? Bibi bilang itu buat kita, Mama." Yuki merajuk sembari bergelayut manja di lenganku. "Iya, Sayang. Cuma kita nggak tahu siapa pengirimnya. Kalau isinya benda berbahaya bagaimana?" Tak ingin kalah, aku terus membujuk mereka agar tak membuka kado itu sekarang. Setidaknya sampai aku tahu siapa pengirim kado tanpa nama itu. Papa mereka atau memang Mas Denis. "Aku yang kirim kadonya, Mel." Suara itu tiba-tiba mengagetkanku. Aku dan anak-anak pun mendongak ke arah pintu masuk. Sosok jangkung dengan hoodie hitamnya itu sudah berdiri di samping pintu utama dengan senyum tipisnya. Entah mengapa tiap kali melihatnya, getar dalam dada masih begitu terasa. Kupikir memang belum bisa melupakan dia sepenuhnya. "Boleh aku masuk?" tan
[Mas, sebaiknya kamu tak perlu terlalu sering memberikan kado untuk Yuki dan Yuka. Bukannya nggak suka, tapi aku nggak mau mereka ketagihan.dan ketergantungan sama kamu. Bukan kamu yang seharusnya bersikap demikian, tapi papanya.]Kukirimkan pesan itu pada Mas Denis. Walau bagaimanapun aku harus mencegahnya dan memberinya peringatan lagi entah untuk ke berapa kalinya. Aku benar-benar tak ingin anak-anakku merasa nyaman dengan dia dan bergantung padanya. Rasa trauma itu sesekali hinggap dan pergi. Dua bulan setelah pertemuanku kembali dengan laki-laki itu, sikapnya tak pernah berubah. Sangat manis, bahkan bisa dikatakan terlalu manis untukku dan anak-anakku meski status hubungan kami sekadar teman biasa. Cukup lama aku menunggu balasan darinya. Mungkinkah dia akan mengerti kali ini? Atau jawabannya akan tetap sama seperti sebelumnya yang selalu berusaha meyakinkanku akan cinta dan kesetiaannya itu. Aku ingin percaya sepenuhnya, tapi lagi-lagi tiap kali aku ingin memulai meyakini, tia
Dua minggu sudah aku tak mengaktifkan nomor handphone itu sebab sengaja memakai nomor baru. Tak ada yang tahu nomor baruku kecuali Bi Marni dan Pak Agus saja. Bahkan karyawan di twins resto pun tak ada yang tahu. Bukan sengaja menghilang, hanya saja aku memang ingin fokus pada istikharahku sendiri. Tak ingin teracuni pikiran dan keinginanku yang lain. Berharap pilihan yang kuambil nanti memang semata-mata karenaNya, bukan karena keinginanku saja. [Mas, beri aku waktu untuk istikharah. Aku tak tahu sampai kapan, hanya saja aku berharap kamu mau menunggu dan tak menggangguku dulu. Aku akan menonaktifkan nomor ini, jadi bersabarlah menunggu jawabanku sampai nomor handphoneku aktif kembali. Namun, jika kamu memang nggak bisa menunggu terlalu lama, kamu boleh mencari perempuan pengganti yang jauh lebih pantas untukmu. Aku tak mengapa, santai saja]Pesan yang kukirimkan pada Mas Denis beberapa saat sebelum nomor handphoneku nggak aktif itu kembali terngiang di benak. Aku percaya dia rela
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba