POV : Denis"Mas, jangan terlalu baik padaku karena aku takut jatuh cinta padamu," ucap Amel tiap kali aku membantunya memecahkan segala sesuatu. "Memang itu yang aku inginkan. Kamu mencintaiku," jawabku singkat. Kulirik dari ekor mata dia tersipu. Senyum tipis nan manis terlukis di bibirnya."Aku takut cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan. Apalah aku yang hanya perempuan biasa dan dari keluarga yang biasa pula. Sedangkan kamu berbeda," ucapnya lagi. Aku tahu dia sedang menyeka kedua sudut matanya yang basah. "Apa yang membedakan? Harta? Itu milik orang tuaku. Aku tak punya apa-apa, hanya sekadar cintaku yang terlalu besar untukmu," jawabku lagi. Kutatap lekat kedua matanya yang berembun. Seolah tak percaya berulang kali dia menanyakan apakah aku mencintainya. Berulang kali pula kukatakan iya. Cinta ini sangat besar untuknya. 11 Oktober, aku masih ingat tanggal di mana aku dan dia tertawa bersama setelah mengungkapkan rasa. Rasa saling suka dan cinta. Aku memang tak menjanjik
Pov : Dinda Kulihat jam dinding sudah pukul 11 malam namun Mas Bima belum juga pulang. Entah kemana dia. Beberapa hari belakangan dia memang selalu pulang malam. Alasannya agar bisa mendapat uang lebih. Tapi nyatanya tetap kekurangan. Beruntung sekarang aku sudah kerja jadi tak terlalu mengandalkan uang Mas Bima yang nggak seberapa.Terdengar suara dari teras. Sepertinya suara Mas Bima entah menelepon siapa malam-malam begini. Mungkin dia pikir aku sudah tidur jam segini padahal belum. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor yang terpaksa kubawa pulang tiap akhir bulan. "Aku sudah bilang sama kamu, Den. Semua sudah terjadi. Kupikir, Amel bakal merestui hubunganku dengan Dinda karena dia adik kesayangannya. Tapi ternyata dugaanku keliru. Dia justru minta cerai." "Ya, ya, ya. Maaf, Denis. Aku nggak bisa menepati janjiku sendiri. Tapi percaya deh, cintaku sama Amel masih tetap ada meski sekarang aku sudah memiliki Dinda. Delapan tahun aku bersamanya, Den. Munafik jika aku bilang
POV : AmeliaDetik ini, aku kembali berada di ruangan kecil di sudut resto. Mengamati sibuknya karyawan menyiapkan beraneka pesanan. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, mendepakku dari zona nyaman dengan status istri dari seorang manager. Aku yang dulu hanya diwajibkan untuk mengurus anak dan rumah. Tak pernah diberi kesempatan untuk bekerja di luar pasca menikah. Aku yang dulu terlalu percaya diri bahwa suami yang sangat kucintai, mencintaiku pula sama besarnya. Argh cinta. Terkadang hanya dipoles nafsu belaka.Kini aku bisa merasakan bangkit dan mandiri meski awalnya sempat tak percaya diri. Kebimbangan selalu saja merasuki hati bahkan sempat ingin mematahkan mimpi ini begitu saja. Tak perlu diperpanjang lagi jika pada akhirnya akan gagal juga. Entahlah, padahal waktu muda aku begitu pantang menyerah. Tak pernah putus asa apalagi harus bergantung pada sesama. Mandiri dan berjuang sendiri. Mungkin karena hampir delapan tahun tak lagi 'melihat dunia luar' membuatku semakin tak p
Kubuka pintu mobil perlahan. Mas Denis tampak tersenyum manis menatapku tak berkedip sekian lamanya. Mataku mulai berkaca melihatnya kembali di depan mata.Aku tak tahu kenapa dia harus kembali di saat aku sudah bisa menata karir dan hati. Dia datang di saat tak tepat. Segera kulangkahkan kaki menjauhinya. Aku tak ingin dia tahu, detik ini aku kembali mengingat luka yang pernah dia tancapkan di setiap sudut dada."Amelia ... Amel!" Dia masih mengejarku dari belakang, berusaha untuk menggapai lenganku. Kutepis keras jemarinya saat menyentuk lengan gamisku."Tolong jangan sentuh aku, Mas," ucapku sedikit penekanan. Mas Denis spontan menarik kedua telapak tangannya terbuka ke depan dada."Sorry ... sorry, Mel. Aku nggak bermaksud apa-apa. Hanya saja-- "Hanya apa? Minta maaf karena dulu meninggalkanku begitu saja, iya? Di saat aku berada di dalam kebingungan, sekedar mengangkat telepon dariku pun kamu tak sudi. Sejijik itu kamu sama aku, ya, Mas?" ucapku datar. Kulipat tangan di dada tan
[Assalamu'alaikum Amelia, bagaimana kabarmu sekarang? Ini tante Rosita-- mamanya Denis. Sudah lupa, ya? Tak terasa, hampir sembilan tahun kita tak berjumpa] Kedua mataku terbelalak lebar membaca pesan itu di whatsapp. Tante Rosita? Mamanya Mas Denis? Darimana dia tahu nomer ponselku? Pasti Mas Denis sudah mengadu tentang pertemuanku dengannya. Siapa lagi kalau bukan dia? Dasar anak mami! [Wa'alaikumsalam, tante. Alhamdulillah kabar Amel dan anak-anak baik. Tante apa kabar? Ohya mohon maaf kalau kurang berkenan, tante dapat nomer telepon Amel dari mana, ya?] Biarlah dibilang lancang atau tak sopan langsung menanyakan soal itu pada tante Rosita. Daripada aku bisulan karena menahan penasaran. Meski dalam hati yakin memang Mas Denislah pelakunya, tapi tak ada salahnya bertanya langsung agar tak terus menduga-duga. [Alhamdulillah kabar tante dan Denis juga baik. Tante cari tahu sendiri dari google maps, Mel. Denis bilang nasi kebuli buat syukuran kantor barunya itu dari Twins Resto dan
Pov : Bima Hari ini kudapatkan kabar gembira setelah sekian bulan menganggur bahkan membuat hidupku nyaris berantakan. Setelah merenung panjang, sedikit memperbaiki diri bersujud padaNya, akhirnya aku berhasil diterima bekerja di sebuah perusahaan cukup berkembang sebagai manager keuangan di CV Purnama Kurnia. Besok adalah hari pertamaku bekerja di sana. Alhamdulillah, kulihat ibu sujud syukur bahkan menangis tersedu mendengar kabar bahagia dariku. Melihatnya demikian, aku ikut terharu. Betapa mulia dan tulusnya hati seorang ibu. Dia akan selalu mendukung anaknya dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Aku sangat bersyukur memiliki ibu sepertinya."Jadi besok kamu mulai kerja, Bim?" tanya ibu di sela isaknya. Aku mengangguk pelan. Kucium punggung tangan ibu lalu memeluknya erat, menangis di pangkuannya membuat hatiku sedikit lebih tenang. Ibu mengusap kepala dan punggungku pelan. Entah doa apa yang dipanjatkan ibu di setiap malam hingga bisa membuatku kembali ke dunia kerja lagi. A
Pov : Bima "Denis!" Aku kembali memanggil sembari melambaikan tangan ke arahnya. "Bapak kenal dengan Pak Denis?" tanya Aina kaget. Aku menoleh ke arahnya dengan sebuah anggukan."Dia sahabat saya," jawabku singkat. Ada binar berbeda di wajah Aina setelah aku mengatakan itu. Entah kenapa aku pun tak tahu dan tak mau tahu. "Bim! Ngapain di sini?" tanya Denis kaget. Aku pun tak kalah kaget saat melihatnya keluar dari kantor sebelah. CV Hermawan Grup. Kubaca papan nama yang terpasang di kantornya. Mungkin kah ini miliknya? Karena Hermawan adalah nama papa Denis. "Bim!" panggil Denis lagi membuatku sedikit gugup."Aku kerja di kantor sebelah. Oh ya kenalkan ini staf di kantor itu, kebetulan mau makan siang bareng di resto depan," ucapku pada Denis yang hanya manggut-manggut mendengarkan ucapanku. Saat Aina mengulurkan tangannya untuk salaman pun dia hanya mengangguk pelan sembari tersenyum, membuat Aina salah tingkah merasa tak enak hati bahkan mendadak berbisik padaku untuk pergi dul
Pov : Dinda Hamzah Ramadhan. Seorang duda paruh baya yang mapan, pengertian dan dermawan. Itu yang ada di benakku saat aku bertemu kali pertama. Bahkan saat beberapa minggu berkenalan dengannya pun anggapan itu masih tetap sama. Aku bahagia tiap kali bersamanya. Kupikir dia cukup royal dan perhatian pada wanita, terutama padaku. Aku kembali berpikir, meski usianya jauh di atasku, tapi setidaknya aku tak perlu susah payah dan bingung soal duit jika sah menjadi istrinya. Tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati gajinya tiap bulan. Bukan kah matre itu wajar? Setiap perempuan juga matre dan nggak suka hidup susah, kan? Jadi, nggak perlu munafik juga dengan menutupi semua isi hati. Matre dan berpikir realistis itu hanya beda tipis kok. Semakin hari semakin yakin jika menikah dengannya kebahagiaan sudah terpampang di depan mata. Rumah, pekerjaan dan karirnya sudah mapan. Namun, semua impian yang dulu terpampang depan mata itu ternyata zonk. Selama ini, aku selalu tak percaya akan kabar y
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba