Di saat diri ini dalam keadaan bingung bagaimana caranya mendapatkan uang enam juta, aku masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk melihat apa ada sesuatu yang bisa dijual untuk mengembalikan uang yang telah aku ambil, sibuk tangan ini membolak balik baju dalam lemari, apalah yang hendak dijual jika yang tersimpan hanya baju-baju lama, perhiasan tidak punya, cincin kawin sudah terjual untuk biaya lahiran Vita, sedangkan cincin kawin Bang Rahmat terjual untuk biaya lahiran Kia, kota perhiasan isinya hanya bros jilbab harga sepuluh ribuan dan jarum pentul, ya Allah, kenapa aku bisa jadi sekalut ini dengan ancaman Bang Rahmat. Percuma aku bernegosiasi dengan Bang Rahmat, dia pasti tidak mau mendengarkan, ngasi THR enam juta untuk mamaknya, sudah harga mati yang tidak bisa ditawar, teringat lagi postingan Yuni–adik iparku yang anaknya dibelikan baju lebaran, teringat juga sama postingan Bu Mega–mertuaku yang sedang belanja, apa aku telepon saja mertuaku ya, cerita padanya tentang kesusa
"Ini sudah malam Bang, kalau kita ke sana, bagaimana Vita dan Kia?""Ya kita ajaklah, masa ditinggal.""Tapi, macam mana caranya?""Makanya kalau ada otak itu diasah biar nggak tumpul, ya naik motor lah, bonceng tiga, demi Mamakku, apapun aku lakukan agar bisa melihat keadaannya." "Ini udah malam Bang, kasihan anak-anak, bisa masuk angin mereka, lagian kenapa nggak nunggu besok aja, atau begini saja, Abang berangkat sekarang, besok pagi kami menyusul naik angkutan umum.""Salma, gak ada rasa khawatirmu, padahal Mamakku sakit karena kau, entah apa-apa sumpah serapah kau lontarkan sama Mamakku, bukannya merasa bersalah, malah santai muka mu itu kayak orang ga berdosa." Rahmat geleng-geleng kepala seolah Salma telah melakukan dosa besar. "Bang, aku cuma bilang sama Mamak, kalau sebenarnya ngasi THR 6 juta memberatkan bagi keluarga kita, ada Vita dan Kia yang masih membutuhkan biaya.""Apa kau bilang? Enteng sekali mulutmu itu ya Salma, lagian itu uangku, nggak ada hak kau mengaturnya,
"Mak, bukan begitu maksud Salma, ya Allah, macam mana cara Salma menjelaskan nya pada Mamak, lihat lah cucu Maka, Vita dan Kia, sedikit saja pengertian–""Sudah gila kau, Salma, sudah gila, aku suruh minta maaf bukan malah mengajak Mamakku berdebat, Ya Allah, Ya Rabbi, benar-benar istri durhaka kau Salma," ucap Bang Rahmat menahan emosi. "Itulah istri sholeha pilihan Abang tu, padahal dulu dah bagus dijodohin sama si Murni, malah milih perempuan yang tak punya adab dan sopan santun pada orang tua," tukas Yuni yang sudah berdiri di depan pintu. "Udahlah Yuni, jangan membahas yang lalu, ini teguran bagiku karena melawan perjodohan Mamak waktu itu, jadi beginilah nasibku, kukira yang aku perjuangkan itu batu berlian, ternyata batu empang.""Dari mana jalannya dapat batu berlian, orang Abang mungut di tumpukan ikan asin di Belawan sana," sindir Yuni. Salma diam mematung sambil menelan saliva kering, ia benci pada dirinya saat ini, kenapa tidak pergi saja membawa anak-anaknya dari pa
Setelah berhasil mengambil video tersebut, gegas Salma berlari menuju ujung gang, sesampai di tempat suami dan anaknya parkir, Salma menimbang-nimbang Apakah video Tadi ia tunjukkan langsung saat itu, atau nanti menunggu sampai di rumah, rasanya Salma sudah tidak sabar jika harus menunggu. "Bang, bisa kita ke warung itu bentar," ucap Salma sambil menunjuk warung yang masih tutup, tapi, ada deretan kursi yang bisa mereka duduki. "Mau ngapain? Ga puasa, kau? Enggak ah, nanti dituduh mau mencuri."" Ada yang ingin aku tunjukkan padamu, penting Bang.""Hal penting apa sih, Salma? Bahas THR lagi?""Bukan Bang, ini, lihatlah ini," ucap Salma yang akhirnya memilih menunjukkan video tersebut ke Rahmat karena sang suami tak kunjung mau diajak duduk di warung. "Loh, Mamak udah sembuh?""Iya Bang, Mamak itu pura-pura sakit, Bang.""Ah, jangan mengada-ngada kau.""Sekarang Abang pikir sajalah, tadi waktu kita pamit pulang, Mamak sedang terbaring lemah, nah, saat kita pulang, Mamak langsung sem
"Bu Mega, sebaiknya menantu Ibu dibawa ke puskesmas," ucap seorang Ibu. "Betul Bu, biar diperiksa lebih lanjut, takutnya ada cedera." Pak Kades juga ikut memberi usul. "Oh, tidak perlu Pak Kades, saya akan membawa anak saya ke rumah sakit colombia Medan, anak saya harus dapat perawatan yang terbaik, tidak levellah hanya ke puskesma, ayo Salma, kita ke rumah, nanti naik mobil si Burhan kita ke RS, Vita, Kia, ayo ke rumah nenek.""Mak, tidak Mak, maafkan Salma, kali ini Salma harus bertindak tegas, Bang Rahmat sudah kelewatan.""Apa maksudmu, Salma?""Salma harus buat laporan, ini sudah kekerasan.""Kekerasan kepala otak, kau.""Diam kau, Rahmat!" sentak Bu Mega yang semakin geram dengan tingkah bodohnya Rahmat. "Mari Bu, kalau mau ke kantor polisi, saya antarkan," ucap salah seorang pria yang merasa jengah melihat Rahmat yang berkata kasar pada istrinya. "Ini sebenarnya bagaimana ceritanya, kita berkumpul dulu di kantor kepala desa, kita bicarakan." Pak kades memberi usul. "Boleh
Suara token listrik benar-benar mengganggu, tetapi Salma abai karena sebentar lagi ia akan berangkat ke rumah orang tuanya yang ada di Belawan. "Berapa hari kita menginap di rumah Nenek, Bun?" tanya Vita saat Salma memasukkan baju dagangannya ke dalam plastik besar, Salma ingin berjualan di sana sekalian hendak menghindar dengan Rahmat untuk beberapa saat. "Lima hari.""Berarti kita lebarang di rumah Nenek Belawan? Enggak di Binjai, Mak?" Gadis sepuluh tahun itu bertanya lagi. Salma diam sebentar, sangking banyaknya pikiran yang berkelebat di kepalanya, ia lupa kalau lima hari lagi akan lebaran, kedua orang tuanya pasti heran dan bertanya, kenapa tidak lebaran bersama Rahmat, Salma membuang nafas kasa dan berpikir sejenak, masalah itu, nanti saja dipikirkan, yang penting untuk saat ini, ia tidak ingin bertemu dulu dengan sang suami yang sama sekali tidak menghargainya. "Jangan banyak tanya dulu, Vita. Cepat masukan baju-bajumu, buku pelajaran, bantuin juga adekmu, gerak cepat, Vit
"Alamak, kok kau pulaklah di sini, Tina!""Kenapa rupanya? Bukannya semalam kita udah wik-wik, mantab kali Abang, pengen lagi Tina, Bang. Udah lama taman kecil Tina ini gersang, baru semalam lah Abang siram dengan hot nya.""Jadi? Yang semalam itu, kau?" tanya Rahmat dengan mata yang membeliak, Tina mengulas sesambit senyum nakal sambil mengangguk. "Iyah, Abwang, itu Tinah," ucapnya dengan suara dibuat mendayu dan menggoda. "Allahuakbar, keluar kau, Tina!""Eh, ga bisa gitu lah, Abang udah kasi Tina enak semalam, Abang juga keenakan sama barang Tina, mana boleh main usir-usir aja." Tina tidak mau beranjak dari tempat tidur terebut, Rahmat mengusap wajahnya dengan kasar lalu berdiri memakai pakaiannya dan melempar pakaian Tina ke tempat tidur, agar wanita yang masih tiduran dengan pose menggoda itu segera mengenakan pakaiannya. "Keluar kau, Tina, aku mau berangkat kerja, ingat ya, kejadian ini jangan sampai ada yang tau, terutama Salma, ini sebuah insiden.""Kau Tina, pengen? Macam
"Ya Allah," ucap Salma lirih merasai sakit di hatinya, ia bagai di persimpangan yang tidak tau kemana harus menuju. "Bunda," panggil Vita dan Kia, gegas ia melap air mata dengan ujung jilbab instan yang sedang ia kenakan lalu menoleh ke arah kedua anaknya seraya mengulas senyum. Dua bocah itu segera naik ke atas sepeda motor supra tahun lama milik Salma. Wanita yang dirundung rasa sedih itu diam sebentar dan berpikir, kemana ia harus pergi, apakah ke rumah Rahmat? Atau ke kontrakan orang tuanya, kembali tetesan bening mengalir, ia menarik nafas untuk sekedar melegakan rasa sesak di dada dan Salma memutuskan untuk kembali ke Belawan, kalau sudah sampai di sana, tidak mungkin orang tuanya mengusir, apalagi pakaiannya dan kedua anaknya ada di sana. Di tempat lain. Tina sepanjang hari bersenandung dengan riang, wanita berbadan semok itu merasa senang karena berhasil tidur dengan Rahmat, lelaki yang selalu ada dalam fantasinya, Rahmat yang berbadan tegap dengan wajah yang rupawan, mem
"Keluar kau dari rumah ini! Keluar! Ga sudi aku punya istri macam kau, seribu perempuan macam kau bisa kudapatkan!""Ooo, berani kau mengusirku? Enak saja, aku baru pergi setelah kau bayar semua biaya tidur sama aku, itu semua ga gratis, sudah berapa kali kita bercinta, bayar itu Bang! Bayar!""Helleh, kau yang menawarkan diri, kita melakukannya suka sama suka, bahkan saat aku belum cerai kau obral tempikmu itu sama aku.""Aku ga mau tau, pokoknya bayar!" teriak Tina, tapi Rahmat tidak peduli, dia mendorong tubuh Tina keluar, tidak ia pedulikan teriakan dan makian Tina. Keesokan harinya. "Mat, ada yang nyariin kau, tuh, cewek sexy," ucap Ucok pada siang itu, rekan kerjanya satu profesi dengan Rahmat. "Cewek? Siapa?" tanya Rahmat yang tengah menyeduh kopi di pantry kantor. "Meneketehe, kau lihatlah sendiri," ujar Ucok lagi. Dengan penasaran Rahmat berjalan ke arah gerbang kantor, setelah ia melihat siapa yang datang, gegas Rahmat balik badan. "Bang! Bang Rahmat! Jangan kabur, kau
"Oke, baiklah, dengan senang hati, pantes saja dari tadi mereka menangis dan ga mau diantar ke rumah ini, ternyata keluarga ini keluarga setan, hahaha, ayo Kia, Vita, kalian kuantarkan saja ke Belawan, enak saja mau menguasai gaji Bang Rahmat, aku ga sudi, preeettt," ucap Tina dengan raut wajah mengejek ke arah Yuni. "Wih, wanita apa yang dinikahi Bang Rahmat ini, kirain batu berlian rupanya sama saja kayak Kak Salma, batu empang," ujar Yuni. "Kalau aku batu empang, kau batu apa? Kau itu batu WC, batu taik, hahaha.""Pergi kau dari rumah ini! Pergi! Kau itu masih nikah siri sama Rahmat, secepatnya akan kusuruh anakku menceraikanmu, berani-beraninya kau bicara begitu sama kami! Mulutmu itu kayak comberan! Pergi kau!" hardik Bu Mega dengan emosi. "Ishh, ga usah disuruh aku juga mau pergi dari sini, orangnya ga waras semua," ucap Tina lalu mengajak Vita dan Kia pergi. "Dasar wanita sinting!" Bu Mega berteriak di depan pintu. "Kau itu sudah tua tapi kelakuanmu macam dajjal," ucap Ti
"Udah jangan nangis, seharusnya kalian bersyukur, karena Bapak kalian masih mau bertanggung jawab sama kalian," ucap Tina saat Vita dan Kia sudah sampai di rumah Rahmat, rencananya besok kedua anak itu akan diantar ke Binjai. "Kami mau mau tinggal sama Bunda," ucap Kia dibalik isak tangisnya. "Bunda kalian itu miskin! Mau dikasih makan apa kalian kalau tinggal sama dia? Sudah, diam! Jangan menangis lagi, habiskan makannya, setelah ini tidur, besok kalian Tante antarkan ke Binjai."Kia dan Vita masih menangis, Rahmat tidak peduli perasaan kedua anaknya, Rahmat cuma pengen melihat kehancuran Salma. Keesokan harinya. Setelah berangkat kerja, Tina menyuruh Vita dan Kia siap-siap karena sebentar lagi Tina akan mengantarkan kedua anak itu ke Binjai, sesuai perjanjian Yuni dan rahmat tempo hari bahwa Yuni akan merawat Vita dan dia dengan syarat Rahmat memberi uang sebanyak 3 juta perbulan.Tiina sudah memesan taksi online, wanita sexi itu sudah menunggu di teras bersama Vita dan Kia, ke
"Yuni juga senang Mak, karena sebentar lagi akan dapat uang dari Bang Rahmat tiap bulan, Mamak tau sendiri kan, Bang Ari selingkuh, dan Yuni juga mau cerai, apalagi sekarang ada Bang Husein yang mampu membuat Yuni jatuh cinta, semakin membuat Yuni semangat untuk mau minta cerai dari Bang Ari, biar cepat jadi istri Bang Husein.""Oiya, mengenai Husein, Mamak udah dapat alamatnya, kau mainlah ke rumahnya, bawa buah tangan buat ibunya, intinya kau harus bisa masuk dan berbaur sama keluarga mereka, pasti si Husein itu jatuh hati sama kau.""Aman itu Mak, serahkan sama Yuni," ujar Yuni sambil mengacungkan jempolnya. " Jangan lupa kau pakai itu pupur perindu yang kita dapat dari Jeng Ami, supaya urusanmu dalam mendekati Husein berjalan dengan lancar, karena si Salma itu pasti pakai guna-guna dan kita juga jangan mau kalah sama dia." "Ya jelas menang Yuni lah, Mak. Secara wajah body dan penampilan, Yuni lebih oke, modis dan stylish, sangat jauh dengan Kak Salma yang dekil itu, apalagi Yu
Rahmat segera mengurus hak asuh anak agar jatuh ke tangannya, dia memberikan bukti pada pengadilan agama kalau Salma tidak berpenghasilan dan kedua anaknya akan sengsara jika hak asuh jatuh ke tangan ibunya, tentunya pengadilan membutuhkan penyelidikan, tetapi setelah melakukan berbagai pertimbangan, hak asuh jatuh ke tangan Rahmat, karena Rahmat yang dianggap mumpuni untuk memberikan kehidupan yang layak untuk Vita dan Kia. Ketuk palu sebagai tanda berakhirnya perceraian Rahmat dan Salma diakhiri dengan isak tangis Salma, bahkan ibu dua anak itu sempat protes, bagaimana tidak, moment seharusnya dia merasa lega karena bisa lepas dari dari pernikahan toxic, malah berbalik menjadi duka karena pengadilan memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Rahmat. "Selamat menikmati hidup yang penuh dengan kesengsaraan, Salma," ucap Rahmat diselingi dengan tawa yang mengejek. "Sebenarnya apa maumu, Bang? Kenapa kau tega memisahkan aku sama Vita dan Kia, padahal selama ini kau tidak begitu dekat denga
"Salma, kau jangan takut ya, aku murni hanya ingin membantumu," ucap Husein meyakinkan, Salma melihat ketulusan yang terpancar dari raut wajah lelaki yang ada di depannya itu, perasaan sungkan dan khawatir yang tadi menyapa perlahan hilang. "Terima-kasih Husein.""Iya Salma, oiya, aku mau balik ke rumah uwakku, sebaiknya kau balik Salma, terlalu bahaya kalau kau sendirian di sini," ucap Husein memberi saran. Salma melihat sekitar, benar apa yang dikatakan teman masa kecilnya itu, tempat itu begitu sepi, kalau hari biasa masih ada satu dua orang yang berada di sana atau terlihat lampu-lampu dari sampan atau boat nelayan, tapi malam ini memang begitu sepi."Mungkin karena masih dalam suasana lebaran, jadi sebagian warga kampung sini masih berlebaran di rumah saudara mereka, baiklah aku juga hendak pulang, sekali lagi terima-kasih Husein." Salma juga memutuskan untuk pulang karena dia pun sudah merasa baik-baik saja setelah berbicara dengan Husein. Saat Salma sampai di rumah kontrak
Berulang kali Salma mengucap istighfar, dadanya terasa sesak, belum hilang rasa shock saat melihat sendiri perselingkuhan Rahmat, ditambah ancaman Rahmat yang mengatakan akan mengambil hak asuh Vita dan Kia, kini tambah satu masalah lagi, rasanya tidak berkesudahan masalah yang datang pada Salma. Sambungan telepon ditutup secara sepihak oleh Bu Mega, Salma diam mematung dengan perasaan sakit yang teramat sangat menghujam jantungnya, netranya kian memanas dalam hitungan detik jatuh tak terbendung membasahi pipinya yang tirus. Dalam keadaan menangis seperti ini, tidak mungkin Salma masuk ke dalam, ia takut ibunya semakin khawatir, begitu juga jika dilihat oleh Vita dan Kia, Salma harus tetap terlihat tegar dan kuat agar orang-orang yang ia sayang tidak merasa khawatir, karena masih dalam suasana lebaran jadi kampung tempat orang tuanya tinggal terlihat sepi, Salma ingin berjalan-jalan sebentar di sekitar kampung untuk menenangkan hatinya. Cukup sepuluh menit berjalan, Salma sudah sam
"Perempuan gila!' teriak Rahmat saat Salma dan bapaknya sudah tidak terlihat lagi, lalu lelaki itupun memaki sepuas hatinya dan setelahnya ia pun masuk ke dalam rumah dan membanting daun pintu dengan sangat kencang. " Kenapa marah-marah seperti itu, Abang? Seharusnya Abang bahagia, karena sebentar lagi Abang akan bebas dari wanita jelek itu dan ada aku yang yang siap jadi pengganti wanita itu, aku janji akan menjadi istri yang menyenangkan bagi Abang. Adek siap melayani Abang, kapan pun Abang mau," ucap Tina setelah keluar kamar dan menghampiri Rahmat. "Argggh! Kau pulang dulu lah sekarang, aku ingin sendirian," ucap Rahmat sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil sesekali menyugar rambut karena frustasi, Rahmat sangat ingin membuat hidup Salma menderita, wanita yang selama ini selalu dalam genggamannya, apapun perlakuan Rahmat, Salma selalu menurut, tetapi sekarang Salma terang-terangan ingin minta cerai, ego Rahmat semakin menjadi dan keinginannya saat ini hanya ingin me
"Jangan kau videokan!" Seru Rahmat ingin meraih ponsel dalam genggaman Salma, dengan cepat Salma mengelak membuat Rhahmat semakin murka dan ingin merebut ponsel itu lagi. "Jangan berani macam-macam kau Rahmat!" teriak Pak Nurdin yang kini sudah membenci menantunya itu, Rahmat tidak mengindahkan ucapan Pak Nurdin, ia terus saja berusaha merebut ponsel Salma, Pak Nurdin yang melihat pun jadi ikutan emosi lalu menghadang Rahmat. "Tua bangka! Minggir kau!" Dengan emosi Rahmat mendorong tubuh Pak Nurdin. "Ya, Allah, Bapak!" pekik Salma saat melihat bapaknya tersungkur ke lantai karena dorongan kasar Rahmat, Salma berlari menghampiri bapaknya sedangkan Rahmat seolah tidak peduli, ia tampak masih bernafsu mengincar benda pipih yang masih dalam genggaman Salma, tidak peduli pada kondisi Pak Nurdin yang terkulai lemas. "Tolong! Tolong!" teriak Salma saat Rahmat dengan penuh nafsu ingin merebut ponsel dalam genggaman Salma, sambil kakinya menendang Salma beberapa kali dan mengenai bagian ba