Rahmat memaki- maki Salma, Bu Mega mendekati. "Kamu jadi laki terlalu lembek, makanya istrimu begitu, lagian, apa yang kau harapkan dari perempuan macam si Salma itu, masih banyak perempuan yang lain, cari istri itu yang kaya, yang punya harta warisan banyak, kayak si Ita–istri Abangmu."Rahmat menghempaskan bobot tubuhnya di sofa, wajahnya terlihat kusut. "Entahlah Mak, Rahmat juga kadang menyesal, padahal mantan-mantan Rahmat itu dari keluarga berada semua, tetapi kalau Rahmat sama yang lebih kaya, apa mereka mau sama satpam?""Makanya, dulu pas SMA, keluyuran saja kau, akhirnya ga tamat, kan? Coba kalau tamat, minimal D3, pasti bisa kau jadi PNS, kayak Abangmu.""Arrggh, sudahlah, Mak, penyesalan selalu datang terlambat.""Waktu itu juga sudah Mamak jodohkan kau sama si Murni, tapi kau tolak dan memilih si Salma itu, si Murni itu udah punya salon dia, coba dia jadi menantuku, pasti udah bisa ke salon tiap hari aku.""Si Murni dulu jellek Mak, gendut lagi, kalau Salma kan cantik.
Salma bertanya, siapa yang menelpon ibunya, Rahmat langsung gerak cepat. "Ehmm, begini Pak Nurdin, ada yang ingin saya bicarakan, bisa kita keluar sebentar," ucap Rahmat. "Bisa, bisa, bisa kali pun, Nak Rahmat." Pak Nurdin langsung mengiyakan dan berjalan ke arah pintu keluar."Pak, jawab dulu pertanyaan Salma," ujar Salma sedikit mendelik pada bapaknya, bukannya menjawab malah ikut ajakan Rahmat. "Salma, sstt … pelankan suaramu, banyak pasien lain di kamar ini.""Betul itu kata suamimu, Salma."Salma memutar bola mata malas, padahal tadi suaranya sudah cukup pelan, Salma pun sadar diri karena ini rumah sakit dan ibunya dirawat di kamar kelas tiga yang satu kamar ada beberapa pasien lain jadi tidak mungkin dia bicara dengan nada tinggi. Rahmat dan Pak Nurdin menuju pintu keluar. "Ada apa, Nak Rahmat?""Saya ingin menanyakan biaya, bagaimana biaya rumah sakit ini.""Ya Allah, itulah yang Bapak peningkan Nak Rahmat, untuk makan saja kami susah, konon pulalah biaya rumah sakit." Pak
Kenapa Bapak lama sekali?" tanya Salma lagi. "Salma, sini duduk dulu, ada yang ingin Bapak bicarakan, cepat! Duduk di sini," ucap Pak Nurdin dengan wajah terlihat emosi. "Pak, jangan pakai emosi, biar bagaimanapun, Salma ini istri saya," ujar Rahmat sambil tersenyum teduh pada Salma, tapi Salma yakin, senyum itu palsu. "Bapak minta sama kau Salma, kau cabut laporan yang telah kau buat untuk suamimu, apa kau sudah gila? Kalau Rahmat dipenjara, kalian mau makan apa?""Ooh, jadi Bapak sudah termakan omongannya, Bang Rahmat?""Ga ada aku termakan atau apa, kau pikirkan baik-baik, perbuatanmu itu benar-benar memalukan, efeknya bisa berkepanjangan, seorang istri itu harus bisa menjaga marwah suaminya, kau malah sebaliknya, istilahnya seperti melempar kotoran ke wajah suamimu.""Betul apa yang Bapak katakan itu Salma."Salma diam, wanita tangguh itu terlihat menarik nafas dan mengeluarkan dengan asal, Salma menoleh sekali lagi pada Rahmat, lelaki itu tersenyum menyeringai beberapa detik
Sepeda motor butut yang Salma kendarai dengan membonceng kedua anaknya telah tiba di depan rumah, Salma menghela nafas berat, entah kenapa, berat rasa hati Salma kembali ke rumah itu. Vita dan Kia langsung turun dan membuka pintu. "Bunda, pintunya ga bisa dibuka," ujar Vita yang sudah beberapa kali memutar anak kunci dan menarik handle pintu. "Coba dorong Nak, siapa tau seret," ucap Salma memberi saran pada anak sulungnya itu sembari memarkir sepeda motornya. "Tetap ga bisa, Bunda," ujar Vita lagi. "Kak, kok ada suara orang menangis di dalam," kata Kia sambil menempel daun telinganya ke dekat pintu, Kia masih terlalu polos untuk membedakan suara wanita menangis dengan suara wanita m*nd*sah."Ah, mana ada, jangan nakut-nakuti," jawab Vita, Salma yang mendengarkan ucapan anak bungsunya hanya mengernyitkan alis. "Suara apa?" "Ini Bun, masa Kia bilang ada suara orang menangis." Vita menjelaskan pada bundanya. "Kia salah dengar, ayo ketuk pintunya, Ayah di dalam itu," ucap Salma m
"Ayang? Engkau menyebut Bang Rahmat, Ayang?""Udah cepat jangan banyak cakap, bersiap-siap sekarang Salma, biar kita ke Binjai, " ujar Rahmat mengalihkan pembicaraan. "Kak Salma salah dengar, bukan Ayang, Abang, mungkin pembawaan puasa," kekeh Salma, sambil menatap Rahmat penuh arti, Salma yang tadinya melangkah hendak berganti pakaian di dalam kamarnya seketika menghentikan langkahnya karena melihat tatapan Tina pada Rahmat begitu beda, feeling istri tidak bisa dibohongi, Salma merasa yakin jika suaminya dan Tina ada hubungan lain bukan hanya sebatas sebagai tetangga saja."Kok malah berhenti?""Bang, ada hubungan apa Abang dengan Tina, kenapa ga jujur saja, aku rasa ada sesuatu diantara kalian, aku harap Bang Rahmat bisa jujur," ujar Salma penuh selidik. "Aku ga ada waktu menanggapi rasa cemburu mu itu, cepat ganti pakaian dan kamu Tina, pergilah, nanti minta tolong jemputkan anak-anakku di sekolah mereka."Wanita berpakaian serba mini itu melenggang pergi, walaupun dalam gerakan
Salma yang mendengar ucapan Tina, spontan saja marah, Salma tidak suka wanita itu berbicara seperti itu di depan anak-anaknya, Salma takut merusak mental kedua anaknya. "Eh, Kak Salma, sudah selesai urusan kalian?" tanya Tina setelah melihat Rahmat dan Salma, tidak lupa Tina melempar sesabit senyum nakal pada Rahmat dan tentu saja Salma menangkap itu semua, wajar saja kecurigaan Salma semakin menjadi pada Rahmat dan Tina. "Apa yang kau bilang pada anak-anakku, Tina?""Memangnya Ayah jualan ikan tongkol ya, Bun?" tanya Kia dengan polosnya. Mungkin kedua anaknya tidak mengerti, tetapi Salma dapat mengerti arti semua itu arahnya kemana, apalagi selama ini Tina memiliki mulut yang kotor dan vulgar, tentu saja Salma marah, karena wanita itu tidak bisa menjaga mulutnya di depan anaknya. "Udah, pulang kau sekarang Tina." Rahmat menyuruh Tina pulang seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Jangan menghindar, ayo jelaskan, ada apa dengan semua ini. " Selamat siang, Alhamdulillah sudah sampai
Tentu saja Salma berontak mempertahankan uang hasil jualannya, tetapi karena Salma wanita yang berbadan kurus melawan Rahmat yang berbadan tegap, tentu saja Salma kalah, Rahmat menyeringai dengan wajah mengejek sambil menggenggam uang yang berhasil diambil dari tangan Salma. "Bang, berhentilah bersikap tidak punya hati seperti itu, apalagi di penghujung bulan suci Ramadhan, kembalikan uang itu, aku tidak akan mengatakan cerai lagi, aku janji." Salma berusaha bernegosiasi, tentu saja apa yang Salma katakan hanya manipulatif belaka, agar lelaki itu mau memberikan uang hasil jerih payahnya, Rahmat seolah tidak peduli, ia merebahkan tubuhnya di ranjang sambil bersiul-siul kecil. "Jangan berisik kau, nyalakan kipas anginnya, aku mau tidur sebentar saja," ujar Rahmat dengan entengnya seolah tidak terjadi apa-apa, Salma menyalakan kipas angin, untuk sekarang wanita yang telah banyak makan hati itu lebih memilih mengalah, karena posisinya sedang lemah saat ini, saat hendak melangkahkan kaki
Gemetar satu badan rasa Salma ketika tangannya ditangkis seperti itu, hanya diam mematung tanpa melakukan pergerakan beberapa saat, itu yang Salma lakukan, kakinya terasa terkunci hingga tak mampu untuk sembunyi. Sedetik dua detik, Rahmat tidak bergerak lagi, takut-takut Salma mengamati lagi, ternyata suaminya itu masih terlelap dalam tidurnya karena kembali suara dengkurannya terdengar, Salma menarik nafas untuk sekedar membuang rasa takut, entah mengapa, ancaman- ancaman Rahmat mengusik hatinya sehingga Salma sangat takut jika ketahuan, gemetar tangan Salma meraih dompet yang masih menyembul sebagian di saku celana belakang Rahmat. Alhamdulillah, berhasil, batin Salma, cepat ia mengambil uang dan kartu BPJS, setelahnya Salma pun keluar, tetapi ia menepuk jidat, bapaknya butuh kartu BPJS dan beberapa berkas yang diberikan pada Rahmat seperti foto copy kartu keluarga dan yang lainnya, cepat Salma kembali masuk ke kamar lagi dan tempat yang pertama Salma tuju adalah lemari pakaian da
"Keluar kau dari rumah ini! Keluar! Ga sudi aku punya istri macam kau, seribu perempuan macam kau bisa kudapatkan!""Ooo, berani kau mengusirku? Enak saja, aku baru pergi setelah kau bayar semua biaya tidur sama aku, itu semua ga gratis, sudah berapa kali kita bercinta, bayar itu Bang! Bayar!""Helleh, kau yang menawarkan diri, kita melakukannya suka sama suka, bahkan saat aku belum cerai kau obral tempikmu itu sama aku.""Aku ga mau tau, pokoknya bayar!" teriak Tina, tapi Rahmat tidak peduli, dia mendorong tubuh Tina keluar, tidak ia pedulikan teriakan dan makian Tina. Keesokan harinya. "Mat, ada yang nyariin kau, tuh, cewek sexy," ucap Ucok pada siang itu, rekan kerjanya satu profesi dengan Rahmat. "Cewek? Siapa?" tanya Rahmat yang tengah menyeduh kopi di pantry kantor. "Meneketehe, kau lihatlah sendiri," ujar Ucok lagi. Dengan penasaran Rahmat berjalan ke arah gerbang kantor, setelah ia melihat siapa yang datang, gegas Rahmat balik badan. "Bang! Bang Rahmat! Jangan kabur, kau
"Oke, baiklah, dengan senang hati, pantes saja dari tadi mereka menangis dan ga mau diantar ke rumah ini, ternyata keluarga ini keluarga setan, hahaha, ayo Kia, Vita, kalian kuantarkan saja ke Belawan, enak saja mau menguasai gaji Bang Rahmat, aku ga sudi, preeettt," ucap Tina dengan raut wajah mengejek ke arah Yuni. "Wih, wanita apa yang dinikahi Bang Rahmat ini, kirain batu berlian rupanya sama saja kayak Kak Salma, batu empang," ujar Yuni. "Kalau aku batu empang, kau batu apa? Kau itu batu WC, batu taik, hahaha.""Pergi kau dari rumah ini! Pergi! Kau itu masih nikah siri sama Rahmat, secepatnya akan kusuruh anakku menceraikanmu, berani-beraninya kau bicara begitu sama kami! Mulutmu itu kayak comberan! Pergi kau!" hardik Bu Mega dengan emosi. "Ishh, ga usah disuruh aku juga mau pergi dari sini, orangnya ga waras semua," ucap Tina lalu mengajak Vita dan Kia pergi. "Dasar wanita sinting!" Bu Mega berteriak di depan pintu. "Kau itu sudah tua tapi kelakuanmu macam dajjal," ucap Ti
"Udah jangan nangis, seharusnya kalian bersyukur, karena Bapak kalian masih mau bertanggung jawab sama kalian," ucap Tina saat Vita dan Kia sudah sampai di rumah Rahmat, rencananya besok kedua anak itu akan diantar ke Binjai. "Kami mau mau tinggal sama Bunda," ucap Kia dibalik isak tangisnya. "Bunda kalian itu miskin! Mau dikasih makan apa kalian kalau tinggal sama dia? Sudah, diam! Jangan menangis lagi, habiskan makannya, setelah ini tidur, besok kalian Tante antarkan ke Binjai."Kia dan Vita masih menangis, Rahmat tidak peduli perasaan kedua anaknya, Rahmat cuma pengen melihat kehancuran Salma. Keesokan harinya. Setelah berangkat kerja, Tina menyuruh Vita dan Kia siap-siap karena sebentar lagi Tina akan mengantarkan kedua anak itu ke Binjai, sesuai perjanjian Yuni dan rahmat tempo hari bahwa Yuni akan merawat Vita dan dia dengan syarat Rahmat memberi uang sebanyak 3 juta perbulan.Tiina sudah memesan taksi online, wanita sexi itu sudah menunggu di teras bersama Vita dan Kia, ke
"Yuni juga senang Mak, karena sebentar lagi akan dapat uang dari Bang Rahmat tiap bulan, Mamak tau sendiri kan, Bang Ari selingkuh, dan Yuni juga mau cerai, apalagi sekarang ada Bang Husein yang mampu membuat Yuni jatuh cinta, semakin membuat Yuni semangat untuk mau minta cerai dari Bang Ari, biar cepat jadi istri Bang Husein.""Oiya, mengenai Husein, Mamak udah dapat alamatnya, kau mainlah ke rumahnya, bawa buah tangan buat ibunya, intinya kau harus bisa masuk dan berbaur sama keluarga mereka, pasti si Husein itu jatuh hati sama kau.""Aman itu Mak, serahkan sama Yuni," ujar Yuni sambil mengacungkan jempolnya. " Jangan lupa kau pakai itu pupur perindu yang kita dapat dari Jeng Ami, supaya urusanmu dalam mendekati Husein berjalan dengan lancar, karena si Salma itu pasti pakai guna-guna dan kita juga jangan mau kalah sama dia." "Ya jelas menang Yuni lah, Mak. Secara wajah body dan penampilan, Yuni lebih oke, modis dan stylish, sangat jauh dengan Kak Salma yang dekil itu, apalagi Yu
Rahmat segera mengurus hak asuh anak agar jatuh ke tangannya, dia memberikan bukti pada pengadilan agama kalau Salma tidak berpenghasilan dan kedua anaknya akan sengsara jika hak asuh jatuh ke tangan ibunya, tentunya pengadilan membutuhkan penyelidikan, tetapi setelah melakukan berbagai pertimbangan, hak asuh jatuh ke tangan Rahmat, karena Rahmat yang dianggap mumpuni untuk memberikan kehidupan yang layak untuk Vita dan Kia. Ketuk palu sebagai tanda berakhirnya perceraian Rahmat dan Salma diakhiri dengan isak tangis Salma, bahkan ibu dua anak itu sempat protes, bagaimana tidak, moment seharusnya dia merasa lega karena bisa lepas dari dari pernikahan toxic, malah berbalik menjadi duka karena pengadilan memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Rahmat. "Selamat menikmati hidup yang penuh dengan kesengsaraan, Salma," ucap Rahmat diselingi dengan tawa yang mengejek. "Sebenarnya apa maumu, Bang? Kenapa kau tega memisahkan aku sama Vita dan Kia, padahal selama ini kau tidak begitu dekat denga
"Salma, kau jangan takut ya, aku murni hanya ingin membantumu," ucap Husein meyakinkan, Salma melihat ketulusan yang terpancar dari raut wajah lelaki yang ada di depannya itu, perasaan sungkan dan khawatir yang tadi menyapa perlahan hilang. "Terima-kasih Husein.""Iya Salma, oiya, aku mau balik ke rumah uwakku, sebaiknya kau balik Salma, terlalu bahaya kalau kau sendirian di sini," ucap Husein memberi saran. Salma melihat sekitar, benar apa yang dikatakan teman masa kecilnya itu, tempat itu begitu sepi, kalau hari biasa masih ada satu dua orang yang berada di sana atau terlihat lampu-lampu dari sampan atau boat nelayan, tapi malam ini memang begitu sepi."Mungkin karena masih dalam suasana lebaran, jadi sebagian warga kampung sini masih berlebaran di rumah saudara mereka, baiklah aku juga hendak pulang, sekali lagi terima-kasih Husein." Salma juga memutuskan untuk pulang karena dia pun sudah merasa baik-baik saja setelah berbicara dengan Husein. Saat Salma sampai di rumah kontrak
Berulang kali Salma mengucap istighfar, dadanya terasa sesak, belum hilang rasa shock saat melihat sendiri perselingkuhan Rahmat, ditambah ancaman Rahmat yang mengatakan akan mengambil hak asuh Vita dan Kia, kini tambah satu masalah lagi, rasanya tidak berkesudahan masalah yang datang pada Salma. Sambungan telepon ditutup secara sepihak oleh Bu Mega, Salma diam mematung dengan perasaan sakit yang teramat sangat menghujam jantungnya, netranya kian memanas dalam hitungan detik jatuh tak terbendung membasahi pipinya yang tirus. Dalam keadaan menangis seperti ini, tidak mungkin Salma masuk ke dalam, ia takut ibunya semakin khawatir, begitu juga jika dilihat oleh Vita dan Kia, Salma harus tetap terlihat tegar dan kuat agar orang-orang yang ia sayang tidak merasa khawatir, karena masih dalam suasana lebaran jadi kampung tempat orang tuanya tinggal terlihat sepi, Salma ingin berjalan-jalan sebentar di sekitar kampung untuk menenangkan hatinya. Cukup sepuluh menit berjalan, Salma sudah sam
"Perempuan gila!' teriak Rahmat saat Salma dan bapaknya sudah tidak terlihat lagi, lalu lelaki itupun memaki sepuas hatinya dan setelahnya ia pun masuk ke dalam rumah dan membanting daun pintu dengan sangat kencang. " Kenapa marah-marah seperti itu, Abang? Seharusnya Abang bahagia, karena sebentar lagi Abang akan bebas dari wanita jelek itu dan ada aku yang yang siap jadi pengganti wanita itu, aku janji akan menjadi istri yang menyenangkan bagi Abang. Adek siap melayani Abang, kapan pun Abang mau," ucap Tina setelah keluar kamar dan menghampiri Rahmat. "Argggh! Kau pulang dulu lah sekarang, aku ingin sendirian," ucap Rahmat sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil sesekali menyugar rambut karena frustasi, Rahmat sangat ingin membuat hidup Salma menderita, wanita yang selama ini selalu dalam genggamannya, apapun perlakuan Rahmat, Salma selalu menurut, tetapi sekarang Salma terang-terangan ingin minta cerai, ego Rahmat semakin menjadi dan keinginannya saat ini hanya ingin me
"Jangan kau videokan!" Seru Rahmat ingin meraih ponsel dalam genggaman Salma, dengan cepat Salma mengelak membuat Rhahmat semakin murka dan ingin merebut ponsel itu lagi. "Jangan berani macam-macam kau Rahmat!" teriak Pak Nurdin yang kini sudah membenci menantunya itu, Rahmat tidak mengindahkan ucapan Pak Nurdin, ia terus saja berusaha merebut ponsel Salma, Pak Nurdin yang melihat pun jadi ikutan emosi lalu menghadang Rahmat. "Tua bangka! Minggir kau!" Dengan emosi Rahmat mendorong tubuh Pak Nurdin. "Ya, Allah, Bapak!" pekik Salma saat melihat bapaknya tersungkur ke lantai karena dorongan kasar Rahmat, Salma berlari menghampiri bapaknya sedangkan Rahmat seolah tidak peduli, ia tampak masih bernafsu mengincar benda pipih yang masih dalam genggaman Salma, tidak peduli pada kondisi Pak Nurdin yang terkulai lemas. "Tolong! Tolong!" teriak Salma saat Rahmat dengan penuh nafsu ingin merebut ponsel dalam genggaman Salma, sambil kakinya menendang Salma beberapa kali dan mengenai bagian ba