Sekitar satu jam kemudian Farel yang sibuk dengan laptopnya terkejut ketika dia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Farel mendongak ke arah pintu.
"Reyna! Kenapa hanya berdiri di sana? Ada apa?" tanya Farel menatap Reyna yang wajahnya terlihat pucat pasi.
""A ... a-da kecoa di kamar mandi Kak," ucap Reyna yang tidak sadar dia hanya menutup tubuhnya dengan kimono mandi.
Wajah Reyna pucat pasi membuat Farel beranjak dan menarik tangan Reyna kembali ke kamar mandi yang ada di kamarnya.
Farel membuka kamar mandi dan mengamati setiap sudut ruangan namun tidak menemukan apa-apa di sana.
"Tidak ada, Reyna. Di sini tidak ada kecoa satu pun."
"Ada kak, aku tadi sungguh-sungguh melihat binatang itu jalan di lantai ini," tunjuk Reyna pada lantai kamar mandi dengan wajah sungguh-sungguh.
Dan baru saja Reyna aka
Tetep aja cinta kalian. Love you all
Farel tidak menanggapi ucapan Reyna, dia hanya tersenyum kecil menatap wajah Reyna yang memerah akibat malu membuat Farel bertambah gemas saja pada Reyna. Di tempat lain, tepatnya di ruang kerja milik Aldi, terlihat kembali wajah tegang dan marah saat dia membaca surat yang di kirim dari pengacara Reyna. Surat gugatan cerai dari Reyna yang telah di tandatangani oleh istri pertamanya itu. Aldi mengepalkan tangan seraya menatap marah pada selembar kertas yang ada di hadapannya. "Oh, ini yang kau mau Reyna? Selama ini aku sungguh-sungguh salah menilaimu! Kau ternyata tidak lebih hanya wanita murah yang tidak pantas aku cintai, Nadia benar, kau wanita yang tidak pantas untuk dicintai. Kau penghianat!" ucap Aldi geram. "Simpan surat ini dan panggil pengacara Reyna yang menangani kasus ini. Aku ingin bertemu dengannya terlebih dahulu," pinta Aldi pada Nadia. "Baik, Pa," ucap
Aldi meminta Nadia memanggil Andre, asisten pribadinya untuk menghadap. "Anda, memamggil saya, Tuan?" tanya Andre. "Bagaimana perkembangan informasi yang aku minta?" "Saya sudah melakukan perintah anda Tuan, tetapi sampai saat ini saya dan orang-orang kita belum mendapat nformasi yang mengarah kepada titik terang. Semua masih belum jelas, nyonya Reyna masih belum berhasil kami temukan." "Hemm, sudah aku duga. Dia sangat pintar mencari tempat persembunyian, hingga kita belum berhasil menemukannya." "Menurut saya, nyonya Reyna selama ini kemungkinan dibantu oleh seseorang yang berpengaruh, hingga kita belum mampu menemukan dia Tuan." "Aku ragu akan hal itu. Setahuku dia tidak punya siapa-siapa lagi sejak ayah dan ibunya meninggal. Dia pernah bilang dia masih memiliki kakek yang berdomisili di luar negri, aku lupa tepatnya dimana, t
Reyna terkesima, dia menatap Farel yang terlihat emosi. Tangannya masih berada di dada Farel yang dengan jelas masih terdengar degup jantung tidak teratur. Baru kali ini Reyna mendengar Farel berbicara banyak padanya, biasanya dia pelit sekali dalam berucap. Laki-laki itu jelas sekali mengkhawatirkan dia, Farel terlihat sangat cemas. Perhatian seorang kakak terhadap adiknya. Hanya itu pikiran Reyna saat ini. Reyna tiba-tiba merasa bersalah, tapi dia masih bingung harus berkata apa. Farel melepaskan genggaman tangannya lalu berbalik meninggalkan Reyna yang masih terpaku menatap kepergian laki-laki itu. Reyna seketika tersadar dan berlari mengejar Farel, wanita itu kemudian menabrak tubuh Farel dan memeluknya dari belakang membuat Farel menghentikan langkahnya. Farel terkejut dengan reaksi Reyna. Ada yang menghangat dalam hati laki-laki
Apa kamu ingin mengambil kembali milikmu? Aku bisa melakukannya jika kamu mau," tawar Farel pada Reyna. "Jangan kak, biarkan saja dia mengambilnya. Aku ingin membuka butik baru saja lagi seperti dulu, hanya saja aku belum punya tempat." Farel mendekati Reyna dengan wajah yang terlihat dingin. Sekilas orang tidak mengerti jalan pikiran pria tampan itu. Sama seperti Reyna saat ini. "Apa yang kau pikirkan, Kak?" tanya Reyna yang menatap pria yang saat ini sudah berada sejengkal dari hadapannya. "Sebenarmya kau mampu untuk mengelola perusahaan, Reyna, aku tahu kau cerdas. Aku rasa tidak.sulit mengajarimu, bukankah selain design, kau dari lulusan ekonomi bisnis? tentunya tidak akan sulit mempelajarinya. Kalau soal design itu hobbymu sejak dulu, dan kau bisa memegang keduanya jika kau mau." Reyna membisu, tawaran dari Farel sebenarnya sangat menarik, hanya entah mengapa
Esok malamnya acara gathering Mayapada group bersama partner cabang Jakarta dilaksanakan di lantai 5 gedung itu. Acara ternyata bertema bebas dan santai, lebih kepada pengenalan dan promosi perusahaan Mayapada, khususnya untuk cabang di Jakarta. Reyna dengan gaun berwarna peach terlihat sangat cantik dan anggun, tangannya dia lingkarkan pada lengan Farel. "Tenang Reyna, semuanya akan baik-baik saja," bisik Farel. "Maaf Kak, aku sedikit gugup," balas Reyna ikut berbisik. Detak jantungnya berubah lebih cepat. "Ingat, jangan terlihat lemah di depan mereka," ucap Farel seraya menepuk punggung tangan Reyna untuk menenangkan hati wanita itu. Saat mereka masuk, berpasang-pasang mata memperhatikan kedua pasangan yang terlihat sangat serasi ini. Mereka memuji pasangan yang terlihat elegan. "Sepertinya wajah yang pria sangat familiar ya, t
"Oh Tuan dari perusahaan konsultan yang kami minta bekerja sama dalam projek kami itu, bukan? Apakah kalian pasangan kerja dari perusahaan yang sama?" tanya Nadia mencoba mencari tahu, dia masih belum yakin Farel hanya memegang perusahaan konsultan saja mengingat banyaknya tamu undangan yang menghormatinya. "Dia wanitaku," jawab Farel santai seraya melingkarkan tangannya pada pinggang Reyna. Dia menatap Aldi yang terlihat jelas menatap mereka denga pandangan rumit. "Tuan, mari saya antar Tuan ke ruangan khusus. Ada sesuatu yang akan kami bicarakan empat mata berkenaan dengan projek yang kami tawarkan. Apakah anda tidak keberatan?" tanya Nadia mencoba menjauhkan Reyna dari Farel. Nadia sangat kagum dengan kharisma Farel dan ketampanan pria itu. Entah mengapa dia isangat tertarik untuk mengenal Farel lebih jauh. "Sepertinya pria ini bukan orang sembarangan, hemmm, beruntung sekali wanita mandul itu dekat dengan pria
"Tidak boleh! Kau hanya mencintaiku Reyna, kau hanya bisa mencintaiku. Tidak akan ada orang lain yang bisa mencintaimu sebesar aku mencintaimu." Reyna malas mendengar ocehan Aldi, dia berusaha tidak terbujuk rayuan suaminya lagi. "Aku lelah, Mas. Selama kau masih bersama Nadia, aku tidak akan sanggup bersamamu. Aku menyerah." "Aku sudah menawarkan untuk menceraikannya, tapi bukankah kau yang tidak ingin aku berpisah darinya?" protes Aldi sambil menatap iris mata Reyna. "Aku memikirkan anakmu, Mas Ingat Azlea masih sangat kecil Apa kau sanggup jika anakmu dibawa oleh ibunya dan melarangmu bertemu dengannya?" "Akkkkhhhhh! Sial! Kenapa harus ada pilihan itu. Dan mengapa aku harus memiliki anak dari orang lain? Apa kau sengaja tidak ingin hamil dariku, Reyna?" Plakkkk! Reyna menampar pipi Aldi dengan wajah penu
Reyna menggeleng seraya tersenyum kecil, wanita di depannya ini selalu saja membuat dirinya muak. "Aku sebenarnya kasihan dengan mas Aldi dan Azlea, kenapa mereka harus memiliki wanita yang tidak pantas untuk dicintai," ucap Reyna seraya melangkah meninggalkan Nadia. "Apa maksudmu, wanita sial!" ucap Nadia marah. Reyna tidak meladeni Nadia dia tetap melangkah meninggalkan Nadia yang wajahnya memerah menahan amarah. Dasar wanita mandul, syukurlah sebentar lagi kau akan berpisah dari suamiku!" teriak Nadia kesal. Hei ... santai nona, kenapa kau marah ? Aku hanya memberi pendapat sesuai dengan yang aku saksikan," jawab Reyna kembali tersenyum tanpa menoleh pada Nadia. "Aku yakin kau pasti membujuk papa Azlea untuk tidak bercerai. Kau pikir dia akan mengikuti keinginanmu? Dia bahkan ingin sekali mempercepat prosesnya!" dusta Nadia membuat Reyna terkek
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k