-3-
"Aku tidak mau!" tegas Nadine, tak peduli saat Theo mengernyitkan dahi. "Coba deh kamu pikir, gimana caranya bisa balas dendam kalau hidup sederhana?" tanya Nadine dengan mata menyorot tajam.Theo mengusap rambut dengan tangan, merasa bahwa ucapan Nadine ada benarnya. Pria bertubuh tinggi itu memasukkan tangan ke saku celana dan menyandarkan diri ke dinding. "Oke, saya setuju. Tapi kita tidak akan tinggal di sini," ujarnya.
"Hmm, terus mau tinggal di mana?"
"Rumah saya."
"Tidak mau! Rumahmu ... sempit."
Theo terkekeh, mengangguk menyetujui pendapat Nadine. Rumah miliknya memang kecil, hanya sebuah rumah di perumahan sangat-sangat sederhana sekali.
"Begini saja, supaya adil, kita gantian tiap minggunya tinggal di mana. Karena aku jelas-jelas tidak mau dianggap mengejar kekayaanmu," usul Theo. Sengaja mengubah panggilan dari saya ke aku, agar bisa merasa lebih dekat.
Nadine tampak terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui usul Theo. Perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuh dan jalan menuju unitnya. Menoleh sekilas pada pria bertubuh tinggi tersebut dan melambaikan tangan memanggil.
Theo perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan Nadine yang seketika merasa canggung. Perasaan aneh yang baru kali ini dia rasakan saat bersama Theo, setelah sekian lama mereka berteman.
"Bersiap-siaplah, kita ke rumah orang tuaku," ujar Nadine sambil menunduk.
"Oke, tunggu sebentar, aku mau ngambil pakaian ganti di mobil," sahut Theo sembari berbalik dan jalan memasuki lift kembali.
***
Satu jam kemudian, kedua orang tersebut sudah bersiap di mobil. Perjalanan menuju Kota Bogor kali ini ditempuh dengan lancar. Lalu lintas yang tidak terlalu padat di pagi menjelang siang ini membuat kendaraan bisa melaju cepat.
Nadine meminta Theo untuk berhenti di rest area. Mereka duduk di sebuah meja milik pedagang di situ dan menikmati sarapan sederhana.
"Nanti kamu nggak perlu banyak bicara, cukup aku aja," ucap Nadine.
"Kenapa? Mereka pasti akan bertanya-tanya alasan kita ingin segera menikah," sahut Theo.
"Makanya kubilang juga biar aku yang bicara. Kamu itu terlalu jujur orangnya. Nggak bisa jaga rahasia."
Theo mengulaskan senyuman tipis, dalam hati mengakui bahwa Nadine benar kali ini. Sifatnya yang terlalu jujur itu kadang menyulitkan, tapi Theo tidak ingin mengubah hal tersebut.
Kejujuran, tanggung jawab dan kesetiaan adalah sikap-sikap yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Theo tiba-tiba merasa rindu untuk bertemu keluarganya di Belitung.
Perjalanan mereka berlanjut. Setibanya di kediaman orang tua Nadine, Theo turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk bos-nya. Hal biasa yang selalu dilakukan, tapi hari ini ada perasaan yang berbeda. Terutama saat Nadine menyambut uluran tangan pria itu dengan pipi yang merona.
Perempuan berhidung mancung itu melangkah pelan sambil bergandengan tangan dengan Theo. Mereka memasuki pintu depan rumah yang telah dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga.
"Mami dan papi di mana, Bi?" tanya Nadine sembari jalan memasuki ruang tamu yang megah.
"Di teras belakang, Non,' jawab Bi Sumi, perempuan paruh baya yang telah cukup lama bekerja di sini.
Nadine mengajak Theo menuju teras belakang rumah. Semakin dekat dengan tempat itu, debar di hatinya semakin tidak menentu. Tangannya mendadak dingin, dan hal itu tidak luput dari perhatian Theo.
Setibanya di tempat tujuan, Nadine melepaskan tangan Theo dan jalan menghampiri maminya yang sedang melukis. Menciumi kedua pipi perempuan kesayangan itu sambil berpelukan.
"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, Sayang?" tanya Bu Rianti, maminya Nadine.
"Sengaja, Mi, biar jadi kejutan," jawab sang putri yang beranjak menghampiri papinya yang sudah merentangkan tangan dan memeluk putrinya dengan penuh kerinduan.
"Tambah cantik aja," puji Pak Daniel, papinya Nadine sambil mengecup pipi putrinya.
"Tentu dong, kan nurun dari mami," timpal sang istri sambil menyalami Theo.
"Iyain aja deh, daripada papi disuruh tidur sendiri," canda Pak Daniel yang membuat Nadine tersenyum lebar. "Ayo, Sayang, kita duduk dulu," ajak sang papi yang dibalas anggukan sang putri.
Keempat orang tersebut duduk di dua kursi panjang di teras belakang. Pak Daniel beradu pandang dengan sang istri, saat melihat Nadine yang berpegangan tangan dengan Theo.
"Papi, Mami, kedatangan kami ke sini adalah ... untuk meminta izin. Kami akan segera menikah," ujar Nadine dengan suara pelan.
Pak Daniel terdiam sesaat, sementara Bu Rianti terperangah dengan mata membulat. Merasa tidak percaya dengan ucapan anak gadisnya itu yang sangat tidak disangka-sangka.
"Gimana, Sayang? Mami kok bingung, ya," sahut Bu Rianti sambil memandangi wajah kedua anak muda di hadapan itu secara bergantian.
"Maaf, saya hanya ingin menegaskan ucapan Nadine, bahwa kami hendak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat," timpal Theo.
Tiba-tiba Pak Daniel berdiri dengan raut wajah tegang dan tangan mengepal. "Papi tidak setuju kalau kamu mau menikah dengan Theo, Nadine!" tegas pria bertubuh tegap itu dengan suara keras.
"Tapi, Pi, aku ... mencintai Theo," balas Nadine yang membuat papinya semakin emosi.
"Mau ditaruh di mana muka papi kalau kamu nikah sama supir!"
"Pi, tolonglah, kami saling mencintai. Theo adalah orang yang bertanggung jawab, Pi. Aku merasa nyaman dengannya. Hal itu sangat berbeda bila bersama dengan Bagas." Nadine berdiri dan menghampiri papinya. Berharap pria yang menjadi cinta pertamanya itu mau mengubah keputusan.
"Sekali papi bilang tidak, itu berarti tidak!" Pak Daniel membalikkan tubuh dan jalan menjauh.
Nadine yang hendak mengejar akhirnya menunda keinginan karena maminya menggeleng keras. "Jangan dikejar, percuma. Kalau sedang emosi papimu jangan dilawan," tukas Bu Rianti sambil menarik lengan putrinya.
"Sini, duduk dekat mami, kita bahas sekali lagi. Mami benar-benar penasaran dengan alasan kalian untuk menikah," lanjut perempuan dewasa itu seraya mengusap lengan putrinya.
Nadine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menceritakan semuanya sesuai dengan apa yang telah disepakatinya dengan Theo. Bu Rianti mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sedikit pun.
Hingga tibalah saat makan siang. Pak Daniel tetap tidak mau keluar dari kamar. Permintaan putrinya untuk makan bersama pun tidak digubris sama sekali. Hal itu membuat Nadine bersedih. Ogah-ogahan makan dan hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa selera.
Bu Rianti akhirnya menyusul sang suami ke kamar. Duduk di sebelah kanan dan mengusap punggung pria yang telah menikahinya selama puluhan tahun itu dengan lembut.
"Kita makan bareng, yuk, Pi," rayunya dengan suara pelan."Belum lapar," jawab Pak Daniel yang tengah tengkurap.
"Mami suapin."
"Papi bisa makan sendiri."
"Ayolah, kasian Nadine udah nungguin dari tadi."
Pria berkulit putih tersebut bergeming. Berusaha menekan rasa lapar yang mendera. Merasa gengsi bila ikut makan bersama yang lainnya, karena tadi dia sudah menolak.
Akan tetapi, suara perutnya tiba-tiba bergema di ruangan luas ini. Bu Rianti menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Namun akhirnya dia tak mampu menahan lagi dan tertawa terbahak-bahak. Tak peduli suaminya mencebik.
-4-Beberapa menit kemudian, Pak Daniel sudah duduk berhadapan dengan Theo. Menikmati makanan tanpa suara. Yang terdengar hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Nadine dan Theo sesekali saling melirik. Tangan pria bertubuh tinggi itu terulur dan menggenggam jemari Nadine yang sangat dingin di atas pahanya. Perempuan berbibir tipis itu berusaha menenangkan gemuruh dari dalam hati. Entah kenapa, ada rasa gugup dan aneh bila Theo menyentuhnya."Kalian nginap di sini 'kan?" tanya Bu Rianti sambil mengedipkan sebelah matanya."Iya, Mi. Kebetulan besok Na ada janji mau ketemu Hera," jawab Nadine."Hera yang berkacamata itu, ya? Udah lama dia nggak ke sini." Bu Rianti mengusap punggung tangan kiri sang suami yang masih diam membisu."Hu um, sibuk dia, Mi. Kan usaha wedding organizernya lagi naik daun sekarang," jelas Nadine."Kamu beneran serius mau menikah dengan Theo?" Suara berat Pak Dan
-5-Nadine merasakan pipinya kembali menghangat. Tidak mampu menolak saat bibir penuh pria tersebut menyusuri setiap inci wajahnya. Bergeser sedikit demi sedikit hingga menyentuh rahang lembutnya dan membuat Nadine mendesah tanpa sadar.Theo menurunkan bibir dan membasahi leher jenjang itu dengan kecupan basah. Sedikit berlama-lama untuk menikmati keharuman tubuh perempuan itu. Bertambah semangat saat Nadine meremas rambutnya dengan suara lenguhan kecil di bibir yang sensual.Pria bertubuh gagah itu menarik diri dan mengusap pipi halus Nadine. Menatap sepasang mata sipit beriris cokelat muda itu sesaat, sebelum akhirnya mencumbui bibir Nadine yang merespon dengan hangat.Pagutan melenakan itu membuat mereka lupa dengan keadaan bahwa mereka belum menikah. Keinginan untuk dipuaskan semakin menghebat. Tangan Nadine mencengkeram erat pundak Theo agar tubuh mereka menempel.Tiba-tiba Theo menghentikan ciuman dan menarik diri. Mena
-6-Setibanya di kediaman orang tua Nadine, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir di depan garasi. Theo mengarahkan mobil ke sebelah kanan dan berhenti. Segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk bos-nya, yang sebentar lagi akan menjadi pengantinnya.Nadine jalan memasuki rumah dari pintu samping yang berhubungan dengan garasi. Pekikan kecil terdengar dari bibirnya, saat tubuh tiba-tiba dirangkul dari belakang dan diiringi dengan jitakan kecil di kepala."Bagus, ya! Mau nikah nggak ngomong-ngomong!" protes suara berat yang sangat dikenal."Aduh, sakit tau, Ko!" hardik Nadine sembari membalikkan badan dan balas memeluk sang koko."Rasain! Bisa-bisanya aku dilangkahi begitu aja. Untung tadi Mami langsung nelepon, jadi bisa cepat-cepat ke sini," sahut pria bertubuh sedang itu seraya tersenyum lebar. Mendaratkan kecupan di dahi sang adik dan kembali memeluknya."Ehm, Ko, engap!" protes Nadine yang m
-7-Pria berparas manis itu memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Membantu Nadine yang masih terkaget-kaget itu untuk turun."Aku mau pulang ke apartemen," pinta Nadine."Nanti malam kuantar, sekarang di sini dulu. Aku mau istirahat, capek," balas Theo sambil membuka pintu bagian belakang dan mengangkat dua tas travel mereka.Pria bertubuh tinggi itu melangkah menaiki teras rumah bercat biru gelap tersebut, merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci. Memasukkan salah satunya dan membuka pintu."Ayo," ajaknya pada Nadine yang masih mematung.Theo melangkah masuk dan menyalakan kipas angin besar di langit-langit ruangan. Nadine menyusul dengan ragu-ragu dan duduk di kursi sederhana. Memindai sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk.Pria berambut cepak itu berbelok ke kiri dan memasuki kamar utama. Menyalakan pendingin udara setelah sebelumnya meletakkan kedua tas travel di lantai.&n
-8-"Apa kamu mau nginap di sini?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman."Ehm ... oke. Tapi, besok berarti kita harus bangun pagi-pagi banget. Karena aku ada rapat penting," jawab Nadine dengan suara pelan.Tatapan Theo seolah-olah membiusnya untuk tetap diam dan tidak memberontak saat bibir pria itu menyusuri pipi hingga telinganya. Tanpa sadar tangan Nadine terangkat dan merangkul leher Theo.Pria itu merapatkan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan bagian lain wajah ayu perempuannya. Deru napas hangat keduanya berpadu dengan isapan lembut. Nadine meremas rambut Theo dan membiarkan pria itu menguasai bibirnya.Tiba-tiba Theo mengangkat tubuh Nadine dan menggendongnya. Berjalan menuju kamar tanpa menghentikan ciuman panas mereka. Mendudukkan perempuan itu di atas meja rias dan menyusuri setiap lekuk tubuh dengan tangan terlatih.Dengan gerakan cepat semua yang menutupi tubuh pun terlepas. Theo merunduk
-9-Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri."Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu."Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas."Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri
-10-"Ada ilernya," canda Theo sambil menyentuh sudut kanan bibir Nadine yang masih membeliakkan mata."Ihh! Kebiasaan jahilmu itu nggak hilang-hilang," sungut Nadine sembari menggeser tangan Theo. Kemudian menarik laci meja dan mengeluarkan cermin. Meneliti penampilannya yang memang agak kusut. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut.Nadine tersentak saat merasakan tangan Theo yang mengambil alih sisir dan merapikan rambutnya dengan tenang. Senandung lagu khas Melayu terdengar dari bibir penuh pria tersebut, dan tak urung membuat Nadine tersenyum."Kamu ... ternyata romantis, ya," ucap Nadine."Ehm, hanya untuk orang-orang tertentu," jawab Theo. Dia meletakkan sisir ke meja dan memutar tubuh Nadine hingga sekarang mereka saling berhadapan. "Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku. Sudah sepantasnya aku bersikap romantis padamu," lanjutnya dengan mengulum senyum.Nadine menelisik raut wajah Theo yang tampa
-11-Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut."Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa."Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.Perempuan itu jalan ke luar dan k
-57- Beberapa hari kemudian. Di kediaman Theo tampak banyak pria tengah berkemas-kemas dan mengangkut berbagai perabotan ke mobil truk yang telah disewa. Mereka adalah karyawan bengkel yang sengaja diliburkan, serta beberapa sahabat Theo yang bersedia membantu. Sementara Nadine dan sahabat-sahabatnya telah lebih dulu berangkat menuju kediaman baru mereka di kawasan Kalibata. Para perempuan itu bersama ketiga calon nenek tampak sibuk mempersiapkan aneka menu makan siang buat para pria pengangkut barang. Di ruang tamu, keempat pria paruh baya tengah serius membahas perkembangan kasus mereka melawan Bisma Hartawan dan sang putra, Bagaskara Aditya Hartawan. Wajah Daniel tampak semringah karena yakin pihaknya akan menang di pertempuran kali ini, sebab pihak pengacara pihak Bisma telah menghubunginya dan meminta berdamai. Satu jam kemudian, rombongan yang dipimpin oleh Theo tiba di rumah modern mini
-56-Waktu terus berjalan, proses persidangan Bagaskara dan anak buahnya berlangsung dengan alot. Hal ini disebabkan sikap Bagaskara yang enggan untuk mengakui perbuatannya, padahal semua bukti-bukti sudah sangat memberatkan.Pihak pengacaranya pun sudah lelah untuk memperjuangkan pria bertubuh tinggi besar itu, karena sikap arogan Bagaskara yang masih memandang rendah orang lain, serta kepongahan ayahnya, Bisma Hartawan.Pria paruh baya itu sampai melakukan tindakan frontal, melaporkan Fenita dan Theo dengan tuduhan palsu. Hal itu membuat Daniel murka, demikian pula dengan Herman Kween dan Toni Liem.Malam ini, ketiga pria paruh baya itu berkumpul di ruang tamu kediaman Theo. Sedangkan istri-istri mereka duduk bersama Nadine yang tengah hamil tua di ruang tengah.Theo, Anto dan Pak Dibyo juga ikut dalam obrolan serius para pria di depan. Keenam orang tersebut membahas berbagai rencana untuk melakukan serangan balik pa
-55-Suasana kelenteng yang termasuk tertua di daerah Belitung itu tampak cukup ramai. Dua keluarga besar menghadiri acara penyematan dan pengubahan marga, hal yang sangat jarang terjadi bahkan nyaris tidak pernah dilakukan di tempat tersebut.Theo menjalankan berbagai ritual acara dengan penuh kesungguhan. Dengan didampingi oleh sang ayah dan ibu tiri di sebelah kanan, serta Herman Kween dan Ida Deswita di sebelah kiri.Nadine, Tania dan Evan berada di belakang mereka, bersama dengan Sherly dan Dessy, dua adik se-ayah Theo. Kesepuluh orang tersebut mengikuti setiap bagian acara dengan serius. Saat semuanya selesai, rombongan tersebut beserta seluruh keluarga besar yang mengikuti acara sejak awal, memasuki kendaraan masing-masing dan beriringan menuju restoran sekaligus hotel, yang telah dipesan oleh Toni Liem.Setibanya di tempat tujuan, semua penumpang turun dan memasuki restoran yang telah ditutup untuk umum selama satu ha
-54-Theo mengusap wajah dan leher Nadine dengan menggunakan waslap basah, sangat berhati-hati ketika menyentuh leher istrinya yang tampak lebam. Hal yang sama juga dilakukannya di bagian lain, hingga tubuh bagian atas Nadine akhirnya terbasuh. Dengan sabar dan telaten Theo membantu Nadine berganti pakaian.Hati Theo berkecamuk, antara ingin marah sekaligus sedih. Beberapa lebam yang menghiasi tangan dan kaki Nadine membuatnya geram. Bertambah emosi ketika Nadine akhirnya bisa menceritakan tentang peristiwa dirinya yang nyaris diperkosa oleh Bagaskara, sebelum pria itu dipukul oleh Yuri dan jatuh pingsan."Sekarang dia tidak akan bisa mengganggu lagi, Sayang," ucap Theo dengan lembut sambil menyisiri rambut panjang Nadine dengan pelan."Kenapa?" tanya Nadine dengan suara parau. Cekalan tangan Bagaskara di leher dan rahang membuatnya kesulitan untuk berbicara."Dia sudah ditangkap. Om Dibyo memastikan bahwa peng
-53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon
-52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper
-51-Hari demi hari berlalu. Theo dan Nadine kembali disibukkan dengan kegiatan masing-masing yang sangat menyita waktu. Terkadang mereka hanya bertemu dan menyempatkan untuk mengobrol ketika sarapan pagi, karena keduanya kadang pulang terlalu larut dan langsung tertidur pulas.Namun, hari ini sangat berbeda. Theo pulang lebih awal sore itu dan langsung menghias rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja semenjak satu minggu yang lalu, tampak bingung melihat tuannya yang tengah menghias setiap pojok ruangan dengan aneka bunga segar yang harum.Perempuan berusia empat puluh lima tahun yang bernama Ani itu menyetrika sambil sesekali melirik ke arah Theo yang tampak sangat sibuk. Dalam hati dia menebak-nebak hal istimewa apa yang tengah disiapkan oleh tuannya itu."Bi, aku mau mandi dulu, nanti kalau ada yang nganterin makanan dan kue, terima aja, ya. Semuanya udah dibayar," ujar Theo sambil jalan ke belakang rumah, dan kembali lagi den
-50-Langit senja mulai meneduh. Angin berembus sepoi-sepoi menambah kesejukan udara. Dedaunan bergoyang tertiup angin, ada yang bertahan pada dahannya, ada pula yang lelah dan memilih untuk gugur ke bumi.Sepasang anak muda tengah duduk bersila di atas karpet plastik tebal yang digelar di rumput. Sementara dua orang dewasa lainnya duduk di undakan semen yang dibentuk mirip dengan kursi berkaki pendek.Dua anak muda lainnya duduk di belakang orang tua mereka sambil memegangi payung.Theo mengusap pusara yang bertuliskan nama Windarti, perempuan yang selama ini diingatnya sebagai Tante Winda, tetapi ternyata adalah ibu kandungnya. Meskipun Theo tidak pernah bertemu, tetapi dia tahu bahwa ibunya adalah perempuan yang baik dan keras hati, sifat yang diturunkan padanya.Untaian doa mengalun dari hati pria tersebut, berharap ibunya bisa melihat dirinya dari surga saat ini. Setitik bulir bening luruh dari sudut matanya
-49-Suasana di dalam ruangan itu sangat hening. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari lampu kecil yang berada di sudut kiri. Selebihnya tampak samar-samar.Kedua orang di atas tempat tidur tidak bergerak semenjak beberapa belas menit yang lalu. Nadine masih memeluk dan mengusap rambut sang suami, yang menyandarkan kepala di dadanya. Pria itu sesekali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Seakan-akan tengah melakukan pelepasan beban pikiran."Sekarang terjawab sudah, kenapa wajahku tidak mirip dengan ayah dan ibu," lirih Theo. "Sejak dulu aku sudah merasa diperlakukan beda. Setiap aku meminta sesuatu, ayah akan segera mengabulkannya. Beda dengan Tania dan Evan yang harus merengek lama untuk mendapatkan keinginan mereka," lanjutnya."Menurutmu, kenapa bisa begitu?" tanya Nadine."Dulu aku pikir karena anak pertama dan kesayangan semua orang. Tapi ternyata salah. Bos ayah selalu ngirim uang tiap b