-11-
Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.
Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut.
"Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.
Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa.
"Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.
Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.
Perempuan itu jalan ke luar dan k
-12-Pagi-pagi sekali Fenita sudah bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan terpaksa harus mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, karena waktu diculik Theo tadi malam, Fenita tidak membawa pakaian ganti.Saat ke luar dari kamar mandi, tatapan gadis itu bersirobok dengan Theo yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di kursi ruang tamu. Pria bertubuh tinggi itu menyunggingkan senyuman dan membuat Fenita sedikit malu."Mau dibuatin sarapan?" tanya gadis tersebut sembari merapikan rambut."Ehm, boleh. Kopi hitam, gulanya dua sendok. Ada roti di atas kulkas. Bisa tolong buatkan telur ceplok?" Theo balas bertanya sambil berdiri dan jalan mendekat."Bisa, mau berapa?""Dua, aku pengen makan itu dan disiram dengan saus sambal."Fenita mengangguk mengiakan, kemudian membalikkan tubuh dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan karena tangan Theo telah melingkari pinggangnya.&nbs
-13-Theo menghentikan gerakan membuka kaitan celana panjang saat menyadari tengah diperhatikan oleh Nadine. Pria berhidung mancung itu mengulaskan senyuman tipis, kemudian beranjak mendekat dan duduk di ujung kaki Nadine."Kenapa? Aku seksi, ya?" canda Theo yang dibalas Nadine dengan dengkusan."Kamu bisa sesantai itu, nggak malu sama aku?" Nadine balas bertanya."Buat apa malu? Kamu udah lihat dan merasakan dalamnya." Tawa Theo bergema di ruangan itu saat melihat Nadine mendelik ke arahnya."Udah, ahh, jangan ngajak debat. Apa kamu punya makanan? Aku lapar." Nadine memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke bantal, tidak menyadari bila lehernya terekspos sempurna dan membuat Theo menelan ludah.Pria itu merutuki diri yang selalu tidak sanggup menahan gairah bila melihat Nadine. Entah disadari atau tidak, perempuan itu membuatnya selalu ... horny."Ehh, bukannya kita punya daging di freez
-14-Mood Nadine yang belum membaik membuatnya sangat sensitif. Tatapan tajam diarahkannya pada orang-orang yang membuat dia senewen. Tidak terkecuali dengan Theo.Pria bertubuh tinggi itu hanya bisa mengelus dada saat menghadapi sikap judes Nadine. Beberapa kali dia mengajak bicara, tetapi jawaban Nadine yang pendek dengan suara yang terdengar ketus, membuat Theo akhirnya memilih untuk diam."Aku mau ke klub," ujar Nadine saat mereka baru saja tiba di apartemen. Dengan santainya dia melucuti pakaian sembari jalan memasuki kamar mandi.Theo tidak menjawab dan memilih untuk menuruti permintaan perempuan itu. Sembari menunggu Nadine membersihkan diri, Theo menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan santai.Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Nadine ke luar dengan mengenakan jubah mandi. Rambut basahnya tergerai di belakang punggung. Melangkah menuju kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk.&nbs
-15-Mobil yang dikemudikan Theo berhenti di tempat parkir Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah mengunci mobil Theo jalan cepat menuju pintu terminal kedatangan.Berhenti sesaat di depan layar besar yang menginformasikan jadwal kedatangan pesawat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bibirnya melengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman, saat melihat nomor penerbangan yang membawa kedua orang tuanya telah dinyatakan mendarat.Theo bergegas menuju pintu kedatangan dan berdiri menunggu di belakang pagar besi bersama penjemput lainnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke arah pintu, untuk memastikan sosok-sosok yang keluar itu kemungkinan adalah orang yang ditunggu."Pak!" seru Theo saat melihat sosok pria paruh baya yang tengah mendorong trolley yang dipenuhi koper.Pria tersebut menoleh dan langsung mengajak perempuan dewasa di sebelahnya untuk menuju tempat Theo berdiri. Setibanya mereka di luar antrean
-16-Perjalanan menuju rumah Theo ditempuh dalam keheningan. Nadine lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandangi luar kaca mobil, sedangkan Theo fokus menyetir.Ucapan pria di sebelahnya tadi membuat Nadine bingung. Dia sama sekali belum pernah berpikir untuk meneruskan rencana pernikahan dengan perjanjian itu menjadi pernikahan yang sesungguhnya.Sesekali Theo memperhatikan Nadine yang tampak termenung. Dia pun sebenarnya masih terkejut dengan ucapan spontannya tadi. Sedikit kecewa dengan reaksi Nadine yang sampai sekarang masih belum menjawab pertanyaannya.Setibanya di tempat tujuan, ibunya Theo langsung ke luar dan menyambut kedatangan calon menantunya dengan wajah berseri-seri. Bu Ida menyalami Nadine sambil mengusap lengan perempuan muda itu dengan penuh kekaguman."Cantiknya kamu, Nak. Nggak salah nih, mau sama Koko?" tanya Bu Ida sembari melirik anaknya yang memutar bola mata dengan gemas.
-17-"Pacar?" Nadine mengerutkan dahi. Dia hendak memprotes tetapi terjeda karena Bagaskara telah melambaikan tangan dan memanggil pelayan yang segera mendekat."Saya pesan dua orange juice dan ... ini," ujar Bagaskara sambil menunjuk ke daftar menu.Pelayan tersebut mengangguk dan segera berlalu dari tempat itu. Pria berpenampilan rapi itu kembali memusatkan perhatian pada Nadine yang menatapnya dengan tajam."Apa maksudmu dengan pacar? Hubungan kita sudah putus, Bagas. Aku juga akan segera menikah dengan Theo," ujar Nadine dengan ketus."Yakin mau menikah dengan sopir?" Bagaskara tertawa mengejek."Kenapa memangnya dengan sopir?""Apa dia sanggup menghidupi kamu?""Oh, tentu saja. Menurutmu, kenapa aku bersedia menikah dengannya kalau dia tidak sanggup menghidupiku?"Bagaskara terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Nadine. "Apa kamu dipel
-18-Fenita mematung sesaat, kemudian berdiri dan jalan menjauhi Theo yang masih berjongkok di tempat. Pria bertubuh tinggi itu menatap punggung gadis itu dengan segumpal penyesalan di dalam dada. Berharap bisa mengubah waktu kembali, dan dia tidak melakukan hal tersebut pada Nadine.Theo mengusap rambut dengan tangan sambil memejamkan mata. Dalam hati merutuki diri yang tidak bisa menahan nafsu. Namun, penyesalannya tidak bisa mengubah apa pun.Sekarang Theo harus fokus pada satu perempuan. Berjanji akan berusaha melupakan sosok Fenita dan benar-benar mencintai Nadine. Dia juga akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan pernikahan yang baru hendak dilaksanakan. Tak peduli dengan perjanjian yang pernah disepakati bersama perempuan berkulit putih tersebut."Pak." Panggil seseorang dari samping kanan.Saat Theo membuka mata dan menoleh, seraut wajah bulat milik asisten Sheila menatapnya dengan seulas senyum
-19-Ucapan Theo tadi masih terngiang di telinga Nadine. Perempuan itu memiringkan tubuh ke kiri dan menatap jendela kamarnya yang terbuka lebar. Sesekali Nadine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal tersebut bisa membuatnya lebih tenang.Takut jatuh cinta. Sepertinya itu memang salah satu alasan Nadine menginginkan pernikahan yang singkat bersama Theo. Kegagalannya bersama Bagaskara membuatnya harus lebih hati-hati dengan urusan percintaan.Meskipun saat ini Nadine merasa nyaman bersama Theo, tetapi untuk kembali jatuh cinta itu dia benar-benar merasa takut. Terutama karena dia menyadari bahwa pesona Theo kian hari kian kuat terpancar. Bukan hanya dia yang merasa seperti itu, tetapi Nadine bisa melihat pancaran mata beberapa perempuan yang sepertinya mengagumi sosok calon suaminya tersebut.Ketukan di pintu seiring dengan terbukanya benda besar itu membuat Nadine membalikkan tubuh. Senyumannya me
-57- Beberapa hari kemudian. Di kediaman Theo tampak banyak pria tengah berkemas-kemas dan mengangkut berbagai perabotan ke mobil truk yang telah disewa. Mereka adalah karyawan bengkel yang sengaja diliburkan, serta beberapa sahabat Theo yang bersedia membantu. Sementara Nadine dan sahabat-sahabatnya telah lebih dulu berangkat menuju kediaman baru mereka di kawasan Kalibata. Para perempuan itu bersama ketiga calon nenek tampak sibuk mempersiapkan aneka menu makan siang buat para pria pengangkut barang. Di ruang tamu, keempat pria paruh baya tengah serius membahas perkembangan kasus mereka melawan Bisma Hartawan dan sang putra, Bagaskara Aditya Hartawan. Wajah Daniel tampak semringah karena yakin pihaknya akan menang di pertempuran kali ini, sebab pihak pengacara pihak Bisma telah menghubunginya dan meminta berdamai. Satu jam kemudian, rombongan yang dipimpin oleh Theo tiba di rumah modern mini
-56-Waktu terus berjalan, proses persidangan Bagaskara dan anak buahnya berlangsung dengan alot. Hal ini disebabkan sikap Bagaskara yang enggan untuk mengakui perbuatannya, padahal semua bukti-bukti sudah sangat memberatkan.Pihak pengacaranya pun sudah lelah untuk memperjuangkan pria bertubuh tinggi besar itu, karena sikap arogan Bagaskara yang masih memandang rendah orang lain, serta kepongahan ayahnya, Bisma Hartawan.Pria paruh baya itu sampai melakukan tindakan frontal, melaporkan Fenita dan Theo dengan tuduhan palsu. Hal itu membuat Daniel murka, demikian pula dengan Herman Kween dan Toni Liem.Malam ini, ketiga pria paruh baya itu berkumpul di ruang tamu kediaman Theo. Sedangkan istri-istri mereka duduk bersama Nadine yang tengah hamil tua di ruang tengah.Theo, Anto dan Pak Dibyo juga ikut dalam obrolan serius para pria di depan. Keenam orang tersebut membahas berbagai rencana untuk melakukan serangan balik pa
-55-Suasana kelenteng yang termasuk tertua di daerah Belitung itu tampak cukup ramai. Dua keluarga besar menghadiri acara penyematan dan pengubahan marga, hal yang sangat jarang terjadi bahkan nyaris tidak pernah dilakukan di tempat tersebut.Theo menjalankan berbagai ritual acara dengan penuh kesungguhan. Dengan didampingi oleh sang ayah dan ibu tiri di sebelah kanan, serta Herman Kween dan Ida Deswita di sebelah kiri.Nadine, Tania dan Evan berada di belakang mereka, bersama dengan Sherly dan Dessy, dua adik se-ayah Theo. Kesepuluh orang tersebut mengikuti setiap bagian acara dengan serius. Saat semuanya selesai, rombongan tersebut beserta seluruh keluarga besar yang mengikuti acara sejak awal, memasuki kendaraan masing-masing dan beriringan menuju restoran sekaligus hotel, yang telah dipesan oleh Toni Liem.Setibanya di tempat tujuan, semua penumpang turun dan memasuki restoran yang telah ditutup untuk umum selama satu ha
-54-Theo mengusap wajah dan leher Nadine dengan menggunakan waslap basah, sangat berhati-hati ketika menyentuh leher istrinya yang tampak lebam. Hal yang sama juga dilakukannya di bagian lain, hingga tubuh bagian atas Nadine akhirnya terbasuh. Dengan sabar dan telaten Theo membantu Nadine berganti pakaian.Hati Theo berkecamuk, antara ingin marah sekaligus sedih. Beberapa lebam yang menghiasi tangan dan kaki Nadine membuatnya geram. Bertambah emosi ketika Nadine akhirnya bisa menceritakan tentang peristiwa dirinya yang nyaris diperkosa oleh Bagaskara, sebelum pria itu dipukul oleh Yuri dan jatuh pingsan."Sekarang dia tidak akan bisa mengganggu lagi, Sayang," ucap Theo dengan lembut sambil menyisiri rambut panjang Nadine dengan pelan."Kenapa?" tanya Nadine dengan suara parau. Cekalan tangan Bagaskara di leher dan rahang membuatnya kesulitan untuk berbicara."Dia sudah ditangkap. Om Dibyo memastikan bahwa peng
-53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon
-52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper
-51-Hari demi hari berlalu. Theo dan Nadine kembali disibukkan dengan kegiatan masing-masing yang sangat menyita waktu. Terkadang mereka hanya bertemu dan menyempatkan untuk mengobrol ketika sarapan pagi, karena keduanya kadang pulang terlalu larut dan langsung tertidur pulas.Namun, hari ini sangat berbeda. Theo pulang lebih awal sore itu dan langsung menghias rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja semenjak satu minggu yang lalu, tampak bingung melihat tuannya yang tengah menghias setiap pojok ruangan dengan aneka bunga segar yang harum.Perempuan berusia empat puluh lima tahun yang bernama Ani itu menyetrika sambil sesekali melirik ke arah Theo yang tampak sangat sibuk. Dalam hati dia menebak-nebak hal istimewa apa yang tengah disiapkan oleh tuannya itu."Bi, aku mau mandi dulu, nanti kalau ada yang nganterin makanan dan kue, terima aja, ya. Semuanya udah dibayar," ujar Theo sambil jalan ke belakang rumah, dan kembali lagi den
-50-Langit senja mulai meneduh. Angin berembus sepoi-sepoi menambah kesejukan udara. Dedaunan bergoyang tertiup angin, ada yang bertahan pada dahannya, ada pula yang lelah dan memilih untuk gugur ke bumi.Sepasang anak muda tengah duduk bersila di atas karpet plastik tebal yang digelar di rumput. Sementara dua orang dewasa lainnya duduk di undakan semen yang dibentuk mirip dengan kursi berkaki pendek.Dua anak muda lainnya duduk di belakang orang tua mereka sambil memegangi payung.Theo mengusap pusara yang bertuliskan nama Windarti, perempuan yang selama ini diingatnya sebagai Tante Winda, tetapi ternyata adalah ibu kandungnya. Meskipun Theo tidak pernah bertemu, tetapi dia tahu bahwa ibunya adalah perempuan yang baik dan keras hati, sifat yang diturunkan padanya.Untaian doa mengalun dari hati pria tersebut, berharap ibunya bisa melihat dirinya dari surga saat ini. Setitik bulir bening luruh dari sudut matanya
-49-Suasana di dalam ruangan itu sangat hening. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari lampu kecil yang berada di sudut kiri. Selebihnya tampak samar-samar.Kedua orang di atas tempat tidur tidak bergerak semenjak beberapa belas menit yang lalu. Nadine masih memeluk dan mengusap rambut sang suami, yang menyandarkan kepala di dadanya. Pria itu sesekali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Seakan-akan tengah melakukan pelepasan beban pikiran."Sekarang terjawab sudah, kenapa wajahku tidak mirip dengan ayah dan ibu," lirih Theo. "Sejak dulu aku sudah merasa diperlakukan beda. Setiap aku meminta sesuatu, ayah akan segera mengabulkannya. Beda dengan Tania dan Evan yang harus merengek lama untuk mendapatkan keinginan mereka," lanjutnya."Menurutmu, kenapa bisa begitu?" tanya Nadine."Dulu aku pikir karena anak pertama dan kesayangan semua orang. Tapi ternyata salah. Bos ayah selalu ngirim uang tiap b