-7-
Pria berparas manis itu memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Membantu Nadine yang masih terkaget-kaget itu untuk turun."Aku mau pulang ke apartemen," pinta Nadine.
"Nanti malam kuantar, sekarang di sini dulu. Aku mau istirahat, capek," balas Theo sambil membuka pintu bagian belakang dan mengangkat dua tas travel mereka.
Pria bertubuh tinggi itu melangkah menaiki teras rumah bercat biru gelap tersebut, merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci. Memasukkan salah satunya dan membuka pintu.
"Ayo," ajaknya pada Nadine yang masih mematung.
Theo melangkah masuk dan menyalakan kipas angin besar di langit-langit ruangan. Nadine menyusul dengan ragu-ragu dan duduk di kursi sederhana. Memindai sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk.
Pria berambut cepak itu berbelok ke kiri dan memasuki kamar utama. Menyalakan pendingin udara setelah sebelumnya meletakkan kedua tas travel di lantai.
"Theo, aku haus," ujar Nadine dari ruang tamu.
"Masuk aja, cek kulkasnya," jawab Theo sambil merebahkan tubuh di kasur.
Nadine berdiri dan jalan memasuki dapur mungil di belakang rumah. Membuka kulkas satu pintu dan mengecek isinya. Menarik sebotol sirup hijau dan teko berisi air dingin. Meletakkan kedua benda itu di atas meja dapur dan celingukan mencari gelas.
"Theo, gelasnya disimpan di mana?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Di lemari sebelah kulkas," jawab Theo sambil jalan ke luar.
"Kulkasmu nyaris kosong." Nadine melirik sekilas pada pria bertubuh tegap itu, sebelum membuka pintu lemari dan mengambil dua buah gelas tinggi.
"Aku 'kan jarang di rumah. Nggak pernah nyetok apa pun di kulkas kecuali sirup dan air," sahut pria itu sambil mengambil sapu.
Theo dengan cekatan membersihkan rumah, sementara Nadine memandanginya dengan tatapan kagum. Dia tahu bahwa Theo itu pria pembersih, tetapi baru kali ini dia melihat sendiri saat pria tersebut bekerja dengan semangat untuk membersihkan rumahnya.
Nadine kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Rumah sederhana ini tampak cukup rapi untuk ukuran seorang pria bujangan. Sambil mengipasi diri dengan tangan, Nadine membuka pintu dapur dan mengecek bagian belakang rumah, yang merupakan tempat cuci jemur.
Tampak sebuah mesin cuci dua tabung dalam kondisi bersih, dan susunan beberapa ember tertutup rapi di sebelah kanan. Di ujung kiri ada beberapa pot bunga kecil dengan aneka tanaman.
Nadine seketika tertegun saat menyadari bahwa tanaman itu adalah beberapa jenis cabai dan tomat yang tampaknya sudah siap untuk dipetik. Tangannya terulur mencabuti dengan semangat. Menampungnya di baskom kecil yang ditemukan di rak piring kecil di sebelah mesin cuci.
"Theo, ini boleh dibikin sambal?" tanyanya sembari jalan memasuki rumah. Terkesiap saat melihat pria itu telah bertelanjang dada dan sedikit berkeringat.
"Memangnya kamu bisa masak?" ledek Theo. Pria itu kembali melanjutkan aktivitas mengepelnya dengan senyuman dikulum.
"Ihh, bisa dong. Kamu aja yang nggak tau," balas Nadine tak mau kalah.
"Ya udah, bikin aja. Nanti kita pesan lauk mateng yang bisa dicocol ke sambalmu."
"Blendernya mana?"
Tawa Theo seketika pecah, tak peduli Nadine merengut kesal. "Aku nggak punya blender. Pake ulekan aja," sahutnya seusai tertawa.
"Apa? Tapi aku nggak bisa ngulek!" seru Nadine.
"Belajarlah, gampang kok."
"Nggak mau, nanti tanganku lecet."
Tawa Theo kembali menyembur, tak peduli Nadine memelototi dengan bertolak pinggang.
***
Dua jam kemudian.
Nadine menyusuri setiap lorong di pusat perbelanjaan ini dengan semangat. Memilih barang-barang elektronik berkualitas tinggi dengan hati berbunga. Sementara Theo hanya mengusap dada melihat tingkah calon istrinya itu, yang seolah-olah sedang kalap untuk berbelanja."Apa semua ini perlu?" tanya Theo sambil menunjuk trolley penuh berisi barang pecah belah yang berharga mahal.
"Jelas perlu, bila ingin aku tinggal di rumahmu, biarin aku membeli barang-barang ini untuk menyenangkan diri," jawab Nadine.
"Tapi kan nggak perlu beli pendingin udara lagi. Kamar kita sudah cukup dingin," balas Theo.
"Ini buat ruang tengah dan kamar belakang. Jangan sampai orang tuamu kegerahan nanti saat mereka berkunjung."
Theo tertegun, tidak menyangka bila Nadine berpikiran jauh seperti itu. Rasa hangat dalam hatinya semakin menguat. Merasa bahagia bahwa Nadine sepertinya bisa menerima keadaan keluarganya yang sangat sederhana.
"Kamu punya berapa sprei?" tanya Nadine sambil memilih aneka motif bed cover set di hadapan.
"Ehm, kayaknya cuma ada tiga," sahut Theo yang membuat mata Nadine membeliak.
"Apa? Cuma tiga?"
"Iya, aku kan tinggal sendiri, jarang ada tamu. Cukuplah itu."
Nadine menggeleng pelan sambil berdecak. Menarik tiga set bed cover motif bunga-bunga, bola-bola dan garis-garis yang membuat Theo menatapnya dengan heran.
"Nggak usah beli banyak-banyak, kan bisa pakai punyamu nanti," timpal Theo.
"Berisik! Diam dan dorong trolleynya!" titah Nadine sambil jalan melenggang menjauh.
Theo mengekor sambil menggerutu dalam hati. Memutar bola mata saat perempuan itu kembali memasukkan barang-barang unik yang dia tidak tahu namanya.
Setelah puas memilih berbagai perabotan, Nadine berpindah ke bagian buah-buahan dan sayuran segar. Tak lupa membeli beberapa kilogram daging sapi dan ayam yang membuat Theo terperangah.
"Bumbu-bumbunya kenapa yang instan semua? Bukannya lebih sehat bikin sendiri?" protes Theo saat Nadine memasukkan aneka bumbu dan saus yang membuatnya penasaran.
"Udah dibilangin diam dan nurut, susah bener sih!" hardik Nadine dengan tatapan tajam.
Theo akhirnya mengalah dan membiarkan calon ratunya itu memuaskan diri untuk berbelanja. Mendorong trolley penuh barang yang sangat berat di belakang Nadine yang juga mendorong trolley penuh menuju meja kasir.
Mata Theo membeliak saat melihat jumlah belanjaan calon istrinya itu yang setara dengan gajinya beberapa bulan. Walaupun sudah sering menemani Nadine berbelanja, tetapi baru kali ini jumlah total belanjaan itu sangat fantastis.
"Kita makan dulu, yuk, aku lapar," rengek Nadine saat mereka memasukkan barang-barang ke mobil.
"Tadi kan kamu beli roti, makan itu dulu," sahut Theo.
"Itu buat sarapan. Sekarang aku pengen itu," tunjuk Nadine ke restoran cepat saji di dekat tempat parkir.
"Junk food, nggak sehat."
"Biarin, sekali-sekali ini!"
"Ya udah, ayo."
"Kamu aja yang beli, aku tunggu di mobil."
Theo menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kemudian mengangguk pasrah pada keinginan sang ratu. "Oke, mau pesan apa?"
"Double cheese burger, kentang dan ice lemon tea."
***
Setibanya di rumah, Nadine bergegas memasukkan makanan beku dan aneka sayur ke kulkas. Menggerutu saat benda itu ternyata tidak mampu menampung semua belanjaannya.
"Udah kubilang jangan kemaruk belanja!" seru Theo sambil menyusun aneka barang pecah belah di dekat tempat cuci piring.
"Tau gini tadi langsung beli kulkas gede aja," sahut Nadine.
"Nggak perlu, bentar lagi kan kamu juga mau pindah ke sini. Otomatis semua perabotan juga ikut pindah."
"Aku pengen beli yang baru, Theo. Biar papi nggak nyesel nikahin kita."
"Jangan, coba nurut kali ini. Ingat, kita harus berhemat. Uangku nggak banyak, Sayang," ucap Theo dengan suara yang lembut.
Nadine seketika terdiam. Merasa senang dipanggil seperti itu dan tanpa sadar mengulum senyum. Sesaat tatapan mereka bertemu, Nadine hanya bisa terdiam saat Theo melangkah maju dan mengusap rambutnya dengan pelan.
-8-"Apa kamu mau nginap di sini?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman."Ehm ... oke. Tapi, besok berarti kita harus bangun pagi-pagi banget. Karena aku ada rapat penting," jawab Nadine dengan suara pelan.Tatapan Theo seolah-olah membiusnya untuk tetap diam dan tidak memberontak saat bibir pria itu menyusuri pipi hingga telinganya. Tanpa sadar tangan Nadine terangkat dan merangkul leher Theo.Pria itu merapatkan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan bagian lain wajah ayu perempuannya. Deru napas hangat keduanya berpadu dengan isapan lembut. Nadine meremas rambut Theo dan membiarkan pria itu menguasai bibirnya.Tiba-tiba Theo mengangkat tubuh Nadine dan menggendongnya. Berjalan menuju kamar tanpa menghentikan ciuman panas mereka. Mendudukkan perempuan itu di atas meja rias dan menyusuri setiap lekuk tubuh dengan tangan terlatih.Dengan gerakan cepat semua yang menutupi tubuh pun terlepas. Theo merunduk
-9-Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri."Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu."Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas."Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri
-10-"Ada ilernya," canda Theo sambil menyentuh sudut kanan bibir Nadine yang masih membeliakkan mata."Ihh! Kebiasaan jahilmu itu nggak hilang-hilang," sungut Nadine sembari menggeser tangan Theo. Kemudian menarik laci meja dan mengeluarkan cermin. Meneliti penampilannya yang memang agak kusut. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut.Nadine tersentak saat merasakan tangan Theo yang mengambil alih sisir dan merapikan rambutnya dengan tenang. Senandung lagu khas Melayu terdengar dari bibir penuh pria tersebut, dan tak urung membuat Nadine tersenyum."Kamu ... ternyata romantis, ya," ucap Nadine."Ehm, hanya untuk orang-orang tertentu," jawab Theo. Dia meletakkan sisir ke meja dan memutar tubuh Nadine hingga sekarang mereka saling berhadapan. "Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku. Sudah sepantasnya aku bersikap romantis padamu," lanjutnya dengan mengulum senyum.Nadine menelisik raut wajah Theo yang tampa
-11-Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut."Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa."Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.Perempuan itu jalan ke luar dan k
-12-Pagi-pagi sekali Fenita sudah bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan terpaksa harus mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, karena waktu diculik Theo tadi malam, Fenita tidak membawa pakaian ganti.Saat ke luar dari kamar mandi, tatapan gadis itu bersirobok dengan Theo yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di kursi ruang tamu. Pria bertubuh tinggi itu menyunggingkan senyuman dan membuat Fenita sedikit malu."Mau dibuatin sarapan?" tanya gadis tersebut sembari merapikan rambut."Ehm, boleh. Kopi hitam, gulanya dua sendok. Ada roti di atas kulkas. Bisa tolong buatkan telur ceplok?" Theo balas bertanya sambil berdiri dan jalan mendekat."Bisa, mau berapa?""Dua, aku pengen makan itu dan disiram dengan saus sambal."Fenita mengangguk mengiakan, kemudian membalikkan tubuh dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan karena tangan Theo telah melingkari pinggangnya.&nbs
-13-Theo menghentikan gerakan membuka kaitan celana panjang saat menyadari tengah diperhatikan oleh Nadine. Pria berhidung mancung itu mengulaskan senyuman tipis, kemudian beranjak mendekat dan duduk di ujung kaki Nadine."Kenapa? Aku seksi, ya?" canda Theo yang dibalas Nadine dengan dengkusan."Kamu bisa sesantai itu, nggak malu sama aku?" Nadine balas bertanya."Buat apa malu? Kamu udah lihat dan merasakan dalamnya." Tawa Theo bergema di ruangan itu saat melihat Nadine mendelik ke arahnya."Udah, ahh, jangan ngajak debat. Apa kamu punya makanan? Aku lapar." Nadine memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke bantal, tidak menyadari bila lehernya terekspos sempurna dan membuat Theo menelan ludah.Pria itu merutuki diri yang selalu tidak sanggup menahan gairah bila melihat Nadine. Entah disadari atau tidak, perempuan itu membuatnya selalu ... horny."Ehh, bukannya kita punya daging di freez
-14-Mood Nadine yang belum membaik membuatnya sangat sensitif. Tatapan tajam diarahkannya pada orang-orang yang membuat dia senewen. Tidak terkecuali dengan Theo.Pria bertubuh tinggi itu hanya bisa mengelus dada saat menghadapi sikap judes Nadine. Beberapa kali dia mengajak bicara, tetapi jawaban Nadine yang pendek dengan suara yang terdengar ketus, membuat Theo akhirnya memilih untuk diam."Aku mau ke klub," ujar Nadine saat mereka baru saja tiba di apartemen. Dengan santainya dia melucuti pakaian sembari jalan memasuki kamar mandi.Theo tidak menjawab dan memilih untuk menuruti permintaan perempuan itu. Sembari menunggu Nadine membersihkan diri, Theo menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan santai.Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Nadine ke luar dengan mengenakan jubah mandi. Rambut basahnya tergerai di belakang punggung. Melangkah menuju kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk.&nbs
-15-Mobil yang dikemudikan Theo berhenti di tempat parkir Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah mengunci mobil Theo jalan cepat menuju pintu terminal kedatangan.Berhenti sesaat di depan layar besar yang menginformasikan jadwal kedatangan pesawat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bibirnya melengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman, saat melihat nomor penerbangan yang membawa kedua orang tuanya telah dinyatakan mendarat.Theo bergegas menuju pintu kedatangan dan berdiri menunggu di belakang pagar besi bersama penjemput lainnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke arah pintu, untuk memastikan sosok-sosok yang keluar itu kemungkinan adalah orang yang ditunggu."Pak!" seru Theo saat melihat sosok pria paruh baya yang tengah mendorong trolley yang dipenuhi koper.Pria tersebut menoleh dan langsung mengajak perempuan dewasa di sebelahnya untuk menuju tempat Theo berdiri. Setibanya mereka di luar antrean
-57- Beberapa hari kemudian. Di kediaman Theo tampak banyak pria tengah berkemas-kemas dan mengangkut berbagai perabotan ke mobil truk yang telah disewa. Mereka adalah karyawan bengkel yang sengaja diliburkan, serta beberapa sahabat Theo yang bersedia membantu. Sementara Nadine dan sahabat-sahabatnya telah lebih dulu berangkat menuju kediaman baru mereka di kawasan Kalibata. Para perempuan itu bersama ketiga calon nenek tampak sibuk mempersiapkan aneka menu makan siang buat para pria pengangkut barang. Di ruang tamu, keempat pria paruh baya tengah serius membahas perkembangan kasus mereka melawan Bisma Hartawan dan sang putra, Bagaskara Aditya Hartawan. Wajah Daniel tampak semringah karena yakin pihaknya akan menang di pertempuran kali ini, sebab pihak pengacara pihak Bisma telah menghubunginya dan meminta berdamai. Satu jam kemudian, rombongan yang dipimpin oleh Theo tiba di rumah modern mini
-56-Waktu terus berjalan, proses persidangan Bagaskara dan anak buahnya berlangsung dengan alot. Hal ini disebabkan sikap Bagaskara yang enggan untuk mengakui perbuatannya, padahal semua bukti-bukti sudah sangat memberatkan.Pihak pengacaranya pun sudah lelah untuk memperjuangkan pria bertubuh tinggi besar itu, karena sikap arogan Bagaskara yang masih memandang rendah orang lain, serta kepongahan ayahnya, Bisma Hartawan.Pria paruh baya itu sampai melakukan tindakan frontal, melaporkan Fenita dan Theo dengan tuduhan palsu. Hal itu membuat Daniel murka, demikian pula dengan Herman Kween dan Toni Liem.Malam ini, ketiga pria paruh baya itu berkumpul di ruang tamu kediaman Theo. Sedangkan istri-istri mereka duduk bersama Nadine yang tengah hamil tua di ruang tengah.Theo, Anto dan Pak Dibyo juga ikut dalam obrolan serius para pria di depan. Keenam orang tersebut membahas berbagai rencana untuk melakukan serangan balik pa
-55-Suasana kelenteng yang termasuk tertua di daerah Belitung itu tampak cukup ramai. Dua keluarga besar menghadiri acara penyematan dan pengubahan marga, hal yang sangat jarang terjadi bahkan nyaris tidak pernah dilakukan di tempat tersebut.Theo menjalankan berbagai ritual acara dengan penuh kesungguhan. Dengan didampingi oleh sang ayah dan ibu tiri di sebelah kanan, serta Herman Kween dan Ida Deswita di sebelah kiri.Nadine, Tania dan Evan berada di belakang mereka, bersama dengan Sherly dan Dessy, dua adik se-ayah Theo. Kesepuluh orang tersebut mengikuti setiap bagian acara dengan serius. Saat semuanya selesai, rombongan tersebut beserta seluruh keluarga besar yang mengikuti acara sejak awal, memasuki kendaraan masing-masing dan beriringan menuju restoran sekaligus hotel, yang telah dipesan oleh Toni Liem.Setibanya di tempat tujuan, semua penumpang turun dan memasuki restoran yang telah ditutup untuk umum selama satu ha
-54-Theo mengusap wajah dan leher Nadine dengan menggunakan waslap basah, sangat berhati-hati ketika menyentuh leher istrinya yang tampak lebam. Hal yang sama juga dilakukannya di bagian lain, hingga tubuh bagian atas Nadine akhirnya terbasuh. Dengan sabar dan telaten Theo membantu Nadine berganti pakaian.Hati Theo berkecamuk, antara ingin marah sekaligus sedih. Beberapa lebam yang menghiasi tangan dan kaki Nadine membuatnya geram. Bertambah emosi ketika Nadine akhirnya bisa menceritakan tentang peristiwa dirinya yang nyaris diperkosa oleh Bagaskara, sebelum pria itu dipukul oleh Yuri dan jatuh pingsan."Sekarang dia tidak akan bisa mengganggu lagi, Sayang," ucap Theo dengan lembut sambil menyisiri rambut panjang Nadine dengan pelan."Kenapa?" tanya Nadine dengan suara parau. Cekalan tangan Bagaskara di leher dan rahang membuatnya kesulitan untuk berbicara."Dia sudah ditangkap. Om Dibyo memastikan bahwa peng
-53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon
-52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper
-51-Hari demi hari berlalu. Theo dan Nadine kembali disibukkan dengan kegiatan masing-masing yang sangat menyita waktu. Terkadang mereka hanya bertemu dan menyempatkan untuk mengobrol ketika sarapan pagi, karena keduanya kadang pulang terlalu larut dan langsung tertidur pulas.Namun, hari ini sangat berbeda. Theo pulang lebih awal sore itu dan langsung menghias rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja semenjak satu minggu yang lalu, tampak bingung melihat tuannya yang tengah menghias setiap pojok ruangan dengan aneka bunga segar yang harum.Perempuan berusia empat puluh lima tahun yang bernama Ani itu menyetrika sambil sesekali melirik ke arah Theo yang tampak sangat sibuk. Dalam hati dia menebak-nebak hal istimewa apa yang tengah disiapkan oleh tuannya itu."Bi, aku mau mandi dulu, nanti kalau ada yang nganterin makanan dan kue, terima aja, ya. Semuanya udah dibayar," ujar Theo sambil jalan ke belakang rumah, dan kembali lagi den
-50-Langit senja mulai meneduh. Angin berembus sepoi-sepoi menambah kesejukan udara. Dedaunan bergoyang tertiup angin, ada yang bertahan pada dahannya, ada pula yang lelah dan memilih untuk gugur ke bumi.Sepasang anak muda tengah duduk bersila di atas karpet plastik tebal yang digelar di rumput. Sementara dua orang dewasa lainnya duduk di undakan semen yang dibentuk mirip dengan kursi berkaki pendek.Dua anak muda lainnya duduk di belakang orang tua mereka sambil memegangi payung.Theo mengusap pusara yang bertuliskan nama Windarti, perempuan yang selama ini diingatnya sebagai Tante Winda, tetapi ternyata adalah ibu kandungnya. Meskipun Theo tidak pernah bertemu, tetapi dia tahu bahwa ibunya adalah perempuan yang baik dan keras hati, sifat yang diturunkan padanya.Untaian doa mengalun dari hati pria tersebut, berharap ibunya bisa melihat dirinya dari surga saat ini. Setitik bulir bening luruh dari sudut matanya
-49-Suasana di dalam ruangan itu sangat hening. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari lampu kecil yang berada di sudut kiri. Selebihnya tampak samar-samar.Kedua orang di atas tempat tidur tidak bergerak semenjak beberapa belas menit yang lalu. Nadine masih memeluk dan mengusap rambut sang suami, yang menyandarkan kepala di dadanya. Pria itu sesekali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Seakan-akan tengah melakukan pelepasan beban pikiran."Sekarang terjawab sudah, kenapa wajahku tidak mirip dengan ayah dan ibu," lirih Theo. "Sejak dulu aku sudah merasa diperlakukan beda. Setiap aku meminta sesuatu, ayah akan segera mengabulkannya. Beda dengan Tania dan Evan yang harus merengek lama untuk mendapatkan keinginan mereka," lanjutnya."Menurutmu, kenapa bisa begitu?" tanya Nadine."Dulu aku pikir karena anak pertama dan kesayangan semua orang. Tapi ternyata salah. Bos ayah selalu ngirim uang tiap b