I “JEREMY!” Jeremy yang bertubuh tinggi melayangkan pandang ke segala arah untuk mencari asal suara itu. Seseorang terlihat di kejauhan sedang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Laki-laki itu setinggi Jeremy, namun tubuhnya sedikit lebih kekar. “JEREMY BRESSON!” “Ah, di sana kau rupanya,” pikir Jeremy seraya berjalan menembus lautan manusia yang memenuhi jalanan. “Apa kabar, bung?” tanya laki-laki itu setelah Jeremy berada di hadapannya. “Kulihat kau benar-benar akan tinggal cukup lama di sini.” Jeremy tidak sedikit pun menyembunyikan barang bawaannya yang begitu banyak. “Kau tahu sendiri, aku bukan tipe orang yang setengah-setengah. Di mana mobilmu?” “Ada di ujung jalan ini. Biar kubawakan sebagian barang-barangmu.” “Kau bercanda, kan? Tidak mungkin kita berjalan sejauh itu di jalanan yang penuh ini.” “Yah, kau tahu, aku baru saja mendapatkan warisan jadi aku mengganti mobil tua itu dengan sebuah Gladiator Rubicon—jalanan ini terlalu sempit untuk hewan buas itu.” “Cuaca ha
NARASI LEONARD WRIGHT I Di tengah-tengah hujan badai saat itu aku benar-benar tidak menyadarinya. Daniel Blalock yang ada di depanku segera menunjukkan ekspresi wajah yang seakan mengatakan, “Sudah kuduga hal seperti ini akan terjadi!”. Aku tidak benar-benar mengerti kenapa laki-laki itu menunjukkan ekspresi wajah yang demikian padahal kami hanya kembali ke cruiser yang terasa sepi. “Astaga, cepatlah,” desak Jean-Pierre Braque yang berada tepat di belakangku. Laju kami berdua terhenti oleh tubuh Daniel Blalock yang hanya berdiri mematung dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu. Aku tidak begitu mengerti jadi aku sedikit mendorongnya untuk membuka jalan bagi Jean yang terus mendesak punggungku. “Ke mana perginya orang-orang?” tanya Jean. “Kurasa hanya Jeremy Bresson dan Kathleen Schumann yang tinggal di cruiser,” jawabku. “Tapi ini terlalu sepi—” Ombak menerjang cruiser tempat kami berdiri. Guncangan yang cukup kuat mengakibatkan kami bertiga kehilangan keseimbangan. Daniel seg
I Dia adalah seorang wanita berambut hitam selembut sutra, sebagaimana dijelaskan oleh Jean-Pierre Braque dalam suratnya, yang selalu terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Kathleen Schumann pertama diperkenalkan kepada kelompok orang-orang itu ketika dirinya sedang berada dalam kondisi mental yang tidak seimbang. Saat itu, kedua orang tuanya tewas dalam sebuah kecelakaan maut di sebuah persimpangan jalan yang licin karena salju. Malam yang gelap, jalan yang licin, dan sebuah truk angkutan yang tiba-tiba saja muncul. Kathleen masih berduka dan Jean tahu itu. Dia kemudian mengunjunginya untuk melihat keadaannya. Mereka berbincang empat mata saja sebelum akhirnya pelukis itu memutuskan untuk mengajaknya bergabung dengan teman-temannya—tentu saja itu jika mereka bersedia untuk menerima orang baru. “Bagaimana kabarmu?” tanya Jean. Kathleen hanya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu apa yang kau rasakan saat ini, tapi aku akan selalu ada di sini untukmu.” “Terima kasih,
Kereta yang mengangkut penumpang dari Brightcrown City tiba pagi itu pukul sepuluh lebih tiga belas menit. Ditemani oleh Azalea dan Rita, Lady Viscaria turun dari kereta dan berjalan dengan santai di peron sambil mengamati lingkungan sekitar. Kedua matanya kemudian menangkap sesosok gadis berambut merah dengan bintik-bintik di wajahnya yang sedang berlari sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi.Lady Viscaria sebenarnya hanya ingat samar-samar tentang gadis itu, tapi setelah melihatnya kembali, sebuah senyum mengembang di wajahnya. Dia menatap gadis yang kini telah berdiri di hadapannya dengan takjub dan senang.“Kau terlihat lebih cekatan daripada sebelumnya, Stylle,” sapa Lady Viscaria. “Bagaimana kabarmu?”Wajah gadis itu sedikit merona. Dia sedikit salah tingkah tapi segera menahan rasa senangnya itu. Stylle membusungkan dadanya dan menunjukkan wajah penuh kepercayaan diri yang tinggi.“Saya telah mengerti maksud perkataan Anda waktu itu, dan—dengan bantuan dari Monsieur Braque
Jean-Pierre Braque memang memiliki jiwa seni yang unik. Salah satu keunikan yang dapat dikenali dari dirinya adalah nama tempat tinggalnya; Hawthorn Lodge. Bangunan yang disebut sebagai sebuah lodge itu dikelilingi oleh semak-semak berduri dan pepohonan Hawthorn, cukup sesuai dengan namanya. Namun, dari sisi lodge, bangunan itu lebih tepat jika dinamakan Hawthorn Castle karena bangunan itu jelas-jelas terlihat seperti kastil seorang conqueror.Hawthorn Lodge memiliki lima menara persegi besar; dua di bagian depan, dua di samping kiri dan kanan, dan satu di bagian belakang, mengerdilkan semua yang ada di bawahnya. Kelima menara itu dihubungkan oleh sebuah tembok besar dan kokoh yang terbuat dari batu merah tua. Jendela-jendela tinggi dan lebar tersebar di sana-sini di sekitar dinding dalam simetri yang terlihat sempurna—bersamaan dengan lubang-lubang dengan berbagai macam ukuran yang difungsikan untuk para pemanah dan artileri.Gerbang masuk kastil ini ditandai dengan adanya dua buah p
I “Sebuah kejutan yang luar biasa,” kata Jean-Pierre Braque. “Saya pikir Stylle akan menunggu seharian tanpa membawa berita baik, tapi di sinilah Anda saat ini.” “Bagaimana keadaan Anda, Monsieur Braque?” tanya Lady Viscaria sambil menggenggam tangan kurus laki-laki itu. Jean-Pierre Braque tertawa tertahan. Dia menatap mata Lady Viscaria dengan sedih. “Saya rasa keputusan membuat pertunjukan di akhir tahun ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat!” Lady Viscaria sedikit tidak mengerti maksud perkataannya, jadi dia hanya diam dan menunggu laki-laki itu melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. “Anda tahu, sudah lama ini saya ingin membuat mereka membuka topeng dan menunjukkan wajah asli mereka, tapi selalu ada saja kecenderungan untuk mengakhiri semua ini baik-baik. Tidak, saya tidak bisa begitu!” “Siapa ‘mereka’ yang sedang Anda bicarakan ini?” “Para binatang itu,” sindir Jean-Pierre Braque. “Anda tentu sudah membaca surat saya.” Lady Viscaria mengangguk.
I“Kau tahu,” kata Azalea sambil memerhatikan ukuran ban Gladiator Rubicon. “Vis berbicara tentang diameter ban dan tekanannya. Sebenarnya aku nggak begitu mengerti, tapi yang paling jelas terlihat menurutku adalah lebar ban mobil ini. Seingatku, Ford Ranger dan Jeep ini memiliki lebar ban yang hampir sama—antara 265 milimeter hingga 285 milimeter. Mungkin, tekanannya juga sama.”Wanita itu kemudian berpindah ke Fat Bob 114 merah yang terparkir di sampingnya.“Lihat ini. Diameternya mungkin sama tapi lebar bannya lebih kecil. Ban depannya mungkin sekitar 150 milimeter, sedangkan ban belakangnya lebih besar—180 milimeter.”“Apa yang sebenarnya ingin Nona katakan?”“Jejak ban, Rita, jejak ban. Kedua kendaraan ini melewati jalan berlumpur yang sama dengan kita. Menurut Stylle, itu satu-satunya jalan yang bisa dilalui untuk bisa sampai di tempat ini. Belum lagi, kita masih harus melaju di atas jembatan batu itu.”Rita seperti sedang menyadari sesuatu, lalu dia berkata, “Jejak ban berlumpu
I Senin, 30 Desember 2024/09:47 Malam Lampu-lampu kecil bertutup kaca yang tergantung di setiap kolom basal menerangi tingkat bawah aula tahta Hawthorn Lodge—yang dialihfungsikan menjadi sebuah ruang makan oleh Jean-Pierre Braque. Cahayanya menyelimuti aula itu dalam pancaran yang hangat. Lukisan malaikat di langit-langit menari dalam cahaya yang berkelap-kelip sementara patung-patung berbetuk hewan memandang ke lantai marmer aula yang megah. Permadani saffron berwana merah membentang di tengah-tengah ruangan dan membagi lantai aula itu menjadi dua bagian yang mengarah keluar. Di salah satu dinding aula itu, spanduk-spanduk khas kastil—dengan dekorasinya yang mengilap, digantung dengan apik. Di antara setiap spanduk, tergantung sebuah lentera yang banyak di antaranya masih dinyalakan—cahaya dari lentera-lentera itu menerangi mural sosok-sosok pahlawan di bawah mereka. Sedangkan di satu sisi dinding yang lain