Pukul dua siang kurang lima belas menit. Sherley terlihat cantik dengan gaun berwarna pastel. Rok bagian bawah cukup lebar dengan penuh renda dan bordir. Dengan rambut yang diikat ke atas dan diberi sentuhan bunga myrtle, serta kain transparan sebagai hiasan kepala. Riasan tipis di wajah Sherley semakin menambah kecantikannya.
Setelah mengenakan sarung tangan berenda dengan kain transparan. Sherley pun bersiap untuk menemui Darriel. Tangannya menyambar pouch bag berwarna senada dengan tali yang sedikit panjang. Dia gantungkan pada pergelangan.
"Aku datang Darriel," gumam Sherley seraya tersenyum senang.
Belum sampai langkahnya menuju pintu kamar. Dia mendengar derit pintu yang terbuka. Betapa terkejutnya Sherley saat melihat William menerobos masuk.
"Ka-kamu ... William?!"
"Kenapa terkejut gitu? Seperti syok?"
"Aaaa ... a-aku cuman kaget, lihat kamu yang tiba-tiba nongol kayak gini."
"Mau ke mana kamu Cantik?"
Dua jam berlalu ....Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Belum sempat Sherley menjawab. Seseorang sudah menerobos masuk."Williaaaaam ... William!" teriak Laurice berang.Penampilan yang tak kalah cantik. Laurice sudah berdiri di pinggiran ranjang. Dia menarik selimut tebal pada tubuh lelaki tampan itu."William!" seru Laurice. Tak bisa dia sembunyikan lagi kemarahan dan kecemburuannya. "Ini sudah jam empat. Kamu masih saja di kamar Sherley. Bukannya tadi kamu sudah bercinta denganku?"William hanya menggeliat pelan. Dia membuka sebelah mata. Melihat Laurice yang sudah berdiri tak jauh. Sherley yang melihat Laurice hanya terdiam. Walau sebenarnya memendam amarah, dia ingin Laurice melihat. Kalau dirinya tengah berbahagia. Sherleypun tak peduli dengan kedatangan madunya itu.Tampak Sherley mempermainkan kukunya. Sesekali dia melihat pada Laurice yang tengah memandang dirinya. Lalu tersenyum masam."K
"Aku tak jadi mengajak kamu ke pesta itu. Cuman tak mau kamu terlibat masalah dengan William.""Lalu, kamu mau ajak aku ke mana?""Rumah peristirahatan yang kami milki. Tak jauh dari sini. Mau?""Mau, Darriel. Apa kita berjalan?""Kudaku ada di balik pepohonan itu!""Baiklah!"Mereka berdua menyusuri jalan menuju tepian hutan yang berada di perbukitan. Yang letaknya tepat di belakang kastil."Jauh sekali kamu meletakkan kuda?""Aku tak ingin saja ada yang melihat.""Hemmm ... apa mata-mata William sampai sejauh itu, Darriel?""Yang jelas dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh kamu.""Dan juga dirimu?"Darriel hanya mengangguk pelan."Bukankah keluarga kamu juga punya pengaruh di kota?""Keluarga kami tak ada apa-apanya, Sherley. Keuangan kami jauh dibawah William. Apalagi para wanita disisinya, sebagai penyumbang kekayaan bagi William saat ini.""Kamu benar.""Sepe
"Kamu dengar petir di luar sana?""Iya, seperti mau hujan.""Ya, pilihan terbaik kita memang harus menginap di sini. Iya 'kan?""Iya, sih. Cuman aku tadi tak ijin sama sekali Darriel. Pasti Jill akan cari aku. Apalagi si William.""Percayalah sama aku."Saat Darriel sibuk menenangkan Sherley.Krekkk!Seperti suara ranting yang diinjak. Membuat Darriel dan Sherley berbalik. Lalu buru-buru melangkah keluar rumah."Sepertinya ada orang Darriel?""Iya, tapi enggak kelihatan siapa-siapa.""Aku jadinya takut."Segera Darriel memeluk erat Sherley."Masuklah ke kamar!"Dia menggeleng. Menolak perintah Darriel yang bersuara penuh penekanan padanya."Masuklah, Sherley!" sentak Darriel.Saat langkah kaki Sherley hendak berbalik.Dorrrr!Sontak dia berbalik dan tersentak. Sekilas Sherley melihat seseorang memakai topi merah berbentuk newsboy. Berlari kencan
Kuda mulai menapaki jalanan yang cukup licin."Kita tak berani berjalan cepat, Nona," ucap Frank."Iya, Tuan. Saya sangat mengerti."Wajah Sherley memucat dengan sebentuk ketegangan yang tergambar darinya. Berulang kali dia harus mengembuskan napas berat. Hanya sekedar untuk melepaskan beban yang kian melesak. Mendera jiwa.Terbayang seraut wajah William yang tengah menyeringai sadis padanya. Senyum dingin dan kaku yang seolah tengan mentertawakan dia saat ini.'Apa yang kamu cari dari semua ini William? Pengakuan agar semua orang tunduk dan takut padamu? Ataukah ... sebuah bentuk ego yang ingin kamu tunjukkan pada Jill Anne atas kuasamu?' Berjuta tanya tengah menghujam hatinya saat ini."Nona, anda ini siapanya Tuan Holmes?"Pertanyaan dari Nyonya Frank seakan menyadarkan Sherley. Dia yang gelagapan menengok arah sang wanita."Sa-saya teman baik Darriel Holmes. Cucu dari Tuan Holmes, Nyonya.""Sangat jarang mer
"Berapa lama kita sampai di rumah sakit Tuan?" Sherley menengahi pembicaraan mereka. Elois mulai memeriksa denyut nadi Darriel yang lemah."Banyaklah berdoa. Semoga Tuhan menolongnya. Kondisi dia sangat lemah, karena mungkin banyak pendarahan dari dadanya.""Terima kasih, Tuan Frank. Anda dan Nyonya sangat baik sekali."Sherley menundukkan kepala. Dia memejamkan mata sembari mengucap kalimat doa untuk Darriel. Dia mulai merasa perjalanan begitu panjang.Hampir empat jam mereka melewati perbukitan dan menyusuri pantai. Hingga tepat pukul delapan malam. Kereta sampai di sebuah rumah sakit khusus para bangsawan dan orang kaya. Masyarakat umum atau miskin tak bisa memasuki rumah sakit ini.Bergegas mereka menurunkan Darriel. Dari arah dalam seorang perawat menghampiri mereka."Kenapa dia?""Dia tertembak dan kehabisan banyak darah," tegas Sherley.Dari jarak beberapa meter. Terdengar derap langkah yang berlari ke arah mereka.
Heidi yang kesal atas penolakan William. Berjalan mendekat. Kini keduanya saling berpandangan. Tangan Heidi bergerak pelan meraih tangan lelaki tampan ini. Lalu menempelkan pada dada."Apa masih kurang besar?"Tak bisa dipungkiri, Heidi memang sangat berani. Membuat William ingin berbincang lebih lama dengannya."Masih belum tertarik denganku, Tuan William?"Langkah Heidi kian mendekat. Hingga mereka saling berhadapan. Dengan berani wanita berambut blonde ini, meletakkan tangan pada dada bidang William. Lelaki tampan hanya tersenyum dingin. Tanpa berucap sepatah kata."Nona Heidi yang rupawan. Mengapa dirimu sangat tertarik dengan diriku?" William menyeringai angkuh.Heidi semakin merapatkan tubuhnya. Hingga mereka berdua, saling merasakan hangatnya embusan napas William dan Heidi."Bisakah ada waktu untuk diriku, Tuan William?" bisik Heidi manja. Belum sampai William menjawab. Tiba-tiba dari arah belakang. Seseorang langsung me
"Terserah kamu Laurice. Karena aku akan pergi dengan Heidi. Apa kamu mau ikut juga?"Dadanya bergemuruh serasa ingin meledak. Dengan langkah santai William melenggang meninggalkan Laurice yang masih berdiri terpaku. Tak terima atas pelakuannya. Dia mengikuti langkah William, dan menarik lengannya."Aku akan ikut kamu!""Apa kamu juga akan ikut saat kami berdua berpesta?" William menoleh sesaat, lalu pergi meninggalkan Laurice yang tercengang."Apa maksud kamu berpesta William?" Laurice terus mengejarnya langkah lebar William, yang terus meninggalkan dirinya. "William! Tunggu aku!" Namun lelaki tampan penuh keangkuhan itu, hanya mengangkat sebelah tangan ke atas. Seraya melambaikan tangan pada seorang wanita, yang tak lain Heidi.Deru napas Laurice memuru dengan penuh amarah."Keterlaluan kamu William! Tega sekali kamu meninggalkan aku begitu saja, dan pergi dengan wanita konyol itu? Yang benar saja William!" gerutu Laurice tak henti.
"Apa menurutmu Bibi orang yang bodoh? Kamu tak akan bisa mengelak lagi, Laurice. Bahkan sekarang saja dia pergi meninggalkan kamu, demi kerabat Barnes, si Heidi Asher. Benar 'kan?"Wanita cantik berambut merah, benar-benar dibuat tertegun oleh semua penjelasan dan ucapan sang bibi.'Bagaimana bisa Bibi tahu semua? Apa dia juga berada dalam pesta itu? Atau--'Laurice menatap tajam sang Bibi, yang terus memandang padanya."Pasti Bibi punya mata-mata! Iya 'kan?"Magdalena kembali terkekeh lirih. Seolah mengejek pada keponakannya."Apa kamu pikir Bibi di rumah seperti ini, tidak akan tahu apa-apa? Kalau pemikiran kamu seperti itu. Kamu salah besar!""Jadi, memang Bibi mematai saya? Ada orang yang disuruh oleh Bibi?" cecar Laurice pada Magdalena."Kamu pikir, dirimu ini berhadapan dengan seorang lelaki yang gentleman? Seorang lelaki yang bertanggung jawab dan mencintai keluarganya? Kalau itu anggapan kamu, untuk kesekian ka
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men