Matahari baru saja terbit ketika Aldric dan timnya bersiap. Mereka berdiri di luar gedung, memeriksa senjata dan perlengkapan sebelum memulai perjalanan ke fasilitas NovaGen. Kota itu kini dipenuhi zombie, dan misi ini bisa jadi perjalanan terakhir mereka. Marco memasukkan peluru ke dalam magasin senapannya. "Jadi, kita benar-benar mau melakukan ini?" Aldric mengangguk. "Tak ada pilihan lain." Dr. Grayson mengaktifkan tablet kecilnya, menunjukkan peta digital. "Fasilitas NovaGen ada di pusat kota. Kita bisa mengambil jalur belakang melalui terowongan bawah tanah. Itu jalur **paling aman**, tapi tetap berisiko." Rhea menatap peta dengan cemas. "Berapa banyak zombie di sana?" Dr. Grayson menghela napas. "Tak terhitung. Dan bukan cuma zombie biasa... di dekat laboratorium, ada kemungkinan kita akan bertemu dengan **subjek eksperimen NovaGen.**" Marco mengerutkan dahi. "Subjek eksperimen? Maksudmu...
Makhluk itu **melesat** ke arah Aldric dengan kecepatan yang tidak wajar. Refleks, Aldric menjatuhkan diri ke samping. **CLETAR!** Cakar tajam monster itu menggores dinding beton, meninggalkan bekas **dalam** seolah-olah baja hanya kertas baginya. Marco mengangkat shotgun-nya. **DOOR!** Peluru meledak di tubuh makhluk itu, tapi **tidak berpengaruh.** “ASTAGA! Ini sialan apaan?!” Marco mundur dengan wajah panik. Dr. Grayson berteriak, “Itu bukan zombie biasa! Itu hasil eksperimen NovaGen! Tubuhnya telah dimodifikasi dengan mutasi regeneratif!” Makhluk itu menoleh ke arah mereka. Matanya **hitam legam**, kulitnya abu-abu pucat dengan urat-urat gelap menjalar di seluruh tubuhnya. Aldric mengangkat pistolnya. “Jadi, bagaimana cara membunuhnya?” “Pasti ada titik lemahnya!” Dr. Grayson merogoh tasnya, mencari sesuatu. Monster itu menggeram. **Dan kali ini, ia menyerang Rhea.**
**"Zombie bersenjata? Serius, Aldric?"** bisik Marco sambil menelan ludah. Aldric tidak menjawab. Matanya tetap fokus pada **makhluk mengerikan** yang berdiri di ujung koridor. Zombie itu **mengenakan armor tempur**, lengkap dengan **senapan otomatis tergantung di bahunya.** **Mata merahnya berkilat**, dan seketika… **TIK! TIK!** Sebuah suara mekanis terdengar dari tubuhnya. **"Sial," Dr. Grayson berbisik. "Itu bukan zombie biasa. Itu eksperimen militer."** **Zombie itu bergerak.** Dengan **gerakan kaku namun cepat**, makhluk itu mengangkat senapannya. **"TIARAP!"** Aldric berteriak. **RATATATATATATA!!** Peluru memuntah dari moncong senjatanya, **memecahkan dinding dan kaca di sekeliling mereka.** Marco dan Rhea **merunduk di balik meja besi** yang sudah berkarat, sementara Aldric melompat ke sisi lain ruangan. Dr. Grayson bersembun
**"GRRRRRRRRRHHH!!"**Makhluk itu **bangkit perlahan.** Tubuhnya penuh luka dan **mengeluarkan darah hitam pekat,** tapi sorot matanya justru **semakin beringas.**Aldric **mundur beberapa langkah.** **"Itu... gak masuk akal. Granat itu cukup buat ngebom satu ruangan. Dia masih hidup?!"**Marco **menghela napas, panik.** **"Ini bukan cuma zombie biasa… Dia semacam eksperimen militer yang gagal..."**Dr. Grayson menunduk, wajahnya pucat. **"Dulu… pernah ada proyek bernama 'Project Khaos'. Mereka menciptakan manusia super, tapi… hasilnya justru ini. Makhluk itu salah satunya."****"Jadi kamu tahu ini dari awal?!"** Rhea menatapnya tajam. **"Kenapa nggak bilang?!"****"Karena aku kira semuanya sudah dihancurkan!"** Grayson balas dengan suara pecah. **"Makhluk ini seharusnya... sudah mati dua tahun lalu."****Makhluk itu meraung keras.** **"GGRRRAAAAAAAGGGGGHHH!!!"**Lal
Tiga hari setelah pertarungan terakhir, Aldric duduk di atap gedung tua sambil menatap sisa kota yang hancur. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan retak dan bangunan hangus, namun ada ketenangan yang berbeda kali ini—tidak ada raungan zombie, tidak ada langkah kaki panik, hanya suara angin yang meniup pelan.Di sampingnya, Marco duduk sambil menyeruput kopi kaleng. **"Kita berhasil, bro."**Aldric melirik ke arah Marco. **"Untuk sekarang."**Marco tertawa. **"Lo gak pernah bisa santai ya? Udah tiga hari nggak ada tanda-tanda makhluk itu. Kota ini akhirnya milik kita."**Aldric menarik napas panjang. **"Masih banyak yang harus dibersihkan. Mayat-mayat, reruntuhan, sistem kelistrikan... dan jangan lupa, sisa manusia yang mungkin nggak semuanya bersahabat."****"Tapi lo yakin yang terakhir itu—udah mati?"****"Gue liat dia meleleh di depan mata gue sendiri, Marco. Kalo dia bisa bangkit lagi..
Pagi datang dengan kabut tebal menyelimuti kota. Udara terasa berat, seolah menyimpan rahasia kelam yang belum terungkap.Aldric terbangun lebih awal. Matanya menatap kosong pada peta yang tergantung di dinding. Semua titik yang mereka tandai... terasa tak berarti sekarang.**"Sesuatu sedang bergerak. Tapi bukan zombie biasa."** gumamnya.Rhea masuk membawa kopi hangat. **"Kamu belum tidur ya?"**Aldric hanya mengangguk. **"Semalam aku lihat sesuatu dari menara pengawas. Gerakan... cepat, terlatih."**Rhea duduk di sampingnya. **"Kamu pikir itu manusia?"****"Iya. Tapi bukan manusia biasa. Mereka bawa senjata. Formasi. Mereka menghilang begitu saja. Seperti hantu."**---Di ruang penyimpanan, Grayson dan Marco menemukan sesuatu yang tak biasa. Salah satu dinding belakang retak dan dari celah itu mengalir cairan gelap yang lengket.Marco jongkok dan memeriksa dengan lamp
Mereka tiba di markas dalam keadaan babak belur, wajah penuh debu dan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Grayson langsung menjatuhkan tasnya dan menatap semua orang di ruang utama.“Kita punya masalah besar.”Luna yang baru saja selesai menjaga pos langsung menghampiri. “Apa yang kalian lihat?”Aldric menatap lantai. “Sesuatu yang nggak pernah kita temuin sebelumnya. Bukan zombie, tapi juga bukan manusia.”“Dia bisa bicara,” tambah Rhea lirih. “Dan dia tahu kita akan datang. Seperti... dia menunggu.”Ruangan jadi hening. Semua menyadari satu hal: musuh mereka bukan hanya makhluk tanpa akal lagi. Ada sesuatu di luar sana—yang punya rencana.Grayson berdiri di depan papan strategis. “Kita sebut makhluk itu *Neo*. Sementara. Kita nggak tahu dari mana asalnya, tapi ada kemungkinan ini efek mutasi virus yang mulai stabil di tubuh manusia tertentu.”Marco masuk membawa termos air, wajahnya pucat. “Kalia
Malam itu, markas kecil mereka nggak lagi sekadar tempat berlindung. Jadi ruang rapat darurat. Suasananya tegang, kayak benang yang tinggal dikasih satu tarikan, langsung putus.Grayson duduk paling ujung, ngelihatin peta yang udah lusuh, penuh coretan dan bekas kopi. Rhea duduk nyandar di dinding, tangan mainin korek api sambil sesekali melirik ke arah pintu. Elio? Masih bolak-balik kayak ayam kehilangan arah.“Jadi, gimana?” tanya Marco sambil nyeruput kopi yang rasanya kayak air got. “Kita percaya omongan makhluk itu? Atau kita siapin semua buat perang?”Grayson ngehela napas. “Gue... gue masih mikir. Dia tuh bukan zombie biasa, jelas. Tapi juga bukan manusia. Dan cara dia ngomong... kayak bener-bener tahu apa yang dia omongin.”“Ngajak gabung, tapi dengan gaya ngancem,” Elio nyeletuk. “Gue nggak suka itu. Kalau dia niat baik, dia nggak bakal datang sambil ngitung mundur kayak bom waktu.”Rhea akhirnya angkat suara. Suaranya
Langit pagi itu seperti lembaran kain kelabu—lelah, dingin, dan hampa. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan peperangan dan kejar-kejaran dengan kematian, dunia terasa... sunyi. Bukan damai, hanya sunyi. Dan itu lebih menakutkan daripada ledakan bom.Kaela duduk di tepi reruntuhan markas pusat. Tangannya masih gemetar, bukan karena takut, tapi karena beban. Ia memandangi puing-puing menara Null yang kini jadi abu. Elio duduk di sampingnya, mencoba mengikat kembali perban di lengan kirinya yang robek.“Rasanya aneh,” kata Elio lirih. “Kita masih hidup.”Kaela mengangguk pelan. “Iya. Tapi berapa lama lagi dunia bisa tetap begini?”Tidak ada jawaban. Di kejauhan, anak-anak bermain di antara puing-puing seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka tertawa, berlarian, mencoba meniru suara laser atau tiruan zombie. Dunia memang cepat lupa... atau mungkin berusaha melupakan.Vian datang membawa dua cangkir kopi hangat. Satu dia lempar ke
Cahaya dari ledakan membuat bayangan mereka menari di antara reruntuhan. Pasukan kecil Kaela langsung bergerak dalam formasi menyebar. Di tengah hujan api dan suara derit logam yang melengking, mereka tidak lagi melawan makhluk-makhluk mengerikan dari laboratorium, tapi musuh yang lebih dingin, lebih presisi—**cyborg** hasil rekayasa Null.“Jangan sampai mereka mendekat ke tongkat!” Kaela berteriak, menebas satu cyborg dengan parang berujung arus listrik buatan Jonas.Ledakan granat asap mengaburkan pandangan, dan di sela-sela kepulan abu, Elio melompat dari puing ke puing, menembakkan peluru berlapis EMP ke arah kepala-kepala logam itu. “Mereka bisa mati, cuma lebih susah dibikin nyesel!”“Rhea, temukan jalur masuk ke menara!” teriak Kaela sambil menangkis serangan pisau plasma yang hampir menebas lehernya.“Aku butuh waktu tiga menit!” jawab Rhea sambil menekan tombol perangkat di pergelangan tangannya.“Lu punya dua!”Sementara itu, Vian memimpin dua orang lainnya ke sisi barat men
Angin pagi membawa kabut tipis ke sekitar kamp yang baru mereka rebut. Para mantan tahanan mulai membersihkan area, membakar baju-baju dan simbol milik ‘Pemurni’. Meski tubuh mereka kelelahan, mata-mata itu menyimpan cahaya baru—cahaya harapan.Di tengah-tengah kesibukan itu, Kaela duduk bersila di dekat api unggun kecil, menggenggam sisa-sisa peta yang sudah lusuh. Di sebelahnya, Vian mengunyah kacang kering dan menatap langit."Berapa hari lagi ke Zona Omega?" tanya Vian, pelan.Kaela menarik napas dalam. "Tiga hari jalan kaki. Tapi itu kalau nggak ada gangguan. Gue yakin mereka bakal ngejar.""Pemurni?"Kaela menggeleng. "Yang lebih bahaya."Mata Vian menyipit. "Kayak... zombie yang bisa lari?""Enggak. Ini lebih gila. Mereka manusia. Tapi... nggak sepenuhnya."Sebelum Vian sempat bertanya lagi, suara langkah cepat menghampiri mereka. Jonas, napasnya memburu, matanya panik."Ada yang datang dari hutan utara. Elara lihat pergerakan. Gak banyak. Tapi cepat dan senyap."Vian langsung
Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah dinding beton tua, membawa aroma lembab dan besi karat. Ruangan tempat mereka berlindung tak lebih besar dari garasi kecil, penuh dengan kabel-kabel tua dan panel kendali yang mati. Tapi untuk malam itu, tempat itu adalah surga.Elio menempelkan telinganya ke dinding. Ia mendengar suara samar—seperti langkah kaki, tapi terlalu ringan untuk zombie.Kaela menatapnya, paham tanpa perlu kata. Ia mengangkat telunjuk, memberi isyarat agar yang lain tetap diam.Tak lama kemudian, terdengar ketukan. Bukan ketukan zombie. Ketukan tiga kali, jeda, lalu dua ketukan cepat. Seperti kode.“Siapa itu?” Kaela mendekat ke pintu besi, bicara setenang mungkin.“Teman,” jawab suara laki-laki dari balik pintu. “Nama gue Vian. Sendirian. Gak bersenjata.”Semua saling berpandangan. Elara mengangguk pelan. Kaela membuka pintu dengan hati-hati, mengarahkan senjata kecil ke celahnya.Seorang pria dengan rambut awut-awutan dan pakaian yang kotor berdiri di sana.
Air menetes dari langit-langit terowongan. Bau lembap dan logam karatan memenuhi udara. Kaela memimpin di depan, menyorotkan senter kecil yang remang, menyusuri jalan sempit yang dulunya saluran air bersih.Di belakangnya, Rhea terus menoleh ke belakang. Gemuruh langkah kaki masih terdengar samar. “Mereka ngejar... Mereka terus ngejar.”“Fokus,” kata Jonas, mencoba menjaga suara tetap rendah. “Kita harus cari pintu keluar sebelum mereka sempat ngepung kita di sini.”“Terowongan ini ada tiga percabangan,” bisik Rhea sambil melihat layar peta dari perangkat digitalnya yang mulai berkedip karena baterai lemah. “Kita ambil yang tengah, kemungkinan besar tembus ke sungai kota.”“Dan kalau salah?” Elio bertanya sambil memegang erat tas peralatan di punggungnya.Kaela menoleh, wajahnya tegas. “Berarti kita semua mati.”Mereka terus berjalan. Air makin dalam. Suara di belakang semakin dekat. Elara meraih pelatuk senjatanya, berjaga.Langkah mereka terhenti saat mendapati pintu besi besar deng
Pagi di luar sana tidak lagi berarti sinar matahari yang hangat. Di dunia yang telah dilahap kehancuran, pagi hanyalah tanda waktu yang terus berjalan, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Mereka tiba di markas cadangan: sebuah bunker militer tua di bawah reruntuhan kota Althea. Dindingnya dari baja tebal, beberapa lorong masih aktif dengan lampu darurat yang berkedip pelan. Semuanya tampak… terlalu tenang.“Gue nggak suka suasananya,” gumam Jonas, tangan tak pernah jauh dari senjatanya.Kaela mengetik kode pada panel keamanan. Pintu terbuka, memperlihatkan koridor dalam bunker yang panjang dan remang. Mereka masuk satu per satu, langkah pelan, hati-hati, suara sepatu menggema.“Menurut data lama, markas ini seharusnya masih steril. Belum ada catatan kontaminasi,” ujar Rhea, menatap peta digital di tangannya.“Seharusnya,” ulang Elio lirih. “Tapi kita udah tahu, ‘seharusnya’ sering nggak berlaku lagi sekarang.”Merek
Langit pagi di luar reruntuhan kota gelap seperti menjelang badai, padahal belum genap pukul delapan. Awan menggulung pekat, seperti menyimpan sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekadar hujan.Elara menatap ke belakang. Asap dari laboratorium tua masih menjulang tinggi, tapi tak ada lagi ledakan, tak ada lagi cahaya.“Dia benar-benar mengorbankan diri,” gumamnya pelan.Jonas, dengan chip Alpha-3 kini disimpan dalam tabung khusus di ranselnya, mengangguk sambil mengecek senjatanya. “Dan dia percaya sama kita. Jadi kita gak boleh nyia-nyiain itu.”Mereka tak bisa kembali ke markas lama—jalanannya tertutup reruntuhan dan zombie mulai bermunculan dari bawah tanah. Mereka menuju timur, ke satu-satunya tempat yang mungkin bisa membaca data di chip: *Stasiun Eden-9.*Kaela mempercepat langkahnya. “Kalau mutasi kedua itu beneran muncul... kita harus buru-buru. Virus tipe pertama aja udah kayak neraka. Gimana yang kedua?”“Mutasi yang
Langkah kaki mereka bergema di lorong bawah tanah yang berliku dan gelap. Hanya lampu dari senter kecil dan pantulan cahaya dari lensa kacamata milik tim LUX yang jadi satu-satunya penerang.Elara terus berjalan di samping perempuan berambut merah itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Kaela, mantan ahli biokimia dari LUX Corporation sebelum dunia runtuh."Aku tahu nama LUX udah kayak mitos sekarang," kata Kaela. "Tapi dulu, kami bukan hanya korporasi. Kami yang memetakan ulang DNA manusia... dan virus.""Jadi kalian yang nyiptain virus ini?" Dima memotong tajam.Kaela menatap ke depan. "Tidak. Kami yang menemukan... dan berusaha menghancurkannya. Tapi orang-orang di atas kami—para elite—mereka punya rencana lain."Jonas mencibir. "Rencana yang bikin dunia kayak neraka gini?"Kaela menoleh pelan. "Bukan cuma dunia. Mereka ingin menciptakan spesies baru. Manusia 2.0. Tapi gagal total."Langit-langit lorong berge
Malam itu seperti mimpi buruk yang hidup. Elara menginjak pedal gas sekuat tenaga, membuat mobil melaju kencang menabrak apapun yang menghalangi. Sosok-sosok aneh berlarian di sekitar mereka—bukan zombie biasa, lebih gesit, lebih lincah… dan lebih pintar.“Gue nggak ngerti,” kata Jonas sambil menarik napas terengah-engah, matanya menatap ke luar jendela. “Sejak kapan zombie bisa kayak gitu? Kayak… nunggu, ngintai, terus nyerbu bareng-bareng?”“Mereka bukan zombie biasa,” gumam Elio pelan, wajahnya masih pucat. “Itu… mutasi. Mereka berevolusi.”“Evolusi?” tanya Rhea.“Elio benar,” timpal Elara. “Sistem tubuh mereka pasti berubah karena paparan virus bertahun-tahun. Apalagi di atas sini, terkena sinar matahari, udara bebas, dan mungkin... bahan-bahan kimia yang nggak kita tahu. Mereka adaptasi. Mungkin ini tahap berikutnya dari infeksi.”Mobil berhenti setelah mereka merasa cukup jauh dari tempat itu. Mereka parkir di terowongan jalan tol y