Share

Bab 18

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Terpaksa aku harus memperkenalkan diri dengan nama yang awalnya sangat tidak aku sukai. Aku lebih suka dipanggil Meta, yang terdengar lebih anggun dan berkelas. Namun, sekarang aku harus melepaskan nama yang sedari kecil sudah melekat, dan menggantinya dengan nama yang biasa saja. 

"Baiklah, aku menerima kamu bekerja di sini. Tapi, hanya untuk mengurus makanku dan kamarku saja. Aku, tidak mau kita saling berkontak fisik."

Aku pun menyanggupi syarat darinya. Kemudian mulai bekerja sesuai apa yang dia perintahkan. 

Hari pertama, sangat sulit bagiku. Aku harus membiasakan bangun subuh, dan menyiapkan semua keperluan Arfan. Semakin lama aku semakin menikmati dan kami pun semakin akrab. 

Aku memposisikan diri sebagai teman yang mendengarkan segala keluh kesah dia. Termasuk, saat dia menceritakan awal kehancuran hidupnya. Harus kehilangan anak serta istri karena kejahilan tangan seseorang ya

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 19

    "Ck' ck' ck' .... Sungguh sandiwara yang luar biasa. Serapi itu kamu menipu kami, Tari."Aku menunduk seraya memainkan jari-jariku saat papa melihat dan berucap padaku.Baru saja, kedua orang tua Mas Arfan melihat gambar-gambar diriku yang sebenarnya dari Alvin. Ya, saat ini kami tengah berada di kamar Alvin.Entah kapan dan dari mana Alvin mendapatkan foto-foto diriku dengan segala kemewahan yang selama ini melekat pada diri seorang Meta."Maaf, Pa. Tari terpaksa melakukan ini. Tari hanya ingin menebus kesalahan Tari, Pa.""Dengan cara membohongi kami?""Maaf," ucapku seraya menunduk."Arfan harus tahu yang sebenarnya," ujar Mama seraya berdiri bersiap untuk keluar dari kamar Alvin.Buru-bur

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 20

    Setelah menerima telepon dari Mama, aku tidak langsung menceritakan hal tersebut kepada Mas Arfan. Aku menemani dia menghabiskan sarapannya terlebih dahulu, sebelum aku meminta izin untuk pergi ke rumah Mama.Entah apa yang terjadi di sana, hingga aku harus datang seorang diri ke sana.Mungkinkah ini ada kaitannya denganku dan Mas Arfan? Tapi apa? Aku benar-benar tidak bisa menebak yang terjadi."Sudah kenyang?" tanyaku setelah melihat kopi yang tidak tersisa di dalam gelas."Sudah.""Mas, aku boleh izin pergi?" Kembali aku bertanya."Ke mana?""Ke rumah ibu dan ayah. Boleh?""Aku ikut."Aku mengembuskan napas kasar seraya menekuk wajah saat Mas Arfan

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 21

    "Bibi, jangan berpikiran buruk tentang kami. Tadi, Alvin bukan sedang mencumbuku, melainkan dia sedang menyakitiku dengan memelintir tanganku. Lihat, tanganku merah karena ulahnya," jelasku seraya memperlihatkan pergelangan tangan yang memerah kepada Bu Siti.Wanita yang kisaran usianya sebaya dengan Mama, ia mengangguk seraya mengambil kembali keranjang belanja yang tadi terlepas dari tangannya.Kemudian dia masuk ke dalam rumah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.Detik berikutnya, satu hantaman keras aku hadiahkan pada Alvin yang berdiri tidak jauh dariku.Dia meringis. Oh, bukan, dia seperti terkekeh mentertawakanku."Kenapa? Kurang? Mau kuhajar lagi?" kataku seraya mengepalkan tangan siap untuk aku layangkan padan

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 22

    'Bukannya tadi Mas Arfan bilang masih di kantor? Kok, Isna bilang melihat Mas Arfan di rumah sakit. Ah, mungkin Isna salah lihat.'[Kamu salah lihat, kali, Is.] Aku membalas pesan dari Isna.[Masa, sih? Emang sekarang Kakak, sedang bersama Mas Arfan?]Aku mengembuskan napas berat, lalu kembali mengirimkan pesan kepada adikku itu.[Enggak, sih. Kakak sedang di rumah Mama. Sedangkan Mas Arfan, ia sedang di kantor bersama Mama mertuaku. Dia sedang bertemu investor di kantornya,] jelasku. Kemudian langsung centang biru.[Hati-hati, deh, Kak. Kali aja dia sedang bohongin kamu.]Aku tertegun membaca pesan dari Isna. Otakku bekerja keras untuk memikirkan kata-kata dari Isna.Tidak mungkin Mas Arfan berbohong. Namun, jika benar Mas Arfan

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 23

    "Suster, apa pasien ruangan ini sudah melakukan operasi?" tanyaku pada seorang wanita yang memakai seragam biru langit."Iya sudah. Pasien baru saja selesai melakukan transplantasi kornea mata. Apa Ibu, keluarganya?"Aku menggelengkan kepala. Bukan tidak ingin mengakui Mas Arfan sebagai suami, tapi aku tidak mau suster itu mengatakan keberadaanku di sini.Setelah melihat kenyataan yang membuat dadaku sesak, aku memilih pergi meninggalkan ruangan di mana Mas Arfan dirawat.Aku belum siap untuk bertemu Mas Arfan. Aku juga belum punya kata-kata untuk menjawab semua pertanyaan Mas Arfan nantinya.Langkahku terasa lambat, kakiku terasa lemah untuk melangkah cepat. Air mata semakin deras membasahi pipi. Waktuku sudah habis untuk tetap menjadi istri dari Arfan

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 24

    "Mas, kamu—""Ya, ini aku."Mas Arfan membalikan tubuhku agar menghadap ke arahnya. Kutatap lekat wajah itu, kuulurkan tangan untuk menyentuh kedua mata yang masih berbalut perban."Ini kejutannya?" tanyaku lagi."Iya, Sayang. Ini kejutan untukmu. Aku, sudah melakukan transplantasi kornea mata. Aku akan segera melihat. Sebentar lagi, aku akan bisa menatap wajah cantikmu, Mentari."Senyumku mengembang. Namun, bukan karena kata-kata manis Mas Arfan barusan. Lebih tepatnya, aku bahagia karena Mas Arfan belum bisa melihatku karena matanya yang masih tertutup perban.Aku masih punya kesempatan untuk tinggal dan merasakan kasih sayang suamiku. Aku masih bisa menikmati waktu indah berdua b

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 25

    "Maksud aku, minggu depan aku mau pergi keluar dari rumah ini."Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat. Ia menyingkirkan kepalaku yang berada di dadanya. Kemudian beringsut duduk. Dan aku masih memperhatikan apa yang akan dia lakukan."Kenapa mau pergi dari sini?" tanyanya dengan punggung yang bersandar pada sandaran ranjang."Mau ninggalin aku?" lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertamanya.Melihat wajahnya yang tiba-tiba menjadi murung, seketika aku tertawa terbahak membuat dia semakin mengeratkan kening.Entah tawa apa ini. Namun, air mataku ikut keluar seiring dengan tawa yang menggema. Bibirku bahagia, tapi hatiku terluka."Ditanya malah ketawa. Jawab dulu," Mas Arfan hendak menarik tubuhku, tapi

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 26

    "Betul, Mbak Raya. Bibi tidak bohong!" ujar Bibi lagi membuatku sedikit menegakkan tubuh.Pembahasan kita kali ini sangatlah serius. Bukan mengenai masalah dapur seperti biasanya. Tapi, masalah pribadi yang aku sendiri tidak mengerti."Kapan, Bibi melihatnya?" tanyaku."Waktu ... aduh, Bibi lupa hari apa, tapi pokoknya sebelum melihat Mbak Tari sama Mas Alvin di depan itu."Aku merenung. Mencari alasan apa yang membuat Alvin menyimpan fotoku. Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban atas kecurigaan Bi Siti."Oh, mungkin karena dia waktu itu mencari-cari jati diri saya, Bi. Makanya dia sengaja menyimpan foto saya," ujarku mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.Aku sangat yakin jika itu alasan Alvin menyim

Bab terbaru

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 46

    Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 45

    “Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 44

    Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 43

    “Mas Arfan ...,” lirihku nyaris tak bersuara.Beberapa kali aku mengerjapkan mata untuk memastikan jika mataku tidak salah melihat. Semakin aku dekat, dia semakin jelas terlihat.“M—Mas ...,” ucapku tercekat.“Mau periksa kandungan, ‘kan? Ayo, naik.”Tanpa menoleh, tanpa berbasa-basi, Mas Arfan menyuruhku masuk ke mobilnya.Sikapnya masih begitu dingin, tapi entah kenapa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Seperti ada magnet yang menarik, aku pun langsung masuk tanpa penolakan.“Mas, tahu dari mana aku hamil?” tanyaku setelah mobil melaju.“Harusnya aku tahu lebih dulu, bukannya malah tahu dari orang lain. Aku ayahnya, bukan?” ujar Mas Arfan membuatku menunduk seraya menggigit bibir.Aku tidak menjawab pertanyaannya. Memilih diam memperhatikanku jalanan yang lengang tanpa kemacetan.Mungkin Mas Arfan marah karena aku terkesan menyembunyikan kehamilanku. Aku juga paham, kalau dia masih menganggapku sebagai orang dibalik meninggalnya istri dan anaknya. Jadi, diam adalah pilihan terbaik

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 42

    “Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 41

    Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 40

    Aku terhenyak mendengar jawaban dari Alvin.“Apa Vin?” tanyaku untuk memperjelas jawaban yang dia berikan.“Cemburu. Aku cemburu melihatmu dengan Arfan.”Sangat jelas. Dan aku bisa mendengar semua kata perkata yang masuk ke telingaku.Diam, adalah caraku untuk mencerna jawaban yang diberikan Alvin. Aku paham, tapi aku tidak ingin mengambil kesimpulan.Kulihat Alvin begitu lekat menatapku. Tatapannya sangat beda dan tidak seperti biasanya. Aku menundukkan kepala untuk menghindari mata Alvin yang terus menyorotiku.“Maaf, Tari. Mungkin ini terlalu lancang. Tapi, kamu harus tahu satu hal, jika aku menyukaimu. Bahkan, bisa dikatakan aku mencintaimu.”Dadaku berdetak cepat saat Alvin kembali berucap. Aku meneguk ludahku dengan sulit, tidak menyangka dengan pengakuan yang dia lontarkan.“Kamu jangan bercanda, Vin. Tidak lucu. Aku sedang berduka,” ujarku seraya tertawa sumbang.“Tidak, Tari. Aku tidak sedang becanda. Ini serius. Kamu harus tahu, aku menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kamu

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 39

    Pria dengan badan tegap yang tak lain adalah Alvin, melambaikan tangan dan hanya dibalas senyum tipis olehku.Tidak ingin lama-lama melihat dia, aku masuk kembali ke dalam kamar. Memilih duduk di depan cermin menatap wajahku sendiri dari pantulan cermin.“Pucat sekali,” tuturku mengusap pipi dan bibir.Kualihkan pandangan pada jejeran make up di atas meja rias. Namun, aku tidak menemukan lipstik yang biasa aku pakai.“Apa aku tidak memiliki lipstik? Ah, tidak mungkin.” Aku terus berbicara sendiri seraya mencari benda kecil itu.Di meja tidak ada, tanganku beralih mencarinya ke laci. Saat laci terbuka, ternyata aku malah menemukan benda pipih yang aku cari-cari.“Oh, ternyata di sini ponselku,” ujarku seraya mengambil benda itu. Aku juga mengambil lipstik dari dalam sana, lalu mengoleskannya sedikit ke bibirku.Aku menghidupkan ponsel dan melihat ternyata banyak pesan di aplikasi hijau. Mataku memicing saat melihat siapa yang mengirimkan pesan tersebut.Mas Arfan. Dialah pengiriman pes

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 38

    “Papa, ini gimana? Kasihan Tari, Pah,” ujar Mama. Tangannya terus mengusap keningku yang berkeringat.“Bawa ke kamar saja, biarkan dia istirahat. Dia seperti itu karena syok. Nanti pun akan terbiasa. Lebih baik sakit sekali, daripada sakit berkali-kali.”Mama menuruti saran Papa. Dipapahnya aku hingga sampai di kamar Mama. Aku dibaringkan di ranjang, seraya terus terisak.Aku tidak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya berpisah. Terlebih, aku tidak mendengar langsung kata perpisahan itu keluar dari bibir suamiku.“Mah, kenapa Mas Arfan menceraikanku?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara. Pandanganku lurus ke depan dengan tatapan kosong.“Papa yang minta, Kak. Papa tidak terima dengan perlakuan Arfan padamu. Namun, tidak ada penolakan sama sekali dari Arfan, saat Papa meminta kamu dikembalikan. Dia memang sudah tidak peduli lagi denganmu.”Aku menarik kaki yang tadinya memanjang, kini ditekuk hingga aku meringkuk seperti anak kecil.“Padahal, Mas Arfan masih menyimpan cinta untuk

DMCA.com Protection Status