"Maksud aku, minggu depan aku mau pergi keluar dari rumah ini."
Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat. Ia menyingkirkan kepalaku yang berada di dadanya. Kemudian beringsut duduk. Dan aku masih memperhatikan apa yang akan dia lakukan.
"Kenapa mau pergi dari sini?" tanyanya dengan punggung yang bersandar pada sandaran ranjang.
"Mau ninggalin aku?" lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertamanya.
Melihat wajahnya yang tiba-tiba menjadi murung, seketika aku tertawa terbahak membuat dia semakin mengeratkan kening.
Entah tawa apa ini. Namun, air mataku ikut keluar seiring dengan tawa yang menggema. Bibirku bahagia, tapi hatiku terluka.
"Ditanya malah ketawa. Jawab dulu," Mas Arfan hendak menarik tubuhku, tapi
"Betul, Mbak Raya. Bibi tidak bohong!" ujar Bibi lagi membuatku sedikit menegakkan tubuh.Pembahasan kita kali ini sangatlah serius. Bukan mengenai masalah dapur seperti biasanya. Tapi, masalah pribadi yang aku sendiri tidak mengerti."Kapan, Bibi melihatnya?" tanyaku."Waktu ... aduh, Bibi lupa hari apa, tapi pokoknya sebelum melihat Mbak Tari sama Mas Alvin di depan itu."Aku merenung. Mencari alasan apa yang membuat Alvin menyimpan fotoku. Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban atas kecurigaan Bi Siti."Oh, mungkin karena dia waktu itu mencari-cari jati diri saya, Bi. Makanya dia sengaja menyimpan foto saya," ujarku mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.Aku sangat yakin jika itu alasan Alvin menyim
Aku menggeliat seraya membuka mata. Kulirik jam pada ponsel yang ternyata sudah tengah hari. Bibirku tersenyum mengingat apa yang baru saja kami lewati. Sungguh sangat menguras energi. Namun, sangat kami sukai. Wajah tampan Mas Arfan yang tersenyum bahagia menari-nari di depan mataku. Kesedihanku, ketakutanku sejenak menghilang dan hanya menghadirkan rasa bahagia. Dan kini, suamiku masih terlelap dalam mimpi indahnya.Kugeser tubuhku dengan pelan agar Mas Arfan tidak terganggu dengan pergerakkanku. Pergi ke kamar mandi, mengguyur tubuhku dengan air yang begitu dingin. "Ah, segarnya," ujarku seraya keluar dari kamar mandi. Kulihat Mas Arfan masih terbaring. Sepertinya dia memang sangat kelelahan. Aku tersenyum kecil seraya menatap pria yang tubuhnya hanya terbungkus selimut itu."Ya Tuhan, aku tidak membawa baju ganti." Aku menepuk jidat saat menyadari telah melupakan sesuatu.Buru-buru aku mengambil ponsel dan mengotak-atiknya. Aku memesan beberapa pakaian untukku dan Mas Arfan da
"Mas Arfan suamiku .... Maafkan aku. Selama menjadi istrimu, banyak sekali dosa yang aku perbuat padamu. Tidak ada kata selain maaf yang sebesar-besarnya. Dan ... Mas, harus tahu. Kalau aku, sangatlah menyayangi Mas Arfan. Sangat, sangat, sangat," ujarku dengan air mata yang terus keluar. Mendengar suaraku yang bergetar, Mas Arfan langsung memiringkan tubuhnya dan memelukku. Meraba wajahku yang basah. "Tari, kenapa harus menangis? Kita buat rekaman buat seru-seruan, 'kan? Kenapa kamu jadi begini?" Mas Arfan mengusap pipiku. Aku langsung mematikan ponsel, lalu memeluk tubuh suamiku. Aku kembali tersedu di dada Mas Arfan."Mentari.""Maaf, Mas. Maafkan aku," ucapku di sela isak tangisku."Kamu tidak punya salah. Jangan begini, aku bingung jadinya. Apa yang harus aku lakukan?" "Maafkan aku. Cukup dengan memaafkan aku, Mas." Aku masih terus mengulangi kata itu. Mas Arfan mengusap punggungku seraya terus mengecup pucuk kepalaku. "Aku memaafkanku. Sebesar apa pun dosamu, aku sudah mem
"Kamu punya otak apa tidak, Mentari! Sudah tahu Arfan harus bolak-balik dibawa ke rumah sakit, tapi malah kamu ajak pergi. Ini jam berapa?!" Di sinilah aku sekarang. Berdiri dengan kepala menunduk saat Mama memarahiku.Setelah kami sampai di rumah, Mama langsung menyuruh Mas Arfan untuk masuk ke kamar. Dan aku, Mama bawa ke kamarnya untuk menerima amarah ibu mertuaku itu. Bagaimana Mama tidak marah, karena kami sampai di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tadi, perjalanan kami terhambat oleh kemacetan. Alhasil, kami pulang terlambat dan itu yang menyebabkan Mama murka."Maaf, Mah. Tadi di jalan macet," ucapku seraya memilin jari-jariku. "Kamu jangan ajarin anak saya jadi pembangkang sepertimu, Mentari. Pergi dari rumah tanpa izin, pulang semaunya sendiri. Kamu pikir kamu siapa, bisa seenaknya? Ini rumahku, aku yang punya kuasa di sini!" Seraya berkacak pinggang, Mama terus mengeluarkan kemarahannya. Berulang kali aku meminta maaf, tapi sepertinya hati Mama sud
Semua orang yang tengah menikmati hidangan mereka, seketika melihat ke arahku yang berdiri seraya menunjuk dinding di mana yang mulanya fotoku sebagai pemilik restoran, kini diganti dengan foto Nadia. "Kamu! Ke mari!" panggilku pada pelayan yang baru saja selesai mengantarkan pesanan. "Di mana Nadia?!" tanyaku. Pelayanan wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk memegang nampan dengan erat. "Di mana Nadia?!" tanyaku lagi semakin emosi. Namun, wanita itu tetap bergeming."Gue di sini, Meta!" Kualihkan pandangan dari pelayan tadi ke arah wanita yang berjalan menghampiriku. Penampilannya sangat berbeda. Dia lebih rapi dengan setelan celana dan blazer bermotif kotak-kotak."Ini apa-apaan, Nad?" tunjukku pada foto dia yang tengah tersenyum bahagia."Seperti yang lo lihat. Itulah gue sekarang.""Maksud, lo?" tanyaku semakin tidak paham."Ikut ke ruangan gue, Meta. Gue tidak mau pembahasan kita mengganggu pengunjung."Aku mengikuti Nadia yang berjalan terlebih dahulu. Tidak sabar ing
“Mas, ini kenapa kamar berantakan sekali?” Mataku memindai sekeliling kamar yang begitu berantakan. Semua barang berserakan di bawah. Cermin meja rias pecah, foto-foto yang awalnya menggantung di dinding, kini memenuhi lantai dengan kondisi yang ... sangat hancur. “Mas, kamu marah sama aku karena aku pergi tidak pamit?” tanyaku. Sedangkan pria yang aku ajak bicara, dia bergeming masih membelakangiku. “Ya Allah, Mas. Maaf, aku tidak maksud buat pergi gitu aja. Tadi, Ayah telepon dan menyuruhku ke rumahnya. Aku—“ “Terus saja bersandiwara, Meta,” ucap Mas Arfan dingin. Sontak saja aku kaget dengan panggilan Mas Arfan padaku. Tubuhku terpaku, mataku membulat dengan tangan yang menutup mulut saat Mas Arfan membalikan badan. Kepala kugelengkan berulang kali hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di sana, pria yang aku takutkan dapat melihatku, nyatanya sudah benar-benar bisa melihat wujud asliku. Tidak ada lagi perban yang menutup matanya. Aku bisa melihat bulu mata lebat Ma
Aku mengembuskan napas saat pertanyaanku tidak mendapat jawaban. Mobil sudah mulai melaju, dan aku pasrah ke mana pun Mas Arfan akan membawaku pergi.Kepingan kenangan kebersamaan kami melintas di benakku seperti sebuah film. Tawa kami, canda kami, begitu lepas saat itu. Bahkan kehangatan pria yang berstatuskan suamiku begitu lekat dalam ingatanku.Namun, sekarang semuanya hilang. Jangankan ada canda tawa, bicara pun dia tak mau. Kami seperti orang asing yang tidak saling mengenal.“Mas.”“Diam,” ucapnya dingin.Aku merengut mendengar suaranya yang seperti es. Jangankan untuk menoleh, bersuara pun dia enggan.Lima belas menit perjalanan, Mas Arfan membelokkan mobil ke sebuah perumahan. Namun, aku tidak tahu tujuan dia apa hingga membawaku ke sini. Pasalnya, ini bukan perumahan yang ditinggali keluargaku.“Turun,” titah Mas Arfan.Kini mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah yang nampak bersih dan rapi. Aku turun dari mobil, melihat ke sekeliling rumah bercat warna abu-abu itu
Satu minggu bersama Mas Arfan dengan sikap barunya, membuatku hidupku layaknya di penjara. Aku dibuat tidak mengenali suamiku sendiri, karena dia yang memberi jarak. Seperti ada tirai penghalang antara aku dan suamiku. Meskipun tipis, tapi menjadi pemisah di antara kita. “Mas, kopinya,” ucapku seraya menyimpan gelas di samping laptop yang tengah ia perhatikan. Setelah matanya kembali melihat, Mas Arfan mulai aktif kembali bekerja. Hari-harinya dia habiskan di depan layar dari sepulang kerja sampai malam datang. “Istirahat dulu, ini sudah larut,” ucapku lagi saat tidak ada respon dari Mas Arfan. “Hmm.” Sudah biasa. Gumaman selalu jadi jawaban dari kebisuan Mas Arfan. Kalau sudah seperti itu, aku bisa apa? Pergi meninggalkan dia seorang diri. Aku pun membiarkan Mas Arfan dengan pekerjaannya. Memilih pergi ke ruang tv melihat acara televisi yang sama sekali tidak bisa menghiburku. Malam semakin larut hingga kurasakan hawa dingin menusuk kulitku. Kueratkan sweater agar ba
Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar
“Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa
Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas
“Mas Arfan ...,” lirihku nyaris tak bersuara.Beberapa kali aku mengerjapkan mata untuk memastikan jika mataku tidak salah melihat. Semakin aku dekat, dia semakin jelas terlihat.“M—Mas ...,” ucapku tercekat.“Mau periksa kandungan, ‘kan? Ayo, naik.”Tanpa menoleh, tanpa berbasa-basi, Mas Arfan menyuruhku masuk ke mobilnya.Sikapnya masih begitu dingin, tapi entah kenapa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Seperti ada magnet yang menarik, aku pun langsung masuk tanpa penolakan.“Mas, tahu dari mana aku hamil?” tanyaku setelah mobil melaju.“Harusnya aku tahu lebih dulu, bukannya malah tahu dari orang lain. Aku ayahnya, bukan?” ujar Mas Arfan membuatku menunduk seraya menggigit bibir.Aku tidak menjawab pertanyaannya. Memilih diam memperhatikanku jalanan yang lengang tanpa kemacetan.Mungkin Mas Arfan marah karena aku terkesan menyembunyikan kehamilanku. Aku juga paham, kalau dia masih menganggapku sebagai orang dibalik meninggalnya istri dan anaknya. Jadi, diam adalah pilihan terbaik
“Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa
Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T
Aku terhenyak mendengar jawaban dari Alvin.“Apa Vin?” tanyaku untuk memperjelas jawaban yang dia berikan.“Cemburu. Aku cemburu melihatmu dengan Arfan.”Sangat jelas. Dan aku bisa mendengar semua kata perkata yang masuk ke telingaku.Diam, adalah caraku untuk mencerna jawaban yang diberikan Alvin. Aku paham, tapi aku tidak ingin mengambil kesimpulan.Kulihat Alvin begitu lekat menatapku. Tatapannya sangat beda dan tidak seperti biasanya. Aku menundukkan kepala untuk menghindari mata Alvin yang terus menyorotiku.“Maaf, Tari. Mungkin ini terlalu lancang. Tapi, kamu harus tahu satu hal, jika aku menyukaimu. Bahkan, bisa dikatakan aku mencintaimu.”Dadaku berdetak cepat saat Alvin kembali berucap. Aku meneguk ludahku dengan sulit, tidak menyangka dengan pengakuan yang dia lontarkan.“Kamu jangan bercanda, Vin. Tidak lucu. Aku sedang berduka,” ujarku seraya tertawa sumbang.“Tidak, Tari. Aku tidak sedang becanda. Ini serius. Kamu harus tahu, aku menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kamu
Pria dengan badan tegap yang tak lain adalah Alvin, melambaikan tangan dan hanya dibalas senyum tipis olehku.Tidak ingin lama-lama melihat dia, aku masuk kembali ke dalam kamar. Memilih duduk di depan cermin menatap wajahku sendiri dari pantulan cermin.“Pucat sekali,” tuturku mengusap pipi dan bibir.Kualihkan pandangan pada jejeran make up di atas meja rias. Namun, aku tidak menemukan lipstik yang biasa aku pakai.“Apa aku tidak memiliki lipstik? Ah, tidak mungkin.” Aku terus berbicara sendiri seraya mencari benda kecil itu.Di meja tidak ada, tanganku beralih mencarinya ke laci. Saat laci terbuka, ternyata aku malah menemukan benda pipih yang aku cari-cari.“Oh, ternyata di sini ponselku,” ujarku seraya mengambil benda itu. Aku juga mengambil lipstik dari dalam sana, lalu mengoleskannya sedikit ke bibirku.Aku menghidupkan ponsel dan melihat ternyata banyak pesan di aplikasi hijau. Mataku memicing saat melihat siapa yang mengirimkan pesan tersebut.Mas Arfan. Dialah pengiriman pes
“Papa, ini gimana? Kasihan Tari, Pah,” ujar Mama. Tangannya terus mengusap keningku yang berkeringat.“Bawa ke kamar saja, biarkan dia istirahat. Dia seperti itu karena syok. Nanti pun akan terbiasa. Lebih baik sakit sekali, daripada sakit berkali-kali.”Mama menuruti saran Papa. Dipapahnya aku hingga sampai di kamar Mama. Aku dibaringkan di ranjang, seraya terus terisak.Aku tidak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya berpisah. Terlebih, aku tidak mendengar langsung kata perpisahan itu keluar dari bibir suamiku.“Mah, kenapa Mas Arfan menceraikanku?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara. Pandanganku lurus ke depan dengan tatapan kosong.“Papa yang minta, Kak. Papa tidak terima dengan perlakuan Arfan padamu. Namun, tidak ada penolakan sama sekali dari Arfan, saat Papa meminta kamu dikembalikan. Dia memang sudah tidak peduli lagi denganmu.”Aku menarik kaki yang tadinya memanjang, kini ditekuk hingga aku meringkuk seperti anak kecil.“Padahal, Mas Arfan masih menyimpan cinta untuk