Tetanggaku Suamiku
Part 3
.
Pintu terbuka, saat Jelita sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Ia melihat Arjuna muncul setelah pintu kembali ditutup. Spontan gadis itu mengambil handuk wajah yang baru saja diletakkan di meja rias. Gadis itu menutup kepalanya, sementara sebagian rambutnya terlihat dari bagian belakang.
Sejak memutuskan untuk berhijab, Jelita sudah tak biasa membuka auratnya di depan lelaki yang bukan mahram.
Arjuna melihat gadis itu semakin cantik di matanya, meski kini rambutnya hanya tinggal sebahu. Berbeda dengan dulu, gadis itu memiliki rambut paling panjang di kelasnya.
Arjuna yang melangkah mendekat ke arah Jelita tersenyum. “Aku bahkan tau berapa panjang rambutmu dulu.”
“Itu dulu!” ketus Jelita.
“Tapi, aku suamimu sekarang.” Ucapan Arjuna seolah menghempaskan Jelita ke dunia yang kini dihadapinya. Kehidupan pernikahan yang bahkan tak ada kemungkinan bahagia di dalamnya, menurut Jelita.
Jelita seolah lupa pada status yang baru disandangnya. Ia lupa bahwa kini lelaki di depannya, bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari melihat rambutnya.
Arjuna semakin dekat dengan perasaan yang semakin berdebar.
Melihat wajah itu semakin dekat, Jelita merasa hatinya kembali perih atas takdir hidup yang terlalu menyisakan luka baginya. Gadis itu mundur, hingga tubuhnya rata di dinding dekat meja rias.
“Jangan sentuh aku.” Jelita berkata, menatap tajam ke arah Arjuna yang kini berdiri hampir tak berjarak dengannya. Bahkan ia bisa merasakan hangat napas lelaki itu menyapu wajahnya.
Jelita merasa jantungnya berpacu lebih cepat, marah bercampur entahlah. Ia tak ingin melakukan tugasnya sebagai seorang istri sekarang. Terlalu tiba-tiba dan sakit baginya untuk secara tergesa menerima takdir hidupnya yang seperti lelucon.
Perlahan Arjuna menarik handuk kecil yang menutup kepala istrinya, hingga handuk itu jatuh ke bahu gadis yang telah memakai piyama itu. Kembali ditatapnya Jelita yang terlihat sedikit ketakutan. Arjuna tersenyum melihat reaksi gadis itu yang menutup matanya dengan rapat.
“Aku tak akan menyentuhmu sekarang,” ucap Arjuna menatap Jelita yang melotot padanya.
“Aku udah wudu di bawah, kita salat isya sekarang.” Arjuna beranjak meninggalkan Jelita yang baru bisa bernapas lega di sisi dinding sana.
Lelaki yang mengenakan kaus itu mendekat ke arah ranjang, di mana sajadah terlipat di sana.
Dengan langkah menyentak, Jelita segera ke kamar mandi. Ditanggalkannya handuk yang tadi tersangkut di kepala. Ia berwudu dan mengambil mukena, lalu memakainya dengan segera.
Setelah memastikan istrinya siap, Arjuna memulai takbirnya, tangan itu melayang di sisi telinga, diikuti Jelita yang berdiri di belakangnya.
Usai salat, Arjuna melangitkan beberapa doa yang diaminkan oleh Jelita. Arjuna mendoakan agar rumah tangganya bahagia meskipun saat ini masih sulit melunakkan hati Jelita. Bukankah lucu mengaminkan doa yang tidak diinginkan, entahlah. Jelita merasa pernikahannya sudah salah dari awal.
*
Setelah makan malam, Arjuna menyempatkan diri untuk mengambil beberapa pakaian dan bertemu ibunya.
Lalu, saat ia kembali memasuki kamar, terlihat Jelita duduk di ranjang. Duduk seolah sedang menunggunya datang.
Arjuna menatap gadis itu, lalu pandangan beralih pada apa yang ditunjuk Jelita melalui matanya.
Di dekat sofa, terhampar sebuah hambal, juga bantal yang telah dipersiapkan Jelita. Tempat yang dipersiapkan Jelita untuk tempat tidur sang suami malam ini.
“Kita akan memulai hari yang sulit.”
Jelita turun dari ranjang dan meletakkan satu selimut untuk Arjuna.
“Kita akan membuat jadwal. Malam ini aku yang akan tidur di ranjang, besok kita akan bertukar.” Jelita berkata, lalu kembali merebahkan diri di kasur empuk miliknya. Tanpa peduli pada sang suami yang akan merasa kedinginan tidur di lantai.
Arjuna bergeming melihat gadis itu menarik selimutnya. Ia menarik napas dalam, lalu ikut merebahkan diri. Di tempat khusus untuknya. Lelaki itu masih bisa tersenyum, itu bukan masalah besar untuknya. Ia berjanji dalam hatinya untuk pelan-pelan meluluhkan hati Jelita.
*
“Arjuna!”
Alarm tubuh Jelita membangunkannya untuk menunaikan salat subuh. Dalam mata yang masih setengah terpejam dan belum sepenuhnya sadar, gadis itu merasa ada tangan yang memeluknya. Tangan yang terasa berat saat ia mengangkatnya. Jelita merasa ada dengkuran halus yang mendominasi telinga.
Gadis itu membuka mata, dan menjerit setelah melihat Arjuna tidur dengan pulas di sampingnya. Tangan itu ia coba tepiskan agar tak lagi melekat di pinggang rampingnya.
Mata Jelita membelalak, lalu gadis itu memukul tubuh Arjuna yang masih tertidur.
Arjuna membuka mata, merasa ada tangan yang menyentuhnya. Ya, pukulan Jelita terasa seperti sentuhan bagi tubuh kekarnya.
“Kenapa? Ada tikus? Kecoa? Mana?” ucap Arjuna masih setengah sadar. Lelaki itu mengucek matanya agar mata itu terbuka sepenuhnya.
“Kamu tikusnya!” ketus Jelita.
“Siapa suruh tidur di sini?” tanya Jelita menatap Arjuna yang seolah tak merasa bersalah.
“Semalam aku gak bisa tidur, punggung sakit.” Arjuna melas.
“Dih, alasan. Terus ngapain pake meluk-meluk segala?”
“Lah, emang gak boleh?” Arjuna nyengir tanpa dosa. Dosa apa memeluk istri sendiri?
Jelita mendengkus pelan. Lalu, berjalan ke kamar mandi. Percuma berdebat dengan Arjuna, karena ia sendiri tahu bahwa kesalahan itu berasal darinya. Namun, hanya saja Jelita belum bisa menerima kenyataan.
Jelita membersihkan diri dan berwudu untuk menunaikan salat subuh. Saat ia keluar dari kamar mandi, dilihatnya Arjuna masih duduk di atas kasur dengan senyum yang menawan. Jelita mengakui, sedari SMA Arjuna termasuk salah satu dari cowok populer di sekolah.
“Kenapa?” tanya Jelita yang melihat Arjuna menatapnya masih dengan senyuman.
“Bibir kamu hangat juga.” Setelah mengatakan itu, Arjuna langsung melangkah ke kamar mandi. Mengunci pintu rapat-rapat.
Dari dalam sana, Arjuna bisa mendengar Jelita meneriakkan namanya. Lelaki itu tertawa kecil, mengingat tingkah Jelita yang menggemaskan. Ia mengerti kebencian dalam diri Jelita untuknya, tapi gadis itu juga tak seburuk itu terkadang.
*
Usai sarapan, Jelita beberes rumah karena beberapa tempat masih tersisa bekas pesta kemarin. Gadis itu ikut membantu Mbok Masni dan mamanya membersihkan rumah.
Setelah semuanya beres, Jelita naik ke atas. Ia memasuki kamar dan tak melihat Arjuna di sana.
‘Ke mana lelaki itu?’ tanya Jelita pada diri sendiri.
Seketika penyesalan hinggap di hatinya. Kembali terbayang sorot mata elang Arjuna yang terluka karena ucapan-ucapannya.
Jelita mendekat pada Arjuna usai salat subuh. Gadis itu mencium tangan suaminya. Lalu, dengan sorot memohon ia berkata.
“Kita sama-sama tahu sebab pernikahan ini. Jadi, jangan berharap terlalu banyak.” Jelita menatap Arjuna serius. Ia tak suka Arjuna melewati batas. Meskipun untuk saat ini belum ada nama lelaki lain di hatinya, tapi bukan berarti Arjuna bisa menempatinya dengan mudah.
Arjuna menatap lekat istrinya. Ia mencoba memberi pengertian tentang arti menikah yang sesungguhnya. Bahwa pernikahan yang tak didasari cinta, akan indah muaranya jika yang melakukan pernikahan sama-sama tahu peran masing-masing.
Arjuna masih menatap manik mata hitam Jelita. Ada sorot kesungguhan dari ucapan gadis itu barusan. Lalu, Arjuna memilih diam, menyesapi setiap sakit yang mengalir di hatinya. Lelaki itu bangkit setelah membelai kepala Jelita dengan lembut.
Meninggalkan Jelita dengan rasa yang entah di hatinya. Rasanya lebih baik mendengar Arjuna membalas ucapannya daripada melihat lelaki itu diam dengan sorot mata terluka.
Jelita mencoba mengetuk pintu kamar mandi, tapi tak ada suara dari dalam sana. Bahkan pintunya tak terkunci.
Jelita membuka gorden dan pintu menuju balkon. Siapa tahu Arjuna ada di sana. Tidak! Arjuna tidak ada di balkon.
Gadis yang masih mengenakan piyama dan kerudung instan itu sedikit gundah. Ia tak mengerti dengan hatinya sendiri. Saat ini, ada ketakutan yang tiba-tiba menguasai hatinya. Ketakutan jika saat ini ia akan ditinggal Arjuna. Jelita berhasil selamat dari pengantin yang ditinggal, tapi akankah menjanda setelah diselamatkan?
Jelita berdiri di balkon dengan pikiran yang berkecamuk. Ia mengedarkan pandangan ke bawah, lalu ke rumah Arjuna, di mana di depannya berhadap langsung dengan kamar lelaki itu.
Jelita memicingkan mata saat melihat ada yang bergerak-gerak di balik pagar balkon kamar Arjuna. Gadis itu memastikan. Terlihat Arjuna di sana, dengan gerakan sedang melatih tubuhnya.
Saat itu Jelita merasa ada hangat menyelinap ke hatinya. Lega. Arjuna tak pergi.
Tetanggaku Suamiku Part 4 . “Pilih aja, terserah mau berapa.” Melisa berkata pada Jelita. Seorang karyawan tersenyum sembari merekomendasikan beberapa produk yang baru launching dari butik mereka. Jelita hanya tersenyum pada wanita yang kini dipanggilnya mama. Malam mertua. Melisa mengajak Jelita untuk membeli beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya, karena pernikahan yang mendadak itu tak sempat membeli hantaran. Jadi, wanita berusia empat puluhan itu ingin membelikan Jelita banyak hal, sebagai ganti barang hantaran. “Sebenarnya gak perlu, Ma.” Jelita merasa sungkan dengan kebaikan ibu mertuanya. Bukan sungkan sebenarnya, tapi merasa bersalah diperlakukan terlalu baik, sementara ia tak memperlakukan Arjuna sebaik itu. “Ini kayaknya bagus, Lita.” Melisa menarik satu gaun dari jejerannya, lalu mencocokkan di tubuh Jelita. “Coba pakai.” Melisa menyuruh Jelita untuk mencobanya. Tanpa membantah lagi, Jelita mulai masuk ke ruang ganti. Lalu, keluar setelah gaun itu terpasang rapi d
Arjuna menapaki langkahnya di tangga. Sejenak, ia berdiri di depan pintu kamar. Di mana di dalam sana telah menunggu seorang gadis yang ia tahu belum bisa menerima takdir sepenuhnya. Ah, Jelita tak menunggunya. Gadis itu mungkin hanya menunggu esok hari ajar bisa segera pulang ke rumahnya. “Bagaimana, Juna?” tanya Melisa saat Arjuna sedang duduk di depan televisi. “Apanya, Ma?” Arjuna balik bertanya. Sebenarnya ia mengerti arah pembicaraan sang mama. “Pernikahanmu.” Sejenak Arjuna terdiam mendengar pertanyaan sang ibu. Matanya memandangi wanita yang telah melahirkannya sedikit lama, ada sorot harapan juga khawatir di manik mata itu. Arjuna berpikir jawaban yang tepat untuk melegakan hati ibunya. Ia tak bisa melihat wanita itu terus-menerus merasa khawatir akan pernikahannya. “Baru beberapa hari, Ma. Jelita butuh pembiasaan dari semua yang terjadi.” Arjuna menjawab akhirnya. Memberi pengertian pada ibunya tentang sebuah kekhawatiran yang mungkin saja dirasakan semua ibu di dunia.
Setelah seminggu di Makassar, kini Arjuna dan Jelita kembali ke Jakarta. Salah satu alasan Jelita menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna, agar gadis itu bisa kembali lagi ke Jakarta, karena Arjuna pasti akan kembali bekerja dan tentu membawanya ikut serta. Mungkin jika Jelita tak jadi menikah saat itu, orangtuanya tak lagi mengizinkan gadis itu untuk kembali ke ibu kota. Jelita pasti akan berakhir di kantor papanya bekerja. Membosankan, karena gadis itu ingin memulai karirnya dari nol. Jelita dan Arjuna baru turun dari taksi yang ditumpanginya. Udara terasa dingin ketika tubuh itu diterpa angin malam. Keduanya memasuki pagar rumah yang kini akan ditinggali. Rumah yang sejak beberapa hari ditinggalkan Arjuna, demi kembali ke Makassar dan memenuhi undangan orangtua Jelita. Namun, yang terjadi malah Arjuna yang menikahinya. Gadis yang memakai kulot denim dipadu blues dan jilbab senada itu memandangi rumah di depannya. Rumah dua tingkat dengan halaman yang tak luas, hanya ada beberap
“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada. “Kerja.” Jelita menjawab singkat. Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain. Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu. Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar. Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadap
“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Mental pengecut!” Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan. “Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, te
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Bab 32*Matahari pagi di kota Makassar terlihat begitu cerah. Jelita memicingkan mata saat ia terjaga karena sinar mentari yang menembus melalui kaca jendela. Ia berpikir, pasti Arjuna yang menyibak gordennya. Namun, saat Jelita membalikkan badan, gadis itu tak menemukan sang suami di sampingnya Setelah disidang oleh kedua orangtuanya, mereka tidur di rumah Jelita. “Kami diam, bukan berarti nggak tau apa yang terjadi dalam pernikahan kalian. Dingin bahkan mungkin beku dalam hatimu, Jelita. Papa harap, esok lusa jika badai itu datang lagi, tak ada yang diam, Arjuna. Juga tak ada yang berlari dari masalah. Papa harap kalian bisa saling menyelesaikan, bukan saling menghindar.” Raihan menatap Jelita dan Arjuna bergantian. Bukan hanya setelah menikah dengan Jelita, tapi sebelumnya Arjuna bahkan sudah menganggap Raihan seperti ayah kandungnya. Tepatnya setelah lelaki itu kehilangan seorang figur ayah dalam hidupnya. Keduanya hanya mengangguk. Lalu, mereka sama-sama mengusap air mata di
Bab 31*Hari yang cerah setelah semalaman diguyur hujan. Makassar terlihat elegan dengan segala bangunan mewah. Perpaduan pantai, sunrise dan udara segar menjadi hal yang paling menyegarkan mata.Malam itu Arjuna dan Jelita beristirahat dengan tenang. Meskipun Arjuna sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan ibunya dan orangtua Jelita esok. Ia hanya merasa hubungan keduanya mulai membaik, tapi tetap saja ia tak sanggup membayangkan wajah terluka kedua orangtuanya.“Mama pasti kecewa banget ya.” Jelita berucap lirih. Wajahnya tertunduk tak sanggup menatap Arjuna saat ia mengatakan hari ini akan ke rumah ibunya.“Kita jelaskan semua, Lita. Kita hadapi sama-sama.” Arjuna menggenggam tangan sang istri, membelainya lembut lalu sejenak mengecupnya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Jelita tak menolak seperti biasanya. Tak juga memperlihatkan raut wajah tak suka saat ia melakukan itu.Ah, Arjuna bahkan mendengar kemarin ia mengucapkan tentang cinta di telinganya. Arjuna sudah bangun dari l
Bab 30*“Mama?” Arjuna dan Jelita saling menatap saat melihat ibunya duduk di sofa menghadap jendela. Duduk seolah memang telah menunggu keduanya sejak tadi.“Mama kenapa di sini?” tanya Arjuna pada sang ibu yang masih duduk dengan wajah dinginnya.“Mama yang harusnya tanya, Juna. Kalian pulang nggak bilang-bilang? Terus ngapain hujan-hujanan kayak gini.”Melisa bangkit dari duduknya, meninggalkan pemandangan gerimis yang masih terlihat di luar sana. Perempuan itu berdiri menghadap anak dan menantunya. Perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik itu menunjuk keadaan dua anaknya itu. Keadaan yang menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tak bisa berbohong. Tak bisa mengelak atas apa yang selama ini telah terjadi.Semua pekerja di hotel, Melisa tak bisa menjamin kepercayaannya. Namun, selama mereka bekerja, mereka tak pernah curang dana selalu mengikuti perintah dari perempuan itu.“Bu, saya mendengar dari resepsionis kalau Arjuna sedang di hotel. Mereka bilang, istrinya juga di s
Bab 29*Jam di ponsel telah menunjukkan pukul sembilan malam. Arjuna menatap bubur yang telah dingin itu terletak di atas nakas. Bubur yang sama sekali tak ingin disentuhnya. Setelah Jelita pergi, Arjuna hanya duduk di pinggir ranjang, tepatnya setelah menunaikan shalat isya. Lelaki itu bangkit, mengitari seluruh ruangan, lalu duduk lagi di sisi ranjang. Ia merasa sedang tak baik-baik saja.Pikirannya terlalu kalut saat ini. Entah, ia pun tak menyangka melakukan itu pada Jelita. Dan, setelah gadis itu tak lagi di hadapannya, bukan kelegaan yang ia dapatkan, melainkan resah dan perasaan galau memenuhi hatinya.Arjuna mengusap wajahnya dengan kasar. Di luar hujan turun begitu lebatnya. Semesta yang tadi baik-baik saja dengan cerahnya senja, tiba-tiba menurunkan hujan yang membasahi bumi, mendung secara tiba-tiba menggelayut di atas langit.Arjuna menyerah pada egonya, pada kemarahannya. Ia tak bisa memperkirakan ke mana Jelita akan pergi setelah diusirnya. Lelaki itu coba menghubungi
Bab 28*Sambil menunggu Arjuna siuman. Jelita membereskan apa saja yang berantakan di kamar itu. Perjalanan jauh sebenarnya membuat tubuh itu lelah dan ingin terbaring sebentar saja. Namun, ia tak ingin jika saat ia bangun nanti Arjuna pergi lagi darinya. Ia tak ingin lelaki itu menghindarinya lagi. Jelita harus menuntaskan semua kesalahannya sekarang.Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Jelita melangkahkan kakinya menuju sisi jendela. Ia menyibak gorden jendela kaca besar itu agar bisa menikmati keindahan dan seni alam yang dipuja setiap orang. Gadis itu duduk di sofa kecil di dekat jendela itu. Ia tersenyum perih melihat warna merah jingga yang menyilaukan matanya. Indah. Namun, keindahan apa pun tak menghibur hatinya jika ia belum mendapatkan maaf dari Arjuna.Jelita tersenyum sinis seorang diri, mengingat kenangan yang pernah ia lalu bersama Arjuna dan Aldi di pantai itu. Terlalu banyak kenangan manis yang memaksanya untuk mengingat hal itu. Namun, apa pun itu, ia tetap tak bi
Bab 27*Pukul delapan pagi, Jelita sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ia tak ingin ketinggalan pesawat yang akan mengudara ke Makassar. Sesuai dengan jadwal keberangkatan yang tertera, Jelita akan terbang pukul sembilan pagi. Satu jam sebelum itu, Jelita sudah ada di Bandara. Gadis itu benar-benar tak ingin ketinggalan. Andai saja semalam masih tersisa tiket yang akan berangkat ke sana, mungkin pagi ini Jelita sudah bertemu dengan Arjuna.Jelita memang tak tahu pasti di mana Arjuna sekarang. Namun, Jelita yakin Arjuna kemungkinan besar berada di Makassar. Tempat di mana ia selalu berlari jika pikirannya sedang kacau. Tempat lelaki itu menginap berhari-hari jika ia sedang tak suka pulang ke rumah karena ada ayahnya.Malam di mana Arjuna pergi dan tak menemani tidurnya, Jelita meringkuk sendirian dalam gelap. Meneguk rasa sakit dalam pekatnya malam tanpa cahaya, karena cahaya itu sendiri sebenarnya adalah Arjuna. Lelaki itu yang membuatnya nyaman dan tak merasa takut saat di samping
Bab 26*Jelita meninggalkan Kevin untuk memilih Arjuna. Berulang kali gadis itu mendengar Kevin memanggil namanya, tapi tak ia hiraukan. Jelita tak ingin membuat hatinya kembali ragu untuk pilihan yang salah. Jelita tak ingin salah untuk kedua kali.Jelita tak bisa membayangkan wajah kecewa orangtuanya jika ia memilih pergi bersama Kevin. Ia tak bisa lupa pada dosa atas perlakuannya pada Arjuna. Jelita tak bisa membayangkan akan menjadi perempuan seburuk apa jika ia berpaling dari itu semua.Kevin masih berdiri di depan cafe. Jelita bisa melihat tubuh itu dari balik spionnya. Gadis itu terus melaju hingga bayangan Kevin mengecil dan hilang saat ia berbelok menuju jalan raya.*Beberapa menit mengemudi, Jelita tiba di rumah. Ia membuka pintu dan tak melihat Arjuna berada di rumah. Padahal hari ini Minggu, dan saat Jelita keluar tadi, Arjuna masih di kamarnya. Jelita ingin berbicara dengan suaminya. Ia ingin mengatakan semua kesalahannya dan meminta maaf atas semua yang terjadi di bel
Bab 25*“Jelita, masih adakah kesempatan untuk kita?” Kevin kembali bertanya di setiap pertemuannya dengan Jelita.“Jika kau tak bahagia, apa yang bisa dipertahankan dari ikatan itu?”Jelita masih diam. Ia sungguh tak bisa memastikan keadaan hatinya. Ia tak mau Kevin pergi lagi dari hidupnya. Namun, di sisi lain, gadis itu merasa telah begitu jauh mengkhianati Arjuna, dan itu membuatnya sesak atas rasa bersalah. Jelita merasa telah menjadi gadis paling buruk untuk Arjuna, sementara hatinya ingin tetap bersama Kevin.“Jelita, kamu belum menjawab pertanyaanku.” Kevin berkata setelah beberapa saat menjeda.“Yang mana?” tanya Jelita tak mengerti. Ia tak mengerti karena begitu banyak pertanyaan yang diutarakan oleh Kevin dalam beberapa waktu ini.“Nyaman sama siapa? Aku atau suamimu?”Jelita menatap wajah Kevin yang penuh harapan itu. Benar, seperti yang lelaki itu katakan. Bahwa ia dan Arjuna tak mungkin bisa hidup layaknya pasangan lain. Bukan karena Arjuna tak mampu memberikan cinta ya
Bab 24*Pagi hari setelah sarapan bersama, Arjuna dan Jelita pergi ke tempat kerja masing-masing. Keduanya sibuk dengan pekerjaan yang begitu padat. Keduanya terlihat baik-baik saja, lebih tepatnya Jelita merasa bahwa Arjuna baik-baik saja, dan ia tak ambil pusing atas hubungannya dengan Kevin, karena Jelita pandai menyembunyikannya, dan Arjuna tak pernah menaruh curiga.Seringnya setelah pulang kerja, Jelita dan Kevin akan jalan bersama. Kadang hanya makan, atau duduk di bangku taman menikmati sore yang indah.Sejak pertemuan itu, keduanya semakin intens. Jelita sering menerima video call dari Kevin saat di rumah dan jauh dari pengawasan Arjuna. Bahkan senyum itu terkembang saat membalas chat demi chat Kevin sebelum gadis itu tertidur di kamar Arjuna. Seperti sore itu, keduanya kembali jalan bersama. Kevin seolah mengulang kembali kenangan pada tempat-tempat yang pernah didatanginya bersama Jelita dulu. Mereka memang tak punya banyak waktu, karena Kevin mengerti kapan Jelita harus