"Tapi, Ali bilang mereka tidak memiliki tabungan sepeser pun! Bisakah pakai uang tabungan kita dulu Rum?!”
Pertanyaan Mas Harso membuat seluruh nadi dan persendianku berontak. Apakah aku akan rela memberikan seluruh tabunganku untuk membiayai operasi orang yang telah berencana menikamku dari belakang?“Mas, lihat kan sekarang buktinya? Meskipun kita memberikan tumpangan gratis dan menanggung seluruh biaya hidup mereka tapi mana? Jangankan mereka berpikir untuk mengumpulkan DP rumah? Untuk dana emergency saja mereka tidak punya! Sia-sia saja semua yang Kamu lakukan buat mereka selama ini, Mas!” Akhirnya kutumpahkan uneg-uneg yang selama ini kupendam.“Iya, setelah ini Mas janji akan mencarikan mereka kontrakan biar mereka belajar hidup mandiri!” ucap Mas Harso.“Aku berangkat dulu, Mas!” ucapku tanpa menjawab pertanyaannya. Segera kuayunkan langkah hen“Harso, Reni kan masih sakit! Selama dia belum pulih, saya akan merawatnya di rumah kalian!” ucap Tante Haminah sambil menatap suamiku.“Apa?! Ide gila macam apa ini? Reni seenak hatinya mengajak orang lain tinggal di rumahku?”Aku maju selangkah mendekat pada kedua ibu dan anak itu. Kutatap lekat wajah Reni yang terlihat memang masih pucat.“Ren, alhamdulilah kalau Ibu kamu mau ikut rawatin kamu! Kebetulan Mbak sudah bayarin kontrakan buat kalian tinggal nanti, sayang kalau gak ditempati! Itu Mbak kasih gratis buat kamu di bulan pertama, ya itung-itung tanda sayang kakak buat adiknya,” ucapku sambil tersenyum dan mengerling pada adik iparku itu.Enak saja mau ajakin pasukan tinggal. Yang ada bisa jantungan aku menahan kesal. Sepertinya perangai Tante Haminah tidak jauh berbeda dengan anaknya.“Kho Mbak Rumi ma
"Kemana semua barang-barang itu pergi? Apakah di rumah ini ada hantu? Memang ada ya hantu yang suka dengan beras dan ayam?”Akhirnya aku mencari bahan masakan lain dalam kulkas untuk kumasak. Beruntung masih ada ba’so dan rebusan tulang iga. Sepertinya aku akan membuat capcay dan sop iga.Kusimpan kelapa ke dalam kulkas. Entah nanti akan kubuat apa. Jodohnya ternyata sudah diambil orang. Nasibnya kelapa menjadi tidak jelas seperti ayam surrundeng yang tidak jadi kumasak.Baru saja kumemutar kompor untuk merebus air terlabih dulu, sebuah notifikasi pesan masuk dari Mas Harso.[Rum, udah masak belum? Gak usah banyak-banyak masaknya, Mas makan di tempat Ali] tulisnya.[Ok, tumben Ali punya makanan lebih?] tanyaku.[Iya, untung ada Tante Haminah! Dia yang masak!] tulisnya.[Ooo….] Hanya
"Mbak Rum gak tahu ya? Utang dia ke saya juga belum di cicil sama sekali yang tempo hari! Terus sempat dia ngambil juga lima pcs katanya mau jualan online! Sampe sekarang bajunya gak balik, uangnya gak setor juga! Kalau ditagih alasanannya udah puanjaaanggg kayak rel kereta, Mbak!”“Ya ampuuun! Berarti yang dulu awal-awal dia nagmbil itu belum sama sekali bayar, ya?” Aku memekik kaget.“Iya, Mbak Rum! Memangnya kenapa kho Mbak Rum yang nyariin? Biar aja suruh pada usaha sendiri!” ucap Bu Marni lagi.“Rum juga sih sebenernya males nyariin, tapi tadi Ibunya Reni datang dan nanyain itu ya kali katanya kalau jualan bisa cepet lunasin utang ke Rum, dia lagi susah uang katanya!” jelasku.“Oalaahhh dia ngutang ke Mbak Rum juga? Tapi iya juga sih, ya kalau dia ada kerjaan lain mungkin bisa dapetin duit buat bayar utang. Kemarin s
POV HAMINAHSepulangnya Kakak Ipar si Reni aku masuk kembali ke dalam. Kulihat Reni masih tiduran sambil memainkan ponselnya.“Ren! Kho kamu gak nemui Rumi?” tanyaku.“Males, Mah! Dia juga paling gak mau ketemu Reni! Mbak Rum itu sok kaya dan sok majikan banget!” ucap Reni.Aku pun sih sebetulnya melihat jika Rumi itu sedikit angkuh, tapi tidak apa-apa selama aka masih bisa mendapatkan keuntungan darinya aku bisa berteman. Terlebih aku butuh alasan untuk tinggal di sini lebih lama lagi bahkan Ketika Reni sudah sembuh nanti.Di sini setidaknya aku tidak perlu pusing memikirkan makan. Aku bisa menumpang pada anak menantuku. Tidak perlu repot memikirkan uang kontrakan. Setidaknya beban hidupku menjadi lebih ringan. Terlebih memang di tempat lamaku sudah pusing dengan orang-orang yang menagih utang.Dengan car
POV RUMIHari itu aku dikejutkan dengan kedatangan Ali. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di teras depan. Mas Harso yang baru saja selesai sarapan menghampirinya. Aku membuntutinya dari belakang.“Li, ngapain pagi-pagi ke sini? Tumben?” tanya suamiku. Ali terlihat canggung dan melirik kearahku.“Hmmm … maaf Mas, Mbak … Ali mau minta tolong sekali lagi!”“Minta tolong apa?” Mas Harso duduk di kursi rotan seberangnya. Sementara aku masih berdiri menatapnya.Ali mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Kemudian dia menyimpannya di atas meja.“Ali mau pinjem uang, Mas, Mbak! HP Ali rusak dibanting Reni semalem … Mana Ali kan butuh koordinasi kerjaan menggunakan ponsel … tapi bayarnya nyicil, ya!” ucapnya dengan wajah memelas.Mas Harso menarik napas panjang. Dia meno
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari