Andini mengabariku jika dia kini sudah memiliki pengaruh cukup besar di perusahaan. Selama tiga bulan ikut memantau pekerjaan bagian business development, akhirnya dia sudah diberikan kewenangan untuk mengontrol cost di perusahaan. Sepertinya Pak Hamdan masih tidak tahu, jika putrinya sudah menaruh curiga.
Sore itu aku sedang menunggu Mas Indra pulang. Setelah semua pekerjaan selesai,aku duduk santai di teras. Satu mocacino panas kusiapkan untuk memanjakan diri sendiri. Tidak lepas dariku sebuah gawai yang senantiasa menjadi teman berbagi cerita.
Tiba-tiba kumelihat bayangan seseorang melenggang dari gerbang seberang rumahku. Tetanggaku yang luar biasa kulihat sedang berdiri memijit bel. Segera kuberjalan dan membukakannya.
“Sore Mbak Resti!” Bu Minah sudah berdiri sambil memasang senyum di wajahnya.
“Ya Bu Min.” Aku mengangguk menyapanya.
<"Maukah Kau menikah denganku?”Bu Minah makin tersipu. Terlihat dia mengangguk malu-malu dan menjawab iya. Sang MC menggodanya. Hadirin dibuatnya berbisik-bisik dan tertawa.“Mohon perhatian! Gak kedengaran nih suara calon pengantin wanitanya!”Kebisingan berhenti. Namun tiba-tiba perhatian kami teralihkan pada kemunculan dua orang wanita---Andini dan ibunya.“Kalau kamu mau menikah lagi, silakan! Tapi ceraikan aku dulu!” teriak Ibunya Andini dengan mata tajam menatap Pak Hamdan.Kini semua perhatian beralih pada sahabatku dan Ibunya. Bu Minah yang sedang menunduk dan tersipu-sipu menoleh kearah datangnya suara. Wajahnya terlihat kaget dan bibirnya berucap pelan tetapi masih terdengar.“Arisa?” Mata Bu Minah membulat. Wajahnya terkejut luar biasa. Dirinya mematung menatap wanita yang usianya ja
Beberapa hari semenjak kepergian Bu Minah. Rumah megah empat lantai itu kulihat disegel oleh Bank. Aku meliriknya sekilas tanpa berani bertanya macam-macam. Rumah di sampingnya yang terlihat kecil juga selalu terlihat sepi, rumah itu tidak lain adalah rumah Lela.Sejak kejadian terungkapnya statusku, Lela tidak terlalu sering mengumbar kesombongan masa lalunya. Aku bersyukur selama beberapa bulan terakhir bisa merasakan hidup tenang. Namun ternyata aku salah. Lela diam-diam masih suka mengirim pesan pada suamiku.Mas Indra yang selalu menganggapnya sebagai saudara tidak pernah mengerti kekesalanku. Dia selalu menganggapku berlebihan setiap kali aku melempar komplen tentang Lela.Aku tidak suka ketika dia datang hanya sekedar mengantar camilan untuk teman minum kopi Mas Indra. Hey, semoga suatu hari nanti wanita itu sadar, jika teman minum kopi Mas Indra itu bukan camilannya, tapi aku. Aku lebih dibutuhkan Mas Indra dibanding camilannya.
Aku tidak main-main dengan ucapanku. Malam itu juga aku langsung mengakses nomor whatsapp Mas Indra. Meskipun sebetulnya aku malas melihat isi chat mereka yang menyebalkan itu. Sekilas kulihat deretan itu sangat panjang.Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mas Indra sudah terlelap ketika sebuah notifikasi pesan masuk ke whatsappnya. Pesan dari seseorang yang sedang kubenci namanya---Lela.[Mas, besok jemputnya di Cafe Seroja saja ya! Mas Ardi masih shift malam soalnya jadi gak bisa jemput aku! Sekalian ada yang mau aku obrolin bentar!] tulisnya.[Ok, nanti aku bookingkan mejanya takut penuh,] tulisku. Kesempatan emas ini akan kugunakan untuk membuatnya jera.[Eh, tumben balesnya cepet. Biasanya pesanku kamu anggurin!] emoticon tersenyum berhiaskan hati dikirimnya.Ceh, menjijikan pikirku. Jadi memang dia yang kegatelan, sudah didiamkan tetap saja usaha. Dasar wanita tidak tahu etika.[
Eh dia berdiri? Mau kemana pikirku. Ternyata dia beralih duduk ke samping Mas Indra. Ditariknya kursinya lebih dekat. Hatiku semakin panas melihatnya. Mas Indra menarik kursinya menjauh, tetapi tangan wanita itu menahannya.“Mas bentar ih,” ucapnya sambil menahan kursi Mas Indra.“La, tolong jaga jarak kita bukan muhrim, apa kata orang nanti kalau lihat duduk sedekat ini.” Mas Indra berdiri hendak menghindar tetapi tangan wanita sialan itu meraih lengannya. Kulihat Mas Indra segera menepisnya.“Mas, aku kelilipan!” ucapnya sambil menutup satu matanya.Mataku sudah penuh dengan bara. Kulihat wajah Ardi lebih merah padam. Mas Indra diam sejenak kulihat dia melirik ragu.“Tolongin ini Mas, mataku kelilipan,” ucapnya dengan gaya seksi dan manja, menyebalkan.Awas saja Mas Indra kalau menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Puasa nanti kam
Aku masih merebahkan tubuhku di atas kasur premium di lantai dua rumahku. Kamar yang ukurannya jauh lebih luas dari pada kamar utama yang selama ini kupakai.Ketukan pada pintu terdengar dari luar. Kartu akses kamar ini sengaja aku sembunyikan. Hanya boleh digunakan sesekali jika sedang jenuh atau bosan.“Res, buka pintunya!”Kudengar suara Mas Indra memanggilku. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Sebetulnya enggan untuk keluar, tetapi masalah tidak akan selesai jika hanya di diamkan.“Res, mamah mau bicara dengan kita!” ucapnya lagi.Dengan malas aku turun dari atas ranjang dan membuka gagang pintu. Mas Indra sedang berdiri di sana sambil menatap daun pintu yang terbuka.“Ayo, temuin mamah dulu!” ucapnya.Aku turun mendahuluinya tanpa berkata apapun. Aku yakin kalau Mas Indra pasti akan di ajak ibunya ke rumah Lela untuk minta maaf.
Dia menatap sinis ke arahku dan melempar senyum penuh kemenangan.“La, mamah sudah membawa Indra dan Resti! Kami mau minta maaf-,”“Bukan, Mah!”Aku memotong ucapan Ibu Mertuaku. Wanita itu mendelik ke arahku yang memotong ucapannya.“Aku datang bukan untuk minta maaf, tetapi menyelesaikan urusan masa lalu!” ucapku.Tatapan mataku tak sedikitpun gentar pada wanita yang kini seolah bak di atas angin itu---Lela.“Ck, masih saja besar mulut kamu, Res!” ucapnya sambil menatapku kesal. Aku tidak bergeming.“Kalian berhutang budi pada keluargaku, kalau bukan karena pertolongan Papaku mungkin dulu Mas Indra hanya tinggal nama,” ucapnya dengan gaya sombongnya. Aku hendak melangkah tetapi Mas Indra merengkuh pinggangku.“Ssst, Sayang sabar! Kita ke sini untuk menyelesaikan masalah!”
POV AUTHORSetelah dua jam perjalanan akhirnya wanita bertubuh kurus itu tiba di tempat tujuan. Kota kelahiran di salah satu kota di jawa barat.Angin pantai yang sejuk menyambutnya, berbeda dengan tempat yang selama ini dia tinggali yang sudah panas dengan polusi. Di kampung halamannya pun memang panas tapi karena jaraknya dekat dengan pantai maka selalu ada hawa sejuk menemani hari-hari mereka. Sebut saja kampung halaman wanita itu bernama kota kenangan.Wanita itu turun dan memberikan beberapa lembar uang yang masih dimilikinya. Dia turun dan memasuki halaman rumah yang cukup besar dengan model teras yang lebar.Di kampung, rata-rata tipe rumah memiliki area depan atau teras yang cukup lebar. Bisanya mereka bertetangga dan rumpi ria sambil makan bersama, atau sekedar memipili sayur bareng-bareng sebelum masak.“Assalamu’alaikum!” Wanita itu mengucap salam setelah meletakkan dua kopernya.
POV AUTHORKedua wanita yang tengah bersitegang itu menoleh. Terlihat Pak Izan sudah terkulai dan terngah-engah memegang dadanya. Tubuhnya ambruk, meringkuk di lantai. Kedua mata wanita itu membulat dan memburu lelaki yang tergeletak itu.“Bapak!” pekik mereka bersamaan.Bu Haminah dan Riana segera berlari menghampiri lelaki sepuh itu. Bu Haminah membangunkannya sementara Riana meneruskan langkahnya, berlari mencari Sabar---suaminya.“Kang, Bapak Kang! Ayo kita bawa ke rumah sakit!” teriaknya sambil berlari mencari keberadaan Sabar. Lelaki itu muncul dari belakang rumah sambil memegang pakan ikan.“Ada apaan sih, Na!" tanya Sabar"Bapak kena serangan jantung!” ucap Riana dengan mata membulat, tangan gemetar dan napas tersengal-sengal.“Astaghfirulloh!”Sabar menjatuhkan pakan ikan yang di pegangnya. Dia segera
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari