Di lain tempat, Ravin kembali menemui Alana yang masih dalam masa pemulihan. Di sana ada bayinya yang sedang menyusu. Ravin tersenyum hangat dan mengecup pucuk kepala istrinya itu. Lalu mengusap lembut kepala mungil bayi cantik itu lalu mengecupnya juga.“Gimana keadaan Ayahmu?” tanya Alana.“Dia belum siuman!” jawab Ravin dengan senyuman getir.“Kira-kira apa yang akan terjadi setelah dia tersadar nanti?” Alana terlihat resah.“Semua akan baik-baik saja. Tenanglah.” Ravin mengusap lembut rambut istrinya.“Oh ya, kita belum memberikan nama untuk bayi ini. Mau di beri nama siapa ya?” Alana tersenyum menatap bayinya.“Aku sudah siapkan nama yang cantik untuknya. Syahla Faida Mahesa.” Ravin tersenyum lebar menyematkan nama bayi itu.Alana tersenyum bahagia. “Nama yang sangat indah, apa artinya?”“Syahla adalah arti dari kelembutan, Faida arti
Di lain tempat, Tigor memberitahukan tentang Alana pada Maria. Wanita paruh baya itu terkejut dan segera ingin bergegas ke rumah sakit. Tentu saja berniat menemani putranya untuk melakukan tes DNA.Sementara Tigor sangat bersemangat bukan karena tes DNA, melainkan karena dia sesungguhnya hanya ingin bertemu dengan wanita yang masih sangat ia cinta, yaitu Belva.Setelah menanyakan pada petugas, akhirnya Maria berada di lantai 4 ruangan VVIP untuk pasien pemulihan pasca bersalin. Di sana ia bertemu dengan Belva dan mengatakan apa tujuannya datang ke tempat itu.“Sebelum itu, Bu Maria harus bicara dulu sama Alana. Bagaimanapun itu kan bayinya Alana, jadi harus dapat izin darinya juga!” ujar Belva.“Iya, saya mengerti. Boleh saya bertemu dengannya?” tanya Maria. Ia sebenarnya adalah seorang ibu yang sangat baik hati dan bijaksana. Semula ia sempat membenci Alana.Namun, keadaan seperti ini mengharuskannya untuk mengenyampingkan
Ravin mengernyit heran dan menggeleng pelan. “Ilmu agamaku tidak sebagus kamu, Riz. Aku masih buta soal begituan! Memangnya ada apa?” “Ini tentang anak kalian. Apa kamu akan memberikan anak itu pada keluarga Bu Maria setelah tahu anak itu bukan darah dagingmu?” Rizwan semakin serius. “Entahlah, mereka pasti akan memaksa mengambilnya!” ucap Ravin sangat pasrah. Rizwan beristigfar lirih. “Tidak begitu, Rav. Hukum dalam islam mengatakan jika anak hasil perbuatan zina itu tidak akan bernasab pada ayah biologisnya pun bukan pada ayah yang menjadi suami ibunya. Nasab itu akan tetap bersama ibu kandungnya. Jadi, anak itu milik Alana dan milikmu.” Ravin menoleh dan menautkan kedua alis. Mungkin ia belum terlalu mengetahui hal tersebut. “Benarkah begitu?” Ravin termangu. “Itu benar. Anak itu akan menjadi hak Alana, dan karena dia lahir di tengah pernikahan Alana denganmu, maka dia jadi anakmu meskipun nasabnya tetap pada ibunya. Bayi itu juga t
Setidaknya saat ini, Belva sudah merasa lebih tenang dan lega. Beban dalam hatinya sudah terlepaskan, dan tinggal satu pengikat lagi yang belum terlepas, yaitu perpisahan dengan Ravin.Belva memutuskan untuk tinggal dengan neneknya selama beberapa hari sampai keadaan Oma Tarra benar-benar pulih. Mengingat keadaan di Bali pun tampaknya tidak terlalu urgent membutuhkannya. Apalagi saat mendengar pernyataan Maria yang mengatakan ingin menemani Alana yang masih terbaring lemah. Entah sentuhan dari mana sehingga Maria mendadak iba pada Alana.Belva duduk di kamarnya dengan Cindy, mereka berbincang santai sembari merapikan barang-barangnya.“Bel, aku masih bingung. Memangnya peraturan dalam agamamu itu gimana sih? Ravin dan Alana kan sudah menikah, lalu Ravin diam-diam menikahi kamu, tanpa jujur tentang pernikahannya dengan Alana. Memangnya pernikahan akan tetap sah kalau begitu?” tanya Cindy. Sejak awal ia hanya tahu kalau Ravin berkhianat saja, tetapi be
Ravin dan Rizwan saling menoleh. Memang tidak ada pilihan lain. Namun, Ravin masih agak ragu.Maria yang melihat keraguan itu langsung kembali berseru, “Tenang aja, keponakan saya itu muslim juga, kok. Dia muslim dari lahir. Jadi, gak apa-apa kan kalau ngasih ASI ke Syahla?”Rizwan tersenyum dan berkata, “Iya, tidak apa-apa. Bagaimana, Ravin?”“Iya saya gak keberatan, kok. Hanya saja kalau sewaktu-waktu Alana menanyakan bayinya, Bu Maria harus siap!”Maria mengangguk setuju. Setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk bisa merawat cucunya.***Berita tentang siapa ayah biologis dari bayi Alana pun sudah sampai ke telinga Givari. Mengingat kondisinya masih lemah, ia tak bisa bany
Selama dalam perjalanan itu. Belva banyak merenungi apa saja yang sudah terjadi dalam hidupnya belakangan ini. Ada banyak tentunya yang telah terjadi, membuat ia hampir putus asa bahkan nyaris tak percaya lagi tentang cinta.Tak bisa dipungkiri, kenyataan tentang siapa Tigor dan siapa Alana, benar-benar membuatnya sangat terpukul. Dalam hatinya terus bertanya, mengapa ia harus dipertemukan dengan orang-orang itu, mengapa pula Alana harus hadir di antara kedua lelaki itu?Tentu saja, semua tak akan terjawab dengan mudah. Hanya satu kata yang dapat menjawab semua pertanyaan itu. Takdir. Ini adalah takdir kehidupan yang harus seorang Belva lewati.“Apa mungkin karena hidupku sejak dulu terlalu enak, membuat Allah memberikan ujian begitu berat padaku saat ini? Ya Rabb... jika benar begitu, maka ampuni segala dosa-dosaku.” Belva menghela napas dan terus menatap keindahan alam dari tempat ia berada saat ini.“Tapi aku hanya manusia biasa, aku
Pengacara pun mencatat baik-baik gugatan Belva untuk bercerai. Segala bukti pun sudah dipegangnya. Tidak sulit untuk mendapatkan semua bukti tersebut. Belva merasa sangat lega, karena Ravin tak bisa lagi berkutik.Hanya tinggal hitungan hari, Belva dan Ravin akan resmi bercerai. Ravin langsung bergegas meninggalkan kamar itu, tak ada yang mencegahnya, karena mungkin saat ini tak ada yang peduli lagi dengannya.“Terimakasih sudah menghargai keputusanku, Ayah Givari. Aku lega sekali sekarang.” Belva tersenyum hangat.“Sudah menjadi tugasku, Belva. Anggap saja ini sebagai penebus kesalahan kami padamu, karena telah keliru memilihkan pasangan hidup untukmu! Kamu berhak bahagia setelah ini,” ujar Givari lembut. Belva sudah seperti putrinya sendiri, meskipun impian untuk memiliki keturunan darinya sudah tida mungkin lagi.“Sekali lagi terimakasih, Ayah. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan,” ucap Belva
“Soal itu ... aku benar-benar minta maaf, Tigor. Rasanya ... kemarin itu aku hanya sedang keliru saja menilai perasaan sendiri.” Belva menatap ke arah lain dengan tatapan kosong.Kalimat itu membuat Tigor tercenung. Hatinya mendadak merasa perih.“Kenapa begitu? Bukankah kamu juga mencintaiku, Belva?” tanya Tigor yang kini tubuhnya ia sedikit condongkan ke arah depan. Matanya menatap dalam ke arah Belva yang tidak menatapnya.Belva terdiam tak menjawab.“Jawab, Belva. Kamu meragukan cintaku?” Tigor kembali menekan.Belva bergeming. Ia tidak berkomentar lagi, kemudian lebih tertarik membahas hal yang lebih serius daripada soal perasaan masing-masing.“Ada hal lain yang lebih penting. Bagaimana hasil DNA kemarin? Apakah bayi itu benar anakmu?” Belva menatap serius mengalihkan pembicaraan.Tigor membuang napas pelan, sejenak terdiam dan akhirnya mengangguk.“Ya, dia anakku!&rdq
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r