Tubuhnya sedikit melemah, Arsana tidak bisa membiarkan dirinya tumbang saat ini.
Arsana tidak ingin preman itu berhasil memakai tubuh nya.
Akan sangat mengerikan jika itu terjadi.
Arsana menahan rasa sakitnya. Tersenyum miring menatap tajam preman yang memukulnya dengan kayu.
Para Preman tatkala ketakutan melihat Arsana yang belum tumbang juga. Kayu berukuran sedang itu tak mampu membuat Arsana pisan. Mereka sangat menginginkan Arsana pingsan, agar bisa memakai tubuh Arsana yang begitu menggoda.
Arsana mengambil lalu menodongkan pistol yang sempat terlepas dari tangannya.
Dor!
Dor!
Arsana membunuh semua preman tanpa menyisakan satu orang pun.
Arsana menghampiri Edward yang masih saja pingsan. Arsana tidak ingin meninggalkan Edward begitu saja, lelaki itu telah baik padanya.
“Edward!”
Arsana membangunkannya, tetapi Edward tak kunjung bangun membuat Arsana kebingungan harus berbuat apa.
"Edward, Edward!" panggil Arsana lagi seraya menepuk-nepuk pipi lelaki itu.
"Sial! Apa aku tinggalkan saja di sini, ya?" gumam Arsana, akan tetapi dia tak tega.
Arsana mencoba mencari air untuk menyiram wajah Edward, sampai tetapi Edward tak kunjung membuka matanya.
“Ayolah Edward bangun! Kamu akan mati di sini jika belum bangun juga.” Arsana kembali menepuk pipi Edward.
Arsana sangat yakin nanti akan ada banyak preman yang datang. Suara tembakan itu akan memanggil mereka datang ke gudang. Arsana tidak akan sanggup lagi melawan mereka.
Arsana terpaksa menggendong Edward sampai ke mobilnya, membawa mobil Edward kerumah sakit.
Arsana melihat jam di tangannya, “Sial! Zayver pasti sudah pulang.” Arsana bermonolog sendiri lalu beranjak pergi dari rumah sakit tanpa menunggu Edward sadar.
Arsana berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi. Vila milik Zayver begitu besar. Arsana begitu gelisah berdiri di depan gerbang, Arsana terlihat kebingungan mencari alasan yang tepat bila Zayver bertanya tentangnya.
Hari mulai gelap, Arsana dengan langkah kaki terasa berat masuk kedalam.
“Dari mana saja kamu Arsana?!” teriak Zayver yang berada di meja bar, tak jauh dari Arsana.
Zayver meneguk segelas wine dari gelas kecil sekaligus. Zayver melempar gelas itu kesembarangan arah.
Tatapan tajamnya begitu menusuk ke arah Arsana. Berjalan mendekati Arsana menarik Arsana dan menyeretnya ke dalam kamar.
Arsana belum sempat mencari alasan Zayver sudah membungkam bibirnya. Ciuman itu sangat kasar dan Arsana tidak menyukainya, belum lagi bau alkohol yang menyeruak di hidungnya.
Zayver mendorong Arsana ke atas ranjang, hingga terjerembab
“Zayver, mengapa kamu sangat kasar sekali. Sakit!”
Arsana memasang mimik cemberut, merapikan rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.
Belum juga selesai Zayver menindih tubuh Arsana dengan kedua tangannya yang ditahan di samping kanan dan kiri.
"Apa peduliku, hah?! Beraninya kamu keluyuran sampai larut malam." bentak Zayver sampai rahangnya mengeras.
“Zayver, aku bosan berada di dalam rumah terusmenerus. Aku seorang fotografer dan aku perlu kebebasan, itu pekerjaanku sebelum menikah denganmu. Lagi pula pernikahan ini bukan keinginan kita.”
Belum sempat Zayver membalas perkataan Arsana. Arsana telah kembali berkata, “Oh! Aku tahu mengapa sikapmu seperti suami yang takut kehilangan istrinya. Apa kau memang menganggapku sebagai istri sahmu Zayver?”
Arsana tertawa mengejek, di saat Zayver terdiam.
Zayver sendiri tidak tahu dengan sikapnya.
Bukankah dia menyukai Arsina? Lantas apa pedulinya pada Arsana?
Plak!
Zayver menampar Arsana yang sedang menertawakannya.
“Berani sekali kamu tertawa!”
Zayver mencengkram kedua pipi Arsana
“Dengarkan aku baik-baik. Aku hanya menginginkan tubuhmu saja! Tidak ada yang lain dan kau memang istri sahku. Jadilah istri yang penurut atau kau akan menjanda.”
Zayver melepaskan cengkramannya dengan kasar. Melepas semua pakaian yang melekat pada Arsana.
Brett!
Zayver merobek kancing kemejanya dengan sekali tarikan.
Bless!
Zayver menerobos pertahanan Arsana dengan sekaligus.
“Sakit! Bisakah kamu pelan-pelan saja?!”
Zayver mana peduli dengan keluhan Arsana. Zayver hanya menikmati apa yang dirasakannya saat ini.
Air mata Arsana terus saja keluar membasahi kedua pipinya yang bercampur dengan keringat, merasakan setiap hentakan yang keras diiringi dengan irama yang teratur.
Arsana bukanlah wanita yang mudah menangis, kecuali berhadapan dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Arsana benar-benar lemah tak berdaya.
Arsana bisa saja berontak melawan Zayver, tetapi percuma saja Zayver telah berhasil merenggut kesuciannya kemarin malam. Arsana hanya pasrah menikmati setiap sentuhan Zayver yang kejam.
Zayver menarik kasar rambut Arsana, membalik tubuhnya berulang kali Arsana seperti babi guling yang dipanggang di atas bara api. Kulit Arsana yang putih dibuat memerah akibat tamparan Zayver berulang kali.
“Zayver, hentikan!” Arsana meminta Zayver untuk berhenti.
Arsana merasa muak dengan perlakuan Zayver padanya. Arsana makin benci Zayver. Berjam-jam Zayver melakukannya.
“Sebut namaku.”
Arsana tidak menuruti perintah Zayver. Sejak tadi mata Arsana sudah terpejam. Arsana tidak ingin melihat wajah Zayver yang terus menatap padanya.
Arsana terpekik Zayver mencengkram lehernya cukup kuat hanya dengan satu tangan. Zayver mencekik leher Arsana tanpa berhenti menggerakkan pinggangnya.
“Le-lepaskan tanganmu.” suara Arsana terbata-bata.
“Sebut namaku Arsana! Apa kamu tuli?!” bentak Zayver.
Arsana memegang tangan Zayver, menarik cengkramannya yang tidak bisa lepas.
“Lepaskan tanganmu terlebih dahulu.”
Zayver melepaskannya. Tenggorokan Arsana terasa tidak nyaman. Arsana berusaha menuruti apa kata Zayver, tidak ingin Zayver mencekiknya lagi.
“Zayver.”
“Sekali lagi!”
“Zayver–Ah!”
Arsana merasakan hentakan yang begitu dalam. Zayver mengerang di saat cairan kental itu telah menyembur di dalam rahim Arsana. Tubuh besarnya ambruk seketika.
Arsana menggulingkan Zayver ke samping, setelah beberapa saat membiarkan Zayver tertidur di atasnya.
Dengan hati-hati Arsana hendak turun dari atas ranjang.
“Ah …” Arsana terkejut dengan ulah Zayver.
Zayver menari tangan Arsana sampai kembali tertidur di sampingnya, memeluk Arsana dengan erat.
“Zayver apa yang kamu lakukan? lepas!”
“Biarkan aku memelukmu.” lirih Zayver.
Arsana terdiam, baru kali ini Arsana mendengar suara Zayver berkata lembut padanya.
“Zayver, kamu mengizinkan aku keluar rumah-kan? Aku hanya ingin melihat keindahan tempat-tempat yang ada di sini.”
Zayver membuka matanya, melihat Arsana dengan tatapan seakan ingin menerkamnya kembali.
“Arsana, apa kau tidak tahu di mana kita sekarang?”
“Ya, aku tahu kita berada di pelosok.”
“Bagaimana jika nanti bertemu dengan babi hutan?” Zayver mencoba menakuti Arsana.
“Oh, aku akan say hello …”
Zayver mendengus dengan jawaban Arsana yang tidak memuaskan.
“Ada apa? Apa kamu sedang khawatir kepadaku?”
“Arsana, kau pikir aku peduli?! Sudah aku katakan sebelumnya aku hanya menginginkan tubuhmu.”
“Baiklah! jika begitu, kamu telah memberiku izin. Sekarang berikan aku uangmu, aku akan membuka studio foto di sini untuk pekerjaan sampinganku.” ucap Arsana dengan percaya diri.
“Itu tidak akan laku.” Zayver meremehkan niat Arsana.
“Tidak masalah, lagi pula pekerjaan ini aku anggap sebagai hobiku. Aku akan membuka studio disaat aku sedang mengedit foto klienku.” Arsana terus mencoba menyakinkan Zayver agar bisa terbebas pada siang hari. Arsana memiliki tujuan yang harus segera diatur.
Zayver bangkit dari atas ranjang tanpa berbicara sepatah katapun. Meraih pakaiannya lalu melempar sejumlah uang pada Arsana.Arsana mengepalkan tangannya marah pada perlakuan Zayver yang melempar uang layaknya pelacur. Arsana mengambil uang yang cukup banyak itu. Arsana beranjak dari ranjang, segera membersihkan diri. Rasa ngantuk yang sebelumnya menyerang–tak lagi dirasakannya. Arsana memilih membuka ponselnya, mengabari atasannya untuk segera mengatur tempat yang diingin Arsana. Arsana meminta pada bosnya untuk dibuatkan markas. Banyak rencana yang harus disusun secepat mungkin. Apalagi tugas Arsana sebagai agen bukan hanya satu. **** Setelah berhari-hari renovasi studio yang diinginkan Arsana, sekarang sudah siap. Arsana duduk di depan komputer yang terhubung dengan printer di sampingnya. Arsana terlihat seperti penjaga toko, begitu serius menatap komputer di depannya. Apalagi Arsana bukan hanya sekadar menjaga toko atau guru relawan, Arsana juga harus bekerja sebagai agen
Zayver menurunkan Arsana di atas ranjang. “Zayver, biarkan aku membersihkan diri terlebih dahulu.” Arsana mengira Zayver akan menerkamnya di atas ranjang seperti biasanya, tetapi dugaannya salah. Zayver kembali mengangkat Arsana membawanya ke dalam kamar mandi.Arsana menatap punggung Zayver dengan tatapan tak percaya. Zayver menyuruh Arsana membersihkan diri lalu tidur setelah makan malam. Lelaki itu tidak melakukan apa pun padanya, hanya mengobati luka lecet di kaki Arsana dan pergi begitu saja. ****Pada keesokan harinya, Arsana telah kembali bekerja.Berangkat pada pagi hari, seperti biasanya menjadi guru relawan, lalu pergi ke studio foto setelah pulang mengajar pada siang hari. Setelah tiba di studio Arsana masuk ke dalamnya, tetapi untuk saat ini Arsana masih menutup rolling door di tokonya. Ada sesuatu yang harus Arsana kerjakan. Arsana mulai masuk ke sebuah ruangan yang seharusnya dijadikan kamar tidur, tetapi karena tidak tinggal di sana–sehingga Arsana merubahnya me
“Zayver,” Arsana meminta Zayver untuk berhenti. Arsana terlalu penasaran dengan darah yang ada di tangannya. Jika itu darah miliknya tidak mungkin Arsana tidak merasakan sakit. “Diamlah! Dan ikuti permainanku.” bentak Zayver“tapi-” Lagi-lagi Zayver membungkam Arsana dan melepaskan semua yang menempel di tubuh Arsana. Arsana menautkan keningnya, melihat Zayver tak seperti biasanya. Zayver tidak melepaskan pakaian hitam yang kini sedang dipakainya. Apa yang terjadi dengannya?Arsana terus bertanya-tanya, menatap ke arah dada Zayver tetapi sialnya baju hitam itu tidak bisa memperlihatkan apa yang ingin Arsana lihat. Arsana menjulurkan tangannya hendak menyentuh dada Zayver. Bless! “Ah!” Zayver telah lebih dahulu menghentakkan beda yang telah mengeras itu ke dalam milik Arsana. Zayver mencengkram erat tangan Arsana yang ingin menyentuhnya. Dalam keadaan terluka, Zayver berusaha keras untuk menyembunyikan luka gores yang disebabkan oleh pisau. Zayver tidak ingin Arsana mengeta
"Aku sudah memberitahumu, kau melupakannya ciuman dariku. Sekarang pergilah!" titah Zayver, memberikan sebuah kunci mobil ke tangan Arsana, setelah selesai mencium bibir Arsana. Arsana melihat kunci mobil, matanya membesar melihat kunci mobil yang Arsana tahu jika mobil yang diberikan Zayver adalah mobil anti peluru."Zayver ini—" perkataan Arsana terpotong dengan ucapan Zayver."Pakai mobil ini dan jangan pulang melewati jam yang aku tentukan. Untuk beberapa hari ini, aku harus kembali pulang. Ada urusan kantor yang harus aku selesaikan di sana, dan aku akan kembali ke sini lagi setelah selesai. Jadi aku tidak akan mengajakmu pulang. Kita akan tinggal cukup lama di sini."Arsana seperti mendapatkan lotre, inilah kesempatan yang Arsana tunggu. Arsana memasang wajah tanpa ekspresi apa pun, walaupun di dalam hatinya ingin sekali berjingkrak-jingkrak karena Zayver akan pulang ke kotanya terlebih dahulu."Jadi, aku sendirian di sini?" Arsana berpura-pura seolah-olah tidak mau ditinggal s
Arsana masih sibuk berada di ruangan rahasia, bahkan studio foto tidak dibuka olehnya. Arsana masih berusaha mencari bukti yang harus di dapatkannya. Mata Arsana tiba-tiba tak sengaja melihat burger yang ada di samping laptop dengan gambar burger yang ada di laptopnya. Gambar burger yang di laptopnya adalah burger pertama saat di restoran dan burger yang di sampingnya saat ini adalah burger kedua. Arsana melihat burger yang ada di dalam laptop tersebut sangat berbeda dengan yang dibawa pulang olehnya. “Ternyata mereka punya dua bahan utama? mengapa aku baru kepikiran sekarang.” monolog Arsana, sambil terus menatap burger yang ada di dalam laptopnya. Burger itu terlihat pucat keabu-abuan, sedangkan daging sapi yang ada di dalam burger kedua terbuat dari daging sapi asli.Arsana tersenyum senang, tidak sia-sia seharian berada di ruang rahasia nya. ****Arsana telah tiba di vila milik Zayver, mata Arsana membulat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.“Arsana!” Matteo terkejut
Arsana mengikat rambut hitamnya dengan wajah yang kini dipoles dengan make-up tebal, membuat wajah Arsana selalu terlihat berbeda ketika menggunakan make-up.Arsana tidak pernah menggunakan make-up kecuali jika sedang menjalankan misi atau bertugas."Apa yang sebenarnya harus kita bantu?" tanya Zahra, yang baru saja bangun dari tempat tidur Arsana."Aku ingin kalian membantu saya mengalihkan perhatian penjaga yang berada di depan," kata Arsana."Arsana, sejak kapan kamu kesulitan menghadapi penjaga di depan?" canda Zahra sambil tersenyum."Sejak aku menikah dengan Zayver! Apakah kamu tidak melihat berapa banyak penjaga di depan gerbang pada malam hari?" tanya Arsana.Zahra dan Leana mencoba mengintip dari balkon kamar Arsana dan terkejut melihat beberapa penjaga yang berada di depan gerbang."Astaga, ternyata Zayver sangat ketat menjaga istrinya," kata Leana dalam monolognya."Tadi siang tidak sebanyak ini," Zahra terlihat heran dengan banyaknya penjaga yang Zayver tugaskan di rumah
Orang itu kembali menyerang menyerang Arsana dengan naik ke atas meja menyebabkan, kepala orang yang sudah terpotong dibunuhnya menggelinding terjatuh ke lantai. Arsana segera menghindar menjauhi pisau yang terus saja mengarah padanya. Dor! Arsana menembak ke arah tangan orang itu di saat pisau hampir saja melayang ke arahnya, beruntung arah sana bisa menghindarinya.Arsana kembali menembak kedua kaki orang itu untuk melumpuhkan nya. “Arghhhhh…” orang yang terlihat seperti psikopat itu mengerang kesakitan. Arsana segera memborgol kedua tangannya. Walaupun Arsana tahu orang itu tidak akan bisa melarikan diri lagi. Arsana dengan cepat menghubungi atasannya, mengirim semua bukti-bukti yang telah di fotonya sebagai barang bukti dan juga tanda jika tugasnya telah selesai memecahkan kasus tersebut. Arsana segera pergi saat polisi yang dikirim oleh atasannya dalam perjalanan. Arsana tidak perlu ikut campur lagi, setelah misinya selesai–itu sudah bukan urusannya lagi. ****Pagi hari b
Zayver mencium Arsana dengan kasar. Setelah merasa puas, Zayver melepaskannya. "Seperti ini lebih baik!" ucapnya, lalu menarik tangan Arsana keluar dari kamar.Di sepanjang jalan, Arsana terus saja cemberut. Arsana menyesal telah memakai make-up, terutama lipstik. Jika pada akhirnya, Zayver menghapusnya."Tersenyumlah, atau aku akan semakin merusak riasanmu itu." Zayver berbicara tanpa melihat ke arah Arsana yang berada di sampingnya. Dia hanya fokus pada jalanan yang begitu gelap.Arsana dengan cepat merubah raut wajahnya."Zayver, kita akan pergi kemana? Ini sudah terlalu malam," tanya Arsana. Sejak tadi, Arsana dibuat penasaran karena tidak biasanya Zayver mengajaknya keluar pada malam hari. Apalagi jalanan dari vila milik Zayver menuju jalan raya cukup jauh dan mereka harus melewati jalanan yang gelap dengan pohon-pohon lebat di sekitarnya."Kamu akan tahu nanti."Arsana tidak puas dengan jawaban Zayver, tetapi dia tidak ingin bertanya apa-apa lagi.Beberapa saat kemudian, mereka
Arsana selesai mengemasi semua pakaiannya dengan hati yang berat. Setiap pakaian yang dilipatnya terasa seperti menambah beban di dadanya. Setelah semuanya dimasukkan ke dalam koper, dia menghela nafas panjang, mencoba menguatkan diri. Dia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Zayver, namun sayangnya ponselnya tidak aktif. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Arsana merasa bingung dengan kepergian Zayver yang tiba-tiba dan juga dengan hilangnya pengawalan anak buah Zayver yang biasa menjaganya. Seakan-akan Zayver telah menarik semua penjagaannya, meninggalkannya sendirian di rumah.Merasa hampa dan kesepian, Arsana mencoba mengirim pesan kepada kedua sahabatnya, Leana dan Zahra, bahwa dia akan meninggalkan Papua lebih dahulu. Kata-kata yang dituliskannya terkesan datar, mencerminkan kebingungannya. Dia menatap layar ponselnya sejenak, berharap ada keajaiban yang akan terjadi, namun kenyataan tetap saja menyakitkan. Setelah semua persiapannya selesai, Arsana segera menuju band
Setelah memarkir mobilnya, Arsana masuk ke dalam mall dan berputar-putar untuk mengetahui siapa yang membuntutinya. Dari kaca toko yang dilewatinya, Arsana melihat dua orang pria mengikuti dari kejauhan. Arsana segera merencanakan langkah berikutnya.Dengan cepat, Arsana memasuki sebuah toko pakaian dan menghilang di antara rak-rak baju. Dia memilih beberapa pakaian, berpura-pura mencoba beberapa di antaranya di ruang ganti. Di dalam ruang ganti, Arsana mengamati dua pria itu dari cermin kecil yang dipasangnya di sudut ruangan. Pria-pria itu tampak kebingungan mencari Arsana.Setelah beberapa saat, Arsana melihat celah untuk keluar dari toko tanpa terlihat. Dia menyelinap keluar dan dengan cepat menuju pintu belakang mall. Begitu berada di luar, Arsana dikejutkan oleh dua orang yang tiba-tiba mencegatnya."Nona Arsana, ini kami," ucap salah satu pria yang tak dikenali Arsana."Siapa kalian? Kenapa mengikutiku?" tanya Arsana dengan tegas."Aku anak buah Zayver yang diperintahkan Matteo
Saat sampai di rumah, Arsana mendapati Matteo, Kris, serta kedua temannya, Leana dan Zahra, sudah menunggunya. Leana dan Zahra langsung memeluk Arsana, mencoba menenangkannya."Arsana, kami di sini untukmu," kata Leana dengan suara lembut."Kami tahu ini berat," tambah Zahra sambil mengusap punggung Arsana.Arsana menarik napas panjang, lalu melepaskan pelukan mereka. Ia menatap Matteo dan Kris dengan mata penuh pertanyaan. "Aku harus tahu. Apakah Zayver benar-benar terlibat dalam kasus ilegal ini?"Matteo mengangguk pelan. "Ya, kita memang terlibat, tetapi bukan dalam barang ilegal seperti narkoba. Kami berempat terlibat dalam perdagangan senjata ilegal, bahkan kami baru saja membangun sebuah tempat gudang penyimpanan dan juga tempat pembuatannya disini untuk cabang baru."Arsana di buat terkejut. "Senjata ilegal? Bagaimana bisa?"Matteo melanjutkan, "Sejak dulu, Zayver adalah seorang Mafia dengan koneksi yang cukup luas, sebelum menjadi CEO di perusahaannya sekarang. Namun, dia tida
Keesokan harinya, Zayver berpamitan pada Arsana untuk pergi bekerja. Begitu juga dengan Arsana yang meminta izin pada Zayver untuk pergi ke studionya.Setelah mendapatkan izin, Arsana segera mengemudikan mobil miliknya. Namun, dalam perjalanan, Arsana mengambil arah lain, bukan ke tempat studionya. Dia menuju sebuah bangunan untuk bertemu dengan rekan tim agennya. Mereka telah mendapatkan informasi dari salah satu rekannya yang berhasil masuk ke dalam bangunan tersebut dan mengaku sebagai pekerja, bahwa bangunan itu digunakan untuk memproduksi barang ilegal dan obat-obatan terlarang. Selain itu, di dalam bangunan besar tersebut juga terdapat banyak gudang penyimpanan persenjataan ilegal yang baru saja tiba.Sebelum sampai ke tempat tujuan, Arsana menyimpan mobilnya di sekolah lamanya, di mana dia biasanya mengajar sebagai guru relawan. Namun, setelah insiden kebakaran villa yang membuatnya kehilangan anak pertamanya, Arsana berhenti mengajar.Arsana segera berjalan mendekati sebuah mo
Alex belum juga menjawab, Zayver telah memutuskan teleponnya, menyimpannya begitu saja. Zayver memandang ke arah wajah Arsana yang sedang terlelap tidur. Dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Alex, sehingga memilih untuk tidur kembali dan membawa Arsana kedalam pelukannya. ****Keesokan harinya, Arsana tidak dapat pergi kemanapun karena Zayver ada di rumah. Dia hanya duduk di ayunan taman belakang sambil menunggu kedatangan Zayver yang sedang mengambil minuman untuk mereka berdua.Zayver yang ingin kembali menemui Arsana di halaman belakang, tiba-tiba melihat kedatangan Alex, Matteo, dan Kris. Entah apa yang mengundang kedatangan mereka tiba-tiba, tanpa menghubungi Zayver terlebih dahulu.Zayver mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Dia berjalan mendekati mereka dengan langkah cepat. “Apa yang kalian lakukan disini?” tanyanya dengan nada tegas, seakan tidak suka dengan kehadiran mereka.Alex tersenyum tipis. "Tentu saja untuk bertemu istrimu,” jawabnya."Ck!” Zayve
Setelah pertemuan selesai, Arsana keluar dari ruangan dengan langkah tegap. Dia tahu bahwa kegagalan bukanlah salah timnya melainkan dirinya sendiri yang terlalu fokus pada kehidupan pribadinya. Namun kali ini, Arsana akan berusaha untuk mulai fokus kembali pada misinya yang belum selesai sebelum dia mengundurkan diri dari pekerjaannya.Dengan langkah cepat, Arsana memasuki sebuah taksi untuk menuju studio.Arsana berhenti tak jauh dari studio foto miliknya yang sudah lama tidak dikunjunginya. Namun, ketika dia melangkah lebih dalam, hatinya sedikit terkejut melihat apa yang ada di hadapannya. Studio itu berantakan. Semua barang yang ada di dalamnya berserakan tak karuan. Dengan langkah cepat, Arsana berjalan menuju meja kerjanya, tempat di mana komputer yang biasa digunakan untuk mencetak foto seharusnya berada. Namun, yang dia temukan hanyalah ruang kosong. Komputer dan mesin cetak lainnya hilang begitu saja.Arsana berdiri terpaku sejenak, mencoba memahami apa yang terjadi. "Ini pa
Setelah mendapatkan izin dari Arsana, Zayver segera pergi dari rumah sakit menuju tempat eksekusi.Anak buah Zayver telah kembali dengan Wijaya beserta anak istrinya. Mereka terikat dan terlihat ketakutan. Dengan kasar, anak buah Zayver mendorongnya masuk ke ruangan gelap itu dan menjatuhkannya di hadapan Zayver. Wijaya berusaha berdiri namun dengan cepat didorong kembali ke lantai.Zayver menatapnya dengan tatapan dingin. "Kenapa kau melakukan ini, Wijaya? Apa kau sudah bosan hidup?" tanyanya dengan suara yang tenang namun penuh ancaman.Wijaya tertawa kecil, meskipun ada ketakutan di matanya. Namun, dia terlalu percaya diri dan mengira bahwa Zayver tidak mungkin melakukan hal kejam padanya. "Kau tidak akan pernah mengerti, Zayver. Arsana tidak seharusnya ada di hidupmu. Dia hanya pengganti sementara. Arsina adalah yang seharusnya menjadi istrimu." Zayver menatap tajam Wijaya, seakan tidak ada ampun lagi baginya."Kau telah berani menipuku sejak awal, dan sekarang kau melakukan ke
Saat di dalam kamar, Arsana mencoba menghubungi Zayver untuk menceritakan tentang Wijaya. Perasaannya mendadak tidak karuan setelah mendapatkan telepon dari ayahnya. Namun, Zayver tidak mengangkat telepon dari Arsana karena dia sedang sibuk dengan urusan bisnis di kantornya, membahas rencana ekspansi perusahaan dengan beberapa klien penting. Dia tidak terlalu fokus pada ponselnya yang bergetar di atas meja kerjanya sementara dia berada di sofa.Arsana menghela nafas pasrah, dia akan menceritakannya saat Zayver pulang nanti, lalu meraih sebuah buku. Namun, buku di tangannya jatuh ke lantai dan tiba-tiba dia mendengar suara tembakan dan suara langkah kaki berat mendekati kamarnya.Pintu kamar Arsana didobrak dengan keras. Beberapa pria bersenjata masuk dengan penutup wajah.Orang-orang itu mencoba menarik tangan Arsana dan ingin membawanya pergi, Arsana melawan dengan sekuat tenaga, memukul salah satu pria dengan vas bunga, membuatnya terhuyung ke belakang.Namun, jumlah mereka ada li
Arsana menghentikan pergerakan Zayver yang ingin melepas semua pakaian yang menempel pada tubuhnya.“Zayver, apa yang kamu lakukan?” tanya Arsana dengan nafas terengah-engah.“Aku menginginkanmu, Arsana.”“Tapi, aku—” belum selesai Arsana berbicara, Zayver sudah menyela.“Aku sudah berkonsultasi dengan Zahra tentang ini. Dia hanya melarangku bersikap terlalu kejam. Itu tidak akan terjadi lagi, aku tidak akan menyakitimu seperti sebelumnya.” Suara Zayver terdengar pelan di akhir perkataannya, membuat Arsana tak berani melarangnya.Arsana mengangguk, membiarkan Zayver menyalurkan keinginannya. Zayver menatapnya dengan penuh kasih, matanya lembut dan mengerti. Perlahan-lahan, Zayver mulai mengecup bibir Arsana, membelainya dengan kelembutan yang membuat Arsana merasa aman dan dicintai. Tangannya yang hangat menjelajahi tubuh Arsana dengan sentuhan penuh kasih sayang, membangkitkan gairah yang sudah lama terpendam."Zayver, aku...," desah Arsana, matanya memandang Zayver dengan rasa cinta