Part 4, Pria Arogan Di Kelasnya
Begitu memasuki ruangan, Ayara langsung mencari tempat untuk duduk. Dia langsung tersenyum ketika mendapati Gistara, sahabatnya, memberi isyarat dengan jarinya agar ia datang kepadanya. Ayara langsung menuju tempat yang ditunjuk Gistara.
“Apa yang terjadi?” bisik Ayara ketika ia telah duduk di belakang Gistara. Tumben, biasanya Gistara akan memberinya tempat di depan dia atau di sampingnya agar memudahkan mereka mengobrol di sela-sela materi.
“Belum terjadi apa-apa, tetapi dia tadi sempat bertanya, apakah ada yang terlambat datang,” jawab Gistara.
“Lalu?”
“Gimana lagi, semua serentak menyebut namamu.”
“Oke.”
“Ayara awas!” tiba-tiba Gistara berseru. Dengan tangkas Ayara menggerakkan tubuhnya ke belakang. Sementara tangan kanannya menyambar benda yang barusan melayang menujunya. Lalu, dengan satu gerakan yang sangat cepat, Ayara kembali melempar benda tersebut kepada orang yang melemparnya.
"Wow …" gumam sebagian orang yang ada di ruangan.
Ayara menatap tajam pria di ujung sana. Berdiri di samping meja seraya tersenyum sinis kepadanya. Tangan kanannya terangkat di depan wajahnya, dengan siku bertopang pada tangan satunya, yang bersedekap di bawah dada. Di antara jemari tengah dan telunjuknya terdapat sejengkal kayu. Benda itu yang tadi melayang hampir menyambar tubuh Ayara.
"Keluar!" usir pria tersebut. Suaranya pelan, tetapi penuh tekanan. Ayara mendesah berat. Lihat saja, keluar dari sini, mati kamu!
Ayara berdiri. Lalu melangkah ke depan.
"Kuperingatkan kepadamu, saat jadwal latihan denganku, tidak ada satu pun peserta yang boleh terlambat. Jika ada satu saja yang terlambat, maka semua yang ada di kelompok ini, akan menerima hukuman. Paham?" Pria itu menatap Ayara dengan sinis.
"Ya, Sir!" sahut Ayara tegas, dengan tetap mengangkat dagu.
"Hari ini aku memaklumi, tetapi bukan berarti kamu bebas dari hukuman. Keluar dan berdiri di depan pintu!"
"Yes, Sir!" Ayara langsung melangkah menuju pintu keluar.
***
Dihyan dan Gayatri sangat gelisah. Mereka berkali-kali melongok ke luar, demi ingin melihat Ayara berjalan menuju rumah mereka. Namun, sudah lima jam sejak mereka bangun, Ayara belum juga terlihat. Nomor ponselnya juga tidak diangkat. Sedangkan Dihyan sudah berjanji kepada pihak Nawang Nehan, akan membawa gadis pesanannya tepat pukul tiga sore. Satu jam lagi.
"Ayara tidak minggat kan, Pak?" tanya Gayatri cemas.
"Semoga tidak, Bu," balas Dihyan, "dia anak yang selalu bertanggung jawab pada ucapannya."
Semalam Ayara sudah sepakat, untuk pergi ke rumah Nawang Nehan pagi-pagi. Namun, sebelum tidur, dia peroleh informasi mendadak, bahwa di pusat pelatihan bela diri tempatnya menimba ilmu, akan kedatangan pelatih baru, dan semua murid wajib hadir. Satu saja yang tidak hadir, maka semua peserta akan meroleh imbasnya. Ayara tidak mau teman-temannya menjadi korban. Sebab itu dia menulis surat kepada Dihyan, untuk mengundur jam pertemuan dengan keluarga Nawang Nehan.
***
Tiga puluh menit berdiri di depan pintu, Ayara merasakan semakin nyeri pada kedua kakinya. Begitu juga dengan punggung yang bekas pukulan tadi pagi. Ditambah, dia belum sempat konsumsi apa pun dari pagi. Kepala Ayara mulai berputar. Kedua matanya berkunang-kunang.
"Nona, kamu baik-baik saja?" Cashel yang baru datang dari luar, melihat keadaan Ayara. Gadis itu sudah tidak menjawab, tubuhnya limbung. Cashel langsung menangkapnya, serta mengangkat tubuh itu, kemudian membawanya pergi dari sana.
Pria itu membawa Ayara ke ruang pengobatan, dan membaringkan tubuh gadis itu di ranjang yang tersedia.
"Siapa kamu? Kenapa berkeliaran pagi-pagi, dan begitu berani.” gumam Cashel lirih. “Hmmm karena kamu tidak mau menyebutkan namamu, mari memanggilmu dengan sebutan, Kelinci Liar,"
Ayara bergeming. Hanya dadanya yang terlihat bergerak naik turun secara teratur. Cashel menyelimuti tubuh gadis di depannya.
"Nama Kelinci Liar cocok denganmu. Kulitmu putih, kamu cantik, dan lincah seperti kelinci."
"Gistara, ha us. Aa .. iir" Tiba-tiba terdengar suara. Cashel dengan cekatan mengambil segelas air dari galon.
"Bangun, Kelinci Liar," Cashel menepuk-nepuk pipi Ayara. Perlahan Ayara membuka mata. Mengerjap, dan terkejut mendapati pria yang ditabraknya dua kali ada di depannya. Ayara berusaha duduk.
"Kenapa kita ada di sini?"
"Kamu pingsan di depan pintu." Cashel menyodorkan segelas air kepada Ayara. Namun gadis itu tidak memedulikannya, ia berjalan ke arah dispenser, mengambil gelas baru, lalu menuang air sendiri. Setelah itu dia kembali keluar kamar.
"Tunggu!" panggil Cashel, Ayara menghentikan langkahnya, "setidaknya, kamu mengucapkan terima kasih kepadaku."
Ayara kembali memutar tubuhnya, menatap pria di depannya, "kenapa? Aku tidak pernah meminta bantuanmu."
Usai berkata begitu Ayara langsung membalik tubuhnya kembali dan berjalan menuju ruangannya. Cashel tersenyum, lalu menggeleng pelan. Dasar kelinci liar tidak punya adab, gerutunya.
***
Dihyan dan Gayatri semakin gelisah. Keduanya merasa putus asa karena hingga jam tiga sore, Ayara belum juga datang. Gayatri mulai menitikkan air mata satu persatu, membayangkan Kyra putri tunggalnya akan dikirim ke rumah Nawang Nehan. Mereka tidak bisa menolak, karena terikat janji sejak Sembilan belas tahun yang lalu.
Saat itu, Nawang tahu, Dihyan dan istrinya adalah orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab. Maka ketika Dihyan datang kepadanya, bermaksud meminjam uang untuk biaya kelahiran, Nawang mengikatnya dengan janji, seumur hidup mereka, akan menjadi pembantu di rumahnya. Juga menuruti semua perintah Nawang Nehan.
Selama itu, Nawang memperlakukan mereka dengan baik, royal, dan menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga Dihyan. Memberi tempat tinggal tidak jauh dari rumah mereka, Nawang juga tidak pernah menuntut macam-macam. Dia hanya meminta, Dihyan merawat rumahnya, dengan baik, dibantu beberapa tenaga lainnya. Sedangkan Gayatri, mengetuai urusan makanan keluarga mereka.
Hari ini, setelah sembilan belas tahun berlalu, Nawang, meminta Dihyan menyerahkan putri tunggalnya untuk menemani putra sulung mereka. Hati Gayatri terasa hancur.
"Tidak ada pilihan, kita terpaksa mengirim, Kyra." bisik Dihyan.
"Sia-sia kita membesarkan Ayara di rumah ini, anak laknat itu tidak tahu diuntung!" umpat Gayatri. Awas kamu Ayara. Kamu akan membayar pengkhianatanmu ini. Aku akan membuatmu menderita seumur hidupmu.
Part 5. Rumah Nawang NehanKyra meraung, memohon kepada ayahnya agar tidak dibawa ke rumah Nawang Nehan. Kuliahnya tinggal tiga semester lagi selesai. Mimpinya untuk menjadi designer terkenal tinggal beberapa langkah lagi akan terwujud. Juga rencana menikah dengan Fusena setelah lulus kuliah. Pria tampan impian banyak wanita di kampusnya, yang kini menjadi pacarnya. Apa jadinya jika dia harus menikah dengan anak Nawang Nehan yang terkenal Arogan dan tak tersentuh hukum itu? Akan menjadi apa nasibnya?“Ibuuu aku mohon, Bu, bujuk ayah agar tidak melakukan ini kepadaku, Bu,” teriak Kyra. Gayatri hanya bisa memejamkan kedua matanya. Kedua tinjunya mengepal. Bayangan wajah Ayara tersenyum mengejeknya melintas di benaknya. Kamu telah mengecoh kami, Ayara. Nawang menarik tangan Kyra agar mau keluar dari rumah.“Ayah mohon, Kyra. Kita semua akan mati jika kamu juga menolak,” pinta Dihyan.“Lalu mengapa kalian tidak membiarkanku mati saja sejak bayi!” teriak Kyra.“Kyra,” Dihyan tidak berdaya
Birdella Xavera, adalah anak tiri, yang berasal dari istri ke empat Nawang Nehan. Mahasiswi jurusan sastra di universitas terkenal di daerah Lampung. Cerdas, pemberani, mudah bergaul. Memiliki kulit yang putih, bersih, dengan porsi tubuh yang proposional. Dia juga sedang merencanakan akan melanjutkan kuliah ke luar negeri untuk mengambil jurusan sastra Inggris.Dengan berlimpahnya kemewahan yang dijatah dari ayah tirinya, Birdella memiliki kemampuan lebih di atas teman-temannya. Ia bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Termasuk membeli tenaga untuk menyakiti orang lain. Birdella juga memiliki pengawal khusus yang diberi ayah tirinya, namun dia lebih suka menggunakan tenaga pilihannya sendiri sehingga merasa aman dari mata-mata ayahnya.Sejauh perjalanan hidupnya, Birdella memiliki reputasi yang baik, sehingga semua saudara, dan ayahnya sangat menyayanginya.Sebagai gadis yang mempelajari sastra, Birdella memiliki kemampuan mengolah kata menjadi sebuah tulisan. Sebab itulah ketika te
Sudah ada tiga puluh menit Arlo berdiri di teras panggung rumahnya. Kini, ia sedang menatap Cashel yang sedang berjalan menuju tempatnya. “Kenapa dia ada di sini?” tanyanya begitu Cashel sampai di dekatnya.“Kamu melihat rupanya.” Balas Cashel.“Aku sudah di sini sejak gadis bodoh itu membuat ikan-ikan koi piaraanku, pusing dengan ulahnya,” balas Arlo.“Wah, kamu sepertinya akan membahayakannya.”“Kamu khawatir?”“Sebaiknya jaga dia baik-baik, aku akan membunuhmu jika sampai kelinci liarku itu kamu lukai.”“Kelinci liar?”“Hahahaha, dia tidak mau mengatakan namanya kepadaku. Jadi aku menamainya itu.” Arlo memutar badannya, melihat tumpukan kertas di atas meja. Cashel yang melihat itu langsung bergerak cepat dan duduk di kursi. Arlo langsung memukul tangannya manakala pria itu hampir menyentuh dokumen yang ada di meja tersebut.“Wah, kamu tertarik juga untuk melihat,” goda Cashel“Sama sekali tidak. Tetapi kamu tidak boleh sembarangan menyentuh milikku.”“Gadis itu milikmu juga?” Cash
“Kemarilah,” panggil Arlo. Pria itu sudah duduk di sofa dengan menyelonjorkan kedua kaki di atasnya. Bersandar dengan nyaman, kedua mata terpejam. Pelan Ayara mendekatinya.“Kamu bisa memijat?”Deg!Jantung Ayara terasa mau lompat dari rongga dadanya.“Saya belum pernah melakukannya, Tuan,” jawabnya.“Lakukan sekarang,” perintah Arlo. Ayara terdiam. Kakinya terasa sangat berat untuk dibawa melangkah memenuhi perintah itu. Bukan kah seharusnya dia belum resmi menjadi pelayannya? Bukan kah seharusnya dia masih bisa berontak atau mundur? Bahkan dia masih bisa menolak perintah pria di depannya itu?Sekian detik berlalu, Arlo belum juga merasakan sentuhan yang dia pinta. Pria itu membuka matanya.“Tunggu apa? Kamu tahu apa hukuman bagi pelayan yang tidak patuh?” gertak Arlo.“Saya akan lakukan, Tuan.” Buru-buru Ayara mendekati Arlo. “Sekarang!” bentak Arlo, “Aku tidak mau ada yang lamban di rumahku! Paham?” Pria itu membuka kancing atas bajunya, Ayara melotot. Namum kemudian merasa lega,
Part 9. Putra Kedua, Rhys VictorLapangan olah raga itu luasnya lebih besar dari ruangan yang baru saja Ayara tinggalkan. Hanya berupa lokasi terbuka dengan banyak balok berbagai ukuran. Di kanan kiri lokasi ada beberapa pepohonan. Arlo biasa menggunakan tempat tersebut untuk latihan bela diri. Ayara juga melihat ada tempat dan alat latihan memanah. Ia mendekati. Dirabanya peralatan yang tampak jauh lebih bagus dari pada di tempatnya belajar."Kamu sepertinya tidak takut sama sekali, Nona," kata pria yang membawanya ke tempat ini tadi."Apakah Arlo sekejam itu?" Ayara balas bertanya."Kamu akan mengetahuinya nanti," balas pria itu lagi."Dia pernah melakukan ini kepada perempuan lain sebelumnya?"Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ayara, tetapi tidak mau menjawab. Ia membuka pintu sebuah ruangan, kemudian kembali dengan dua cambuk pesanan Arlo.Tidak bisa menipu diri sendiri. Bulu kuduk Ayara merinding membayangkan benda yang terlihat kokoh itu, akan mencambuk tubuhnya y
Di depan pintu kamar, Ayara melihat wanita yang tadi mengantarnya ke tempat Arlo, sedang berdiri di sana. Wanita itu menatap Ayara dengan rasa iba. Ayara membungkuk seraya menganggukkan kepala sebagai tanda hormat."Kamu kembali,” sapa wanita itu. Sekali lagi Ayara mengangguk."Kamu pasti mengalami kesulitan." lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibir Ayara yang mengalirkan darah. Ayara terdiam.Pintu kamar terbuka dari dalam, seorang wanita keluar. Pakaiannya sangat rapi dengan riasan yang sempurna. Hidung mancung, alis yang tertata rapi, serta kedua matanya bercelak. Meninggalkan kesan bening dan tajam. Dengan bulu lentik yang indah, serta bibir yang merah merona. Dari tubuhnya menguar bau wangi yang sensual. Diam-diam Ayara mengagumi totalitas teman sekamarnya itu. Arlo pasti akan nyaman dengan pelayan secantik dia, pikir Ayara.Di tempat Arlo nanti, wanita itu tinggal mengganti pakaiannya dengan baju seksi pilihan Arlo, maka pria itu tidak akan bisa b
“Kemarilah,” panggil Arlo.“Kenapa? Anda juga akan menghabisi saya?” sinis Ayara balas bertanya.“Kamu sungguh menyukai tantangan. Pantas malam-malam menjadi buronan, kayak maling!” Ayara geram mendengar ucapan Arlo itu.Kapan aku menjadi buronan? Seketika Ayara ingat, ketika kali pertama bertemu dengan Arlo, di belakang gedung kosong di pinggir jalan. Dia benar, Ayara memang sempat diburu oleh dua orang suruhan Birdella.“Ayo,” ajak Arlo lagi, menyadarkan Ayara dari lamunannya. Ragu Ayara melangkah mengikuti pria itu.“Anda akan membawa saya ke mana?” tanya Ayara mulai merasa tidak nyaman, karena mereka berjalan menuju kediaman Arlo lagi.“Ke tempat latihan,” balas Arlo,“Anda benar-benar akan membunuh saya?” Ayara ragu. Arlo tersenyum samar mendengar pertanyaan itu. Ia berhenti. Kemudian memutar tubuhnya kembali menatap Ayara.“Kamu takut mati?” tanyanya.“Tidak,” tegas Ayara.“Kalau begitu, jangan cerewet.” Arlo melanjutkan langkahnya. Ayara mengikuti.Sesampainya di tujuan, suasan
Part 12, PersainganBirdella sedang membuka aplikasi biru tempatnya berkarya demi sebuah nama. Dia ingin menjadi wanita terkenal. Di sana ia peroleh banyak penggemar. Sehingga namanya disebut-sebut sebagai Othor Pemes oleh kalangan pembacanya. Tetapi malam itu dia sungguh marah, bagaimana bisa nama saingannya Hyuna Sada ada di halaman paling depan? Sedangkan namanya hanya ada di barisan nomor tiga. Bahkan beberapa menit kemudian, buku dan nama Birdella Xavera tenggelam karena beberapa buku Hyuna Sada muncul di beberapa kategori. Buku Birdella tergeser.Semakin marah, ketika Birdella mengetahui banyak penggemarnya yang juga menyukai dan memuji tulisan Hyuna Sada. Hal itu membuat Birdella tidak terima. Gadis dua puluh tahun itu langsung meraih ponselnya, dan menelepon seseorang.“Apa-apaan ini, Charlie Moreno?” tanya Birdella dengan nada penuh emosi.“Ada apa, Birdella Sayang?” balas suara dari seberang balik bertanya.“Ada apa katamu? Kamu tidak mengecek aplikasi Angkasa Biru?” suara B
Seorang pelayan yang sejak tadi menguping di depan pintu kamar Rhys Victor, langsung terperangah. Jadi benar kecurigaan, Among?Pria bodoh itu..., senyap. Hanya ada suara ketukan beberapa kali dari dalam kamar. Gadis pelayan itu menduga, itu pasti suara benturan gelas Rhys saat diletakkan di meja. Pelayan mematikan ponselnya. Kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku rahasianya, yang paling aman dari jangkuan.Pelayan itu mengetuk pintu.“Tuan, apakah Anda membuthkan bantuan?” Senyap, tidak ada jawaban. Pelayan itu tersenyum.Dasar penjahat! Kamu akan menuai buah perbuatanmu sendiri!Dua hari yang lalu, sebelum ia dikirim menjadi pelayan di penginapan ini, ia sedang kebingungan karena tidak memiliki tujuan jelas. Tidak memiliki uang dan tempat tinggal.Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dengan lembut. Saat dia menoleh, di depannya seseorang yang sangat dia kenali. Orang yang seketika membuatnya tersenyum bahagia, karena mengira akan memiliki harapan untuk bertemu dengan sos
Menyaksikan sahabatnya hanya diam dalam keadaan tertuduh, Yudha merasa heran. Segera didekatinya Cashel dengan penuh tanya, “Kamu tidak ingin mencegahnya, Cashel?”Cashel tidak menjawab, sebagai gantinya, pria itu justru berbalik arah dan masuk ke rumah Yudha. Lalu duduk di kursi, dan meminta Yudha menjauh darinya. Cashel ingin sendirian. Hatinya terlalu sakit, untuk mencerna kenyataan.***Di dalam hutan, Ayara tidak berhasil menemukan jejak Arlo. Dia hanya menemukan, semak yang berantakan, dan patah di mana-mana. Ia bisa menyimpulkan, itu bekas perkelahian. Ada darah di mana-mana.Tidak bisa menemukan Arlo di dalam hutan, Ayara keluar dari sana. Dia sampai di sebuah pedesaan yang ramai dengan banyak orang yang melakukan aktivitas.Seperti kehidupan di pedesaan umumnya, ada yang pergi ke pasar untuk menjual hasil panen mereka. Ada juga yang membawa peralatan bercocok tanam di ladang.Ayara melangkah dengan kecepatan di atas rata-rata. Sesekali bertanya, di mana ada penginapan. Banyak
"Aku juga membutuhkanmu, Ayara. Sangat."Ayara bergeming. Andai saja bisa, dia ingin membagi tubuhnya, untuk Arlo dan Cashel.***Arlo menerima telepon dari Among saat sedang berdua dengan Ayara. Walaupun sangat ingin bisa lebih lama bersama dengan gadis yang lama ia cari, dan baru dipertemukan itu, ia terpaksa pamit untuk pergi. Ada hal penting yang harus mereka lakukan."Jangan ke mana-mana, aku akan menjemputmu setelah ini," pinta Arlo kepada Ayara. Ayara tidak menjawab, karena hatinya tahu sekali, dia harus bersama Cashel, meskipun sangat ingin kembali bersama Arlo.Cashel tidak memiliki siapa siapa lagi selain dia. Sedangkan Arlo, masih memiliki ayah yang sangat menyayanginya. Memiliki banyak anak buah, dan teman. Meskipun Ayara tidak pernah melihat Arlo bersama temannya, selain Among. Arlo juga masih memiliki semua kemewahan hidupnya. Bahkan pelayan kamar yang baru, jika pria itu menginginkan. Sedangkan Cashel, bahkan kartu ATMnya pun dibekukan. Ke depannya Cashel harus berjuang
Ayara duduk di atas potongan pohon kelapa sawit tidak jauh dari rumah Yudha. Kedua matanya menatap kalung yang menggantung di tangannya. Benda yang selama belasan tahun menemani hidupnya. Sisa kenangan masa lalunya. Usianya baru empat tahun saat itu. Dia sedang bermain dengan teman-teman di dekat rumahnya, ketika sebuah mobil melintas dan hampir menabraknya. Mobil itu tidak tahu jika ada anak kecil yang sedang menyeberang di jalurnya. Untungnya, ada tangan kecil lainnya yang menarik tubuh anak itu, sehingga anak itupun selamat. "Anak kecil kenapa kamu mainan di jalan sendirian," tanya penolongnya, yang tidak lain adalah anak lelaki, berusia sekitar sepuluh tahunan. "Tadi aku sama teman-teman, Kak. Tapi mereka larinya cepat sekali," jawab anak itu lugu. "Ah gitu…, ayo Kakak antar, di mana rumahmu?" "Tidak. Ibu bilang aku tidak boleh ikut orang asing," "Hahaha, kakak bukan orang asing, tetapi kakak adalah penolongmu." jawab anak lelaki itu. Anak kecil itu menatapnya. "Apakah Kaka
"Aku harus pergi," ucap Birdella seraya membalikkan tubuhnya, lalu meninggalkan Arlo yang menatapnya tanpa ekspresi. Arlo sangat paham, gadis itu berusaha menghindari pertanyaannya. Tingkahnya memang seperti itu dari dulu. Lucu dan menggemaskan. Namun Arlo tidak pernah tertarik untuk menggodanya. Seperti yang dilakukan Cashel dan banyak orang terdekatnya.Arlo melanjutkan langkah. Mengabaikan Among yang tersenyum menyaksikan tingkah Birdella."Gadis itu benar-benar polos," gumam Among."Tidak. Dia menyimpan rahasia," balas Arlo."Maksud, Tuan?""Mari kita lihat nanti, apa yang sudah dilakukan gadis yang katamu polos itu." Among tidak menjawab apa-apa lagi. Ia dengan sigap mengikuti langkah Arlo menuju kediamannya."Jadi bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan?""Kirimkan dua intel terbaik kepadaku, setelah itu kita pergi mencari Hyuna Sada.""Apa? Bukankah Hyuna sudah meninggal, Tuan?""Tidak, yang meninggal adalah Gistara, sahabat Hyuna Sada." Arlo menjawab dengan mantap. Langkahnya
Among mulai gelisah. Sudah satu jam Arlo mengunci diri di dalam kamar Ayara. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan bossnya sejak dia mengabdi kepadanya, selama hampir dua puluh tahun. Among dapat merasakan, Arlo seperti merasa kehilangan atas kepergian Ayara. Kali ini Among yakin sekali, perasaan Arlo bukan lagi sekadar antara majikan dan pelayannya. Namun dia masih tetap menahan diri untuk memastikan itu. Ragu, tangan Among mengawang, hendak mengetuk pintu, tetapi takut mengganggu.Di dalam kamar Ayara, tangan dan tubuh Arlo bergetar hebat. Pandangannya membulat demi melihat apa yang dia temukan di bawah bantal Ayara. Tadinya dia hanya penasaran dengan pisau kecil yang dilihatnya di samping bantal. Arlo ingin memastikan, benda yang selalu terselip di rambut Ayara itu sekuat apa. Selama ini Arlo bukan tidak tahu, Ayara selalu membawa senjata tersebut ke mana-mana. Bahkan ketika masuk rumah dan kamarnya. Tetapi Arlo tidak melarang, dan tidak pernah menyinggung hal itu. Bagi dia, itu buka
"Kita mau ke mana, Cashel?" Ayara memeluk erat pinggang Cashel yang menyetir motor dengan kecepatan maksimal. Mereka sudah empat jam perjalanan, dan sudah jauh meninggalkan desa. Dua kota juga sudah mereka lintasi. Hanya berhenti sebentar untuk membeli makanan dan minuman."Kenapa? Kamu capek?""Tidak. Kamu yang seharusnya istirahat," balas Ayara."Aku masih sanggup," balas Cashel, "kita juga belum boleh berhenti, karena polisi pasti sudah menyebarkan informasi ke beberapa kota terdekat."Ayara mengangguk, dalam hati ia merasa sedih karena harus melibatkan Cashel dalam masalahnya. Sementara Cashel sendiri memiliki masalah yang lumayan berat berkaitan masa depan hidupnya.Malam semakin merayap. Ayara dan Cashel berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Tubuh keduanya sudah sangat letih, ketika seorang pria dengan perawakan tinggi besar menyambut keduanya. Itu adalah salah seorang sahabat Cashel yang dulu pernah peroleh bantuan darinya. Malam itu mereka menginap di rumah te
Cashel benar-benar merasa geram ketika melihat motor dan mobilnya telah dirantai dengan kuat di garasi miliknya. Dia tidak pernah menyangka Nawang Nehan ayahnya benar-benar tega melakukan ancamannya. Bahkan di saat duka kehilangan ibunya belum hilang dari hati Cashel.Ditariknya rantai itu dengan penuh kemarahan, namun benda itu sama sekali tidak bergerak."Siapa yang melakukan ini?" Teriaknya. Penjaga Gerbang Dalam tergopoh mendekati."Siapa yang melakukan ini?" ulang Cashel seraya meraih kerah baju penjaga yang mendekatinya."Saya sungguh tidak tahu, Tuan," jawab penjaga dengan napas tersengal."Bagaimana kamu tidak tahu, sedangkan kamu yang berjaga di sini?" Cashel melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Penjaga terjatuh beberapa langkah ke belakang."Maafkan saya, Tuan, saya sungguh tidak tahu," gumamnya sekali lagi, seraya menggeleng pelan.Sama sekali tak terlintas di benak Cashel, ayahnya yang selama ini bersikap lembut kepadanya dan kepada semua anak-anaknya, kini bisa sejahat
PART 35. Misteri Kematian Hyuna Sada Ayara melepas tatapan penuh kebencian kepada Arlo. Hatinya sungguh terluka, pria itu sama sekali tidak pernah bisa menghargai perjuangannya, yang sudah berusaha totalitas melayaninya. Dia tidak pernah menyangka, ternyata selama ini Arlo hanya memandangnya tidak lebih dari seorang budak belian jaman dahulu kala. Yang tidak mengapa dimiliki dan dilepas kapanpun dia mau. Sekuat tenaga Ayara menahan air matanya, agar tidak menetes di depan pria, yang mulai detik itu, akan dia anggap sebagai musuh terbesarnya. Selamanya. Ayara berjalan mengikuti langkah polisi, yang membawanya dengan kedua tangan diborgol. Tak dipedulikannya bisik-bisik beberapa pelayan yang melihat kejadian tersebut. Saat mereka hampir keluar dari Gerbang Dalam, sebuah suara memanggil nama Ayara. Mereka berhenti sebentar, untuk memberi kesempatan sosok yang memanggil itu mendekat. “Apa yang terjadi?” Gemetar suara itu bertanya. Dia tidak percaya anak yang dulu dia rawat dan besarka