“Lihat ini, Nyonya! Karena malam itu Anda tak ada, paginya Juragan melampiaskan semuanya pada saya! Tanda merah ini buktinya, Nyonya! Tolong bantu saya mendapatkan keadilan, Nyonya! Yang penting saya tak malu, bagaimana jika benih yang ada di rahim saya menjadi janin? Tolong saya, Nyonya! Gak apa saya jadi yang kedua, saya berjanji akan menjadi adik madu yang baik untuk Nyonya!”Nuria bergeming, pengakuan Mita yang bersimbah air mata dan tanda merah yang bertebaran itu seketika membuat kakinya terasa lemas. Namun, dirinya yang memang sedang lemah tak bisa mengurai semua kejadian ini dengan baik. Hanya saja memorinya masih merekam jelas, jejak perbuatan Mita terdahulu seperti apa. “Bagaimana bisa aku yakin kalau tanda merah itu adalah perbuatan suamiku? Bahkan semua orang bisa berbuat itu pada kamu jika kamu mau, Mbak.” Nuria ingat seperti apa obsesi Mita pada Juragan Arga. Meskipun akhir-akhir ini sudah menunjukkan itikad baik untuk berubah. “Saya memang tak bisa meyakinkan Nyonya
Juragan Arga pulang dengan hati tak karuan. Berharap semua yang dicurigai polisi itu tak benar. Anggita, kenapa harus nama itu yang harus dinyatakan terlibat. Bahkan dia sudah menyayangi Anggita seperti adik sendiri. Meskipun sempat terlintas sedikit pikiran yang sama. Mobil yang ditumpanginya terparkir sudah di garasi. Dia membuka pintu perlahan, suasana ruang tengah lengang. Dia hanya menoleh ke arah tangga, tapi tujuannya kali ini adalah teras belakang di mana ada kamar Abimanyu di sana.Waktu sudah merangkak senja ketika dia menatap lelaki muda yang tengah memakai kaos lengan pendek dan sarung itu tengah duduk pada kursi rotan di teras belakang. Abimanyu tengah memandangi hamparan tanaman yang didominasi oleh perdu melati pada tepian pagar. Wanginya menguar, membuat kerinduan pada Saraswati yang begitu mencintai bunga itu tak kunjung pudar. “Sudah baikan, Abi? Maafkan saya gak bisa urus kamu kemarin.” Juragan Arga memilih duduk di kursi single yang terpisah dari kursi rotan yan
Namun baru saja kedua mata itu terpejam. Gedoran pada daun pintu membuatnya terbangun dan berusaha menata kembali kesadaran. Siapakah orang sepagi ini yang mengganggu kesenangannya? Anggita duduk dan mengumpulkan keberanian untuk membukakan pintu. Entah kenapa hatinya mendadak ciut, perasaan tak tenang menimbulkan banyak prasangka berlarian. Anggita berjalan berjingjit menuju pintu. Hatinya yang ketar-ketir semakin tak menentu. Tak langsung membuka jendela. Andai yang datang polisi, baiknya dirinya melarikan diri melalui pintu belakang. Perlahan tirai jendela itu disibak. Hati yang ciut seketika menghangat ketika tampak Wisnulah yang berdiri di depan pintu. Akhirnya lelaki itu muncul juga. Anggita gegas membuka daun pintu.“Mas, cepetan masuk!” Anggita menarik lengan Wisnu. Bahkan melangkah keluar pun dia tak berani. Dirinya benar-benar takut. Wisnu menatap dirinya sekilas, lalu tanpa banyak tanya. Gegas dia pun masuk. Anggita menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum menutup pintu. Ras
“Selamat siang, Pak Wisnu! Apakah bisa dijelaskan sejauh mana Anda mengetahui keberadaan istri Anda saat ini. Apakah benar dia datang ke villa semalam?” tutur seorang polisi dengan mata menatap tajam. Wisnu berulang menarik napas kasar lalu dia hembuskan. Lalu mengangguk perlahan dan menjawab, “Benar, Pak. Malam tadi dia ada di villa keluarga kami.” Satu jam sudah berlalu, akhirnya introgasi selesai. Wisnu keluar dari kantor polisi dan menyeka keringatnya. Kepalanya sedikit berdenyut mengingat pertanyaan dari pihak kepolisian yang seolah berputar-putar. “Maafkan aku, Gita. Kamu sendiri yang tak mendengarkanku untuk tak meninggalkan jejak. Semoga kamu selamat. Hmmmm … tapi kalau Gita ditangkap, bagaimana hubunganku dengan Roy akan ditutupi. Sepertinya aku harus segera mencari istri baru. Namun di mana bisa mencari orang yang hanya butuh harta tanpa butuh cinta?” Wisnu menyalakan kembali mobilnya. Gegas meluncur sambil berpikir. Dia harus kembali membenahi rencananya jika Anggita ben
Celia menghabiskan hari dengan lebih banyak diam. Bahkan teman-teman dekatnya yang biasa meminta traktiran di kantin, tak berani menegur. Seharian ini mood Celia benar-benar hancur. Bahkan pada pelajaran matematika, dia dikeluarkan dari kelas karena berani melawan. "Lia, kerjakan soal ini!""Hah? Soal apaan? Ngajar saja belum?"Brak!!! Suara gebrakan pada meja membuat seisi kelas hening. Bu Ningsih yang sudah mengoceh satu jam lamanya, bahkan sama sekali tak Celia sadari. "Keluar kamu! Gak usah lagi ikut pelajaran saya!" hardik Bu Ningsih. Sudah kelewat geram juga dengan kelakuan Celia yang biasanya semuanya. "Elah, gak usah marah-marah juga, Bu! Tinggal ngomong suruh keluar doang!" Itulah Celia, dengan ringan dan tanpa tawar menawar dia langsung melenggang pergi meninggalkan kelas. Hari yang dilewati terasa amat sangat lama. Berulang kali gadis dengan seragam putih abu itu melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya. Dia sendiri tak paham, kenapa dirinya menjad
Nuria sudah mulai beraktifitas seperti biasa. Dua minggu sudah berlalu dari semua kejadian yang membuat psikisnya terguncang. Sesekali dia masih sering mengelus perutnya, di mana kemarin ada tertanam harapan di sana. Rasa kehilangan itu pasti ada, hanya saja dia mencoba untuk ikhlas. Nuria pun menyibukkan diri dengan mengurus perdu-perdu melati peninggalan almarhumah Saraswati. Setiap pagi, dialah yang menyirami rumpun melati yang berselang seling dengan pohon kenanga. Entah kenapa, dirinya mulai menyukai harum kedua bunga itu. Ketiadaan Mita yang kini statusnya sudah berubah menjadi tersangka, membuat duri kecil pengganggu itu terlempar dengan sendirinya. Hidup Nuria kini damai dan tanpa gangguan dari siapapun juga. Hanya saja, Juragan Arga masih belum mengijinkannya pergi jauh, termasuk menjenguk Fatma yang sudah menempati rumah barunya. Nirina dan Bi Lela pun ikut tinggal di sana, katanya. Untuk mengobati rasa rindu Nuria pada Fatma. Minggu kemarin, Juragan Arga sengaja meminta
Keberadaan Ardhan sudah ditemukan. Rupanya selama ini jejaknya bak menghilang adalah karena ulah Anggita juga. Orang yang kata Anggita sudah menangani semuanya itu adalah orang yang bersekongkol. Karena itulah keberadaan Ardhan selalu dikatakan masih dalam pencarian karena sebetulnya mereka tak mencarinya. Ardhan sudah berada di kediaman Juragan Arga, tim kepolisian sudah menjemputnya dari sebuah rumah tinggal di pelosok Bekasi. Selama ini, Ardhan berada di kediaman putrinya Mardi---sang penculik. Putri sulung Mardi mengalami kemandulan, karena itu bayi Ardhan adalah kebahagiaan tak terhingga baginya. Butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan dan mempercayai jika lelaki paruh baya yang selama ini merantau di kota menekuni pekerjaan terlarang. Test DNA juga sudah dilakukan dua minggu lalu, hari ini hasilnya sudah keluar dan memang benar, bayi itu DNA-nya identik dengan Nilam.Ardhan yang tampak masih merasa asing, masih takut-takut. Dia tidak mau dengan siapapun kecuali dengan Naima
“Papa kamu percaya kok, Kak. Buktinya dia sendiri bela-belain mau jemput sendiri ke sini, padahal kan ada Habib. Sudah jangan ngambek. Sekarang coba ceritakan apa memangnya permintaan Kakak setelah dapat nilai bagus ini?” Nuria menengahi, sekaligus mengalihkan topik pembicaraan pada hal lain. “Hmmm … tapi Papa janji dulu, Papa akan benar-benar mengabulkan permintaanku. Gimana, Pa? Bisa?” “Hmmmm … apa dulu permintaannya?” “Nanti aku bilang, makan dulu saja, katanya mau ajak makan di restoran mewah.” “Hmmm.”Hanya gumaman yang keluar dari mulut lelaki paruh baya itu. Juragan Arga segera membelokkan mobilnya menuju ke sebuah restoran ternama. Tak jauh-jauh dari restoran masakan sunda yang mereka pilih. Mereka berjalan beriringan, mengambil tempat lesehan pada saung-saung yang berjejer di pinggir danau buatan. Meskipun demikian, angin yang berhembus tetap sejuk, menyapu wajah ketiga orang yang tengah duduk di sana menunggu menu yang dipesannya datang. “Bicaralah, Li.” Juragan Arga b
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera