Nilam mengalami tingkat perkembangan kepulihan yang semakin baik. Tepat pada usia kehamilan Nuria menginjak bulan ke Sembilan, Psikiater yang menanganinya menyatakan jika Nilam sudah sembuh. Hal ini menjadi kabar gembira untuk Juragan Arga karena satu beban akhirnya terlepas juga. Kesembuhan Nilam merupakan kabar baik, tetapi ternyata memunculkan dilemma dalam pernikahan Juragan Arga yang memang masih terikat secara resmi. Memang dulu Nilam sudah menandatangani persetujuan pernikahan keduanya dengan Nuria, meskipun kondisi mentalnya setengah sadar, tetapi surat-surat resmi pernikahan bisa didapatkannya. Namun kesembuhan Nilam kini, mau tak mau menjadi masalah baru dalam biduk rumah tangganya. “Aku sadar, aku sudah terlalu banyak berbuat salah, tetapi bukankah aku sudah menebusnya dengan merelakan kamu menikah lagi, Kang? Kini tolong berikan aku kesempatan untuk menjadi istrimu kembali seperti dulu. Aku menyesal, aku akan berubah. Tolong jangan ceraikan aku. Apakah Akang gak memikirka
Proses lahiran Nuria berjalan tanpa hambatan. Bayi berbobot 3,2 kg dengan panjang 52 cm terlahir tepat pada tengah malam dengan normal. Bayi lelaki dengan wajah berseri dan rambut lebat itu diberi nama Surya Cakra Wisesa.Juragan Arga sudah selesai membayar sisa administrasi untuk prosesi kelahiran sang putra. Anak yang sudah begitu lama ditunggu-tunggunya. Seorang anak lelaki yang diharapkan bisa menjadi penerus jati diri keluarga. “Bi Lala tolong kasih tahu Bi Menih untuk membereskan kamar Nyonya dan disesuaikan dengan kehadiran bayi Surya. Habib juga akan menjemput ibunya Nyonya sekarang. Sebentar lagi kita akan bertolak pulang!” Juragan Arga memerintahkan Bi Lala yang menjadi orang kepercayaannya untuk mengurusi semua kebutuhan Nuria dan menjaga bayi Surya. “Sudah, Juragan! Bibi sudah telepon Bi Menih, katanya kamar sedang disiapkan. Elin juga sudah bantu beli param, pilis dan jamu bersalin untuk Nyonya. Jadi Juragan gak usah khawatir. Kamu semua sayang sama Nyonya, Nur.” “Ter
TERPAKSA MENIKAHI JURAGAN TUA (56)Selamat membaca! “Lili, tolong jaga bicaranya! Saya masih Mama kamu sekarang!” Nilam menatap dengan geram. Hatinya terasa sakit tercubit oleh sikap Celia yang teramat sangat menentang kehadirannya di antara pernikahan Juragan Arga dan Nuria. “Tante gak usah ngajarin aku, aku juga bisa jadi bar-bar dan pemberontak gara-gara siapa? Gara-gara ulah kalian yang membuat rumah tangga Papa sama almarhum Mama hancur berantakan! Jadi jangan salahkan aku, kalau aku sendiri yang akan turun tangan kalau di antara kalian mencoba merebut kebahagiaan Mama dan Papaku lagi!” Celia beruacp dengan penuh penekanan. Wajah juteknya mendominasi dan membagi pandang pada dua perempuan yang tengah mematung tak jauh darinya itu. Nilam menelan saliva. Dia tahu, betapa kebencian sudah ditanamkan Anggita pada Celia untuknya dan itu benar-benar melekat. Bahkan Celia sudah membentangkan sendiri tembok yang tinggi di antara dia dan dirinya. Nirina sedikit terkejut ketika mendenga
“C--Cupu, beneran kamu, ya?” Ada senyum yang terkulum begitu saja. Setengah berlari Celia meninggalkan kamar Juragan Arga dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Ada debar tak biasa yang membuatnya begitu bersemangat untuk menjadi orang pertama yang membukakan pintu untuk lelaki jadul yang tengah berjalan di pekarangan rumahnya. Tiga titian tangga lagi hampir Celia selesaikan. Namun, seketika harapannya harus memudar ketika Bi Lala yang tergopoh dari belakang membukakan pintu itu duluan. “Assalamu’alaikum, Bibi!” Abimanyu menyapa Bi Lala.“Wa’alaikumsalam, ya ampuuun, Abi! Ayo masuk-masuk!”Bi Lala menarik daun pintu dan membiarkan Abimanyu masuk ke dalam rumah. “Makasih, Bibi!” Abimanyu mengangguk sopan, tetapi melangkah ragu. Sudah sekitar satu tahun dirinya tidak menginjak rumah itu. “Duduk dulu, Abi. Biar Bibi panggilkan Juragan!” tukas Bi Lala dengan tergesa. “Makasih, Bibi!” Abimanyu mengangguk sopan. Sesekali jemarinya membetulkan letak kaca mata yang membuat penampilanny
“Eh, Non mau belajar! Ayo Bibi ajarkan, perempuan pintar masak itu biasanya disayang suami, Non. Terus suami lebih betah tinggal di rumah!” tukas Bi Menih dengan semangat. Senang rasanya melihat perubahan sikap Celia yang dulu teramat sangat bar-bar dan susah di atur, sekarang perlahan membaik. “Lili mau belajar masak! Sini biar Mama yang ajarkan!” Tanpa sepengetahuan Celia, Nilam sudah berada tak jauh darinya dan berjalan mendekat. Sontak Celia memutar bola mata jengah. Malas sekali harus berhubungan dengan perempuan yang membuatnya muak. “Gue belajar sama Bi Menih saja, Tante! Lo gak usah sok baik deh sama gue! Makin lo cari perkara, makin gue keras. Ingat, gue memang sudah memiliki sisi baik karena ajaran Mama Nur, tapi Tante jangan lupa, sisi keras gue lebih lama karena gue hidup bersama Tante Anggita. Jadi … berhenti cari muka depan gue, Tante!” ucap Celia penuh penekanan.Nilam menarik napas panjang, dia pun hanya mampu menelan saliva dan berjalan menjauhi Celia. Hatinya yang
Waktu, terkadang tak selalu memberikan kesempatan untuk bahagia. Namun, waktu selalu memberikan kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri. Kepergian Nilam dari rumah membuat Juragan Arga murka. Namun, Nuria yang notabene seorang wanita menenangkan suaminya. Meraba rasa seorang Ibu, bahkan dulu Nilam yang pernah depresi berat karena kehilangan anaknya, Nuria sadar, pada satu sisi diri Nilam tertanam cinta yang mendalam untuk putra-putrinya. “Abang, tak ada orang yang lebih sayang pada seorang anak melebihi orang tuanya apalagi seorang Ibu, di mana melahirkan mereka nyawa adalah taruhannya. Berikan Mbak Nilam kesempatan.” Nuria memegang lengan yang mengepal itu. Beberapa anak buahnya sudah Juragan Arga kerahkan, pelarian Nilam yang alakadarnya dan dengan membawa uang yang pas-pasan membuat dia tak bisa bersembunyi terlalu jauh. “Nilam memang selalu keras kepala dan egois. Dia masih belum sadar, semua sikap egois dan keras kepalanya itu yang membuat semua orang jadi susah. Lihat saj
Nyai Fatimah sudah memberitahu Nilam jika akan ada tamu ke pesantren. Dia tak bilang siapa, hanya saja menyuruh Nilam untuk bersiap-siap membantu di kediaman utama dan menyuguhi sang tamu nanti. “Baik, Nyai! Tapi kalau jam segitu, saya masih sibuk di dapur.” Nilam menatap perempuan yang tak pernah luput dari senyuman itu. “Gak apa, mereka akan paham. Lagi pula masih ada yang back up kerjaan kamu juga, ya! Jadi bersiap saja.” “Baik, Nyai!” Nilam pun akhirnya hanya bisa patuh. Kehidupannya kini bergantung di pesantren tersebut, hanya saja dia tak pernah tahu siapa yang ada di balik semua itu. Nilam segera memandikan Naima dan Ardhan lalu memakaikannya dengan pakaian gamis pemberian Nyai Fatimah. Kadang dia pun merasa tak enak, setiap bulan selalu saja ada pakaian baru yang diberikan Nyai Fatimah pada Ardhan maupun Naima. Ingin sebetulnya menolak, tetapi dia pun sadar dia membutuhkan pakaian itu. Sementara itu. hampir tiga jam, waktu yang ditempuh oleh Juragan Arga dan juga keluarga
Celia menepis segala bayangan yang memenuhi otaknya. Gus Rasyid dan Abimanyu adalah dua orang yang berbeda. Tak mungkin wajah itu adalah wajah yang sama. Hanya saja semua memori Celia dipenuhi oleh bayangan lelaki yang sudah mengobrak-abrik hatinya. Gus Rasyid masuk dan menyalami Nyai Fatimah dan Kyiai Usman, lalu menghampiri Juragan Arga dan mencium punggung tangannya juga. Dia pun menangkupkan tangan di depan dada ketika menyapa Nuria, Nilam dan Celia. Sekilas saling bertukar pandang, tetapi Celia memilih abai. Gak penting juga baginya siapa lelaki itu. Lalu Gus Rasyid lebih tampak fokus pada obrolan orang tuanya dengan Juragan Arga tentang perluasan pesantren yang kini tengah dikelolanya. Sementara itu, Celia memilih abai.“Putri saya ini baru lulus SMA tahun ini … sebetulnya dari dulu, saya ingin dia untuk mondok, Kyiai! Tapi kalau belum ada niat di dalam hatinya, susah kalau dipaksakan. Karena itu, saya berharap dia bia mendapatkan jodoh yang bisa membimbingnya kelak!” Juragan A
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera