Nyai Fatimah sudah memberitahu Nilam jika akan ada tamu ke pesantren. Dia tak bilang siapa, hanya saja menyuruh Nilam untuk bersiap-siap membantu di kediaman utama dan menyuguhi sang tamu nanti. “Baik, Nyai! Tapi kalau jam segitu, saya masih sibuk di dapur.” Nilam menatap perempuan yang tak pernah luput dari senyuman itu. “Gak apa, mereka akan paham. Lagi pula masih ada yang back up kerjaan kamu juga, ya! Jadi bersiap saja.” “Baik, Nyai!” Nilam pun akhirnya hanya bisa patuh. Kehidupannya kini bergantung di pesantren tersebut, hanya saja dia tak pernah tahu siapa yang ada di balik semua itu. Nilam segera memandikan Naima dan Ardhan lalu memakaikannya dengan pakaian gamis pemberian Nyai Fatimah. Kadang dia pun merasa tak enak, setiap bulan selalu saja ada pakaian baru yang diberikan Nyai Fatimah pada Ardhan maupun Naima. Ingin sebetulnya menolak, tetapi dia pun sadar dia membutuhkan pakaian itu. Sementara itu. hampir tiga jam, waktu yang ditempuh oleh Juragan Arga dan juga keluarga
Celia menepis segala bayangan yang memenuhi otaknya. Gus Rasyid dan Abimanyu adalah dua orang yang berbeda. Tak mungkin wajah itu adalah wajah yang sama. Hanya saja semua memori Celia dipenuhi oleh bayangan lelaki yang sudah mengobrak-abrik hatinya. Gus Rasyid masuk dan menyalami Nyai Fatimah dan Kyiai Usman, lalu menghampiri Juragan Arga dan mencium punggung tangannya juga. Dia pun menangkupkan tangan di depan dada ketika menyapa Nuria, Nilam dan Celia. Sekilas saling bertukar pandang, tetapi Celia memilih abai. Gak penting juga baginya siapa lelaki itu. Lalu Gus Rasyid lebih tampak fokus pada obrolan orang tuanya dengan Juragan Arga tentang perluasan pesantren yang kini tengah dikelolanya. Sementara itu, Celia memilih abai.“Putri saya ini baru lulus SMA tahun ini … sebetulnya dari dulu, saya ingin dia untuk mondok, Kyiai! Tapi kalau belum ada niat di dalam hatinya, susah kalau dipaksakan. Karena itu, saya berharap dia bia mendapatkan jodoh yang bisa membimbingnya kelak!” Juragan A
Celia perlahan membuka daun pintu, sedikit tersentak melihat penampilan seseorang yang menunggunya. Lelaki berkulit hitam manis itu tengah duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon belimbing. Dia tampak mengipasi wajahnya yang terlihat lelah dengan caping kain. Di sisinya sebuah gerobak terparkir dan bertuliskan es cendol. “C--cupu, l--lo jualan?” tanya Celia memastikan. Lelaki itu menoleh, senyumnya yang khas tersungging, lalu kepalanya mengangguk perlahan.“Iya, Non! Buat nambah-nambah.” Lelaki berkulit sedikit lebih gelap itu mengulum senyuman yang bagi Celia tampak sangat manis. “Kenapa harus jualan cendol, sih? Lo gak risih apa? Secara lo itu anak kuliahan, lo! ITB, kampus bergengsi, eh malah jualan cendol! Matiin nama kampus lo mah!” Celia menatap gerobak cendol yang terparkir tak jauh dari mereka. Senyum pada bibir Abimanyu, lagi-lagi tersungging. Jemarinya menyugar rambutnya yang tampak lepek itu ke belakang. Lalu dia berjalan menuju gerobak cendolnya. Celia hanya mem
“Ini kontrakannya si Cup, eh Abimanyu bukan, ya?”Celia menatap gadis yang penampilannya tampak modis itu. Namun belum sempat gadis itu menjawab, suara yang familiar terdengar dari arah belakang Celia dan membuat perhatian keduanya beralih pada sosok yang baru datang. “Non Lili!” “Iya, gue! Mana kosan lo?” Celia sumringah ketika menangkap sosok yang baru saja datang itu. Dia mendelik sinis pada arah gadis yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dan memperhatikannya dengan seksama. “Ayo masuk!” Abimanyu tersenyum seraya berjalan menghampiri Celia, lalu begitu saja melewatinya. Langkah Abimanyu yang menuju ke arah gadis yang tadi keluar dari dalam kontrakan petakan tersebut membuat ayunan langkah Celia meragu. Dia menatap paras gadis cantik itu dan menelisiknya. “Lo tinggal sama cewek?” Celia menatap Abimanyu. “Enggak, Non! Dia baru datang kok. Hmmm … ini Mutia---teman kampus. Kebetulan kami lagi ada tugas grup. Bentar lagi teman yang lain datang juga.” Abimanyu menjelaskan seray
Mobil Innova yang dikendarai Abimanyu baru saja terparkir di halaman rumah kosan megah yang ditempati Celia. Wajah lelah Abimanyu turun dari balik kemudi lalu menyerahkan kunci. “Loh kenapa malah balik ke kosan gue, sih? Bukannya nganterin lo dulu! Tar lo baliknya gimana, Mas?” Celia menatap lelaki dengan tampang jadul itu. Senyum terkulum di bibir Abimanyu ketika mendengar Celia mengakhiri panggilan untuknya dengan kata Mas. Entah kenapa, kata sederhana itu terdengar sangat indah terdengar di telinga. “Saya lelaki, Non! Gak masalah pulang malam sendirian!” Abimanyu mengangguk seraya menunduk menjaga pandangan. “Gue anterin lagi, yuk!” Celia sudah hendak naik kembali ke mobil, tetapi Abimanyu melarang. “Enggak, Non! Saya gak akan tenang kalau gak melihat Non Lili sampai masuk ke dalam kosan!” Abimanyu berucap sopan. “So care, lo!” Celia mencebik, tetapi ada senyum yang terkulum begitu saja. Kekesalannya akibat Mutia yang tampak mencari-cari perhatian Abimanyu sedikit terobati ol
Celia membanting pintu kamar dan menyandarkan tubuh di balik daun pintu yang masih sedikit bergetar. Wajahnya terasa panas. Andai tak gengsi, sudah dia nyatakan perasaannya yang semakin tumbuh itu pada lelaki yang sepertinya tak pernah peka. Namun, lagi-lagi dia merasa malu.“Jadi orang tuh cupu banget, sih? Lo gak bisa gitu baca kode-kode yang gue kirimkan?” Celia berdecak. Padahal dengan menebalkan muka dia sudah rela merubah panggilannya pada Abimanyu menjadi Mas. Namun, sepertinya lelaki itu masih belum paham pada signal-signal yang dia sampaikan. Usai merutuki sikap lelaki yang ditaksirnya, Celia gegas membereskan buku-buku yang hari ini akan dibawanya untuk kuliah. Laptop keluaran terbaru yang diberikan oleh Juragan Arga untuknya lekas dimasukkan ke dalam tas. Belum sempat dia beranjak, sebuah pesan dari nomor baru masuk. Celia lekas membuka layar gawai dan mendapati sebuah pesan dari orang yang dikenalnya. [Hay, Lili! Pulang ngampus bisa ketemuan gak? Ada hal yang gue omongi
Mutia tersenyum puas melihat wajah Celia yang merah padam ketika video itu selesai diputar. Gebrakan pada meja dan kepergian Celia dalam keadaan penuh kemarahan membuat dirinya yakin, jika masih sangat mudah untuk menjauhkan Celia dari Abimanyu---lelaki yang sudah memenuhi hati dan pikirannya. “Anak kecil sok-sokan mau deketin cowok!” cebik Mutia seraya memasukkan gawai itu ke dalam tasnya. Gegas dia menelpon Abimanyu yang akhir-akhir ini bahkan tak memiliki lagi waktu untuknya. Karena hal itu juga, dirinya meradang dan berpikir jika Celia adalah penyebab di balik semua itu. “Assalamu’alaikum, Abi!” Mutia berucap dengan lembut. “Wa’alaikumsalam, ada apa, Mut?” Suara seseorang dari seberang sana terdengar lelah. “Abi, diminta Umi ke rumah! Ada hal yang akan dibicarakan katanya.” Seperti biasa, Mutia langsung pada inti permasalahan. Dia tahu jika Abimanyu bukan orang yang suka basa basi. “Bicara? Untuk?” Pertanyaan Abimanyu terlempat begitu saja. “Karena kita sudah hampir lulus!
Dini hari, mobil yang dikendarai Juragan Arga yang diikuti oleh Suryadi sudah memasuki halaman rumah. Suasana lengang, hanya bunyi jangkrik dan katak terderngar dari kejauhan. Satu buah tepukan pada pipi Celia membuat gadis itu mengerjap. Juragan Arga menatap sepasang mata Celia yang sembab. “Sudah malam, mau istirahat dulu atau ke rumah sakit sekarang?” tanyanya memastikan. Celia mengedarkan pandang, rupanya sudah ada di kediamannya sekarang. Dia pun menghirup udara banyak-banyak lalu dia hembuskan. Setelah itu membuka pintu mobil, tanpa menjawab pertanyaan dari Juragan Arga. Dia langsung berjalan gontai menuju teras rumah. Juragan Arga hanya menghela napas, tetapi dia bisa apa? Celia memang keras kepala sejak dulu. Karena itu juga dia begitu berharap pada sosok Gus Raysid yang dia yakini bisa mengubah dan mendidik Celia menjadi lebih baik setelah pernikahannya nanti. Apalagi, melihat Celia sekarang, membuat segumpal pertanyaan dan kekhawatiran semakin menjamur memenuhi rongga pi
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera