Juragan Arga menatap was-was pada Nuria. Namun gadis yang sudah terbiasa menjalani kerasnya hidup itu tersenyum pasti. “Abang … selama ini Abang sudah begitu baik denganku, maka izinkan aku untuk memberikan satu kebaikan saja untukmu. Aku akan berusaha menjadi Ibu dan sahabat yang baik untuk Celia … semoga saja aku bisa, Bang.” Lelaki itu mengangguk. Tak menyangkan istri kecilnya bisa berpikiran sedewasa itu. Bahkan dirinya sendiri yang rasanya masih belum siap jika pada kenyataannya, Celia dan Nuria tak bisa dipersatukan. Apalagi watak Celia yang begitu keras dan emosinya yang meledak-ledak. Mereka pun meluncur, menuju Kota Jakarta di mana Naima dan Celia masih berada di kediaman Anggita. Sepanjang perjalanan tak banyak percakapan yang terjadi. Sesekali Juragan Arga mengangkat telepon, entah ada update apa terkait pekerjaan atau hal lain. Nuria hanya menyimak saja. Jalanan kampung sudah terlewati, mereka mulai memasuki jalanan padat merayap yang membawa mereka ke pusat kota. Kema
Perjalanan menuju kediaman terdengar riuh oleh celotehan Naima. Dia berada dalam pangkuan Mita yang duduk di kursi belakang bersama Celia. Sementara itu, Nuria duduk di kursi depan. Beberapa kali bayi gembil itu meronta ingin ke depan, tetapi terdengar Mita mengalihkan perhatiannya. Seolah Naima adalah hal yang haram untuk dipegang oleh Nuria. “Mamamama ….” Naima meronta, tetapi terdengar lagi-lagi Mita mengalihkan perhatiannya.“Ima mau mamam, Sayang? Sebentar Bunda buatin dulu, ya!”“No No No! Mamamama ….” Sepertinya Naima sudah mengerti jika diajak bicara. Dia menggeleng seraya menyebutkan kata yang biasa diucapkan Anggita ketika perempuan itu tak menyetujuinya melakukan sesuatu yaitu no. “Mbak Mita, kasih Naima ke sini … dia sudah tahu kalau saya ini adalah mamanya.” Nuria menoleh seraya mengulurkan tangan pada Naima. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata berbinar, sedangkan Celia tampak mendengus ketika melihat perempuan yang hampir sebayanya itu seolah cari perhatian.“Gak u
“Apa itu, Istriku! Selama Abang bisa memenuhinya … Abang akan memenuhinya.” “Aku bisa berbagi Naima dengan siapapun baby sitternya asal jangan Mita!” Juragan Arga terdiam. Dia tampak menatap wajah Nuria lekat. Wajah lembut, manis dan tak pernah tersirat kebencian di sana itu kali ini meminta sesuatu yang terdengar tak masuk akal.“Apakah kamu sedang cemburu, hmmm?” Juragan Arga menatap lekat pada wajah Nuria. Ada senyum tipis tersungging pada bibirnya. “B--bukan, Bang.” Nuria menggeleng. Tiba-tiba wajahnya terasa panas karena malu. Apalagi suaminya menatap dengak senyum simpul pada bibirnya yang kemerahan. “Mita adalah baby sitter yang sudah lama sekali kerja di sini, Istriku. Mungkin dia tampak sedikit posesif pada Naima, tetapi menurut Abang wajar. Dia mengurusnya sejak lama dan mungkin dia merasa cemburu karena Naima sekarang dekat denganmu.” Nuria tersenyum hambar. Dia mengangkat wajah sekilas lalu menunduk kembali. Entah kenapa, tak ada keberanian untuk beradu pandang lama-l
Mita merasakan tubuhnya digendong oleh seseorang. Aroma maskulin yang menguar membuat debar di dalam dadanya berdentum cepat. Dalam bayangannya, kini tubuh tinggi tegap sang Juragan tengah mendekapnya. Namun dia tak berani sekadar mengintip. Kedua matanya tetap terpejam rapat sambil menikmati sensasi yang mendebarkan. Daun pintu kamar terbuka yang dia dengar ada deritan. Lalu tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Ingin rasanya Mita mengalungkan lengan ke tengkuk lelaki yang menggendongnya. Namun bagaimanapun kini, dirinya tengah berpura-pura menjadi korban. “Bi Lala, Bi Menih … tolong urus dia! Saya mau ketemu dulu dengan Juragan!” Mendengar suara lelaki itu, mendadak semua kebahagiaan dan debaran yang bertalu itu mendadak sirna. Itu bukan suara Juragan Arga melainkan Suryadi. Tangan kekar yang memeluk dan membopongnya, rupanya tangan milik orang lain. Namun tak banyak hal yang bisa dia lakukan, dirinya kini tengah berpura-pura kehilangan kesadaran. Andai bisa sedikit lebih b
“Hari ini ada kunjungan dari psikiater lagi, Bang?” Nuria menatap suaminya yang baru saja duduk dan meneguk kopi hitam buatannya. “Iya.” Hanya jawaban singkat Juragan Arga, tatapannya tampak menatap jauh ke depan, melewati halaman yang luas di depan rumah dan gembok yang tinggi menjulang. “Kenapa gak dirawat di rumah sakit saja sih Mbak Nilamnya, Bang? Kan jadi gak repot jemput-jemput dokternya ke sini.” “Terlalu berbahaya bagi Nilam. Dulu pernah dirawat beberapa pekan, tetapi kondisinya malah semakin buruk. Ketika dokter memeriksanya, ada obat-obat pemicu halusinasi yang tercampur dalam darahnya.” Juragan Arga menjelaskan tanpa diminta. Nuria menatap lekat, kini dia baru tahu alasan Juragan Arga mengurung Nilam di rumah saja. “Kenapa bisa begitu ya, Bang?” Nuria memandang lurus ke depan. Lelaki itu menarik napas panjang lalu kembali menatap sang istri. “Sepertinya ada yang menginginkan Nilam tak pernah sembuh. Bahkan sepertinya menginginkan dia mati saja. Pernah mobil yang mem
Nuria menggulir layar, menyusuri semua laman yang menampilkan nama Fatma di sana. Satu per satu akun dengan nama Fatma. Ada harap membumbung seiring dengan satu per satu nama dikliknya. Naima sudah mulai bosan ketika Mama kecilnya lebih fokus pada gawai, tangan mungilnya meronta berusaha meraih benda pipih yang dipegang Nuria. "Mamamamama .... " "Duh, Adek bosen, ya? Maafin mama, ya, Sayang!" Nuria hendak menyimpan gawai nya dan meraih tubuh mungil yang meronta-ronta. Namun tanpa Nuria sangka, tangan Celia menahannya. "Dedek sini! Mau lihat kambing, gak?" Nuria tertegun ketika secepat kilat, tangan Celia meraih tubuh mungil Naima dan didudukkan di pangkuannya. "Abiiing?" Kedua mata bulat Naima membesar ketika Celia menunjukkan layar gawai padanya. Tampak dalam layar itu video kambing yang Celia tunjukkan pada Naima. Gadis kecil itu tampak excited sekali melihat kambing-kambing itu mengembik."Iya, Adek lihat kambing saja. Jangan berisikl!" Celia berbicara dengan nada ketus, teta
Rumah tangga Juragan Arga dan Nuria sudah memasuki bulan kedua. Dikarenakan hubungan Suryadi dan Mita sudah tampak semakin dekat, akhirnya Juragan Arga urung untuk meminta Mita keluar dari rumahnya. Hanya saja seorang baby sitter baru sudah kembali direkrutnya dan mau tak mau, Mita harus mau berbagi kamar dengan Elin---seorang janda dengan dua anak yang masih membutuhkan biaya. Chemistry yang terpancar antara pasangan beda usia itu semakin kentara. Sikap dewasa Juragan Arga bak gayung bersambut dengan kelemah lembutan Nuria dan kebergantungannya. Apalagi lelaki itu, tampak begitu memberikan perhatian istimewa pada perempuan yang usianya memang terpaut sangat jauh di bawahnya. Satu bulan kurang lebih, Nuria mencoba mendekati hadis keras kepala itu. Kini Celia mulai bisa diajak komunikasi. Meskipun sikapnya masih tampak ketus dan tak acuh, tetapi dia begitu totalitas membantu mencari informasi terkait keberadaan Fatma. Rasa senasib kehilangan Ibu pada usia yang tak jauh berbeda, rupan
“B--Bang? Kenapa polisi menangkap Paman Nursam? B--Bukankah anak b--buah Abang yang dulu sudah membuat Radit c--celaka?”Juragan Arga mengalihkan fokus dari layar kaca yang ada di depannya dan menoleh pada Nuria yang mematung tak jauh darinya. “Duduk sini ….” Lelaki itu bukannya menjawab, melainkan menepuk ruang kosong pada sofa yang didudukinya. “A--apa benar yang aku bilang tadi, Bang?”Nuria mendekat, lalu menurut untuk duduk pada sofa tersebut. Juragan Arga melingkarkan tangan kekarnya pada pinggang sang istri. Tubuh mungil itu sudah terbenam pada rengkuhan tangan kekar sang Juragan. Dibiarkannya beberapa saat, hingga gelayar hangat mengaliri darah. Lalu dia memangkas jarak dan menghadiahi beberapa kecupan singkat pada wajah sang istri yang tampak memerah. Satu kecupan singkat pada bibir Nuria mengakhiri semuanya. “Ke kamar, yuk! Abang akan cerita di sana.” “Eh?”Nuria bengong ketika lelaki itu bangkit dan menatap penuh hasrat. Namun lalu dia pun mengangguk karena paham, tak
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera