Di depan kamar Nattaya, lelaki bermata dalam itu berusaha menutup kamarnya dengan sekuat tenaga. Menghalangi agar Amira tidak masuk dan menghajarnya habis-habisan. Dia memang sempat mengejek Amira, dengan menunggunya di depan pintu sebelum menutup pintu ketika kakaknya itu tinggal beberapa langkah lagi mendekatinya.
Jadilah, saat ini terjadi dorong-dorongan di antara keduanya. Nattaya yang berusaha menutup pintu dan Amira yang berusaha mendorongnya.
"Buka, Nata!" teriak Amira kesal. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawan kekuatan Nattaya.
"Aku ogah mati muda."
"Aku cuma mau bicara," geram Amira.
"Emang aku percaya?" Nattaya terkekeh.
"Beneran ...." Suara Amira mengecil. Kekuatannya mendorong juga berkurang.
"Aku tau kamu bohong, Kak. Aku gak bakal terkecoh."
Amira memukul-mukul pintu dengan keras berkali-kali. Telapak tangannya terasa pedas. Mulutnya rapat menahan geram. "Buka!!!"
"Ogah!"
Amira berpikir cepat. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dari mulut. Menarik dirinya dan mundur beberapa langkah. Membiarkan kesunyian terjadi.
"Kak," panggil Nattaya ragu. Tetap waspada ketika dia menutup pintu itu tanpa perlawan.
Bukannya Nattaya tidak tahu bahwa Amira masih berada di sana. Jika dia membuka pintu ini sedikit dengan gaya biasa, Amira akan langsung mendobraknya. Sudah berkali-kali kejadian ini terjadi dan dia pun bisa memperkirakannya. Namun, apa yang dia bisa lakukan, dia terlalu suka mengerjai Amira seperti ini.
"Kak," panggil Nattaya lagi. Masih tidak ada jawaban.
Diputuskannya untuk membuka pintu sekarang. Menjaga jarak tubuhnya dari pintu sepanjang tangan.
Tanpa diduga, Amira melancarkan tendangan di pintu hingga mengagetkan Nattaya. Membuatnya mundur beberapa langkah. Memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu untuk berlindung.
"Kak, kita bisa bicara baik-baik," nego Nattaya. Kedua telapak tangannya mengarah ke depan, seolah manangkis kemarahan yang dikobarkan oleh Amira.
"Kenapa kamu menceritakan tentangku pada Andi," desis Amira.
Nattaya menyeringai. "Dia kan, mau pedekate. Jadi, aku kasih spoiler dikit lah."
"Laki-laki itu freak, Nata." Amira berlari dengan tubuh sedikit condong ke depan. Tangannya yang memegang bantal terangkat dan diturunkan dengan kuat saat Nata sudah ada dalam jangkauannya.
"Dia baik." Nattaya berhasil menghindar dari pukulan bantal kakaknya.
"Dia berondong!" Amira terus mengejar. Pengejaran ini hanya berputar di dalam kamar saja. Nattaya terlalu lincah dan terus dapat menghindar dari pukulannya.
"Pemikirannya dewasa." Nattaya naik ke atas ranjang dan berjalan cepat menuju tepi ranjang lainnya, lalu turun. Amira mengikuti.
Sekitar lima belas menit aksi kejar-kejaran di kamar itu terjadi. Diikuti dengan teriakan kemarahan Amira. Beberapa kali Nattaya memang berhasil kena pukulan, tetapi tidak pernah berhasil tertangkap. Sampai mereka sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya. Duduk di tepi ranjang dengan baju yang basah oleh keringat.
Amira menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya berada di tengah ranjang dan kedua tangan terbuka lebar. Pandangannya menatap lesu langit-langit kamar. Napasnya ngos-ngosan, begitu juga dengan Nattaya.
Membuang lelahnya, Nattaya juga ikut berbaring di ranjang. Kepalanya bersebelahan dengan Amira, kakinya menjuntai di tepi ranjang. Dia sudah tahu, amarah Amira sudah menurun.
Beberapa saat tidak ada pembicaraan yang terjadi. Hanya deru napas lelah yang terdengar.
"Kenapa gak penjajakan dulu, sih, Kak sama Andi," kata Nattaya setelah mampu mengendalikan napasnya. Keringatnya yang tadi memenuhi wajah, sudah mulai mengering.
"Dia seusia denganmu. Apa kamu gak mikir?"
"Kak," kata Nattaya sambil mengangkat sebelah kakinya ke ranjang. Separuh tubuhnya memutar menghadap Amira yang terlihat sedang menutup mata. "Percaya sama aku kali ini, deh. Coba aja dulu sama Andi. Dia gak bakal nyakitin kamu. Aku kenal dia udah lama."
Amira menggeleng masih dengan menutup mata.
"Dia suka Kakak udah lama. Bahkan dari SMA. Dan gak berubah sampai sekarang. Makanya, baru sekarang aku bisa kasih lampu hijau."
"Dia bukan tipeku."
Nattaya mengembuskan napas kuat, "Kakak gak perlu langsung setuju menikah dengannya. Coba kenalan dulu aja. Aku yakin, pandangan Kakak akan berubah tentangnya. Lagian Kakak juga harus udah move on. Udah terlalu lama ini."
Desahan kuat terembus dari hidung Amira. Dia kembali merebahkan kepalanya dan menatap kosong ke atas. Setelah putus dari Gilang, dia tidak pernah membuka hatinya pada lelaki lain. Putusnya hubungan mereka membawa sakit yang teramat dalam dan begitu lama terobati. Saat ini, meski dia sudah tidak menginginkan Gilang lagi, tak jarang saat mengingat lelaki itu, perasaannya masih terasa sakit, walau tidak sesakit dulu.
"Aku gak mau sama dia."
"Kenapa? Karena usia? Abaikan aja. Kalau emang jodoh, manusia bisa apa."
"Dia nyebelin tau," kata Amira dengan ketus. Terbayang kembali bagaimana mereka berbicara tadi.
"Itu cuman sama Kakak aja. Namanya juga grogi."
"Grogi?!" Amira tiba-tiba bangkit. "Gayanya begitu dibilang grogi? Dia bikin malu, tau."
"Ya, kan, kalau sama orang yang kita suka, emang kita sering bikin dia kesal biar menarik perhatiannya."
"Dia bukan anak ABG lagi, ya."
"Namanya juga belum pengalaman," bela Nattaya. "Dia gak pernah pacaran, lho, karena nungguin Kakak."
Amira terbelalak mendengar perkataan adiknya. Mulutnya terbuka tidak percaya. Bagaimana mungkin?
"Kamu bercanda, kan?"
***
Amira memutuskan untuk bertemu dengan Andi hari ini. Mencoba seperti yang disarankan Nattaya, saling mengenal, dimulai dari pertemanan.
Teman janjian yang ditetapkan Amira adalah Solaria di Big Mall. Sudah lama dia tidak menikmati udang asam manis di sana yang begitu digilainya. Menyibukan diri dengan pekerjaan membuat pola hidupnya hanya berkutat, tidur, kerja, berkumpul di ruang keluar, makan di rumah. Sudah berbulan-bulan seperti itu. Meluangkan waktu sedikit seperti ini tidak ada salahnya memulai kebiasaan lama, window shoping dan memuaskan mata.
Masih satu jam lagi waktu bertemu Andi. Sengaja dia membuat jadwal waktu seperti itu untuk menikmati kesendiriannya. Selain untuk bersantai, dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tingkah Andi yang tengil agar tidak mudah tersulut emosi.
Mendekati waktu janjian pertemuannya, Amira membelokan diri ke stand Solaria dengan tidak menambahkan kecepatan langkahnya. Dia hampir saja berteriak keras saat tiba-tiba lengannya diraih oleh seseorang.
"Gilang," desis Amira. Wajahnya seketika kaku.
"Apa kabar, Mir?" tanya Gilang dengan senyum lebar.
"Baik sebelum ketemu kamu."
Amira ingin melangkah pergi dan meninggalkan Gilang begitu saja. Melihat wajah lelaki itu saja, membuat dada wanita itu bergemuruh hebat. Waktu terkadang tidak menyembuhkan luka.
"Bisa kita bicara?" Gilang kembali meraih lengan Amira untuk menghentikannya.
"Lepasin!" Suara Amira dingin.
"Nggak, sebelum kita bicara," ucap Gilang serius. "Kamu selalu menghindariku."
Amira menepiskan tangan Gilang kasar. "Karena aku belum punya urusan denganmu."
"Tapi aku ada."
"Bukan urusanku." Amira kembali melangkah.
"Sepuluh menit, aku mohon kasih aku kesempatan bicara." Gilang langsung menghadang Amira.
"Aku sibuk, gak punya waktu." Amira menggeser tubuhnya, tetapi Gilang kembali menghalangi.
"Aku akan bertunangan."
Seketika saja tubuh Amira seperti dijalari es yang membuatnya membeku. Menusuk-nusuk hatinya yang memang masih terluka akibat kejadian setahun lalu. Bagaimana mungkin seseorang yang bersalah masih bisa bahagia, sedangkan dia masih belum bisa menutup luka?
"Aku gak mau kamu menggagalkan hubunganku kali ini."
Mencoba menguasai diri, Amira sekuat tenaga menenangkan hati. Dia menolehkan kepalanya dan menatap Gilang dengan tajam.
"Apa aku perlu memberi selamat?" ucap Amira sinis. "Atau aku bantu kamu buat pengumuman di papan reklame?"
Gilang membasahi bibirnya sebelum berucap, "Kamu tahu maksudku, Mir. Jangan ganggu kehidupanku lagi."
Tawa Amira meledak. Beberapa orang bahkan langsung menatapnya. "Kamu gak kege-er-an, kan? Aku gak pernah ngurusin hidupmu."
"Kamu selalu berbicara dengan wanita yang kudekati dan mengumbar kesalahanku pada mereka."
"Hanya dua kali, itu pun sudah lama," sanggah Amira. "Dan itu pun dalam rangka untuk menyelamatkan mereka."
"Kamu dendam, Mir. Mau sampai kapan?"
"Sampai kamu berenti cari muka sama orang-orang yang kita kenal dan mengatakan kalau kita putus karena aku bosan denganmu lalu pergi. Bukan karena kamu selingkuh."
"Aku bicara gitu karena ingin melindungi kamu juga. Biar aku dapat buruknya."
"Hah!" sentak Amira. "Kamu emang buruk, no debat! Kamu pikir perbuatanmu baek? Dari sudut mananya?"
"Oke, aku emang salah." Gilang menarik napas panjang. "Tapi aku sudah berkali-kali minta maaf sama kamu. Aku bahkan mau lakuin apa aja biar kamu bisa memaafkanku."
"Dulu aku bilang kamu mati aja, biar kumaafkan. Kenapa sekarang masih hidup aja."
Gilang mengusap tengkuknya. Baginya Amira kini begitu berubah. Sejak mereka putus, dia seperti melihat sosok wanita yang berbeda dari diri Amira. Dia tidak bisa lagi untuk diajak bicara, dibujuk. Hanya kemarahan yang dihamburkannya.
"Terakhir kali aku mau bilang, aku minta maaf, Mir," pinta Gilang dengan lemah. "Tolong kita akhiri kebencian yang ada. Kita melangkah menuju bahagia masing-masing."
"Seandainya kamu menderita, aku pasti bahagia."
"Aku memang gak pantas buat kamu," ucap Gilang mengabaikan kalimat Amira terakhir. "Padahal kamu selalu mendukung dan bersamaku, tetapi aku mengkhianatimu."
Amira menggosok-gosok telinganya, berpura-pura gatal.
"Untuk melangkah menuju hidup baruku, aku perlu maafku, Mir. Bisa?"
"Gak," sambar Amira langsung.
"Mir ...."
"Apa sebaiknya aku nyari tau siapa tunanganmu, ya?"
"Mir ...."
"Udah terlanjur kamu bikin pengumuman juga," kata Amira. "Video kamu di apartemen dulu masih aku simpan, lho."
"Kamu jangan macam-macam, Mir." Telunjuk Gilang mengarah tajam ke wajah Amira. "Aku sudah sangat bersabar dengan tingkahmu, ya."
"Aku melakukan apa sampai kamu perlu bersabar?" tantang Amira. "Bahkan aku belum ngapa-ngapain."
"Mir, move on. Biarkan aku bahagia."
Amira tersenyum sinis. "Kamu yang berbuat salah, kamu yang merasa perlu bahagia."
"Aku hanya ingin kita bermaafan dan melupakan semuanya. Termasuk, hapus video itu."
Amira terbahak dibuat-buat. "Nanti setelah aku tau siapa dia, aku akan mengirimkan video itu sama dia," ujar Amira setelah meredakan tawanya.
"Aku udah peringatkan kamu, ya, Mir." Gilang mencengkram lengan Amira. Kali ini dengan kekuatan. "Jangan uji kesabaranku."
Rasa sakit menjalari lengan Amira. Dia ingin menggeliat agar lepas dari kungkungan jemari Gilang. Namun, jika begitu, berarti dia kalah. Jadi, Amira menahan rasa sakit itu.
"Aku tidak peduli dengan kebahagiaanmu, Lang. Tunggu saja, tunggu saja," desis Amira.
"Pertunangan ini sangat berarti untuk seluruh hidupku."
"Bukankah itu jadi lebih menarik lagi?" Amira memasang wajah penuh semangat.
"Kali ini aku gak bakal diam."
Cengkraman Andi semakin kuat saja. Buku-buku tangannya yang melingkari lengan Amira memutih, tetapi kulit Amira sendiri memerah.
"Amira ...." panggil suara yang sudah dikenal Amira. Andi. Membuat hati perempuan berambut sebahu itu bersorak gembira. Sedikit lagi, jika tekanan Gilang makin menjadi, dia akan berteriak kesakitan. "Ada apa ini."
Gilang langsung melepas pegangannya. Kepalanya menoleh ke arah asal suara. Matanya masih menyorot tajam penuh kemarahan, tetapi perlahan-lahan meredup.
Andi melihat Amira yang mengusap tangannya. Bekas jari-jari Gilang membekas tebal di sana.
Berjalan cepat, Andi langsung berdiri menghadapi Gilang dengan sorot mata tajam. Membuat Amira menggeser di belakangnya.
"Apa yang kamu lakukan pada tunanganku," ujar Andi dingin.
“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?” Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang
Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata. Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap. “Mira!!! “ Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam. “Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada. Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati. Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.Berpura-pura santai, Amira hanya membenar
Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram. Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya. "Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya. Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya. Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunju
Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi. Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah."Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan."Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Akhirnya mereka gagal makan dan berakhir di dalam mobil, masih di parkiran cafe El Barlito. Andi tidak langsung menjawab pertanyaan Amira. Dia malah menunduk menekuri sepatu kets hitam yang dikenakannya. "Andi," sentak Amira dengan tidak sabar. "Bukan apa-apa, tidak begitu penting." Akhirnya Andi menjawab. "Dan menurutmu aku percaya?" "Banyak ungkapan serius yang aku ucapkan, kamu memilih untuk nggak percaya." "Aku serius." Amira memandang Andi dengan tatapan tajam. Andi mengembuskan napas panjang. Dia sebenarnya tidak ingin mengungkapkan apa yang menjadi penyebab pertengkarannya dengan Gilang. Perkataan mantan pacar Amira itu terasa merendahkan wanita itu dan dia tidak ingin wanita yang diinginkannya untuk menjadi pendamping hidup itu mengetahuinya. "Hanya menyelesaikan yang kemarin tertunda." Andi mencoba berbohong. "Saat kita bertemu dengannya di mall?" Amira menukas. "Aku tidak percaya." "Memang itu." "Aku ingin kamu mengatakan kejujurann
Andi baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, ketika ponselnya berdering. Lelaki itu memperhatikan panggilan yang hanya terdiri atas deret angka. Nomor panggilan baru yang tidak ada di kontaknya. "Halo," sapa Andi sembari duduk di tepi ranjang. "Ini dengan Andi?" tanya suara di seberang saluran. "Ya." "Ini aku, Gilang." Wajah Andi mengeras. Kekesalannya akibat perkelahian tadi sore terkenang lagi. "Apa maumu?" tanya Andi dingin. "Aku bisa melaporkanmu karena memukulku lebih dulu," kata Gilang tanpa basa-basi. Andi tidak menjawab. Dia hanya menatap ke depan, pada dinding hitam doff polos yang menjadi kombinasi warna cat kamarnya, selain putih dan abu muda. Menunggu mantan Amira itu mengucapkan lanjutan apa yang dia ingin bicarakan. "Tapi aku ingin kita berdamai," lanjut Gilang lagi. Ada desahan di ujung kalimatnya. "Apa timbal baliknya?" Terdengar suara tawa dari seberang sana, membuat Andi membuat Andi memutar bola mata malas. Tidak mu
"Ngapain bengong, Kak?" Nattaya tiba-tiba sudah ada di belakang Amira. Dia lalu duduk di samping kakaknya itu yang sedang duduk di halaman belakang."Lagi mikirin Andi, ya?" Kedua alis cowok itu bergerak naik turun dengan tatapan usil. "Aku dengar-dengar kalian sering kencan berdua sekarang, ya.""Bacot," umpat Amira kesal. "Dia yang selalu tiba-tiba muncul di kantor.""Dih, yang mulai seriusan, nih," ledek Nattaya tidak berhenti mengganggu kakaknya."Apaan, sih," ujar Amira kesal. Hilang sudah kedamaian yang tadi tercipta saat dia masih sendiri. "Kamu belum jadian, ya, catet!"Andi pura-pura membelalak. "Belum? Wah, berarti ntar bakal jadian dong. Tinggal nunggu waktu berarti.""Aku bisa ngorek tanah tanaman mama buat ngelumurin badan kamu, ya." Amira mengancam karena terus-terusan diledek adiknya itu."Kalau kesel berarti benar." Tawa Andi makin meledak.Amira membuat bibirnya nyaris seperti garis dengan tarikan napas dalam.Memang, sedari tadi dia memilih untuk menyendiri di sana k
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut