"Ngapain bengong, Kak?" Nattaya tiba-tiba sudah ada di belakang Amira. Dia lalu duduk di samping kakaknya itu yang sedang duduk di halaman belakang."Lagi mikirin Andi, ya?" Kedua alis cowok itu bergerak naik turun dengan tatapan usil. "Aku dengar-dengar kalian sering kencan berdua sekarang, ya.""Bacot," umpat Amira kesal. "Dia yang selalu tiba-tiba muncul di kantor.""Dih, yang mulai seriusan, nih," ledek Nattaya tidak berhenti mengganggu kakaknya."Apaan, sih," ujar Amira kesal. Hilang sudah kedamaian yang tadi tercipta saat dia masih sendiri. "Kamu belum jadian, ya, catet!"Andi pura-pura membelalak. "Belum? Wah, berarti ntar bakal jadian dong. Tinggal nunggu waktu berarti.""Aku bisa ngorek tanah tanaman mama buat ngelumurin badan kamu, ya." Amira mengancam karena terus-terusan diledek adiknya itu."Kalau kesel berarti benar." Tawa Andi makin meledak.Amira membuat bibirnya nyaris seperti garis dengan tarikan napas dalam.Memang, sedari tadi dia memilih untuk menyendiri di sana k
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut