Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata.
Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap.
“Mira!!! “
Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam.
“Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada.
Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati.
Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.
Berpura-pura santai, Amira hanya membenarkan kaos yang dikenakannya. Mengedikan bahu seakan tidak peduli.
“Ngapain bocah itu pagi-pagi di sini, Ma.” Amira berusaha untuk senormal mungkin bersuara. Suaranya masih parau khas orang bangun tidur.
“Pagi kepalamu!” sentak Ambarwati. Lalu wanita itu berjalan sambil berdecak melewati Amira. Sejenak dia melirik sinis ke arah Amira dan menurun naikan matanya saat berhadapan dengan anak tertuanya itu. “Malu sedikit dengan tingkahmu di depan calon tunanganmu,” desis Ambarwati.
Amira memutar bola mata malas dengan embusan napas panjang. Disambut Ambarwati dengan mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya.
“Dasar jorok,” ketus Ambarwati, “cepat sikat gigi sana. Kamu kok makin bikin malu Mama. “
“Biasanya juga gini, Ma.” Amira membela diri.
Ambarwati yang gemas menjitak kepala Amira. Mendorong tubuh anak perempuannya itu untuk kembali menapaki tangga. Memerintah tanpa suara agar Amira membersihkan diri.
“Iya, iya,” ujar Amira sambil melangkah dengan malas.
Ibunya berjalan kembali tanpa membalik. Kesempatan itu digunakan Amira untuk berhenti melangkah dan menatap Andi yang masih bergeming dengan beberapa kantong plastik di tangannya.
“Kamu gak punya kerjaan, ya, pagi-pagi ke sini?” Amira menatap Andi tajam. “Katanya pengusaha, tapi sibuknya di mari.”
Terkekeh kecil, Andi menjalan mendekat. Membuat Amira menaiki tangga dengan mundur.
“Temani mertua belanja, Sayang,” ucap Andi sambil terkekeh. Membuat Amira langsung memasang wajah masam.
***
Ketika turun kembali ke lantai bawah, dengan tubuh yang sudah bersih dan wangi walau hanya menggunakan kaos oblong hitam bertulis “Cari Papa” dan celana denim selutut, Amira membayangkan akan mendapati wajah Andi.
Sebenarnya dia ingin di hari Minggu ini bersantai dan gegoleran tanpa pikiran. Makan-nonton, makan-tidur. Tidak melakukan apapun selain merelaksasi diri dengan tidak ngapa-ngapain. Namun, dengan kehadiran Andi tadi, entah mengapa rencana sempurna itu akan buyar.
Dadanya sudah berat dengan kehadiran Andi saja. Belum lagi memikirkan segala gombalan yang coba dilancarkan Andi. Kenapa dia tidak sadar diri saja, menjauh, pikir Amira.
“Masak apa, Ma?” tanya Amira saat memasuki ruang makan yang tersambung dengan dapur. Amira berusaha mengabaikan keberadaan Andi yang sedang duduk di depan meja makan dan sedang mengunyah sesuatu entah apa.
“Katanya Andi suka soto ayam, Mama mau buatkan buat dia dan kita semua,” jawab Ambarwati tanpa repot mengalihkan pandangan dari kentang yang sedang di irisnya.
“Seharusnya Mama masak kesukaanku saja hari ini,” ucap Amira cemberut. “Dia punya ibu yang bisa memasakan untuknya di rumah.”
Ambarwati mengerem kerjaannya. Dia menatap Amira dengan mata membelalak, kemudian melirik Andi dengan tatapan tidak enak sejenak.
“Privilege calon mantu,” celetuk Andi santai.
Kan, kesal Amira dalam hati. Dia pun pura-pura tidak mendengar.
Langkah Amira mendekati Ambarwati dan berdiri di sampingnya. Meraih wortel dan peeler, lalu mengupas sayur orange itu.
“Ibu Andi sudah tiada,” cicit Ambarwati dengan suara rendah meski masih terdengar telinga Amira. Wanita yang sudah memasuki usia 55 tahun itu mengatakannya sambil terus menggerakan tangan dengan pekerjaannya.
Amira tertegun.
Ditatapnya Andi yang terus memakan makanan yang ada di hadapannya. Kali ini Amira mengetahui apa yang sedang dinikmati cowok itu, rujak buah.
Perasaan Amira jadi tidak enak. Dia merasa bersalah sudah menyindir tadi.
Akan tetapi, perasaan itu tiba-tiba saja menguap saat Andi memberikan kecupan jauh. Kini dia ingin mengiris Andi.
***
Amira dan Andi duduk berdua di teras belakang rumah wanita itu. Menghadap kebun yang lebih banyak ditanami sayuran oleh Ambarwati.
Kemarin pembicaraan yang ingin dikemukakan Amira gagal gara-gara insiden Gilang. Untuk itu, wanita itu ingin melanjutkannya hari ini. Dia tidak ingin menunda-nunda waktu.
“Aku minta maaf karena gak tau … mamamu …” Amira memulai pembicaraannya dengan ragu.
“Waktu bersedih udah lama lewat,” potong Andi santai. Tidak ingin membuat perasaan Amira gak enak.
Amira mengangguk. Merasa lega. Bagaimanapun, perkataannya tadi kelewatan.
“Kalau kamu masak tiap hari di rumahku, aku pasti lebih bahagia,” tambah Andi lagi sambil terkekeh.
Mulai lagi. Amira mengembus napas pendek.
“Kita harus bicara,” ujar Amira mengabaikan tingkah usil Andi.
“Tentang kita?” Andi memutar tubuhnya menghadap Amira. Wajah lelaki itu terlihat bersemangat. “Bagaimana kalau memulainya dari bulan madu.”
Amira mendelik kesal. Menatap tajam ke arah Andi.
“Matanya jangan gitu amat dong Sayang, kan jadi gemes.” Andi terkekeh.
Dalam hati Amira terus mengafirmasi dirinya untuk sabar, jangan terpancing. Pembicaraan mereka kali ini tidak boleh berakhir sia-sia. Dia sudah menyusun banyak hal dalam kepalanya untuk membuat Andi mengubah rencana, untuk tidak menikah dengannya.
“Kamu mau dengarin aku ngomong, gak?” kata Amira berusaha menahan rasa geramnya.
“Jangankan dengarin kamu ngomong, dengarin omelanmu tiap hari aku juga mau."
Dengan memutar bola matanya, Amira mengabaikan perkataan Andi yang terakhir. Dia memilih berdehem satu kali untuk memulai perkataannya.
"Mari kita berkenalan dulu," ujar Amira. "Kita sama-sama baru mengenal kemarin, dan gak ada hal mendalam yang kita saling ketahui untuk lanjut ke hubungan lebih serius."
"Aku lebih suka langsung menikahimu dan mengenal kemudian," sahut Andi. "Aku gak mau keduluan orang lain, lho."
Amira membuka mulutnya ingin menyanggah, tetapi perkataannya langsung terhenti karena Andi kembali menyerobot perkataannya.
"Aku udah nunggu kamu lama, Amira. Kesempatan ini gak datang dua kali."
Wajah Andi tiba-tiba serius, membuat Amira merasa aura cowok itu jadi berbeda. Membuatnya gugup. Apalagi mata tajamnya menatap intens ke arah wanita itu dan tak ada kebohongan di dalamnya.
Ditatap lekat seperti itu membuat Amira jadi salah tingkah.
Wanita itu teringat kejadian kemarin, saat aura Andi berubah 180 derajat dari sikap tengilnya. Sikap yang membuatnya sempat merinding.
Kemarin, dia seakan menyaksikan lelaki dewasa yang memiliki tatapan tajam yang bisa menusuk hatinya kalau dibiarkan.
"Kamu mau terima tawaranku atau aku gak mau kenal kamu sama sekali?" Amira berusaha menguasai diri. "Aku bisa pergi dari rumahku jika itu perlu, kalau aku dipaksa menikah."
Wajah Andi langsung panik. Matanya terbelalak. Dalam sekejap, otak cowok itu tiba-tiba blank.
"Kamu cuma bercanda, kan?"
"Kamu pikir, aku ga bisa gila macam kamu? "
Otak Andi mencoba menggali memori bagaimana Nattaya pernah menggambarkan sosok kakaknya itu padanya. Pada kesempatan lalu, saat mereka mengobrol dan Andi mencoba menggali tentang Amira.
Bisa jadi Amira perempuan yang nekat, tapi apa seberani itu?
Bukannya Andi tidak percaya kalau Amira bisa kabur dari rumah. Perempuan itu mandiri dan sudah bisa hidup ditopang dengan kekuatannya sendiri. Namun, pergi dari rumah sama saja dengan menabuh perang dengan kedua orang tuanya, bukan?
“Kalau aku menolak?” Andi mencoba menawar.
“Aku akan membunuhmu kalau kamu muncul di depanku.”
Kaget sejenak, Andi kemudian tertawa beberapa saat. Setelah itu dia mendesah panjang dan berkata, “Sepertinya aku nggak punya pilihan lain.”
“Pilihan yang bagus.” Amira langsung menyambar pernyataan Andi.
***
[Jangan sedih ya, Sayang. Aku pergi gak lama, kok]
Amira membaca pesan dari Andi tanpa berniat untuk membalasnya. Dia meletakkan saja ponselnya di samping keyboard dan kembali fokus pada design produk yang baru masuk di emailnya.
Hampir setengah jam Amira memusatkan diri untuk mengoreksi design konten sosial media untuk branding produk minuman kemasan yang akan segera diluncurkan. Mengirim hasil koreksi itu kembali pada designer yang mengerjakan dan memintanya untuk merevisi sesuai dengan poin koreksi yang telah dibuatnya.
"Mir, makan yuk." Ada tangan yang menepuk bahu Amira dan membuat wanita itu terlonjak.
Amira mendapati Daisy, rekan kerjanya sejak dia pertama kali bekerja di perusahaan ini, nyengir lebar ke arahnya.
"Kamu selalu saja bikin jantungku mau copot," seru Amira diakhiri dengan decakan.
"Kamu aja yang kalo kerja selalu tegang."
"Aku fokus, bukan tegang."
"Sama aja."
Amira memutar bola mata. Mengarah kembali ke layar desktop dan segera menekan tombol sleep.
"Mau makan dimana emang?" tanya Amira sambil menyambar tas yang ada di atas meja kerjanya.
"Nyari lalap, yuk."
Lima belas menit kemudian Amira dan Daisy sudah sampai di sebuah rumah makan yang mengunggulkan menu tradisional. Rumah makan ini tidak terlalu penuh, membuat mereka mudah untuk memilih meja.
"Gimana dengan berondongmu?" tanya Daisy, setelah mereka berdua memesan makanan dan waiters yang menulis pesanan mereka berlalu.
"Dia bukan berondongku, ya? Kami cuma kenalan," seru Amira.
"Kenalan yang udah dilamar."
"Catat, ya. Aku belum nerima!"
Daisy mendesah. "Kenapa gak dicoba aja, sih. Kapan lagi dapat berondong. Dia ganteng, kan?"
"Bukan masalah gantengnya, ya, Dais. Aku bukan pemuja tampang. Ini masalah chemistry."
"Bagaimana mau punya chemistry, kamunya aja gak buka diri."
"Siapa bilang," sergah Amira langsung. Dia mengingat kejadian dua hari lalu, saat dia pasrah Andi menggenggam tangannya sepanjang jalan menuju tempat parkir mall. Genggaman yang diakui membuatnya merasa nyaman.
Daisy memandangi Amira dengan tatapan curiga. "Ada yang belum kamu ceritakan?"
"Wajib gitu aku cerita?" Amira salah tingkah.
Daisy memandang sinis. "Jadi gitu kamu sekarang, ya. Oke, jangan curhat lagi sama aku. "
Amira meraih tisu di depannya dan menggumpalnya dengan gemas, lalu melemparkannya pada teman kerjanya itu.
"Dah, pinter ngancem kamu sekarang, ya," sungut Amira. Dia memasang wajah cemberut yang beberapa detik kemudian langsung pudar. Berganti menceritakan apa yang dilakukan Andi setelah pertemuan mereka dengan Gilang.
Cerita Amira tidak begitu antusias dan terkesan datar. Namun, tanggapan Daisy saat mendengarkan apa yang dikatakan Amira yang membuatnya berbeda.
Daisy menganggap apa yang dilakukan Andi begitu manis dan perhatian. Membuatnya kadang tertawa cekikikan dan memukul meja merasa gemas.
"Astaga, kok bisa kamu gak feeling apa-apa dengan sikap berondong itu," kata Daisy sambil tertawa. "Kamu benar-benar numb apa?"
Amira memutar bola mata malas. "Rasanya annoying, tau," ujar Amira. "Dia maksa gitu dan aku gak bisa buat apa-apa karena tangannya kuat banget gak mau lepasin."
"Dia perhatian."
"Dia suka seenaknya," kata Amira kesal. "Dia pikir aku masih remaja apa."
"Halah, dulu Gilang yang gituin kamu, kamu juga meleleh. Karena kamu gak punya rasa aja, jadi berasa sikapnya annoying," sanggah Daisy.
Amira ingin menyanggah lagi, tapi dia harus menelan perkataannya ketika pesanan mereka datang.
"Menurutku ya, kamu coba aja jalani dulu sama itu berondong." Daisy lah yang memulai pembicaraan setelah waiter pergi. "Menurut adekmu dia baik, kan?"
Meski tidak ingin mengakui, Amira mengangguk lambat.
"Gak mungkin juga kan, Nattaya menjerumuskan kamu sama temannya yang salah?"
Nattaya cukup protektif walau tingkahnya slengean gitu, ujar Amira dalam hati.
"Kamu bikin perjanjian aja sama si berondong, kalau gak cocok, bisa bubar," lanjut Daisy lagi.
"Aku gak mau kasih harapan sama anak orang."
"Dia pria dewasa, pasti paham kalau gak cocok gak bisa dipaksa," tukas Daisy. "Lagian, kamu juga ga tau akhirnya bagaimana. Siapa tau kalau kamu gak pura-pura buka diri, malah kalian klop."
"Jatuh cinta sama yang lebih muda gak ada dalam kamusku," kilahku.
Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram. Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya. "Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya. Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya. Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunju
Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi. Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah."Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan."Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Akhirnya mereka gagal makan dan berakhir di dalam mobil, masih di parkiran cafe El Barlito. Andi tidak langsung menjawab pertanyaan Amira. Dia malah menunduk menekuri sepatu kets hitam yang dikenakannya. "Andi," sentak Amira dengan tidak sabar. "Bukan apa-apa, tidak begitu penting." Akhirnya Andi menjawab. "Dan menurutmu aku percaya?" "Banyak ungkapan serius yang aku ucapkan, kamu memilih untuk nggak percaya." "Aku serius." Amira memandang Andi dengan tatapan tajam. Andi mengembuskan napas panjang. Dia sebenarnya tidak ingin mengungkapkan apa yang menjadi penyebab pertengkarannya dengan Gilang. Perkataan mantan pacar Amira itu terasa merendahkan wanita itu dan dia tidak ingin wanita yang diinginkannya untuk menjadi pendamping hidup itu mengetahuinya. "Hanya menyelesaikan yang kemarin tertunda." Andi mencoba berbohong. "Saat kita bertemu dengannya di mall?" Amira menukas. "Aku tidak percaya." "Memang itu." "Aku ingin kamu mengatakan kejujurann
Andi baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, ketika ponselnya berdering. Lelaki itu memperhatikan panggilan yang hanya terdiri atas deret angka. Nomor panggilan baru yang tidak ada di kontaknya. "Halo," sapa Andi sembari duduk di tepi ranjang. "Ini dengan Andi?" tanya suara di seberang saluran. "Ya." "Ini aku, Gilang." Wajah Andi mengeras. Kekesalannya akibat perkelahian tadi sore terkenang lagi. "Apa maumu?" tanya Andi dingin. "Aku bisa melaporkanmu karena memukulku lebih dulu," kata Gilang tanpa basa-basi. Andi tidak menjawab. Dia hanya menatap ke depan, pada dinding hitam doff polos yang menjadi kombinasi warna cat kamarnya, selain putih dan abu muda. Menunggu mantan Amira itu mengucapkan lanjutan apa yang dia ingin bicarakan. "Tapi aku ingin kita berdamai," lanjut Gilang lagi. Ada desahan di ujung kalimatnya. "Apa timbal baliknya?" Terdengar suara tawa dari seberang sana, membuat Andi membuat Andi memutar bola mata malas. Tidak mu
"Ngapain bengong, Kak?" Nattaya tiba-tiba sudah ada di belakang Amira. Dia lalu duduk di samping kakaknya itu yang sedang duduk di halaman belakang."Lagi mikirin Andi, ya?" Kedua alis cowok itu bergerak naik turun dengan tatapan usil. "Aku dengar-dengar kalian sering kencan berdua sekarang, ya.""Bacot," umpat Amira kesal. "Dia yang selalu tiba-tiba muncul di kantor.""Dih, yang mulai seriusan, nih," ledek Nattaya tidak berhenti mengganggu kakaknya."Apaan, sih," ujar Amira kesal. Hilang sudah kedamaian yang tadi tercipta saat dia masih sendiri. "Kamu belum jadian, ya, catet!"Andi pura-pura membelalak. "Belum? Wah, berarti ntar bakal jadian dong. Tinggal nunggu waktu berarti.""Aku bisa ngorek tanah tanaman mama buat ngelumurin badan kamu, ya." Amira mengancam karena terus-terusan diledek adiknya itu."Kalau kesel berarti benar." Tawa Andi makin meledak.Amira membuat bibirnya nyaris seperti garis dengan tarikan napas dalam.Memang, sedari tadi dia memilih untuk menyendiri di sana k
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut