Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.
Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi.Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah."Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan."Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-tiba saja kesal. "Jujur saja, berapa sebenarnya kamu dibayar Amira?""Kenapa menurutmu aku harus dibayar, atau apa kamu yang begitu?"
Andi meremas tisu yang sudah menjadi basah setelah dia usapkan di wajahnya. Dia berdiri menghadap Gilang dengan tatapan waspada. Bisa saja lelaki di depannya sengaja memulai pembicaraan hanya untuk menyulut pertengkaran.
Pertanyaan Andi terasa begitu ganjil dan Gilang tidak bisa menjawabnya. Dia berpikir, tidak mungkin lelaki yang jauh lebih muda di hadapannya ini mengetahui siapa tunangannya. Bukan berarti dia bertunangan karena dibayar, tetapi tunangannya memang kaya. Jauh lebih kaya darinya dan bisa menunjang kesuksesannya.
Akan tetapi, Gilang belum ingin berhenti mengganggu Andi. Dia melancarkan serangan lain yang bisa menghancurkan perasaan Andi, kalau memang benar mereka bertunangan.
Setelah berpisah, Amira sudah dua kali menggagalkan pendekatannya dengan wanita lain walau dia sadar hal itu terjadi karena rasa sakit hati wanita itu. Kali ini tidak ada salahnya sedikit membalasnya.
"Apa kamu pikir, berhubungan dengan wanita yang lebih matang seperti Amira akan lebih menantang karena dia lebih berpengalaman?" Sudut bibir Gilang terangkat meremehkan. "Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Tidur dengannya membosankan, terlalu pasif."
"Apa maksudmu?" Kini amarah Andi sudah terkumpul di ubun-ubun. Dia bisa menahan diri saat dirinya yang dipojokan. Namun, melihat ekspresi Gilang yang mencemooh Amira, dadanya terasa bergemuruh. Begitu mudah api amarah tersulut.
Gilang merasa menang karena berhasil memprovokasi Andi. Dia berpura-pura mendesah berat, seolah sedang ingin mengumpulkan banyak kata untuk memberi nasihat bijak.
"Hanya ingin memberi nasehat sesuai pengalaman," kata Gilang sambil tersenyum kecil. "Bukankah setiap lelaki menginginkan wanitanya memuaskannya di ranjang? Kamu tidak akan mendapatkan hal itu dari Amira. Trust me."
"Kurang ajar," geram Andi.
Gerakan Andi begitu cepat sampai tidak bisa diprediksi oleh Gilang. Tau-tau tubuhnya terderong dengan lengan Andi berada di batang lehernya. Tangan cowok itu terkepal kuat di sisi wajahnya, siap melancarkan pukulan.
"Mulut brengsekmu tidak pantas merendahkan Amira."
Begitu susah Gilang menelan ludahnya melewati tenggorokan. Sesaat dia panik, tetapi buru-buru mengatasi situasi.
Gilang mengangkat kedua tangannya untuk mendorong lengan Andi dari lehernya. Ternyata tenaga cowok itu kuat juga, sehingga dia perlu tenaga ekstra untuk membuat lengan Andi terdorong ke belakang dan bisa memberi jarak untuknya bernapas lega.
"Kamu jangan munafik." Suara Gilang tersengal dan dia mengusap-usap lehernya.
"Otakku tidak seperti isi kepalamu, Brengsek."
"Apa aku perlu memberitahu titik rangsang Amira yang sangat dia sukai?"
"Diam!"
Gilang terkekeh. Memandang Andi dengan waspada. Bisa saja lelaki itu melancarkan lagi serangan, tetapi Gilang merasa yakin, kali ini dia sudah siap.
"Jangan merasa sok jagoan, percuma." Gilang mengamati Andi mulai dari wajah hingga ke kaki, lalu ke atas lagi. Bermain-main sebentar tidak ada salahnya, pikirnya. "Aku sudah meniduri Amira berulang-ulang kali. Pembelaanmu ini, konyol. Seakan dia masih suci."
"Aku bilang diam!" Suara Andi menggema dan menggelegar.
Pintu toilet paling depan terbuka, menimbulkan suara saat pintu itu terhempas ke dinding karena buru-buru terbuka. Satu orang keluar begitu cepat, melesat melewati ruangan menuju pintu toilet dan hilang di baliknya setelah terbuka dan tertutup kembali. Sepertinya dia tidak ingin ikut campur atau menjadi saksi atas apa saja yang kemungkinan terjadi di ruangan itu.
"Aku bisa diam," Gilang mengangkat bahu malas, "tapi itu tidak akan mengubah kenyataan."
Andi maju dengan cepat dan kali ini dengan yakin melancarkan tinjunya dengan kuat mengarah pada wajah Gilang. Namun, kewaspadaan Gilang membuatnya sudah membaca apa yang akan dilakukan cowok itu, sehingga dengan beraninya dia menangkap kepalan tangan Andi dan menahannya dengan sekuat tenaga. Kaki Gilang bahkan terseret sekitar lima senti saat menahan kekuatan Andi.
"Tidak kali ini, Bro." Gilang menyeringai, merasa menang.
Hal yang tidak diduga Gilang adalah tendangan Andi di perutnya. Membuatnya terdorong ke belakang dan menghempas pada dinding dingin ruangan toilet yang berwarna abu-abu muda.
Ditekan Gilang perutnya yang terasa nyeri hingga ke kepala. Ada rasa panas menjalari bagian perutnya dan membuat keringat di punggungnya berproduksi lebih banyak.
Lelaki berpotongan rambut undercut itu mengerang kesakitan. Dengan bertopang pada punggungnya, dia berusaha menegakkan diri walau terhuyung dua kali akibat rasa sakit yang masih merajai.
Dengan berhasil melancarkan tendangan pada Gilang, tidak membuat Andi merasa langsung puas. Dia tetap momfokuskan pandangannya pada lelaki yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya itu dengan sorot mata tajam.
Gilang maju dengan tinjuan yang kokoh. Kakinya menapak dengan kuat saat berada beberapa senti dari Andi untuk menumpukan semua kekuatan pada kepalannya.
Jika saja Andi tidak bisa menghindar, pastilah pukulan itu bisa mengenai pipinya dan menyemburkan darah segar.
Gilang kembali ingin melancarkan serangan, tetapi pintu di belakang mereka kembali terbuka. Kali ini, beberapa orang tampak menyerbu masuk dan langsung menangkap tubuh Andi dan Gilang. Memisahkan perkelahian yang terjadi.
"Tolong jangan buat keributan di sini, Mas." Suara lelaki berusia pertengahan 30an itu terdengar nyaring di telinga Andi. Wajahnya tirus dengan bayangan hitam di bawah mata, membuat lelaki itu tampak lebih tua dari usianya sesungguhnya. Dia sedang sekuat tenaga mengekang tubuh Andi yang lebih tinggi darinya dengan menekan kedua tangan cowok itu ke belakang. Berhimpitan dengan tubuhnya.
Di sisi lain, dua orang sedang memegangi Gilang yang tampak bergerak liar melepaskan diri dari kungkungan orang-orang yang menahannya. Dia menjadi lebih marah sekarang karena belum berhasil membalaskan rasa sakitnya.
***
Dengan langkah cepat Amira mengikuti waiter yang tadi mengabarkan padanya bahwa Andi sedang berkelahi di toilet. Wajahnya begitu cemas sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Mengapa cowok itu malah bertengkar di tempat umum seperti ini? Siapa yang dia temui, sampai-sampai melakukan hal memalukan itu?
Semua pertanyaan berkelebat serentak di kepala Amira. Membuatnya ingin bergegas sampai di tempat tujuan.
Saat dilihatnya pintu toilet berada beberapa langkah lagi darinya, Amira berlari mendahului si waiter dan menghambur memasuki ruangan. Dia tercenung melihat ke tengah ruangan toilet, dimana ada lima orang lelaki yang sedang berkumpul. Tiga di antaranya sedang memegangi tubuh dua orang lelaki, yang salah satunya dikenali wanita itu dengan memperhatikan baju kaos polo warna biru yang tadi dikenakan Andi.
"Gilang." Suara Amira tercekat saat dia semakin memasuki toilet dan rencananya ingin mendekati Andi.
Dari balik tubuh Andi akhirnya dia mengetahui siapa yang saling berhadapan dengan cowok itu yang kini memasang wajah memerah dan masam.
Andi yang memang sudah tenang dan pegangannya telah dikendorkan oleh lelaki yang tadi menahannya, berbalik mendengar suara Amira. Wajahnya terkejut melihat wanita itu telah berdiri di belakangnya dengan mulut berkerucut.
"Mir," kata Andi seperti desisan. Dia melangkah ingin meraih lengan Amira, tetapi wanita itu mengelak dengan gusar.
"Apa sebenarnya yang kalian lakukan," ujar Amira dengan suara bergetar.
Belum sempat Andi menjawab dan membuat bibirnya menggantung terbuka, derap langkah cepat terdengar di belakang Amira disertai dengan pekikan tinggi, " Mas Gilang!"
Seorang gadis yang mengenakan crop top putih yang dipadukan dengan high waisted pants meluncur cepat melewati Amira dan Andi. Dia langsung memeluk pinggang Andi dengan kuat untuk menghempaskan rasa khawatirnya.
Gilang menghentakkan dengan sekuat tenaga tangan-tangan yang sedang memeganginya. Membalas pelukan gadis itu dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Kamu kenapa, Mas? Apa yang terjadi?" cecar gadis itu dengan kepala mendongak.
Bibir Gilang menutup rapat tidak menjawab. Dia belum memutuskan pandangan tajam dari Andi.
Melihat Gilang yang bungkam, gadis itu mengikuti arah pandangan pria yang dipeluknya. Ingin mengenali wajah siapa yang telah bertengkar dengan lelaki itu dan kalau bisa akan membalaskan apa yang telah dilakukannya.
"Andi?" kata gadis itu tidak percaya.
"Gladis?" Pelipis Andi berkedut mengenali sosok gadis yang tadi berteriak. "Gilang ...." cicit Andi halus nyaris tidak terdengar.
Kaki Andi mundur dua langkah dengan napas tertahan saat Gladis maju ingin mendekatinya. "Jangan bilang tunanganmu itu dia?"
"Iya, dia," sahut Gladis bingung.
Andi mengusap wajahnya kuat. Menarik udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi dada yang kembali sesak.
"Siapa dia, Sayang?" tanya Gilang pada Gladis. Tiba-tiba saja dia merasa khawatir dengan interaksi keduanya. Apalagi tadi Andi sempat menyebut bahwa tunangannya itu pernah bercerita tentangnya pada cowok itu.
"Dia sahabatku yang pernah aku ceritakan," jawab Gladis lembut sambil setengah memutar kepalanya memandang Gilang.
Amira mengedip sekali, mulai memahami apa yang sedang terjadi. Terutama antara kebingungan yang melanda Andi dan Gladis.
Ini hal yang dramatis, pikir Amira. Tidak menyangka gadis yang akan menjadi tunangan Gilang ternyata sahabat Andi. Walau begitu, wanita itu berpikir cepat dan mengambil kesempatan.
Sengaja dia memandang Gilang dengan tatapan licik. Bibir tipis wanita itu menyeringai penuh arti.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Akhirnya mereka gagal makan dan berakhir di dalam mobil, masih di parkiran cafe El Barlito. Andi tidak langsung menjawab pertanyaan Amira. Dia malah menunduk menekuri sepatu kets hitam yang dikenakannya. "Andi," sentak Amira dengan tidak sabar. "Bukan apa-apa, tidak begitu penting." Akhirnya Andi menjawab. "Dan menurutmu aku percaya?" "Banyak ungkapan serius yang aku ucapkan, kamu memilih untuk nggak percaya." "Aku serius." Amira memandang Andi dengan tatapan tajam. Andi mengembuskan napas panjang. Dia sebenarnya tidak ingin mengungkapkan apa yang menjadi penyebab pertengkarannya dengan Gilang. Perkataan mantan pacar Amira itu terasa merendahkan wanita itu dan dia tidak ingin wanita yang diinginkannya untuk menjadi pendamping hidup itu mengetahuinya. "Hanya menyelesaikan yang kemarin tertunda." Andi mencoba berbohong. "Saat kita bertemu dengannya di mall?" Amira menukas. "Aku tidak percaya." "Memang itu." "Aku ingin kamu mengatakan kejujurann
Andi baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, ketika ponselnya berdering. Lelaki itu memperhatikan panggilan yang hanya terdiri atas deret angka. Nomor panggilan baru yang tidak ada di kontaknya. "Halo," sapa Andi sembari duduk di tepi ranjang. "Ini dengan Andi?" tanya suara di seberang saluran. "Ya." "Ini aku, Gilang." Wajah Andi mengeras. Kekesalannya akibat perkelahian tadi sore terkenang lagi. "Apa maumu?" tanya Andi dingin. "Aku bisa melaporkanmu karena memukulku lebih dulu," kata Gilang tanpa basa-basi. Andi tidak menjawab. Dia hanya menatap ke depan, pada dinding hitam doff polos yang menjadi kombinasi warna cat kamarnya, selain putih dan abu muda. Menunggu mantan Amira itu mengucapkan lanjutan apa yang dia ingin bicarakan. "Tapi aku ingin kita berdamai," lanjut Gilang lagi. Ada desahan di ujung kalimatnya. "Apa timbal baliknya?" Terdengar suara tawa dari seberang sana, membuat Andi membuat Andi memutar bola mata malas. Tidak mu
"Ngapain bengong, Kak?" Nattaya tiba-tiba sudah ada di belakang Amira. Dia lalu duduk di samping kakaknya itu yang sedang duduk di halaman belakang."Lagi mikirin Andi, ya?" Kedua alis cowok itu bergerak naik turun dengan tatapan usil. "Aku dengar-dengar kalian sering kencan berdua sekarang, ya.""Bacot," umpat Amira kesal. "Dia yang selalu tiba-tiba muncul di kantor.""Dih, yang mulai seriusan, nih," ledek Nattaya tidak berhenti mengganggu kakaknya."Apaan, sih," ujar Amira kesal. Hilang sudah kedamaian yang tadi tercipta saat dia masih sendiri. "Kamu belum jadian, ya, catet!"Andi pura-pura membelalak. "Belum? Wah, berarti ntar bakal jadian dong. Tinggal nunggu waktu berarti.""Aku bisa ngorek tanah tanaman mama buat ngelumurin badan kamu, ya." Amira mengancam karena terus-terusan diledek adiknya itu."Kalau kesel berarti benar." Tawa Andi makin meledak.Amira membuat bibirnya nyaris seperti garis dengan tarikan napas dalam.Memang, sedari tadi dia memilih untuk menyendiri di sana k
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran
"Kemana aja dari datang langsung menghilang." Amira melotot tajam ke arah Nattaya. Nattaya hanya mengendikan bahu. Mengangsurkan segela koktail ke hadapan kakaknya itu dan diterima Amira dengan kasar. "Aku cuma malas jadi obat nyamuk.""Andai ini bukan di rumah orang," desah Amira dengan perasaan ingin mencekik adiknya.Nattaya duduk di samping Amira dan memperhatikan orang-orang yang ada di ruangan acara ini. Dia tidak berfokus pada satu pandangan, hanya mengitarkan tatapan dengan malas."Kakak tau, gak?" Nattanya memulai bicara lagi. Sejenak tadi mereka hanya berdiam. "Andi yang menyuruhku ke sini."Sepuluh menit lalu Andi memang pamit pergi dan meninggalkannya sendirian. Katanya, orang tua Gladis memanggilnya. Dia ingin mengajak Amira, tetapi wanita itu langsung saja menolak. Bisa saja cowok itu akan memperkenalkan dirinya sebagai kekasihnya--tunangannya--kepada orang-orang yang dikenalnya."Apa dia pikir aku gak bisa sendirian," kata Amira sinis."Dia takut ada yang dekatin Kakak
Ternyata banyak juga tamu undangan yang datang ke acara pertunangan Gladis dan Gilang. Amira merasa yang datang bukan hanya keluarga dekat, tetapi acara ini sudah seperti pesta resepsi pernikahan. Apa perlu melakukan pertunangan semeriah ini?Amira tidak tahu. Mungkin kelas konglomerat berbeda. Saat acara belum dimulai, Nattaya menemukan temannya di acara itu. Meninggalkan Andi dan Amira hanya berdua.Masih seperti tadi, Andi lebih banyak diam. Mulutnya malam ini selalu bungkam, bahkan saat tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amira, dia tersenyum dengan tetap merapatkan bibirnya.Benar-benar sesuatu yang aneh, pikir Amira. Belum pernah dia merasakan kediaman panjang yang dilakukan cowok itu saat mereka bersama. Biasanya cowok yang malam ini tampak menawan dengan setelan batiknya selalu mencari kesempatan untuk menggodanya. Namun, malam ini dia hanya bicara jika ditanya dan menjawab dengan kalimat pendek.Pada akhirnya Amira tidak tahan juga dengan keadaan itu. Dia meras berjalan
Sudah dua hari Andi tidak menghubungi Amira. Biasanya, cowok itu selalu saja mengganggunya. Entah mengirim pesan teks, pesan suara, menelepon, ataupun melakukan video call, atau tiba-tiba saja dia sudah ada di depan kantor Amira. Namun, dua hari ini sosoknya seperti menghilang.Setelah Gladis mengumumkan pertunangannya pada pertemuan mereka dua hari lalu, Andi seakan raib dari peredaran. Waktu mendengar bahwa Gladis akan bertunangan, wajah Andi datar, sorot matanya pun tampak tak terbaca. Amira sampai sempat berpikir, apakah pernah ada perasaan khusus di antara mereka berdua?Ketidakhadiran Andi yang secara misterius, mulanya ditanggapi Amira dengan biasa. Satu hari pertama, dia menganggap cowok itu mungkin sibuk dengan pekerjaan. Namun, hari ini, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Rasanya ada sesuatu yang kurang saja. Ingin menanyakan keadaan cowok itu, Amira gengsi. Dia juga tidak ingin membuat cowok itu berpikir macam-macam.Suara ketukan di pintu membuat Amira terkejut dan melepa
Amira, Andi, dan Nattaya merapatkan bibir dan membuang muka saat Gilang bergabung dan duduk di samping Gladis.Mereka memutuskan untuk pindah ke sofa cafe yang berbentu setengah lingkaran agar semua bisa nyaman duduk bersama-sama. Tak ada yang ingin memulai bicara, bahkan Gladis sendiri terlihat salah tingkah dan terus-terusan mencuri pandang pada Andi. Berusaha menilai bagaimana sebenarnya perasaan sahabatnya itu."Ndi," panggil Gladis akhirnya, setelah keheningga sekian menit tercipta.Andi menoleh memandang Gladis dengan wajah kaku. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah sejak nama lelaki itu diucapkan oleh gadis yang sedang mengenakan softlens berwarna abu. Makin menambah keimutan wajahnya."Mas Gilang pengen minta maaf secara langsung sama kamu hari ini," kata Amira."Ya minta maaf aja, gak usah dibikin repot."Terlihat Gladis menelan ludahnya dengan susah payah. Memandang wajah calon tunangannya dengan tatapan meminta bantuan.Gilang membalas tatapan Gladis dengan sangat lembut